Presus.docx

  • Uploaded by: Rahma Wati
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,846
  • Pages: 25
PRESENTASI KASUS MANAJEMEN ANASTESI PASIEN PPOK Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anastesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung

Oleh

: Nadya Noor Fadzilla

NIPP

: 20184010035

Pembimbing : dr Argoseto, Sp.An

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2018

BAB I LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien 1. Nama : Tn. S 2. Umur : 78 tahun 3. Alamat : Tembarak 4. Tgl Masuk : 27 November 2018 B. Anamnesis 1. Keluhan utama Benjolan di lengan kiri dan selakangan kanan 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli bedah RSUD Temanggung pada tanggal 27 November 2017 dengan keluhan terdapat benjolan di lengan kiri dan selangkangan kanan. Benjolan dirasakan sudah sejak 6 bulan yang lalu. Dokter spesialis bedah merencanakan operasi eksisi pada tanggal 28 November 2018. Sebelum dilakukan tindakan operasi, dokter bedah merekomendasikan untuk melakukan konsultasi dengan dokter spesialis paru. Setelah memperoleh hasil konsul dengan dokter spesialis paru, dokter anestesi menyetujui dilakukannya operasi dengan general anastesia. 3. Riwayat penyakit dahulu Riwayat PPOK (+) Riwayat alergi obat (-) Riwayat hipertensi (-) Riwayat DM (-) Riwayat asthma (-) 4. Riwayat penyakit keluarga Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit yang serupa dengan pasien. C. Pemeriksaan Fisik 1. KU : Baik 2. Kesadaran : Kompos mentis 3. Vital sign : TD 140/80 mmHg, nadi 65x/menit, T 36,8OC, RR 22x/menit 4. Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) 5. Leher : Tampak simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-), perbesaran kelenjar tiroid (-/-) 6. Thorax : Inspeksi : Simetris, jejas (-), retraksi (-), ketertinggalan gerak (-) Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-) Perkusi : Sonor Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi halus (-/-), wheezing (-/-) Suara Jantung I – II regular 7. Abdomen Inspeksi : Datar, darm contour (-), darm steifung (-) Auskultasi : Bising usus (+) normal 2

Perkusi : Timpani Palpasi : Distensi (-), defans muskuler (-), nyeri tekan (-) 8. Ekstremitas: Akral hangat, oedem (-), CRT<2 detik D. Pemeriksaaan Penunjang 1. Pemeriksaan radiologi Foto Thorax : Apex paru tenang Gambaran bronchitis Besar cor normal Tak tampak penebalan hilus Sistema tulang dalam batas normal 2. Pemeriksaan Laboratorium DARAH LENGKAP Hemoglobin : 14.6 g/dL Hematokrit : 43% Jumlah Lekosit : 8.1 x 103/ul Jumlah Eritrosit : 4.72 x 106/ul Jumlah Trombosit : 372 x 103/ul MCV : 91.5 fL MCH : 30.9 pg MCHC : 33.8 g/dL HITUNG JENIS Eosinofil Basophil Neutrophil Limfosit Monosit

: 1.1% : 0.2% : 67.2% : 24.2% : 7.3%

CT BT Masa pembekuan : 6’00’’ Masa perdarahan : 1’30’’ KIMIA KLINIK Gula Darah Sewaktu: 170 mg/dL Ureum : 34.6 mg/dL Kreatinin : 0.99 mg/dL IMUNOLOGI HbsAg Anti HIV

: non reaktif : non reaktif

3

3. Spirometri FVC (%pred) : 52 FEV 1.0 (%pred) : 65 FEV 1.0/FVC (%) : 73 Interpretasi : obstruksi E. Diagnosis Status fisik ASA III pada pasien soft tissue tumor multiple dengan tindakan general anastesia. ASESMEN PRA OPERASI Subyektif :  RPS : Benjolan di lengan kiri dan selakangan kanan  RPD : Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)  RPK : Riwayat operasi : Kebiasaan sehari-hari : terbatas  Obat-obat yang dikonsumsi : Obyektif

:

     

Pemeriksaan fisik : Geriatri Pemeriksaan penunjang : EKG : RBBB Asesmen : ASA III, malampati II Rencana anastesi : Umum Daftar masalah : Geriarti dan PPOK Saran persiapan operasi : Puasa, premedikasi, rongten thorax, konsultasi spesialis paru F. Penatalaksanaan 1. Terapi awal  Injeksi Ampisilin 1 gram IV  Premedikasi : Nebulisasi Ventolin-Pulmicort 1 : 1 pada pukul 21.00 dan 07.00 2. Pra operasi Rencana akan dilakukan operasi eksisi pada tanggal 28 November 2018 Puasa dimulai 8 jam sebelum operasi 3. Intra operasi Dilakukan operasi eksisi soft tissue tumor multiple dengan general anastesia pada tanggal 28 November 2018 pukul 09.30 Laporan anastesia a. b. c.

Jenis anestesi/risiko anestesi : Besar/besar Monitoring : Tekanan darah, Nadi, SpO2 TD : 120/70, N : 80x/ menit, RR : 16x/menit, T : 36.6, SpO2 : 99% Pra Induksi : BB 60 kg, ASA III, paru-paru dalam batas normal, jantung dalam batas normal 4

Premedikasi : - Midazolam 2.5 mg - Sulfas Atropin 0.25 mg - Fentanyl 100 mcg d. Inhalasi : LMA No. 4 e. Induksi : Oksigenasi ± 2 menit, recofol 70 mg f. Maintenance : Sevoflurance 2 vol% + N2O 2.5 l/ml + O2 2.5 l/m  napas diatur hingga muncul pernapasan spontan Cairan : Maintenance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100 ml Pengganti puasa (PP) : Lama puasa x M = 8 x 100 = 800 ml Stress operasi (SO : BB x konstanta operasi = 60 x 8 = 480 ml Jam pertama : M + ½ PP + SO = 100 + 400 + 480 = 980 ml Jam kedua dan ketiga : M + ¼ PP + SO = 100 + 200 + 480 = 780 ml Jam keempat dan seterusnya : M + SO = 100 + 480 = 580 ml g. Obat-obatan lain : Ondansetron 4 mg, Antrain 1 gram 4. Post operasi Operasi selesai  N2O dan sevoflurance diturunkan hingga 0 L  buang sisa gas campuran serta berikan O2 100%  lepas LMA  ruang pemulihan a. Ruang pemulihan Monitorining keadaan umum pasien (Aldrette score) Jika Aldrette score ≥ 8 maka pasien bisa keluar dari ruang pemulihan b. Perawatan di ruangan - Pengawasan tekanan darah/nadi/pernapasan setiap 15 menit pada 2 jam pertama. - Program cairan : infus Ringer Laktat 20 tpm - Program analgesik : Injeksi Antrain 1 gram setiap 8 jam - Catatan khusus : Pasang O2 nasal kanul sampai pasien sadar penuh dan apabila tidak mual dan muntah maka diet (+)

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan – perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel, dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru – paru terhadap partikel atau gas berbahaya. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. B. Faktor Risiko 1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a. Riwayat merokok - Perokok aktif - Perokok pasif - Bekas perokok b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan : 0-200 - Sedang : 200-600 - Berat : >600 2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja 3. Hipereaktivitas bronkus 4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang 5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

6

C. Patogenesis Perubahan patologi PPOK mencakup saluran napas besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan respon saluran nafas normal terhadap respon inflamasi kronik dan persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut dan mempertahankan inflamasi pada lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular). Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Hipoksemia, disfungsi endotel dan hipertropi dan hiperplasi otot polos arteri pulmonalis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. D. Diagnosis 1) Gambaran Klinis a. Anamnesis - Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan - Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja - Riwayat penyakit emfisema pada keluarga - Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara - Batuk berulang dengan atau tanpa dahak - Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

7

b. Pemeriksaan fisik PPOK dini umumnya tidak ada kelainan  Inspeksi : - Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) - Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai - Penampilan pink puffer atau blue bloater • Palpasi : Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar • Perkusi : Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah  Auskultasi : - Suara napas vesikuler normal, atau melemah - Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa - Ekspirasi memanjang - Bunyi jantung terdengar jauh Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing Blue bloater Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer Pursed - lips breathing Sikap bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 pada gagal napas kronik. c. Pemeriksaan penunjang - Pemeriksaan rutin 1. Faal paru  Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP - Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % - VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. 8

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%  Uji bronkodilator - Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. - Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml - Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. 2. Darah rutin : Hemoglobin, Hematokrit, leukosit 3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :  Hiperinflasi  Hiperlusen  Ruang retrosternal melebar  Diafragma mendatar  Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance) Pada bronkitis kronik :  Normal  Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus - Pemeriksaan khusus (tidak rutin) 1. Faal paru - Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat - DLCO menurun pada emfisema - Raw meningkat pada bronkitis kronik - Sgaw meningkat - Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % 2. Uji latih kardiopulmoner - Sepeda statis (ergocycle) - Jentera (treadmill) - Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal 3. Uji provokasi bronkus : Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus. 4. Uji coba kortikosteroid : Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednisone atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator

9

> 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. 5. Analisis gas darah : digunakan untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal napas kronik 6. Radiologi - CT - Scan resolusi tinggi - Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos - Scan ventilasi perfusi - Mengetahui fungsi respirasi paru 7. Elektrokardiografi : mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. 8. Ekokardiografi : Menilai fungsi jantung kanan 9. Bakteriologi : pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. 10. Kadar alfa-1 antitripsin : kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. 2) Klasifikasi RINGAN - Tidak ada gejala waktu istirahat atau bila latihan - Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi gejala ringan pada latihan sedang (misal : berjalan cepat, naik tangga) - VEP > 80% prediksi - VEP/KVP <75% SEDANG - Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi mulai terasa pada latihan / kerja ringan (mis : berpakaian) - Gejala ringan pada istirahat - VEP 30 - 80% - prediksi VEP/KVP < 75% BERAT - Gejala sedang pada waktu istirahat - Gejala berat pada saat istirahat - Tanda-tanda korpulmonal - VEP1<30% - Prediksi VEP1/KVP < 75%

10

E. Penatalaksanaan 1. Edukasi Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.. 2. Obat – obatan a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting). Macam - macam bronkodilator : - Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari). - Golongan agonis beta - 2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. - Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. - Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. b. Antiinflamasi Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. 11

c. Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : - Lini I : Amoksisilin dan Makrolid - Lini II : Amoksisilin-asam klavulanat, Sefalosporin, Kuinolon, dan Makrolid Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih: - Amoksilin dan asam klavulanat - Sefalosporin generasi II, III, dan per injeksi - Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas atau Kuinolon per injeksi - Aminoglikosida per injeksi d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-setilsistein. Diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi sering, tidak rutin. e. Mukolitik dan antitusif Hanya diberikan pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaika, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. II. General Anastesi A. Definisi General anastesia atau anestesi umum adalah tindakan anastesi yang dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversibel. Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obatobatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan/refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness). Tiga pilar anastesi umum meliputi : hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau mengantuk/tenang, analgesia atau tidak merasakan sakit, dan relaksasi otot yaitu kelumpuhan otot skelet. Umumnya kombinasi anastetik yang digunakan untuk anastesi umum akan mengakibatkan gejala sebagai berikut: 1. Tidak berespon terhadap rangsangan yang menyakitkan 2. Tidak dapat mengingat apa yang terjadi (amnesia anterograd) 3. Depresi atau tidak mampu mempertahankan proteksi alan napas yang memadai hingga ketidakmampuan melakukan ventilasi spontan akibat kelumpuhan otot 4. Depresi kardiovaskular sehingga cenderung bradikardia dan hipoventilasi. Anastesi umum dapat diberikan secara parenteral (intravena, intramuskular), inhalasi (melalui isapan/gas), dan rectal (melalui anus). Metode pemberian rektal sudah jarang digunakan.Faktor – faktor yang mempengaruhi kerja anastetik diantaranya adalah faktor respirasi, sirkulasi, dan jaringan. 12

B. Stadium Anastesi Saat dilakukan anastesia, seseorang akan memasuki stadium anastesia melalui beberapa tahap. Tahapan anastesia menurut eter. Guedel (1920) mebagi anastesi umum dalam 4 stadium yaitu : 1. Stadium 1 (analgesia/disorientasi) : stadium ini dimulai dari pemberian anestetik sampai hilang kesadaran. Pada stadium ini, pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesia (hilangnya rasa sakit). Stadium ini berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu matayyang diketahui dengan meraba bulu mata. 2. Stadium II (eksitasi/delirium) : stadium ini dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernapasan tidak teratur/ irregular, pupil midriasis dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan hiakhiri dengan hilangnya reflek menelan sehingga dapat terjadi mual dan muntah, dan hilangnya refleks kelompak mata. 3. Stadium III (anestesia,pembedahan/operasi) : stadium ditandai dengan hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflek kelopak mata, dan dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan mudah. Stadium III dibagi menjadi 4 plana, yaitu : - Plana 1 : pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata involunter, pupil miosis, reflek cahaya ada, reflek faring dan muntah tidak ada, tonus otot mulai menurun. - Plana 2 : pernapasan teratur, spontan, perut – dada, frekuensi meningkat, bola mata terfiksir ditengah, pupil midriasis, reflek cahaya menurun, relaksasi sedang, reflek laring hilang sehingga dapat dilakukan intubasi. - Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut, pupil midriasi dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, lakrimasi (-), reaksasi otot hampir sempurna. - Plana 4 : pernapasan tidak teratur, pupil sangat midriasi, refleks cahaya hilang, lakrimasi (-), relaksasi otot sempurna. 4. Stadium IV (paralisis medula oblongata) : melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut nadi berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan. C. Persiapan Anastesi Umum Kunjungan pre-anastesia dilakukan untuk memeriksa pasien serta mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan dilakukan wawancara (anamnesis) untuk menanyakan identitas pasien termasuk tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi, kapan terakhir kali makan, riwayat anastesi sebelumnya, riwayat alergi, riwayat penyakit sistemik, jantung, saluran napas, serta riwayat atau kebiasaan merokok. Selanjutnya, pemeriksaan kedaan gigi geligi, tindakan buka mulut, memeriksa ukuran lidah, dan leher pendek serta pemeriksaan rutin inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi paru – paru dan jantung. Selain itu, harus memperhatikan hasil pemeriksaan penunjang baik laboratorium (hemoglobin, leukosit, masa perdarahan dan masa 13

pembekuan darah, serta urinalisis) dan pada pasien diatas usia 50 tahun dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EKG dan foto thoraks. Hasil kunjungan tersebut digunakan untuk menilai kebugaran pasien yang selanjutnya diklasifikasikan menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA). : ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat. ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain, tidak ada keterbatas fungsional, memiliki penyakit yang terkendali dengan baik; hipertensi terkontrol/ diabetes tanpa efek sistemik, merokok tanpa PPOK, obesitas ringan, dan kehamilan. Contohnya: pasien batu ureter dengan hipertensi terkontrol. ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab, terdapat keterbatasan fungsional, memiliki lebih dari satu penyakit sistemik, tidak ada bahaya kematian: gagal jantung kongestif terkontrol, angina stabil, hipertensi tidak terkontrol, obesitas morbid, gagal ginjal kronis, penyakit bronkospastik. Contohnya: pasien appendicitis perforasi dengan sepsis. ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat, tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat. Memiliki kemungkinan resiko kematian: angina tidak stabil, PPOK bergejala, CHF bergejala, dan kegagalan hepatorenal. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan meninggal tidak akan lebih dari 24 jam. Resiko kematian besar: sindrom sepsis, hipotermi, dan koagulopati tidak terkontrol. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatic. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE. Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung karena regurgitasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik. Pada kunjungan pra-anastesi, lakukan penilaian untuk mengetahui kesulitan intubasi, dapat dilakukan pengukuran klasifikasi Mallampati dengan cara pasien diminta untuk membuka mulut dan posisi duduk. Klasifikasi Mallampati meliputi: Kelas I : Pallatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas Kelas II : Pallatum molle, fauces dan sebagian uvula terlihat Kelas III : Pallatum molle dan dasar uvula saja yang terlihat Kelas IV : Hanya terlihat langit – langit

14

Gambar : Klasifikasi Mallampati Prediksi kesulitan juga dapat dilihat dari: - Pasien obesitas dengan leher pendek - Keterbatasan gerakan leher (kurang dari 15) - Pengurangan gerak tyromental joint - Residing mandibula - Jarak thyromental kurang dari jam (<6.5 cm) D. Premedikasi Premedikasi merupakan pemberian obat – obatan sebelum induksi anesthesia dengan tujuan agar pasien dalam kondisi optimal untuk dilakukan anastesia diantaranya pemberian obat sedasi, anti muntah, analgesik, dan parasimpatolitik/ antisekresi. Pemberian premedikasi yang paling sering digunakan pada anestesi : a. Analgesik opioid adalah fentanyl dengan dosis 1 – 2 mcg/kgBB i.v, dosis 2 – 20 mcg/kgBB i.v sebagai tambahan anestesia inhalasi. Penggunaan fentanyl sebagai analgesik preoperatif dapat mengurangi dosis opioid yang digunakan sebagai analgesik postoperatif. b. Obat sedasi yaitu midazolam dengan dosis 0.01 – 0.1 mg/kgBB dapat mememberikan efek sedasi dan menyebabkan amnesia antergrad yang cukup kuat. c. Parasimpatolitik merupakan golongan obat antikolinergik dan antimuscarinik yang bekerja dengan cara menghambat neurotransmitter asetilkolin sehingga dapat meningkat denyut jantung, mengurangi sekresi mucus, menurunkan peristaltik, meningkatkan retensi urin, dan menyebabkan midriasis. Obat golongan parasimpatolitik yang sering digunakan untuk premedikasi adalah sulfas atropin dengan dosis 0.25 – 1 mg. E. Teknik anastesia umum dan managemen saluran napas Pada penatalaksanaan anastesi umum yang membuat pasien tertidur/ hipnosis, maka jalan napas harus selalu mendapatkan ventilasi dan oksigenasi. Managemen jalan napas pada pasien yang teranastesi umum menggunakan peralatan sebagai berikut: 1. Sungkup muka (face mask) Ventilasi dengan sungkup digunakan untuk memberikan bantuan pernapasan pada pasin. Teknik ini digunakan untuk tindakan yang singkat (kira – kira ½ - 1 jam) dengan keadaan umum baik (ASA I dan II) dan lambung dalam keadaan kosong yang telah disiapkan dengan puasa 6 – 8 jam. Pengupayaan lambung kosong ini bertujuan untuk mengurangi resiko refluks/ regurgitasi yang dapat menyebabkan aspirasi ke 15

sistem pernapasan. Cara memegang sungkup muka dengan menggunakan tangan yang tidak dominan, tangan satunya memegang bellow (balon pompa pernapasan). 2. Laringeal Mask Airway (LMA) Managemen jalan napas dengan LMA dengan cara memasukkan LMA ke dalam hipofaring. Teknik ini dapat mengurangi resiko aspirasi dan regurgitasi dibandingkan jika menggunakan facemask. LMA juga dapat digunakan apabila kesulitan melakukan intubasi. Cara pemasangan LMA diawali dengan oksigenasi menggunakan sungkup muka, kemudian LMA yang sudah diberi pelicin (jelly) dimasukkan ke hipofaring lalu digembungkan dengan spuit dan difiksasi dengan plester. 3. Intubasi endotrakea a. Intubasi dengan napas spontan Intubasi endotrakea adalah prosedur memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotracheal tube) ke dalam trakea melalui oral atau nasal. Indikasi : operasi lama/ ventilasi mekanik jangka panjang, sulit mempertahankan jalan napas (operasi di bagian leher dan kepala), mencegah aspirasi, membantu mengisap sekret, mengatasi obstruksi laring, operasi dengan posisi miring atau tengkurap. Prosedur pemasangan ET diawali dengan oksigenasi seperti pada prosedur face mask, namun pada intubasi diperlukan tambahan obat pelumpuh otot. Setelah ET terpasang, maka dilakukan pemberian bantuan pernapasan dan dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi menggunakan obat hipnotik gas atau cair. Prosedur : 1. Persiapkan alat STATICS (stetoskop, laringoskop; tube; airway; tape, intoducer; connector; spuit, dan suction). 2. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap. 3. Induksi sampai tidur, berikan pelumpuh otot → fasikulasi (+) 4. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1-2 menit atau saturasi oksigen 100% 5. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka 6. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri 7. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus ) 8. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar ) 9. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah 10. Masukan ET melalui rima glottis 11. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi

16

b. Intubasi dengan napas kendali Teknik ini sama dengan intubasi dengan napas spontan, namun menggunakan pelumpuh otot berdurasi menengah hingga panjang. Pasien sengaja dilumpuhkan/ benar – benar tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol pernapasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 kali/ menit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya. F. Obat – obat Anestesia Anestesi umum menggunakan beberapa anastetik termasuk dalam hipnotik, sedatif, analgesik, dan pelumpuh otot 1. Hipnotik Golongan obat ini akan menimbulkan tidur yang ringan. Golongan hipnotik ini dapat berupa gas dan cairan. Untuk jenis gas memerlukan mesin anastesi untuk diberikan kepada pasien dengan cara dihirup melalui sungkup muka. Obat hipnotik cairan yang diberikan melalui intravena dapat juga digunakan sebagai sedatif. Semua obat hipnotik mempunyai efek depresi miokardium dan respirasi kecuali ketalar. a. Obat hipnotik gas (votile) - Halotan : senyawa alkana yang terhalogenasi, tidak mudah terbakar dan meledak. Penggunaan halotan menyebabkan depresi miokardium sehingga menurunkan aliran darah. Penurunan aliran darah ini menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus sehingga menurunkan bersihan obatobtan yang dimetabolisme di hepar. Halotan merupakan bronkodilator yang kuat dan cocok digunakan untuk pasien dengan riwayat asma bronkial. - Isoflurance : senyawa ini mudah terbakar dan memiliki bau yang sedikit menyengat. Isofluran sedikit menudepresikan miokardium dan merupakan vasodilator kuat arteri koronaria. Sifat ini menimbulkan perdebatan kemungkinan terjadinya stealing phenomenon, terjadi dilatasi arteri koronaria secara tiba – tiba dan menyebabkan darah di area iskemik keluar sehingga menambah lesi iskemik. Isofluran menurunkan kebutuhan oksigen untuk dimetabolisme di otak. Pada konsentrasi diatas 2 Minimum Alveolar Concentration (MAC) menghasilkan gelombang elektroensefalogram tenang. MAC merupakan konsentrasi gas anastesi dalam alveolus yang mencegah pergerakan pada 50% pasien diberi stimulasi bedah standar. Isoflurance cocok untuk penderita gangguan fungsi ginjal karena bersifat nefrotoksik rendah. - Sevoflurance : senyawa yang dikenal dengan obat untuk single breath induction yaitu dalam sekali tarikan napas dapan membuat pasin terinduksi/ tertidur dan otot rangka lemas sehingga memudahkan intubasi. Senyawa ini cocok untuk anak – anak dan dewasa. Efek induksi cepat ini disebabkan oleh mudahnya mencapai konsentrasi tinggi di alveolus. 17

Kelarutan dalam darah rendah sehingga pasien cepat bangun apabila obat ini dihentikan. Agen anestesi inhalasi ini memiliki efek bronkodilator yang diperantarai dengan pengaturan aktivitas channel kalsium melalui peningkatan siklik AMP dan penurunan konsentrasi kalsium intraseluler sehingga dapat menyebabkan relaksasi otot. Sevoflurance dan isoflurance secara luas digunakan untuk anastesi pada pasien PPOK. Menurut penelitian, efek bronkodilator pada sevoflurance dan isoflurance lebih menonjol pada saluran pernapasan perifer serta mampu menurunkan resistensi jalan napas. - Dinitrogenoksida (N2O) : senyawa gas anorganik yang berfungsi sebagai analgesik. Sifat analgesiknya setara dengan 5 mg morfin pada konsentrasi 20%. Kelarutan dalam darah rendah sehingga dapat menyebabkan emboli udara dan mengisi ruang – ruang tubuh sehingga harus digunakan secara hati – hati pada pasien pneumothoraks. Pemberian N2O dihentikan dulu sebelum menghentikan penggunaan oksigen sehingga tidak terjadi apneu akibat dinitrogen oksida. b. Obat hipnotik cair (non votile) - Propofol : merupakan induksi intravena yang paling sering digunakan yang bekerja dengan cara menghambat kerja neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bersifat tidak larut dalam air sehingga dibuat dalam sediaan emulsi berwarna putih susu. Pasien biasanya mengeluh nyeri saat penyuntikan ini. Waktu paruh pendek yaitu 2 – 8 menit sehingga induksi dengan propofol berlangsung dengan onset dan durasi yang cepat. Dosis induksi sebesar 1 – 2.5 mg/ kgBB melalui intravena. Propofol memiliki efek bronkodilatasi sehingga dapat mencegah peningkatan resistensi jalan panas dan bronkospasme selama intubasi endotrakeal dengan mekanisme memperantarai nervus vagus untuk relaksasi otot – otot saluran pernapasan. Menurut Yamakage, et al., propofol merupakan obat anestetik pilihan pada pasien PPOK yang diberikan secara intravena. - Ketamin : senyawa ini memiliki sifat kerja disosiatif yaitu sebagaian neuron terinhibisi dan sebagian teraktifkan. Secara klinis, keadaan ini menyebabkan pasien masih sadar (misalnya membuka mata, menelan, dan kontraksi otot), tetapi tidak dapat memproses dan merespon masukan sensoris. Dosis pemberian ketamin melalui intravena/ intramuscular 1 – 2 mg/kg BB i.v dan 3 – 5 mg/kgBB i.m. Ketamin memiliki efek meningkatkan kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah dan cardiac output, dan takikardi. Efek samping yang sering terjadi berupa halusinasi dan delirium. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian benzodiazepin. Pemberian ketamin pada pasien PPOK dapat memberikan

18

dampak bronkodilatasi, namun ketamin dapat meningkatkan sekresi mukus pada saluran napas. - Midazolam : golongan benzodiazepin yang digunakan untuk sedasi dengan dosis 0.01 – 0.1 mg/kgBB. Dosis untuk induksi sebesar 0.1 – 0.4 mg/kgBB. Onset midazolam relatif lebih lama dibandingkan propofol. Midazolam sangat kecil mempengaruhi sistem kardiovaskular dan memiliki amnesia antegrad yang kuat. 2. Sedatif Obat sedatif memberikan efek kantuk dan tenang pada pasien. Pasien yang terpapar obat ini akan merasa tenang, mengantuk, dan dapat menjadi tidur, serta melupakan kejadian yang dialami selama tersedasi (amnesia anterograd). Contoh obat sedasi yang sering dipakai adalah midazolam dan diazepam. Midazolam merupakan obat sedatif yang memiliki efek amnesia kuat. 3. Analgesik Ada 2 jenis analgesik yang dipakai yaitu gologan NSAID (nonsteroid antiinflamatory drug) dan opioid. Golongan NSAID sering digunakan untuk mengatasi nyeri postoperatif. Cara kerja obat golongan ini adalah dengan mencegah pembentukan prostaglandin. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah parasetamol, ketorolac, dan natrium diclofenac. Analgesik opioid memiliki sifat analgesik yang kuat untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Contoh obat – obatan golongan opioid adalah morfin, petidin, tramadol, fentanyl dan sufenta. Fentalyl merupakan opioid dengan daya analgesik terkuat yang dapat juga menyebabkan kekuatan otot (rigiditas). Opioid selain digunakan untuk sebagai agen analgesik, pemberian opioid dapat menurunkan refleks batuk dan mempermudah mencapai kondisi anastesi dalam. Namun, pemberian jangka panjang tidak disarankan karena menyebabkan depresi pernapasan postoperatif. Semua opioid melepas histamin, namun fentanyl aman untuk pasien dengan obstruksi jalan napas. Pemberian fentanyl pada pasien PPOK diharapkan dapat mencegah peningkatan resistensi jalan napas dan kekakuan otot yang disebabkan oleh pemberian opioid dapat menurunkan compliance paru, functional residual capacity (FRC), dan memperbaiki ventilasi. Kekakuan otot selama pemberian opioid dapat dikombinasikan dengan pemberian pelumpuh otot. 4. Pelumpuh otot (muscle relaxan) Pelumpuh otot digunakan untuk membantu proses pemasangan ET atau intubasi. Pelumpuh otot terdiri atas pelumpuh otot nondepolarisasi seperti rokuronium, atrakurium, venkurium, pavulon, dan pelumpuh otot depolarisasi seperti suksinil kolin. Golongan depolarisasi menyebabkan pasien mengalami faskulasi atau gerakan seperti kejang. Pelumpuh otot yang sering digunakan adalah jenis yang onsetnya cepat yaitu rokuronium/ atrakurium (1.5 menit) dan doxacurium (5 menit). Saat ini yang paling sering digunakan adalah atrakurium dengan dosis 0.5 mg/kgBB. 19

III. Managemen Anestesi pada pasien PPOK Managemen anastesi yang baik khususnya managemen perioperatif pada pasien PPOK dapat mengurangi angka kejadian postoperatif pulmonary complications (PPCs). 1. Persiapan preoperatif pasien PPOK Faktor resiko terjadinya PPCs pada pasien PPOK dapat diturunkan dengan evaluasi dan optimalisasi keadaan preoperatif yang memadai. Evaluasi keadaan preoperatif meliputi pemeriksaan keadaan fisik umum (riwayat penyakit paru, jantung, dan neurologik), uji fungsi paru dengan spirometri, elektrokardiogram untuk menyingkirkan penyakit jantung iskemik (tidak rutin untuk PPOK stabil), dan rontgen thorax untuk menyingkirkan adanya infeksi di saluran napas bawah dan keganasan. Pengoptimalan keadaan preoperatif pada pasien PPOK meliputi berhenti merokok, memperbaiki fungsi paru dengan bronkodilator dan kortikosteroid, fisioterapi dada preopretif, dan latihan pernapasan dalam. Evaluasi dan optimalisasi keadaan preoperatif pada pasien dengan PPOK ditujukan untuk memperbaiki hipoksemia, menghilangkan bronkospasme, mengurangi sekresi, dan mengobati infeksi. Pasien dengan risiko terbesar komplikasi adalah mereka dengan fungsi paru preoperatif kurang dari 50% dari prediksi. Menurut penelitian, angka kejadian PPCs meningkat pada pasien yang ditemukan wheezing pada pemeriksaan keadaan preoperatif, sehingga perlu diterapi dengan bronkodilator inhalasi dan steroid sistemik sebelum dilakukan operasi. Merokok dapat meningkatkan resiko PPCs. Merokok dapat meningkatkan resiko pneumonia, perawatan lama di ICU, dan penggunaan ventilasi mekanik dalam jangka waktu lama. Menurut Edrich dan Nicholas, berhenti merokok menunjukkan perbaikan fungsi paru. Berhenti merokok secara signifikan dapat menurunkan resiko PPCs apabila pasien mulai berhenti merokok selama 4 minggu sebelum tindakan operasi. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa berhenti merokok bermanfaat apabila dimulai setidaknya 8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi sekresi dan komplikasi paru. Adanya malnutrisi pada pasien dengan kadar albumin rendah (< 3.5 mg/dl) merupakan salah satu prediktor PPCs. Hasil observasi prospektif menunjukkan bahwa pasien geriatri yang menjalani operasi bedah thorax mengalami kebocoran udara tujuh kali lipat lebih lama. Namun, dampak tersebut belum terbukti pada pasien dengan operasi non cardiothorak. 2. Perioperatif Tujuan utama dari anastesi pada pasien PPOK adalah untuk mempertahankan oksigenasi dan ventilasi serta meminimalisir manipulasi pada jalan napas untuk mencegah PPCs. Pemilihan jenis anastesi yang digunakan tergantung dari keadaan pasien, jenis dan durasi operasi. Anastesi umum dan intubasi endotrakeal dapat meningkatkan morbiditas. Namun, menurut Gruber dan Tschernko, jenis anastesi tidak memiliki dampak yang besar terhadap mortalitas dan mordibitas. Berdasarkan hal 20

tersebut, regional anastesi merupakan pilihan yang cukup populer untuk pasien dengan PPOK. Berdasarkan penelitian, regional anastesi dapat menurunkan angka kejadian PPCs sebanyak 50% akibat bronkospasme, spasme laring, hipoksemia dan barotrauma yang dapat terjadi pada anastesi umum. Anestesi umum dengan menggunakan Laryngeal Mask (LMA) lebih dipertimbangkan pada pasien PPOK untuk mencegah terjadinya iritasi pada saluran napas atas dan bronkospasme. Namun, apabila direncanakan untuk dilakukan tindakan intubasi, sebaiknya diberikan inhalasi agonis β2-adrenergik atau lidokain (inhalasi atau i.v) preoperatif. Penelitian menunjukkan bahwa lidokain i.v dengan dosis 1 – 2 mg/ kgBB dapat melemahkan bronkokontriksi pada pasien asma dan COPD sedangkan lidokain inhalasi dapat mengurangi reaktivitas bronkus. Tambahan pemberian opioid sebelum intubasi juga dapat memperdalam efek anastesi dan mengurangi reaktivitas jalan napas. Agen anestetik non-volatile pilihan yang lebih sering digunakan adalah propofol dan ketamin, sedangkan barbiturate dihindari karena dapat merangsang bronkospasme. Agen anastetik volatile dengan efek bronkodilatasi direkomendasikan untuk memelihara kedalaman anestetik adalah sevoflurance dan isoflurance, sedangkan desflurance dapat menimbulkan batuk, bronkospasme, spasme laring dan hipersekresi bronkus. Penggunaan muscle relaxan (rokuronium dan atrakurium) pada intubasi untuk menjaga kedalaman blokade neuromuskular harus dikembalikan sebelum dilakukan ekstubasi dengan pemberian inhibitor kolinesterasi (prostigmine). Managemen ventilasi selama anastesi umum ditujukan untk mengurangi hiperinflasi dinamik, intrinsic positive end expiratory pressure (PEEPi) dan air trapping. Dampak buruk dari adanya air trapping adalah hipotensi, barotrauma dan volume trauma pada paru, hiperkapnia, dan asidosis. Langkah – langkah yang dapat digunakan untuk mengurangi air trapping adalah menggunakan volume tidal yang kecil, menurunkan frekuensi napas, dengan lebih banyak waktu untuk ekspirasi. Mempersingkat waktu inspirasi akan meningkatkan puncak aliran inspirasi sehingga dapat menfasilitasi ventilasi pada semua alveolus. Penerapan PEEP eksternal menunjukkan penurunan usaha pernapasan spontan pada pasien dengan mode ventilasi. Selama napas kendali, PEEP lebih rendah atau sama dengan PEEPi, dan tidak ditemukan adanya peningkatan pada tekanan alveolus. Penelitian menunjukkan adanya pengurangan pendataran tekanan akhir inspirasi dengan menerapkan PEEP pada pasien PPOK, dan mengurangi air trapping. Masalah yang dapat muncul selama operasi adalah bronkospasme akibat iritasi jalan napas yang ditandai dengan ekspirasi memanjang, wheezing, dan penurunan suara dasar paru; auto positive end expiratory pressure (PEEP); ketidakstabilan hemodinamik; dan atelektasis.

21

3.

Pascaoperatif Pemantauan dilakukan recovery room atau ICU diharapkan mampu memberikan intervensi secara tepat waktu untuk mencegah komplikasi terjadinya gagal napas karena air trapping, ketidakadekuatan bersihan sekret saluran napas, dan penurunan pernapasan karena efek analegesik narkotik. Hipoksemia pascaoperatif dapat juga terjadi akibat depresi pernapasan dan penurunan kapasitas vital paru akibat pirau dan atelektasis. Keadaan ini dapat diperberat dengan menurunnya rangsang napas akibat penurunkan kadar CO2 dan penutupan saluran napas. Pasien seperti ini memerlukan pemantauan ketat dengan pulse oxymetry, analisis gas darah, dan pemeriksaan fisik serta radiologis berulang. Suplementasi O2 hingga saturasi mencapai diatas 90% merupakan pilihan yang bijaksana dan aman. Analgesik pascaoperatif yang efektif menentukan signifikansi perbaikan fungsi faal paru. Kombinasi analgesia epidural dan lokal merupakan pilihan yang direkomendasikan karena dapat mengurangi risiko kegagalan pernafasan akibat sedasi yang berlebihan dari opioid. Namun, harus dipertimbangkan sesuai dengan prosedur pembedahan. Golongan analgesik lain yang sering dipakai adalah Nonsteroid Antiinflammatory Drugs (NSAIDs) secara intravena. Hal yang paling penting dalam pemilihan analgesik adalah untuk meningkatkan efek analgesik, menurunkan toksisitas opioid, dan tidak menyebabkan depresi pernapasan.

22

BAB III PEMBAHASAN

Berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, diperoleh gambaran mengenai status pasien. Status fisik preanastesi termasuk dalam kategori ASA III, yaitu pasien memiliki riwayat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) stabil. Berdasarkan status fisik pasien dan jenis operasi eksisi pada soft tissue tumor multiple pada lengan kiri dan selakangan kanan adalah general anestesi dengan menggunakan LMA. Tindakan preoperatif yang diberikan oleh dokter spesialis paru adalah nebulasi ventolin: pulmicort 1:1 pada pukul 21.00 dan 07.00. Tindakan ini merupakan pengobatan profilaksis untuk mencegah terjadinya bronkospasme, menurunkan reaktivitas jalan napas, dan menurunkan angka kejadian PPCs. Tindakan intraoperatif anastesi dimulai dengan persiapan alat dan obat-obatan yg diperlukan untuk tindakan anastesi. Setelah itu, pasien diberikan obat – obatan premedikasi yaitu midazolam 2.5 mg, fentanyl 100 mcg, dan sulfas atropine 0.25 mg. Pasien diberikan oksigen melalui sungkup (facemask). Selanjutnya, pemberian obat induksi dengan propofol 70 mg melalui intravena dan periksa reflek bulu mata dan gerakan dinding dada disertai dengan pemberian oksigenasi selama 1 – 2 menit. Kemudian gerakkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri. Selanjutnya, ekstensikan kepala dengan menggunakan tangan kanan, dan pasang LMA ukuran No. 4 dengan menggunakan tangan kiri, lalu fiksasi LMA dan lanjutkan dengan bagging hingga pasien bernapas spontan. Selama operasi pasien diberikan obat ondansetron 4 mg dan antrain 1 gram. Ondansetron merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diberikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah selama dan pasca bedah. Ondansetron diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah yang dapat menyebabkan aspirasi. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus merangsang reflex muntah dan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Sedangkan antrain merupakan obat golongan nonsteroid antiinflamatory drugs (NSAID) yang bekerja sebagai analgesik. Antrain mengandung metimazol 500 mg/ml yang bekerja dengan menghambat prostaglandin di sistem saraf pusat. Setelah operasi, pasien diantar ke recovery room untuk dilakukan observasi dan penilaian kelayakan keluar dari recovery room. Pemantau tanda vital terus dilakukan hingga syarat aldrette score terpenuhi.

23

BAB IV KESIMPULAN

Anastesi umum merupakan tindakan anastesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversibel. Komponen dalam anastesi umum antara lain hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot. Fase tindakan anastesi umum adalah premedikasi, induksi, dan pemeliharaan/ maintenance. Indikasi anestesi umum adalah pasien bayi dan anak, pembedahan pada saluran napas, pembedahan luas dan lama, penderita gangguan jiwa, pasien dengan riwayat alergi anestesi lokal, dan pasien dengan pengobatan antikoagulan. Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum melipuri dekompresi kordis derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glumerulonefritis akut. Pemilihan anestesi umum dengan bantuan Laryngeal Mask Airway (LMA) pada pasien ini berdasarkan pada kondisi fisik pasien dengan PPOK stabil dan jenis operasi eksisi pada lengan kiri dan selakangan kanan dengan durasi operasi selama ± 20 menit. Pencegahan efek bronkokontriksi dan resistensi jalan napas pada pasien dilakukan tindakan pemberian nebulasi ventolin : pulmicort 1:1 sebelum tindakan operasi. Pasca operasi, pasien dalam kondisi stabil, dirawat di bangsal.

24

DAFTAR PUSTAKA

Anthonisen N. 2007. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Di dalam: Goldman L dan Ausiello D. Cecil Medicine. Philadelphia Elsevier. Boon NA, Cumming AD, John G. 2007. Respiratory Disease. Davidson’s Principles & Practice of Medicine, edisi XX. USA: Churchill Livingstone Duggappa, D. R., Rao, G.V., Kannan, S. 2015. Anesthesia for Patient with Chronic Obstructive Pulmonary

Disease.

Indian

Journal

of

Anasthesia.

59

(9):

574



583.

http://www.ijaweb.org/article.asp?issn=00195049;year=2015;volume=59;issue=9;spage=574;ep age=583;aulast=Duggappa;aid=IndianJAnaesth_2015_59_9_574_165859

diakses

pada

9

Desember 2018 pukul 01.00 Edrich, T dan Sadovnikoff, N. 2010. Anesthesia for patients with evere chronic obstructive pulmonary disease. Curr Opin Anaesthesiol 23:18–24. Lippincott Williams & Wilkins Gruber dan Tschrenko. 2003. Anaesthesia and postoperative analgesia in older patients with chronic obstructive pulmonary disease: special considerations. Abstract. 20(5): 347-360 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12696995 diakses pada 9 Desember 2018 pukul 3.24 Lieker, M., et al. 2007. Perioperative medical management of patients with COPD. International Journal of COPD. 2(4) : 493 - 515 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta Pramono, A, dr. 2014. Buku kuliah Anastesi. LP3M Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Yamakage, M., et al. 2008. Guideline-oriented perioperative management of patients with bronchial asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Journal of Anesthesia. 22:412–428 DOI 10.1007/s00540-008-0650-2

25

More Documents from "Rahma Wati"