REFERAT BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
Oleh: Pingky Dewi Anggraeni (03014155)
Pembimbing: dr. Ratna Gina R, Sp.Rad dr. Inez Noviani I, Sp.Rad
KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA PERIODE 26 MARET – 27 APRIL 2018
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembesaran prostat jinak atau yang lebih dikenal sebagai benign prostatic hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada laki-laki dewasa terutama diatas usia 50 tahun diIndonesia. BPH merupakan istilah histopatologi yang menunjukan adanya pembesaran prostat. BPH ditandai dengan hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitelial prostat, sehingga terjadi pembesaran volume prostat regio periuretral sering pada zona transisional prostat. BPE merupakan pembesaran prostat jinak yang tidak menyebabkan penyumbatan pada saluran kemih, sedangkan BPO merupakan pembesaran prostat jinak yang dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran kemih. BPO ini adalah contoh dari Bladder Outlet Obstruction (BOO). BOO dapat mengganggu aliran urin dan mempunyai peran penting terjadinya retensi saluran kemih, infeksi saluran kemih, batu kandung kemih, hidronefrosis atau gagal ginjal. Insiden BPH didunia pada usia 40an adalah sebesar 40%. Pada usia 60 hingga 70 tahun, presentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun presentase meningkat hingga 90%. Di Indonesia BPH merupakan penyakit tersering kedua setelah batu saluran kemih. Di RSCM didapatkan 423 kasus BPH pada tahun 1994-1997 dan di RS Sumber Waras ditemukan sebanyak 617 kasus yang pada tahun yang sama. Umumnya keluhan utama BPH retensi urine atau sulit untuk berkemih dan itu merupakan masalah yang serius yang harus diperhatikan karena dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi kualitas hidup pada pria usia lanjut. Pemeriksaan radiologi seperti foto polos, USG, CT Scan, MRI prostat sangat membantu dalam menegakan diagnosis, sehingga akan didapatkan pengobatan yang lebih dini dan pengobatan yang tepat.(1,2,3,4)
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hyperplasia prostat jinak atau dikenal dengan istilah BPH (benign prostatic hypeplasia) adalah keadaan yang umum ditemukan pada laki laki berusia diatas 50 tahun, ditandai dengan hyperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitelial prostat, sehingga terjadi pembesaran pada volume prostat regio periuretral, sering pada zona transisional prostat, sedangkan jika pada zona perifer lebih sering ditemukan keganasan.(5)
Gambar 1. Benign Prostat Hyperplasia 2.2 Anatomi Prostat Prostat merupakan kelenjar seks tambahan terbesar pria yang ekresinya berkontribusi pada cairan semen. Prostat terletak didalam rongga pelvis ditembus oleh dua buah saluran, uretra dan ductus ejaculatorius. Bentuk prostat seperti piramida terbalik dan mempunyai ukuran kurang lebih sekitar 4X3X2 cm. Apex prostat merupakan bagian dari bawah yang terletak diatas diagfragma urogenitalis dan terletak satu setengah sentimeter dibelakang bagian bawah symfisis pubica. Basisnya merupakan bagian atas prostat dan berhubungan dengan vesika urinaria pada satu bidang horizontal yang melalui bagian tengah symphisis pubica. Konsistensi prostat keras, sebagian berupa kelenjar sebagian berupa otot. Prostat terbungkus dalam kapsul jaringan ikat, kapsul ini dilapisi lagi oleh fascia prostatica yang tebal ( berasal dari fascia pelvica) kemudian prostat difiksasi oleh ligamentum puboprotaticum, fascia supeerior diaphragmatis urogenitalis dan bagian depan musculus levator ani. Secara makroskopis kelenjar prostat dibagi dalam lima lobus, yaitu lobus anterior atau istmus yang terletak didepan uretra dan menghubungkan lobus dextra dan lobus sinistra. 3
Bagian ini tidak mengandung kelenjar, hanya berisi otot polos. Lobus medius terletak diantara uretra dan duktus ejaculatorius yang banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus ini membesar. Sehingga dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih. Lobus posterior terletak dibelakang uretra, dibawah ductus ejakulatorius. Lobus lateralis terletak disisi kiri dan kanan uretra.
Gambar 2. Morfologi dan letak anatomis kelenjar prostat
Fungsi Prostat Fungsi kelenjar prostat yaitu menghasilkan cairan tipis seperti susu yang mengandung asam sitrat dan asam fosfatase. Cairan ini kemudian ditambahkan pada cairan semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada capsula dan stroma berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar prostat diperas kemudian masuk ke uretra pars prostatica. Sekret prostata bersifat alkalis sehingga membantu menetralkan suasana asam didalam vagina.
Uretra Pars Prostatica Uretra pars prostatica mempunyai panjang kurang lebih satu seperempat inchi (3 cm) dan berasal dari plexus collum vesicae. Uretra pars prostatica berjalan dari basis prostata hingga ke apex prostatae, selanjutnya di apex prostata diteruskan sebagai uretra pars membarnaceae. Uretra pars prostatica merupakan bagian yang paling lebar 4
dan berdiameter terbesar seluruh uretra. Pada dinding posterior terdapat alur yang disebut sinus prostaticus, glandula prostatae bermuara pada sinus ini. Pada puncak crista uretralis terdapat cekungan disebut utriculus prostaticus, yang analog dengan uterus dan vagina pada perempuan. Pada pinggir utriculus terdapat muara kedua ductus ejakulatorius.
Pembesaran Prostat BPH sering ditemukan pada laki-laki berusia lebih dari 50 tahun. Normalnya kelenjar prostat pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai masa pubertas, kemudian ada peningkatan cepat dalam ukuran kontinyu sampai akhir 30an. Pertengahan dasawarsa kelima, prostat akan mengalami perubahan hipertrofi. Kelainan ini bisa disertai dengan peningkatan dalam kandungan dihidrotestosteron jaringan atau dengan peubahan rasio pada androgen terhadap estrogen yang diketahui berubah oleh karna proses penuaan. Pada pembesaran prostat, lobus medius kelenjar akan membesar keatas dan merusak spincter vesicae yang terletak didalam collum vesicae. Urin yang bocor ke uretra prostatica akan menyebabkan refleks miksi yang terus menerus. Pembesaran lobus medius dan lateral kelenjar akan menimbulkan pemanjangan kompresi lateral dan distorsi uretra sehingga pasien akan mengalami kesulitan berkemih dan pancaranya lemah. Penyulit yang terjadi adalah tekanan balik pada ureter dan kedua ginjal. Pembesaran uvula vesicae oleh karna pembesaran lobus medius akan mengakibatkan terbentuknya kantong timbunan urin dibelakang ostium uretra internum didalam vesica urinaria. Urine yang tertimbun akan menjadi terinfeksi dan vesica urinaria meradang dan menambah keluhan pasien.(6)
Pada kelenjar prostat dibagi dalam 5 zona : - Zona anterior atau ventral Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskuler. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat. Bagian prostat yang glandular dapat dibagi menjadi 3 zona. - Zona perifer Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat, membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik zona ini dapat digambarkan seperti corong yang bagian diatalnya terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk baji. Saluran – saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika 5
bagian distal. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak. - Zona sentralis Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbrntuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran – saluran ini juga bermuara pada uretra prostatika bagian diatal. Zona sentral dan perifer membentuk suatu corong yang berisikan segmen uretra proksimal dan bagian ventralnya tidak lengkap tertutup melainkan dihubungkan oleh stroma fibromuskuler. Zona ini resisten terhadap inflamasi. - Zona transisional Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskuler anterior menjadi BPH.(1)
2.3 Epidemiologi BPH terjadi pada sekitar 70% laki-laki usia diatas 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada laki-laki diatas usia 80 tahun. Insiden BPH diIndonesia yang pasti belum pernah diteliti, akan tetapi sebagai gambaran hospital prevalence dirumah sakit Cipto Manungkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 didapatkan 3804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun. (1)
2.4 Etiologi Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi atau pertumbuhan jinak kelenjar prostat. BPH pada dasarnya tumbuh pada laki-laki yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan hormon testosteron. Disamping hal itu, pengaruh hormon lain (esterogen dan prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktifitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth faktor, dan selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat. (1) 6
2.5 Manifestasi Klinis Pasien dengan obstruksi saluran keluar vesika urinaria sekunder terhadap BPH, biasa tampak kesulitan dalam memulai berkemih, pengosongan vesika urinaria yang tidak tuntas, urin menetes, frekuensi atau retensi urin total dengan ketidakmampuan lengkap untuk berkemih. Kelenjar prostat yang membesar akan menimbulkan obstruksi urin dan terjadi peningkatkan secara menetap tekanan intravesika, yang akan menyebabkan hipertrofi detrusor, trabekulasi vesika urinaria dan pembentukan divertikuliti. Proses ini akan dapat berlanjut ke hidronefrosis dan kemunduran saluran kemih atas. (6)
2.6 Patofisiologi Berhubungan dengan faktor statis dan dinamik. Faktor statis BPH disebabkan oleh karena hiperplasia sel-sel epitelial dan stroma periuretra kelenjar prostat yang akan menyebabkan penyempitan
uretra pars prostatika dan bladder outlet. Sedangkan
faktor dinamik disebabkan oleh karena keteganggan otot-otot polos prostat. Kedua faktor tersebut akan meningkatkan retensi, dan selanjutnya akan menyebabkan perubahan komponen buli - buli. Obstruksi bladder oulet akan menurunkan fungsi otot-otot detrusor buli. Faktor usia tua juga akan memperberat, sehingga muncul berbagai keluhan. Keluhan berupa peningkatan frekuensi berkemih nokturia, urgensi dengan atau tanpa inkontinensia urine, menunggu lama saat mulai berkemih dengan pancaran kemih lemah, nyeri saat berkemih, perasaan berkemih tidak puas, dan postfoid dribbling. Keluhan-keluhan tersebut sering dikenal dengan istilah lower urinary tract symptomps atau LUTS. (5) 2.7 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis : -
keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu
-
riwayan penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenital (pernah mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah, kencing batu, atau pembedahan pada saluran kemih)
-
riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi sekseual
-
riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih 7
Skor IPSS
Catatan harian berkemih Pencatatan harian berkemih sangat berguna untuk pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan, akan dapat megetahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat onstruksi infravesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatatn dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik. 8
b. Pemeriksaan Fisik a. Status urologi -
Ginjal Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya obstruksi atau tanda- tanda infeksi.
-
Kandung kemih Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan cara palpasi dan perkusi untuk menilai isi kandung kemih, dan ada tidaknya tanda infeksi.
b. Colok dubur Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konstistensi prostat,dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung lebih kecil dari pada ukuran yang sebenarnya. Pada pemeriksaan colok dubur juga dapat menilai tonus sfinter ani dan refleks bulbokavernosus yang akan menunjukan adanya kelainan pada lengking refleks didaerah sakral. (1)
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium a. Urinalisis Dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine. b. Pemeriksaan fungsi ginjal Obstruksi intravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran kemih bagia atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan ratarata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
9
c. Pemeriksaan PSA ( Prostate specific antigen) PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific akan tetapi bukan cancer specific. Kadar PSA didalam serum dapat mengalami penongkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, katerisasi, keganasan prostat, dan usia yang semakin tua.
Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika serum PSA tinggi berarti : a. Pertumbuhan volume prostat lebih cepat b. Keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek c. Lebih mudah terjadi retensi urine akut
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA, semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2 -1,3ng/dl adalah 0,7 Ml/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setalah 72 jam dilakukan kateterisasi.
Pemeriksaan PSA dengan colok dubur lebih spesifik dari pada pemeriksaan colok dubur saja dalam menditeksi adanya karsinoma prostat. Oleh karna itu, pada usia diatas 50 tahun atau diatas 40 tahun pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna menditeksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dapat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien.
d. Uroflowmetry (pancaran urin) Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih. Pemeriksaan non invaginasif ini ditujukan untuk menditeksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Kemudian didapatkan informasi mengenai volume berkemih, laju pancaran maksiumum, laju pancaran rata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. 10
Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah terapi.
Hasil uroflowmetry tidak begitu spesifik menunjukan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat disebakan obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemah otot detrusor.
e. Residu urine Residu urine merupakan sisa urine dikandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urin pada laki-laki normal adalah 12 Ml. Pemeriksaan residu urin dapat dilakuakan dengan cara USG bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakterimia. Peningkatan volume residu urin dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu urin yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan perburukan gejala. Peningkatan residu urin pada pemantauan berkala berkaitan denga resiko terjadinya retensi urine. (1)
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi Modalitas pemekriksaan radiologi dalam membantu penegakan diagnosis BPH dan komplikasi akibat BPH mulai dari yang paling sederhana menggunakan radiasi sinar X, hingga modalitas cangih. Modalitas yang paling sederhana adalah radiografi konfensional abdomen polos atau sering disebut BNO, BNO-IVP atau sering disebut intra venous urografi , yaitu pemberian zat contras untuk menilai anatomi saluran kemih. Selanjutnya terdapat modalitas pemeriksaan cangih seperti ultrasonografi, CT scan, MRI, serta kedokteran nuklir dengan menggunakan radio farmaka.(1) Untuk mengetahui ukuran volume prostat, modalitas yang cukup berperan adalah ultrasonografi, CT Scan, MRI. Foto polos abdomen tidak banyak memberikan informasi, walaupun beberapa keadaan seperti adenoma prostat dapat disertai komponen kalsifikasi, sehinga dapat terlihat pada foto polos abdomen. Kalsifikasi 11
terletak disisi belakang simfisis pubis atau sedikit diatas simfisis pubis. Extensi kalsifikasi diatas simfisis pubis merupakan salah satu tanda pembesaran prostat. (1) a. Foto folos abdomen dan pielografi intravena Modalitas radiografi konfensional seperti fotopolos abdomen dilanjutkan dengan pielografi intravena (BNO-IVP) dapat membantu menilai pembesaran kelenjar prostat secara tidak langsung. Pada saat kandung kemih penuh, akan terlihat indentasi pada bagian dasar kandung kemih apabila terdapat pembesaran prostat. Selain itu, indentasi bagian dasar kandung kemih dapat menyebabkan elefasi trigonum buli-buli dan orifisum uretra, sehingga tampak ureter distal dapat terlihat seperti huruf “J” atau mata pancing. Pada fase pengosongan buli-buli, akan terlihat sisa urine cukup banyak akibat bladder outlet obstruction.
Gambar 3. Pemeriksaan BNO-IVP, kandung kemih teridentasi oleh prostat, dan elevasi ureter distal membentuk mata pancing atau huruf J.
b. USG Modalitas radiologi yang dapat menghitung volume prostat serta menentukan pembesaran prostat dan komplikasinya adalah USG, CT scan dan MRI. USG cukup banyak digunakan. Pemeriksaan USG dapat mengevaluasi morfologi prostst serta ukuran volume prostst dapat secara transabdominal dan transrektal. USG transabdominal menggunakan tranmisi gelombang ultrasonik melalui dinding abdomen untuk melihat organ-organ dalam,termasuk kelenjar prostat. USG transabdominal dan transrektal dapat memberikan informasi signifikan pembesaran prostat, adanya batu buli-buli, serta residu urin. 12
USG transabdominal memerlukan pengisian buli-buli yang cukup sebagai acoutic window. Terdapat kolerasi kuat pengukuran volume buli menggunakan transabdominal dan transrektal pada volume buli kurang dari 400 mL Transduser curve frekuensi 2,5 – 5 MHz yang diletakkan disupra simfisis serta menyudut ke arah kaudal dapat memvisualisasikan kelenjar prostat.
c. CT scan CT scan regio pelvis mulai dari krista iliaka sampai dengan tuberositas ischium dengan tebal potongan 5mm atau kurang. CT scan dapat mengevaluasi ukuran prostat, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan stadium BPH, oleh karena penentuan stadium berdasarkan gejala klinis. Pada CT scan, BPH terlihat sebagai pembesaran prostat dengan ukuran diameter lebih dari 5cm pada potongan transversal.
Gambar 4. CT scan potongan aksial kelenjar prostat, dengan pemberian kontras tampak penyangatan pada zona transisional kelenjar prostat.
d. MRI Pada MRI kelenjar prostat tampak sebagai organ dengan intensitas signal intermediate homogen pada T1 weighted image (T1WI). Sekuen T2 weighted Image (T2W) dapat memperlihatkan zona – zona pada kelenjar prostat. Intensitas signal pada T2 WI tergantung komponen kelenjar, stroma, dan otot polos penyusunya. Zona perifer pada T2 WI, karena banyak komponen kelenjar, akan memberikan intensitas signal yang tinggi. Sedangkan zona sentral dan zona transisional lebih banyak mengandung komponen otot polos dan stroma, sehingga memberikan intensitas signal rendah. 13
Gambar 5. MRI potongan aksial T2VWI, zona perifer tampak hiperintens, dengan sentral yang hipointens e. USG Transabdominal dan Transrektal Pada volume buli kurang dari 400 Ml, pengukuran volume prostat menggunakan USG transabdominal dan transrektal berkolerasi cukup tinggi. Pengukuran volume prostat dengan USG transabdominal pada kapasitas kandung kemih antara 100 – 200 Ml dengan ketepatan yang mendekati USG transrektal. USG transabdominal memerlukan persiapan isi kandung kemih yang cukup agar dapat menjadi acoustic window, sehingga penestrasi gelombang dapat mencapai kelenjar prostat. Kelenjar prostat terletak didasar buli, anterior rektum (Gambar 6). Transduser curve dengan frekuensi 3,5 sampai dengan 5 MHz diletakan pada regio suprapubis dengan posisi transversal dan longitudinal (Gambar 7).
Gambar 6. Gambaran USG transabdominal kelenjar prostat potongan tranversal(kanan) dan longitudinal(kiri) dengan kandung kemih penuh sebagai acoutic window
14
Gambar 7. Teknik pengambilan gambar kelenjar prostat dengan modalitas USG transabdominal potongan transversal dan longitudinal dengan mengubah posisi transduser
Pada USG transabdominal ukuran normal kelenjar prostat tidak melebihi 3X3X5 cm atau volume tidak melebihi 25 mL. Pengukuran volume prostat menggunakan formula geometrik ellipsoid.
Berdasarkan studi Hough dan List, USG transabdominal memiliki akurasi cukup baik untuk menditeksi dan menilai pembesaran prostat. Penggunaan USG transrektal (TRUS) pertama kali diperkenalkan oleh Watanabe. TRUS dapat mengevaluasi anatomi serta menghitung volume kelenjar prostat secara akurat pada penderita BPH yang akan menjalani terapi bedah atau minimal invasif. Perhitungan volume prostat dengan TRUS menggunakan proyeksi sagital dan transversal, sama seperti dengan USG transabdominal. Pemeriksaan menggunakan transduser khusus frekuensi 6 s/d 10 MHz. Frekuensi lebih rendah, maka kemampuan gelombang untuk penestrasi jaringan akan lebih dalam, namun resolusi gambar rendah.(Gambar 8.) 15
Gambar 8. Sonoanatomy menggunakan USG transrektal pada penderita BPH.
Volume kelenjar prostat dapat dihitung menggunakan rumus geometik ellipsold yang sama seperti USG transabdominal. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara volume prostat yang didapatkan dengan TRUS dan USG transabdominal.(5) f. Intravesical Prostatic Protrution (IPP) Yaitu penonjolan prostat kedalam buli-buli menyebabkan obstruksi pada buli-buli melalui mekanisme valve ball, yaitu bagian lateral dan medial dari kelenjar prostat menyebabkan buli-buli tidak dapat sempurna saat berkemih. Pengukuran IPP tidak hanya memberikan informasi tentang terjadinya obstruksi buli-buli tetapi juga mengenai granding, yaitu grade I (<5mm) grade II (5-10mm) dan grade III (>10mm). Pengukuran IPP dilakukan berdasarkan transabdominal ultrasonograpi (USG) yang merupakan pemeriksaan relatif mudah dan non-invasif. (7)
16
Tabel 1. Perbandingan antara modalitas pencitraan kelenjar prostat
2.8 Tatalaksana(1) Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan, dan (4) lain-lain (kondisi khusus).
17
a.) Konservatif Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetapi diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien diberikan penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalkan: (1) Jangan banyak minum dan konsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam (2) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada vesika urinaria (kopi atau coklat) (3) Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin (4) Jangan menahan BAK terlalu lama (5) Penanganan konstipasi Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3 – 6 bulan) untuk menilai perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urin. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
b.) Medikamentosa Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS > 7, Jenis obat yang digunakan adalah: 1. α1-blocker Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus collum vesika urinaria dan urethra. Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
18
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding symptom sehingga mampu memperbaiki skor keluhan berkemih hingga 30 – 45% atau penurunan 4 – 6 skor IPSS dan QoL hingga 15 – 30%. Akan tetapi, obat α1-blocker tidak mengurangi volume kelenjar prostat maupun risiko retensi urin dalam jangka panjang. Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek samping terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, nyeri kepala, dan asthenia) yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang dapat terjadi adalah ejakulasi retrograde. Salah satu komplikasi yang harus diperhatikan adalah intraoperative floppy iris syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini harus diinformasikan kepada pasien. 2. 5α-reductase inhibitor 5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume kelenjar prostat hingga 20 – 30%. 5αreductase inhibitor juga dapat menurunkan kada PSA sampai 50% dari nilai yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α-reductase inhibitor yang digunakan untuk pengobatan BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek terapi secara klinis dari obat tersebut baru dapat terlihat setelah 6 bulan. Finasteride digunakan bila volume kelenjar prostat > 40 ml dan dutasteride digunakan bila volume prostat > 30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, diantaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. 3. Antagonis reseptor muskarinik Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos vesika urinaria. Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine I-tartrate.
19
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS. Sampai saat ini, penggunaan antimuskarinik masih terdapat kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urin akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urin pasca berkemih. Sebaiknya, penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α-blocker tidak mengurangi gejala storage. Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti mulut kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan berkemih (sampai dengan 2%), nasofaringitis (sampai dengan 3%), dan pusing (sampai dengan 5%). 4. Phospodiesterase 5 inhibitor Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraseluler sehingga dapat mengurangi tonus m. detrussor, otot polos prostat, dan urethra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE 5 inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS. Taldalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22 – 37%. Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu. Data metaanalisis menunjukkan PDE 5 inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan IMT rendah dan keluhan LUTS berat. 5. α1-blocker + 5α-reductase inhibitor Terapi kombinasi α1-blocker dan 5α-reductase inhibitor bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis dengan menggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan obat tersebut sehingga meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki keluhan dan mencegah perkembangan penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan efek terapi secara klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data saat ini menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan monoterapi dalam 20
risiko terjadinya retensi urin akut dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS sedang – berat dan mempunyai risiko progresif (volume kelenjar prostat besar, PSA > 1,3 ng/dL, dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka panjang ( > 1 tahun). 6. α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk melakukan blok α1-adrenoreceptor dan cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode inkontinensia, skor IPSS, dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan α1-blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami LUTS setelah pemberian monoterapi α1-blocker akan mengalami penurunan keluhan LUTS secara bermakna dengan pemberian anti muskarinik terutama bila ditemui aktivitas berlebih m.detrussor. Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi ini telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu urin harus dilakukan selama pemberian terapi ini. 7. Fitofarmaka Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala, tapi data farmakologis tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Pada BPH, pemberian fitofarmaka ini tidak direkomendasikan oleh asosiasi urologi internasional.
21
c.) Pembedahan Indikasi tindakan pembedahan, yaitu BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, seperti: (1) Retensi urin akut (2) Gagal Trial Without Catheter (TwoC) (3) Infeksi saluran kemih berulang (4) Hematuria makroskopis berulang (5) Vesicolithiasis (6) Penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH (7) Perubahan patologis pada vesika urinaria dan saluran kemih bagian atas Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi medikamentosa, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa. a. Invasif minimal 1. Transurethral resection of the prostate (TURP) TURP merupakan tindakan gold standard pembedahan pada pasien BPH dengan volume kelenjar prostat 30 – 80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume kelenjar prostat untuk tindakan ini. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH sampai 90% dan meningkatkan laju pancaran urin sampai 100%. Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang memerlukan transfusi (0 - 9%), sindrom TUR (0 - 5%), AUR (0 – 13,3%), retensi clot (0 – 39%), dan ISK (0 – 22%). Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis collum vesika urinaria (4,7%), striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5 – 14%), retensi urin, dan ISK. 22
2. Laser prostatektomi Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi BPH, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, green light laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60 – 65 ˚C dan mengalami vaporisasi pada suhu > 100˚C. Penggunaan laser pada terapi BPH dianjurkan khususnya pada pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan namun tidak dapat dihentikan. b. Operasi terbuka Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesical (Hryntschack atau Freyer) dan retropubis (Millin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada kelenjar prostat dengan volume > 80 ml. Prostatektomi terbuka adalah cara operasi ter-invasif dengan morbiditas lebih besar dibandingkan pembedahan lain. Penyulit dini yang terjadi saat perioperatif yaitu perdarahan memerlukan transfusi (7 – 14%). Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur collum vesika urinaria (6%), striktur urethra (6%), dan inkontinensia urin (10%) c. Lain-lain 1. Trial without catheterization (TwoC) TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara spontan setelah terjadi retensi urin. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan residu urin. TwoC baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3 – 7 hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urin akut pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis BPH secara pasti. 2. Clean intermittent catheterization (CIC) CIC adalah cara untuk mengosongkan vesika urinaria secara intermiten baik mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasangkan pada pasien yang mengalami retensi urin kronik dan mengalami gangguan fungsi ginjal atau hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika vesika urinaria pasien sudah terasa penuh atau secara periodik. 23
3. Sistostomi Pada keadaan retensi urin dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan kateter khusus melalui supravesical untuk mengalirkan urin. 4. Kateter menetap Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan untuk menangani retensi urin kronis dengan keadaan medis yang tidak dapat menjalani tindakan operasi. (1) 2.9 Komplikasi Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperlasia prostat dapat menimbulkan komplikasi: a. inkontinensia pardoks b. batu kandung kemih c. hematuria d. sistitis e. pielonefritis f. retensi urine akut atau kronik g. reflukus vesiko-ureter h. hidroureter i. hidronefrosis j. gagal ginjal 2.10 Prognosis Prognosis secara umum baik, jika tatalaksana medikamentosa dan pembedahan. BPH yang tidak dapat diobati dapat memicu timbulnya infeksi saluran kemih, batu vesika urinalia, gagal ginjal, atau retensi urin yang merupakan akibat dari obstruksi.
24
BAB III KESIMPULAN
Pembesaran prostat jinak atau yang lebih dikenal sebagai benign prostatic hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada laki-laki dewasa terutama diatas usia 50 tahun diIndonesia. BPH ditandai dengan hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitelial prostat, sehingga terjadi pembesaran volume prostat. Umumnya keluhan utama BPH retensi urine atau sulit untuk berkemih dan itu merupakan masalah yang serius yang harus diperhatikan karena dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi kualitas hidup pada pria usia lanjut. Pemeriksaan radiologi yang umum digunakan adalah USG transabdominal mengingat biayanya relatif terjngkau, aman, dan ada di hampir setiap Rumah Sakit.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Mochtar C, Umbas R, Soebadi D, et al. Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Panduan Penatalaksanaan Klinis. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2015. 2. Sampekalo G, Monoarfa R, Salem B, et al. Jurnal e-Clinic (eCI).2015;3(1):568-572 3. Mahendrakrisna D, Maulana A, Kresnoadi E, et al. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta WAcana. 2016;1(2). 4. Kidingallo Y, Murtala B, Ilyas M, et al. JST Kesehatan. Kesesuaian ultrasonografi transabdominal dan transrektal pada penentuan karakteristik pembesaran prostat. 2011;1(2):158–64. 5. Biddulth. Pemilihan Modalitas Pemeriksaan Radiologi untuk Diagnosis Benign Prostatic Hyperplasia.RSCM. 2016;43(6):469-72. 6. Sutysna H.Tinjauan Anatomi Klinik Pada Pembesaran Kelenjar Prostat.2016;1(9):4–8 7. Jefri, Monoafra A, Aschorijanto A, et al. Jurnal Biomedik (JMB).2017;9(2):121-26.
26