Presus Dr Hard Fixed (coba Diliat Lagi Ya) (3).docx

  • Uploaded by: Ahmad Musafi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presus Dr Hard Fixed (coba Diliat Lagi Ya) (3).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,976
  • Pages: 73
PRESENTASI KASUS Gravida 3 Para 2 Abortus 0 Usia 28 Tahun Hamil 33 Minggu 5 Hari dengan Perdarahan Antepartum, Preeklampsia Berat dan Riwayat Sectio Caesarean 2x

Pembimbing : dr. Hardjono Purwadhi, Sp.OG

Disusun Oleh: Dyah Haning Sintyara

G4A015197

Gembong Satria Mahardhika

G4A016083

Husnan Mujiburrahman

G4A016084

Arny Arpianty

G4A016134

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2017

HALAMAN PENGESAHAN Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul : “Gravida 3 Para 2 Abortus 0 Usia 28 Tahun Hamil 33 Minggu 5 Hari dengan Perdarahan Antepartum, Preeklampsia Berat dan Riwayat Sectio Caesarean 2x”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Disusun Oleh : Dyah Haning Sintyara

G4A015197

Gembong Satria Mahardhika

G4A016083

Husnan Mujiburrahman

G4A016084

Arny Arpianty

G4A016134

Purwokerto, Juli 2017 Mengetahui, Dokter Pembimbing,

dr. Hardjono Purwadhi, Sp. OG

2

I. PENDAHULUAN Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan (Chalik, 2008). Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir. Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae, ablatio placentae, accidental haemorrhage, premature separation of the normally implanted placenta (Prawirohardjo, 2009) Menurut Chalik (2008) plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi, dan sering terjadi pada usia di atas 30 tahun. Uterus yang cacat juga dapat meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan angka kejadian plasenta previa berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9 %. Sedangkan di negara maju angka kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1 % yang mungkin disebabkan oleh berkurangnya wanita yang hamil dengan paritas tinggi. Kejadian plasenta previa terjadi kira-kira 1 dari 200 persalinan, insiden dapat meningkat diantaranya sekitar 1 dari 20 persalinan pada ibu yang paritas tinggi (Decherney et al, 2007). Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan. Frekuensi solusio plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%. Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Saat ini kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta merupakan penyebab 20-35% kematian perinatal (Suyono, 2007). Penelitian Cunningham di Parkland Memorial Hospital melaporkan 1 kasus dalam 500 persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (Cunningham, 2013).

3

Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan. Menurut Dutta (2004) komplikasi plasenta previa yang dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum yang dapat menimbulkan syok, kelainan letak pada janin sehingga meningkatnya letak bokong dan letak lintang. Selain itu juga dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Selama persalinan, plasenta previa dapat menyebabkan ruptur atau robekan jalan lahir, prolaps tali pusat, perdarahan postpartum, perdarahan intrapartum, serta dapat menyebakan melekatnya plasenta sehingga harus dikeluarkan secara manual atau bahkan dilakukan kuretase. Pada janin plasenta previa ini dapat mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan rendah, munculnya asfiksia, kematian janin dalan uterus, kelainan kongenital serta cidera akibat intervensi kelahiran. Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi pada ibu dapat berupa syok perdarahan, gagal ginjal, kelainan pembekuan darah dan apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire) sedangkan komplikasi solusio plasenta yang dapat terjadi pada janin berupa fetal distres, gangguan pertumbuhan/perkembangan, hipoksia dan anemia hingga kematian (Cunningham, 2013). Pembuatan presentasi kasus ini diharapkan mampu memberikan informasi serta sebagai bahan edukasi untuk penulis serta pembaca mengenai plasenta previa dan solusio plasenta serta komplikasinya (uterus couvelaire) mulai dari penegakkan diagnosis hingga tatalaksana.

4

II. LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN 1. Nama

: Ny. RI

2. Usia

: 28 tahun

3. Alamat

: Kedungwuluh 04/06 Purwokerto Barat

4. Waktu datang

: 05 Juli 2017

B. ANAMNESIS 1. Keluhan utama Keluar darah dari jalan lahir 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang sendiri ke VK IGD RSMS pukul 22.50 WIB (05/07/2017) dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir disertai prongkolprongkol pukul 21.45 WIB. Pasien mengeluhkan pusing (+). Pasien menyangkal nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-) dan pandangan kabur (-). Pasien

mengeluhkan

kenceng-kenceng

sejak

pukul

17.00

WIB

(05/07/2017), pengeluaran air ketuban (-), lendir (-), darah (-) dari jalan lahir. Tensi tinggi sejak hamil 6 bulan. 3. Riwayat Menstruasi a. HPHT

: 11/11/2016

b. HPL

: 18/08/2017

c. Usia kehamilan

: 33 minggu 5 hari

d. Lama haid

: 6 hari

e. Siklus haid

: teratur

f. Jumlah

: 2-3x ganti pembalut/hari

4. Riwayat Obstetrik Gravida 3 Para 2 Abortus 0 I à laki-laki/6th/SC a.i PEB/2100gr/RSUD Margono Soekarjo II à perempuan/20bln/SC a.i PEB, riwayat SC/2600gr/RS Dadi Keluarga III à hamil ini 5. Riwayat Pernikahan

5

Pasien menikah 1 kali, pernikahan sudah berlangsung 7 tahun 6. Riwayat ANC Pasien rutin melakukan kunjungan antenatal di bidan dan PKM. Tidak ada keluhan atau komplikasi selama melakukan kunjungan antenatal. Namun pada usia kehamilan 6 bulan pasien baru mengetahui tekanan darahnya mulai tinggi. 7. Riwayat Kontrasepsi Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi 8. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat hipertensi

: diakui, saat hamil pertama dan hamil kedua

b. Riwayat asma

: disangkal

c. Riwayat alergi

: disangkal

d. Riwayat kencing manis

: disangkal

e. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

f. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

g. Riwayat operasi

: diakui, SC 2x

9. Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat hipertensi

: disangkal

b. Riwayat alergi

: disangkal

c. Riwayat kencing manis

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

e. Riwayat penyakit kandungan: disangkal 10. Riwayat nutrisi Pasien mengaku sering mengonsumsi hidangan sayuran dan buah. Sehari-hari pasien mengonsumsi nasi putih dengan lauk-pauk yang dimasak sendiri. Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol. 11. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien berasal dari sosial ekonomi menengah, pasien adalah seorang ibu rumah tangga, suami pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Pasien menggunakan pembayaran BPJS non PBI. C. PEMERIKSAAN FISIK

6

1. Keadaan umum/kesadaran

: sedang/compos mentis

2. Tinggi badan

: 152 cm

Berat badan

: 62 kg

IMT

: 26,8 kg/m2

3. Vital sign Tekanan Darah

: 170/120 mmHg

Nadi

: 94 x/menit

Respiratory Rate

: 22 x/menit

Suhu

: 36,60C

4. Pemeriksaan kepala Mata

: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edem

palpebra -/Hidung

: discharge (-/-), napas cuping hidung (-/-)

Mulut

: sianosis (-)

5. Pemeriksaan leher Tiroid

: tak ada kelainan

6. Pemeriksaan dada Cor

: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

: SD vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Dinding dada

: Simetris, ketinggalan gerak (-/-)

7. Pemeriksaan abdomen Dinding perut

: cembung gravid

Hepar/lien

: tidak teraba pembesaran

Usus

: bising usus (+) normal

8. Pemeriksaan ekstremitas : Edema -/-/+/+ 9. Pemeriksaan limphonodi: tak ada pembesaran kelenjar getah bening 10. Pemeriksaan reflek : reflek fisiologis (+), reflek patologis (-) 11. Pemeriksaan turgor kulit: capillary refill < 2 detik 12. Pemeriksaan akral : hangat +/+/+/+

D. PEMERIKSAAN LOKAL

7

1. Pemeriksaan Obstetri a. TFU

: 27 cm

b. Leopold 1

: Teraba bagian bulat lunak pada bagian fundus uteri, kesan

bokong c. Leopold 2

: Teraba tahanan memanjang pada bagian kiri ibu dan

teraba bagian kecil pada bagian kanan ibu d. Leopold 3

: Teraba bagian bulat keras kesan kepala

e. Leopold 4

: konvergen

f. TBJ

: 2325 gram

g. DJJ

: 121x/m, reguler

h. His

: (+) jarang

2. Pemeriksaan Genitalia a. Inspeksi Rambut pubis tersebar merata, edema vulva (-), benjolan (-), varises (-), fluor (-), perdarahan (+) b. Vaginal toucher Tidak dilakukan E. PERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Darah Lengkap, Kimia Klinik dan Pemeriksaan Urin Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan 06/07/2017 PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN DARAH NORMAL Darah Lengkap Hemoglobin 9,8 L 11.7-15.5 g/dL Leukosit 12430 H 3600-11000 U/L Hematokrit 30 L 35-47 % Eritrosit 3,6 L 3.8-5.2 10^6/uL Trombosit 113.000 L 150000-440000 /uL Kimia Klinik Ureum darah 25,4 14.98-38.52 mg/dL Kreatinin darah 0,62 0.55-1.02 mg/dL SGOT 42 H 15-37 U/L SGPT 35 14-59 U/L LDH 517 H 81-234 U/L GDS 95 ≤200 mg/dL PT 9,3 9,3-11,4 detik APTT 26,0 29,0-40,2 detik 8

Pemeriksaan urin Protein

1000

negatif

Tabel 2.2. Hasil Pemeriksaan 06/07/2017 PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN DARAH NORMAL Darah Lengkap Hemoglobin 7,6 L 11.7-15.5 g/dL Leukosit 25480 H 3600-11000 U/L Hematokrit 23 L 35-47 % Eritrosit 2,8 L 3.8-5.2 10^6/uL Trombosit 110.000 L 150000-440000 /uL Tabel 2.3. Hasil Pemeriksaan 07/07/2017 PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN DARAH NORMAL Darah Lengkap Hemoglobin 6,9 L 11.7-15.5 g/dL Leukosit 9750 H 3600-11000 U/L Hematokrit 22 L 35-47 % Eritrosit 2,5 L 3.8-5.2 10^6/uL Trombosit 68.000 L 150000-440000 /uL Tabel 2.4. Hasil Pemeriksaan 10/07/2017 PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN DARAH NORMAL Darah Lengkap Hemoglobin 8,4 L 11.7-15.5 g/dL Leukosit 9770 H 3600-11000 U/L Hematokrit 26 L 35-47 % Eritrosit 3,1 L 3.8-5.2 10^6/uL Trombosit 156.000 L 150000-440000 /uL F. DIAGNOSA KLINIK Gravida 3 Para 2 Abortus 0 Usia 28 Tahun Hamil 33 Minggu 5 Hari dengan Perdarahan Antepartum, Preeklampsia Berat, Riwayat Sectio Caesarean 2x G. TINDAKAN DAN TERAPI 1.

Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pasien mengenai penyakitnya dan rencana terapi atau tindakan yang akan diberikan

2.

Inj Kalnex 1g

3.

Injeksi dexamethasone 2x6mg

9

4.

Protap MgSO4 bolus 4g

5.

Inj Ketorolac 1amp

6.

Nifedipin 3x10mg

7.

Dopamet 3x500mg

8.

Konsul Sp.PD

9.

EKG

10. SC CITO H. FOLLOW UP IGD DAN BANGSAL Tabel 2.5. Catatan Perkembangan Pasien Hari,

Subjektif dan Objektif

Assessment

Planning

tangga l Rabu,

S: Pasien datang sendiri ke VK IGD

G3P2A0 Usia 28

- Cek Lab DL, PT, APTT,

05 Juli

RSMS pukul 22.50 WIB dengan

Tahun Hamil 33

urin lengkap, ureum,

2016

keluhan keluar darah dari jalan

Minggu 5 Hari

kreatinin,

lahir disertai prongkol-prongkol

dengan

elektrolit, GDS

Di VK

pukul 21.45 WIB. Pasien

Perdarahan

- O2 3lpm NK

IGD

mengeluhkan pusing (+). Pasien

Antepartum,

- IVFD RL 20tpm

Pukul

menyangkal nyeri ulu hati (-), mual

Preeklampsia

- Pasang DC

22.50

(-), muntah (-) dan pandangan

Berat, Riwayat

Lapor dr. Widi, instruksi:

kabur (-). Pasien mengeluhkan

Sectio Caesarean

kenceng-kenceng sejak pukul 17.00

2x

WIB (05/07/2017), pengeluaran air

-Inj Kalnex 1g -Inj Dexametason 2x6g -Inj Ketorolac 1amp -Nifedipin 10mg

ketuban (-), lendir (-), darah (-) dari

Lapor dr. Ika Sp.OG,

jalan lahir. Tensi tinggi sejak hamil

instruksi:

6 bulan.

-Inj Dexametason 2amp -Protab MgSO4 bolus 4g -Dopamet 3x500mg -Nifedipin 3x10mg -Konsul Sp.PD -EKG

O: TD: 170/120 N: 94 x/menit

BB: 152 kg TB: 62 cm

RR: 22 x/menit

LDH,

S: 36,6 C TFU 27cm, L1 bokong, L2 punggung kiri, L3 kepala, L4 konvergen, DJJ (+) 121x/menit Pukul

His (+), VT tidak dilakukan N: 98 x/menit

23.30

DJJ:120 x/menit

-Konsul Sp.PD (+)

10

Kamis,

His: (+) N: 98 x/menit

-Motivasi Keadaan Janin

06 Juli

DJJ:118-90 x/menit

Lapor dr, Ika Sp.OG,

2017

His: (+)

instruksi:

Pukul

-Siapkan SC cito

00.00

-Informed consent (+) -Motivasi

à

MOW

suami setuju via telepon -Konsul anestesi, acc dr. Tendi Sp. An Pukul

N: 98 x/menit

-Persiapan operasi -dr. Ika Sp.OG periksa

00.45

DJJ: 90 x/menit

-Motivasi

His: (+)

pasien

dan

keluar untuk keadaan janin dan ibu

Pukul

Operasi mulai

01.30 Di OK IGD Pukul

Bayi lahir, jenis kelamin laki-laki,

01.37

meninggal BB: 2180gram PB: 48cm

Pukul 02.00

Operasi selesai, 2 jam post-partum Jam ke 1

Pukul 02.45

TD 130/80

N 86

Suhu 36,8C

TFU 2 jari

Kontraksi keras

Urin -

Perdarahan -

keras

-

5 cc

keras

-

-

keras

-

5 cc

keras

-

-

keras

-

-

bawah

Di VK IGD

03.00

130/80

pusat 2 jari

88

bawah 03.15

140/90

pusat 2 jari

92

bawah pusat 03.30

140/90

2 jari

84

bawah pusat 2

04.00

140/90

81

37C

2 jari bawah

04.30

140/90

82

pusat 2 jari bawah

11

pusat

Terapi post operasi: - Inf. RL 20 tpm (drip oxytocin 10 IU) sampai dengan 24 jam post operasi - Inj. Cefazoline 1g/12 jam - Inj. Kalnex 500mg/8 jam - Inj. Ketorolac 30mg/8 jam - Metildopa 500mg/8jam - Transfusi PRC 2 kolf - Pengawasan KU, vital sign, perdarahan pervaginam, TFU, kontraksi, dan urin Pukul

KU/Kes Baik/CM

Para 3 Abortus 0

-Cek DL post SC

07.30

TD 150/90 mmHg

Usia 28 Tahun

-Inj. Kalnex 500mg/8 jam

S 36,8C

post SCTP +

-Inj. Ketorolac 30mg/8

Kontraksi keras

MOW + β Lynch

TFU 2 jari bawah pusat

Procedure a.i

-Cripsa 1 tab per oral

PPV 30cc

Plasenta Previa,

Instruksi dr. Widi:

Urin 25cc (sejak pasang DC tadi

Uterus

Transfusi PRC 2 kolf

malam)

Couvelaire,

premedikasi Dexa

N 88x/menit

jam

Preeklampsia Berat, Riwayat SC 2x 08.15

KU/Kes Baik/CM TD 150/90 mmHg

08.45

- Pasang infus 2 jalur N 88x/menit

S 36,8C KU/Kes Baik/CM TD 140/90 mmHg

- Ganti infus NaCl 0,9% - Inj Dexa 1amp bolus - Transfusi PRC ke I

N 86x/menit

S 36,8C

diberikan Lapor

dr.

Ika

S.OG,

Furosemid

2amp

instruksi: - Inj bolus 11.00

KU/Kes Baik/CM TD 140/100 mmHg RR 20x/menit

N 90x/menit S 36,8C

Kontraksi keras TFU 2 jari bawah pusat PPV 5cc 12.30

Urin 100cc KU/Kes Baik/CM

dr. Widi visit, instruksi:

TD 140/100 mmHg N 94x/menit RR 20x/menit

S 36,8C

- Transfusi ke II tunda dulu

12

Kontraksi keras

- Inj

TFU 2 jari bawah pusat 13.00

1amp

(ekstra)

PPV S: nyeri perut, sedikit kembung

- Inj. Cefazolin 1g Lapor dr. Widi, instruksi:

O: KU/Kes Baik/CM

-Inj

TD 140/100 mmHg N 94x/menit 14.00

Ranitidin

Alinamin

1amp

(ekstra)

RR 20x/menit S 36,8C S: nyeri perut, kembung O: KU/Kes Baik/CM TD 140/100 mmHg N 94x/menit RR 20x/menit

S 36,8C

15.00 Jumat,

Urin 200cc Pindah HCU S:-

Para 3 Abortus 0

-Inf RL 20 tpm

8 Juli

O: KU/Kes Baik/CM

Usia 28 Tahun

-Inj.

2017

TD 140/100 mmHg N 94x/menit

post SCTP +

di HCU

RR 20x/menit

MOW + β Lynch

-Inj. Kalnex 500mg/8 jam

Procedure a.i

-Inj. Ketorolac 30mg/8

S 36,8C

Plasenta Previa, Uterus Couvelaire,

Cefazoline

1g/12

jam

jam -Paracetamol

500mg/8

jam

Preeklampsia

-Metildopa 500mg/8 jam

Berat, Riwayat

Instruksi tambahan:

SC 2x H-1

-Pindah Falmboyan -Aff infus, DC -Terapi oral -Klindamisin 2x300mg -Asam mefenamat 3x500mg -Sulfas ferrosus 1x1tab -Cripsa 3x1tab -Klindamisin 2x300mg -Asam mefenamat

Sabtu,

S: mual (-), muntah (-), BAK(+),

Para 3 Abortus 0

9 Juli

BAB (-)

Usia 28 Tahun

2017

O: KU/Kes Baik/CM

post SCTP +

TD 160/100 mmHg N 94x/menit

MOW + β Lynch

di

RR 20x/menit

Procedure a.i

Flambo

Kontraksi keras

Plasenta Previa,

TFU 3 jari bawah pusat

Uterus

BLPL, control 1 minggu

PPV -

Couvelaire,

di Poli Kebidanan

Edema -/-

Preeklampsia

S 36,8C

3x500mg -Sulfas ferrosus 1x1tab -Cripsa 3x1tab -Dopamet 3x2tab -Nifedipin 3x10mg -Cek Hb jika ≥8g/dL à

Berat, Riwayat SC 2x H-2

13

I. DIAGNOSA AKHIR Para 3 Abortus 0 Usia 28 Tahun post SCTP + MOW + β Lynch Procedure a.i Plasenta Previa, Uterus Couvelaire, Preeklampsia Berat, Riwayat SC 2x J. PROGNOSIS Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan kecepatan perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu dapat dihindari apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan segera lakukan pembedahan seksio sesarea seperti ada kasus ini. Prognosis terhadap janin lebih buruk oleh karena kelahiran yang prematur. Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa.

14

III.

DISKUSI MASALAH

Diagnosis awal kasus saat di VK IGD adalah Gravida 3 Para 2 Abortus 0 Usia 28 Tahun Hamil 33 Minggu 5 Hari dengan Perdarahan Antepartum, Preeklampsia Berat dan Riwayat Sectio Caesarean 2x, diagnosis akhir kasus adalah Para 3 Abortus 0 Usia 28 Tahun post SCTP + MOW + β Lynch Procedure a.i Plasenta Previa, Uterus Couvelaire, Preeklampsia Berat, Riwayat SC 2x . Adapun masalah yang perlu dibahas terkait dengan kasus tersebut adalah : A. Pre Eklamsia Berat B. Plasenta Previa C. Solsio Plasenta D. Uterus Couvelaire E. MOW

15

IV.

TINJAUAN PUSTAKA

A. PRE EKLAMSI 1. Definisi Preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (Brooks MD, 2011). 2. Etiologi Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui secara pasti, tetapi pada umum nya disebabkan oleh (vasospasme arteriola). Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya preeklampsia antara lain: primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, molahidatidosa, multigravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18 tahun atau lebih dari 35 tahun serta anemia (Maryunani, dkk, 2012). Dalam penelitian Rozikhan (2007), sebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebabmusabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: (1) primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa; (2) semakin tuanya kehamilan; (3) terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; dan (4) timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan ischaemia rahim dan plasenta (ischemaemia uteroplacentae). Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes , peredaran darah dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah zatzat dari plasenta atau desidua yang menyebabkan vasospasmus dan

16

hipertensi. Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Ternyata tidak hanya satu faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia. Dalam teori dewasa ini banyak dikemukakan

sebagai

sebab

preeklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi, dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit itu. Ada banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang ditemukan sering kali sudah ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat. Dan sampai saat ini, apa yang menjadi penyebab preeklampsia dan eklampsia belum diketahui, telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab-musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan (Chapman, 2006). Penyebab preeklampsia belum diketahui sampai sekarang secara pasti, bukan hanya satu faktor melainkan beberapa faktor dan besarnya kemungkinan preeklampsia akan menimbulkan komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian. Akan tetapi untuk mendeteksi preeklampsia sedini mungkin dengan melalui antenatal secara teratur mulai trimester I sampai dengan trimester III dalam upaya mencegah preeklampsia menjadi lebih berat (Manuaba, 2008). Sampai sekarang etiologi preeklampsia belum diketahui. Membicarkan patofisiologinya

tidak

lebih

dari

“mengumpulkan”

temuan-temuan

fenomena yang beragam. Namun pengetahuan tentang temuan yang beragam inilah kunci utama suksesnya penanganan preeklampsia sehingga preeklampsia/eklampsia disebut sebagai the disease of many theories in obstetrics (Vivian dan Tri Sunarsih, 2011). Adapun teori-teori tersebut antara lain: a. Peran

Prostasiklin

dan

Tromboksan

Pengeluaran

hormone

ini

memunculkan efek “perlawanan” pada tubuh. Pembuluh-pembuluh darah menciut, terutama pembuluh darah kecil, akibatnya tekanan darah meningkat. Organ-organ pun akan kekurangan zat asam. Pada keadaan yang lebih parah, bisa terjadi penimbunan zat pembeku darah yang ikut menyambut pembuluh darah pada jaringan-jaringan vital.

17

b. Peran Faktor Immunologis Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat di bahwa pada kehamilan pertama pembentuk blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. c. Peran Faktor Genetik Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain: 1) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia 2) Terdapatnya

kecenderungan

meningkatnya

frekuensi

preeklampsiaeklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsiaeklampsia 3) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia-eklampsia dan bukan pada ipar mereka. 4) Peran Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS). 3. Faktor resiko Faktor risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama (POGI, 2016) a.

Umur > 40 tahun

b. Nulipara c.

Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya

d. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru e.

Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih

f.

Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan

g.

Kehamilan multipel

h. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus) i.

Hipertensi kronik

j.

Penyakit Ginjal

k. Sindrom antifosfolipid (APS) : ditandai dengan trombosis berulang atau morbiditas obstetri l.

Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio

m. Obesitas sebelum hamil

18

n. Indeks masa tubuh > 35 o.

Tekanan darah diastolik > 80 mmHg

p. Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara kuantitatif 300 mg/24 jam) 4. Patofisiologi Pada Preeklamsia yang mendasari patogenesisnya adalah hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta (Corwin & Elizabeth, J 2009; Tomimatsu et al, 2017).

Gambar 5. Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan preeklampsi Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan

19

dibandingkan antioksidan. Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia. Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endotelium I, tromboksan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi (Corwin & Elizabeth, J 2009; Tomimatsu et al, 2017). Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti (Corwin & Elizabeth, J 2009; Tomimatsu et al, 2017): a. Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal, serta perubahan anatomis b. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. c. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan edema paru dan edema menyeluruh. d. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati. e. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati. f.Pada susunan saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan. g. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin, dan solusio plasenta.

20

Gambar 6. Patofisiologi Preeklampsia 5. Manifestasi Klinis Karena manifestasi klinis preeklampsia dapat terjadi bermacam-macam, mendiagnosis preeklamsia mungkin tidak langsung. Preeklampsia tanpa ciri-ciri keparahan mungkin asimtomatik. Banyak kasus terdeteksi melalui skrining prenatal rutin (Tomimatsu et al, 2017). Pasien preeklamsia dengan ciri-ciri yang parah menunjukkan efek pada berbagai organ dan dapat memiliki keluhan sebagai berikut: a. Sakit kepala dapat ringan hingga berat dan dapat intermiten atau konstan serta membaik ketika diberikan infus magnesium sulfat. Gejala ini

21

diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular yang memiliki predileksi pada lobus oksipitalis (Cunningham, 2013). b. Gangguan visual berupa skotomata yang buram dan berkilau. Hal ini juga diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular yang memiliki predileksi pada lobus oksipitalis (Cunningham, 2013). c. Kebutaan akibat kerusakan pada korteks atau retina. Kebutaan jarang terjadi pada preeclampsia saja, tetap sering menjadi komplikasi pada kejang eklamtik (Cunningham, 2013). d. Dispneu (Tomimatsu et al, 2017) e. Edema yang jauh lebih besar dari perempuan dengan kehmilan normal (Tomimatsu et al, 2017) f.Edema otak menyeluruh dapat timbul pada sindrom preeklamsia dan biasanya bermanifestasi sebagai perubahan status mental yang bervariasi dari kebingungan hingga koma. Kondisi ini khususnya berbahaya karena dapat menyebabkan herniasi supratentorial yang membahayakan jiwa (Cunningham, 2013). g. Nyeri perut kuadran epigastrium atau kanan atas (Tomimatsu et al, 2017) h. Kelemahan yang dapat akibat anemia hemolitik (Tomimatsu et al, 2017) i. Klonus yang mengindikasikan peningkatan risiko kejang (Tomimatsu et al, 2017). 6. Penegakan Diagnosis Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi

saja,

preeklampsia,

kondisi

harus

tersebut

didapatkan

tidak

dapat

gangguan

disamakan

organ

spesifik

dengan akibat

preeklampsia tersebut (POGI, 2016). a. Kriteria Minimal Preeklampsia 1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama; dan

22

2) Protein urin : Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu dibawah ini : 3) Trombositopeni : Trombosit < 100.000 / mikroliter 4) Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya 5) Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen 6) Edema Paru 7) Gejala Neurologis : Stroke, nyeri kepala, gangguan visus 8) Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV) b. Kriteria Preeklampsia Berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini) : 1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama 2) Trombositopeni : Trombosit < 100.000 / mikroliter 3) Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya 4) Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen 5) Edema Paru 6) Gejala Neurologis : Stroke, nyeri kepala, gangguan visus 7) Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

23

7. Tatalaksana a. Manajemen Preeklampsia Tanpa Gejala Berat

Gambar 7. Manajemen Preeklampsia Tanpa Gejala Berat (POGI, 2016)

24

b. Manajemen Preeklampsia dengan Gejala Berat

Gambar 8. Manajemen Preeklampsia dengan Gejala Berat (POGI, 2016) Penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus preeklamsia berat adalah sebagai berikut (Prawirohardjo, 2011; Cunningham, 2009; POGI, 2006): 1) Dasar pengelolaan Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan tindakan sebagai berikut : a) Rencana terapi pada penyulitnya, yaitu terapi medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya. b) Menentukan rencana sikap terhadap kehamilan, yaitu :

25

 Ekspektatif atau konservatif, apabila umur kehamilan <37 minggu, artinya

kehamilan

dipertahankan

selama

mungkin

sambil

memberikan terapi medikamentosa.  Aktif atau agresif, apabila umur kehamilan ≥37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi keadaan ibu. 2) Pemberian terapi nonmedikamentosa dan medikamentosa a) Rawat inap di rumah sakit b) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten c) Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5% d) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pemberian MgSO4 dibagi menjadi :  Loading dose (initial dose) yaitu dosis awal, dengan diberikan 4 gram MgSO4, intravena (40% MgSO4 10 mL dicampurkan dengan aquadest 10 mL), diberikan selama 15 menit.  Maintenance dose, yaitu dosis lanjutan, dengan pemberian 6 gram MgSO4 dalam larutan Ringer Laktat 500 mL per 6 jam atau diberikan 4-5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam. Syarat-syarat pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut:  Harus tersedia antidontum MgSO4 apabila terjadi intoksikasi, yaitu Kalsium Glukonas 1 gram (10% Ca glukonas diambil 10 mL kemudian dicampurkan dengan aquadest 10 mL) diberikan secara IV selama 3 menit.  Refleks patella (+) kuat.

26

 Frekuensi pernapasan >16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress napas.  Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100 mL atau 0,5 mL/kgBB/jam. MgSO4 dihentikan apabila :  Ada tanda-tanda intoksikasi MgSO4, yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi sistem saraf pusat, kelumpuhan otot khususnya otot pernapasan.  Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Dosis terapeutik dan toksik MgSO4 :  Dosis terapeutik

: 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dL

 Hilangnya refleks tendon

: 10 mEq/lier atau 12 mg/dL

 Terhentinya pernapasan

: 15 mEq/liter atau 18 mg/dL

 Terhentinya jantung

: >30 mEq/liter atau >36 mg/dL

Apabila terjadi refrakter terhadap MgSO4, dapat diberikan salah satu regimen di bawah ini :  100 mg IV sodium thiopental  10 mg IV diazepam  250 mg IV sodium amobarbital  Phenytoin :  Dosis awal 1000 mg IV  16,7 mg/menit/1 jam  500 g oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam 27

e) Pemberian antihipertensi Pemberian antihipertensi diberikan apabila tensi ≥160/110 mmHg dan MAP ≥126 mmHg. Obat yang diberikan adalah nifedipin dengan dosis 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. f) Diuretik Diuretik tidak diberikan secara rutin karena dapat memperberat penurunan perfusi plasenta dan hipovolemia, serta peningkatan hemokonsentrasi. Diuretik hanya diberikan atas indikasi edema paru, gagal jantung kongestif, dan edema anasarka. g) Diet, diberikan secara seimbang, hindari protein, dan kalori yang berlebih. 3) Sikap terhadap kehamilan a) Perawatan konservatif, ekspektatif  Tujuan :  Mempertahankan

kehamilan,

sehingga

mencapai

umur

kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan.  Meningkatkan

kesejahteraan

bayi

baru

lahir

tanpa

mempengaruhi keselamatan ibu.  Indikasi : Kehamilan <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda dan gejala-gejala impending eklamsia  Terapi Medikamentosa  Terapi sama seperti sebelumnya, namun tidak boleh diberikan loading dose intravena, cukup IM.  Apabila penderita sudah kembali menjadi preeklamsia ringan, masih dirawat 2-3 hari lagi, baru diijinkan pulang. 28

 Pemberian glukokortikoid pada umur kehamilan 32-34 minggu selama 48 jam.  Perawatan di Rumah Sakit :  Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik nyeri kepala, pandangan kabur, nyeri kuadran kanan atas atau nyeri epigastrik, dan kenaikan berat badan dengan cepat.  Menimbang berat badan setiap hari  Pemeriksaan proteinuria ketika masuk RS dan diulangi setiap 2 hari  Pengukuran laboratorium  Pemeriksaan USG berupa fetal biometri dan volume air ketuban.  Penderita boleh pulang apabila terbebas dari gejala-gejala preeklamsia berat, kemudian 3 hari setelah bebas gejala dibolehkan pulang.  Cara persalinan :  Apabila tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm  Apabila penderita inpartu, perjalanan persalinan diikuti seperti lazimnya (misalnya dengan grafik Friedman)  Persalinan dilakukan secara per vaginam kecuali terdapat indikasi sectio caesarea. b) Perawatan aktif; agresif 1. Tujuan : terminasi kehamilan 2. Indikasi ibu :  Kegagalan terapi medikamentosa :

29

 Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan tekanan darah yang persisten  Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan terjadi kenaikan desakan tekanan darah yang persisten  Tanda dan gejala impending eklamsia  Gangguan penglihatan atau nyeri kepala menetap  Napas pendek, sesak napas disertai rhonki basah dan atau saturasi oksigen <94% udara pernapasan dalam ruangan, edema paru  Hipertensi

berat

yang

tidak

terkendali

meskipun

telah

mendapatkan terapi  Oliguria <500 mL/24 jam atau kreatinin serum ≥1,5 mg/dL  Hitung trombosit terus menerus <100.000µL  Gangguan fungsi hepar  Gangguan fungsi ginjal  Dicurigai terjadi solusio plasenta  Timbulnya onset partus : ketuban pecah dini, perdarahan 3. Indikasi Janin :  Umur kehamilan ≥37 minggu  IUGR berat berdasarkan USG (<5 persentil untuk masa kehamilan yang diperkirakan  NST nonreaktif dan profil biofisik abnormal (≤4 dilakukan dengan interval 6 jam)  Timbulnya oligohidramnion persisten – ICA <5 cm 30

 Aliran arteri umbilikalis yag membali pada akhir diastolic  Kematian janin 4. Indikasi laboratorium : trombositopenia yang mengarah ke sindrom HELLP. 5. Terapi medikamentosa : sama seperti sebelumnya 6. Cara persalinan : sedapat mungkin pervaginam, kecuai jika terdapat indikasi sectio caesarea 7. Penderita belum inpartu :  Dilakukan induksi persalinan apabila skor Bishop ≥8 Apabila Bishop skor<5, dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Apabila tidak, induksi dianggap gagal, dan harus disusul dengan sectio caesarea.  Indikasi sectio caesarea  Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam  Induksi persalinan gagal  Terjadi gawat janin  Umur kehamilan >33 minggu  Penderita sudah inpartu :  Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman  Memperingan kala II  Sectio caesarea apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat janin 8. Pencegahan 31

a. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan

untuk

menghindari

atau

mengkontrol

penyebab-

penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui. Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya, sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer (POGI, 2016). b. Pencegahan Sekunder 1) Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Apirin dosis rendah sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu (POGI, 2016). 2) Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis

rendah

dan

suplemen

kalsium

(minimal

1g/hari)

direkomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya preeklampsia (POGI, 2016). 8. Komplikasi Pada ibu hamil yang menderita preeklamsia, kehamilan tersebut dapat berpengaruh buruk terhadap ibu maupun janin. Pada ibu, komplikasi yang terjadi berupa sindrom HELLP (Hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet level), edema paru, kerusakan ginjal akut, dan abrupsi plasenta. Sedangkan pada bayi, komplikasi yang dapat terjadi berupa kehamilan prematur, gawat janin, berat bayi rendah atau IUFD (intra uterine fetal death) (Arulkumaran, 2013). 9. Prognosis Prognosis preeklampsia berat dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering

32

terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intrauterin (Lim, Kee-Hak, 2016).

B. PLASENTA PREVIA 1. Definisi Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan (Chalik, 2008). 2. Etiologi Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan endometrium yang kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada (Prawirohardjo, 2009). 1.

Multipara, terutama jika jarak kehamilannya pendek

2.

Mioma uteri

3.

Kuretasi yang berulang

4.

Umur lanjut (diatas 35 tahun)

5.

Bekas seksio sesaria

6.

Riwayat abortus

7.

Defek vaskularisasi pada desidua

8.

Plasenta yang besar dan luas : pada kehamilan kembar, eriblastosis fetalis.

33

9.

Wanita yang mempunyai riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya

10. Perubahan inflamasi atau atrofi misalnya pada wanita perokok atau pemakai kokain. Hipoksemia yang terjadi akibat CO akan dikompensasi dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terutama terjadi pada perokok berat (> 20 batang/hari). Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutupi ostoum uteri internum. Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang lebih rendah dekat ostium uteri internum. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas seperti pada eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multiple (Prawirohardjo, 2009) 3. Epidemiologi Menurut Chalik (2008) plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi, dan sering terjadi pada usia di atas 30 tahun. Uterus yang cacat juga dapat meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan angka kejadian plasenta previa berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9 %. Sedangkan di negara maju angka kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1 % yang mungkin disebabkan oleh berkurangnya wanita yang hamil dengan paritas tinggi. Kejadian plasenta previa terjadi kira-kira 1 dari 200 persalinan, insiden dapat meningkat diantaranya sekitar 1 dari 20 persalinan pada ibu yang paritas tinggi (Decherney et al, 2007). 4. Klasifikasi Menurut Chalik (2008) plasenta previa dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu: a. Plasenta previa totalis atau komplit, adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum. 34

b. Plasenta previa parsialis, adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum. c. Plasenta previa margianalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum. d. Plasenta letak rendah, yang berarti bahwa plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim yang sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. 5. Faktor Risiko Menurut penelitian Wardana (2007) yang menjadi faktor risiko plasenta previa yaitu: 1. Risiko plasenta previa pada wanita dengan umur 35 tahun 2 kali lebih besar dibandingkan dengan umur < 35. 2. Risiko plasenta previa pada multigravida 1,3 kali lebih besar dibandingkan primigravida. 3. Risiko plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus 4 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat abortus. 4. Riwayat seksio sesaria tidak ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya plasenta previa. 6. Patogenesis dan Patofisiologi Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya terjadi pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih mengalami perubahan berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan semakin melebar, dan serviks mulai membuka. Perdarahan ini terjadi apabila plasenta terletak diatas ostium uteri interna atau di bagian bawah segmen rahim. Pembentukan segmen bawah rahim dan pembukaan ostium interna akan menyebabkan robekan plasenta pada tempat perlekatannya (Cunningham et al, 2013). Darah yang berwarna merah segar, sumber perdarahan dari plasenta previa ini ialah sinus uterus yang robek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari

35

plasenta. Perdarahannnya tak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan tersebut, tidak sama dengan serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III pada plasenta yang letaknya normal. Semakin rendah letak plasenta, maka semakin dini perdarahan yang terjadi. Oleh karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini daripada plasenta letak rendah yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai (Oxorn, 2003). 7. Manifestasi Klinis Ciri yang menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus yang keluar melalui vagina tanpa disertai dengan adanya nyeri. Perdarahan biasanya terjadi diatas akhir trimester kedua. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun perdarahan dapat kembali terjadi tanpa sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian. Dan saat perdarahan berulang biasanya perdarahan yang terjadi lebih banyak dan bahkan sampai mengalir. Karena letak plasenta pada plasenta previa berada pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering teraba bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak memanjang. Pada plasenta previa ini tidak ditemui nyeri maupun tegang pada perut ibu saat dilakukan palpasi (Chalik, 2008). 8. Penegakan diagnosis a. Anamnesis Dari anamnesis didapat perdarahan tanpa keluhan nyeri dan perdarahan berulang. Pada perabaan fornises teraba bantalan lunak pada presentasi kepala.Pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya dibenarkan bila dilakukan di kamar operasi yang telah siap untuk melakukan operasi segera (Sastrawinata, 2004) b. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

36

Diagnosis plasenta previa (dengan perdarahan sedikit) yang diterapiekspektatif ditegakkan dengan pemeriksaan Ultrasonografi (USG).

Dengan

pemeriksaan

USG

transabdominal

ketepatan

diagnosisnya mencapai 95-98%.Dengan USG transvaginal atau transperineal (translabial), ketepatannya akan lebih tinggi lagi. Dengan bantuan USG, diagnosis plasenta previa/letak rendah sering kali sudahdapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trimester ketiga. Namun, dalam perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya, bukan plasenta yang “berpindah”, tetapi dengan semakin berkembangnya segmen bawah rahim, plasenta akan ikut naik menjauhi ostium uteri internum (Sastrawinata, 2004) 9. Tatalaksana Penatalaksanaan

Plasenta

Previa

Menurut

Mose

(2004)

penatalaksanaan pada plasenta previa dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu: a. Ekspektatif,

dilakukan

apabila

janin

masih

kecil

sehingga

kemungkinan hidup di dunia masih kecil baginya. Sikap ekspektasi tertentu hanya dapat dibenarkan jika keadaan ibu baik dan perdarahannya sudah berhenti atau sedikit sekali. Dahulu ada anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus segera diakhiri untuk menghindari perdarahan yang fatal. Menurut Scearce, (2007) syarat terapi ekspektatif yaitu: 1) Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti. 2) Belum ada tanda-tanda in partu. 3) Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal). 4) Janin masih hidup. b. Terminasi, dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum terjadi perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya: kehamilan telah cukup bulan, perdarahan banyak, dan anak telah meninggal. 10. Komplikasi

37

Menurut Dutta (2004) komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu: Selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum yang dapat menimbulkan syok, kelainan letak pada janin sehingga meningkatnya letak bokong dan letak lintang. Selain itu juga dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Selama persalinan plasenta previa dapat menyebabkan ruptur atau robekan jalan lahir, prolaps tali pusat, perdarahan postpartum, perdarahan intrapartum, serta dapat menyebakan melekatnya plasenta sehingga harus dikeluarkan secara manual atau bahkan dilakukan kuretase. Pada janin plasenta previa ini dapat mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan rendah, munculnya asfiksia, kematian janin dalan uterus, kelainan kongenital serta cidera akibat intervensi kelahiran. 11. Prognosis Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan kecepatan perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu dapat dihindari apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan segera lakukan pembedahan seksio sesarea. Prognosis terhadap janin lebih buruk oleh karena kelahiran yang prematur lebih banyak pada penderita plasenta previa melalui proses persalinan spontan maupun melalui tindakan penyelesaian persalinan. Namun perawatan yang intensif pada neonatus sangat membantu mengurangi kematian perinatal (Cunningham, 2013). C. SOLUSIO PLASENTA 1. Definisi Terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir. Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae,

ablatio

placentae, accidental

haemorrhage, premature

separation of the normally implanted placenta (Prawirohardjo, 2009).

38

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir. Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir (Cunningham, 2013).

Gambar 3.1. Solusio Plasenta (Cunningham, 2013). 2. Etiologi dan Faktor Resiko Sebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui , tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko, seperti hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan merokok, usia ibu, dan paritas yang tinggi (Prawirohardjo, 2009). Tabel 2.1. Faktor Risiko Solusio Plasenta (Prawirohardjo, 2009) Faktor Risiko Hubungan dengan risiko Meningkatnya usia dan paritas 1.3–1.5 Preeklampsia 2.1–4.0 Hipertensi kronik 1.8–3.0 Ketuban pecah dini 2.4–4.9 Kehamilan ganda 2.1 Hidroamnion 2.0 Wanita perokok 1.4–1.9 Trombofilia 3–7 Penggunaan kokain NA Riwayat solusio plasenta 10–25 Mioma dibelakang plasenta 8 dari 14 Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang

39

Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi. a. Faktor kardio-reno-vaskuler Glomerulonefritis

kronik,

hipertensi

essensial,

sindroma

preeklamsia dan eklamsia . Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu (Pritchard, 2013). b. Faktor trauma Trauma yang dapat terjadi antara lain: 1) Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli. 2) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan. 3) Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain. Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa trauma yang terjadi pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari seluruh kasus solusio plasenta. Di RSUPNCM dilaporkan 1,2% kasus solusio plasenta disertai trauma (Rachimhadhi, 2009) c. Faktor paritas ibu Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium (Cunningham, 2013). d. Faktor usia ibu Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan

40

meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun (Cunningham, 2013) e. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma (Pritchard, 2013). f. Faktor pengunaan kokain Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35% (Cunningham, 2013). g. Faktor kebiasaan merokok Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya . Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan (Cunningham, 2013). h. Riwayat solusio plasenta sebelumnya Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya (Pritchard, 2013). i. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-lain (Cunningham, 2013). 3. Epidemiologi

41

Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan. Frekuensi solusio plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%. Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Saat ini kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta merupakan penyebab 20-35% kematian perinatal (Suyono, 2007). Pada tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50-100 kali lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Di negara berkembang, penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas adalah perdarahan, infeksi, pre-eklamsi/eklamsi. Selain itu kematian maternal juga dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan, sosioekonomi, usia ibu hamil, dan paritas (Mose, 2004) Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamila. Namun, insidensi solusio plasenta cenderung menurun dengan semakin baiknya perawatan antenatal sejalan dengan semakin menurunnya jumlah ibu hamil usia dan paritas tinggi dan membaiknya kesadaran masyarakat berperilaku lebih higienis (Prawirohardjo, 2009). Penelitian

Cunningham

di

Parkland

Memorial

Hospital

melaporkan 1 kasus dalam 500 persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (Cunningham, 2013). Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. 2 Kematian ibu hamil yang disebabkan perdarahan (Cunningham, 2013) No. Penyebab Perdarahan Sampel (%) 1. Solusio Plasenta 141 19

42

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Laserasi/ Ruptura uteri Atonia Uteri Koagulopathi Plasenta Previa Plasenta Akreta/ Inkreta/ Perkrata Perdarahan Uterus Retained Placentae

125 115 108 50 44 44 32

16 15 14 7 6 6 4

4. Klasifikasi a. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta (Rachimhadhi, 2009) : 1. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya. 2. Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian. 3. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas. b. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan (Pritchard, 2013) : 1. Solusio plasenta dengan perdarahan keluar 2. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma retroplacenter 3. Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion . c. Cunningham

dan

mengklasifikasikan

Gasong solusio

masing-masing plasenta

menurut

dalam

bukunya

tingkat

gejala

klinisnya, yaitu (Cunningham, 2013) : 1. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%. 2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/42/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%. 3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan

43

5. Pathogenesis dan Patofisiologi Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus (Cunningham, 2013).

Gambar 3.2 Plasenta normal dan solusio plasenta dengan hematom Subkhorionik (Cunningham, 2013). Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan

tidak

mampu

berkontraksi

untuk

membantu

dalam

menghentikan perdarahan yang terjadi. Akibatnya hematom subkhorionik akan menjadi bertambah besar, kemudian akan medesak plasenta sehingga sebagian

dan

akhirnya

seluruh

plasenta

akan

terlepas

dari

implantasinya di dinding uterus (Cunningham, 2013).

44

Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, dapat juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke dalam kantong amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire, dimana pada kondisi ini dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (Uterus Couvelaire) akan terasa sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi) uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum yang hebat (Cunningham, 2013). Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya (Rachimhadhi, 2009). 6. Manifetasi klinis Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus), nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus (Prawirohardjo, 2009). Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit yang menunjukkan gejala. Pada keadaaan yang sangat ringan tidak ada gejala kecuali hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar dari vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar berwarna merah segar pada plasenta previa. Tanda vital ibu dan janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan 45

kecuali pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuknya hematom. Kadar fibrinogen darah dalam batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi segera keadaan ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi keadaan bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio terutama pada solusio plasenta sedang atau berat (Cunningham, 2013). Gejala dan tanda pada solusio plasenta sedang seperti rasa nyeri pada perut yang terus-menerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan yang keluar tampak lebih banyak, takikardia, hipotensi, kulit dingin, oliguria mulai ada, kadar fibrinogen berkurang antara 150-250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada. Rasa nyeri bersifat menetap, tidak hilang timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan berwarna kehitaman. Pada pemantauan keadaan janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselerasi lambat. Perlu dilakukan tes gangguan pembekuan darah (Cunningham, 2013). Pada solusio plasenta berat perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan (defence musculare) disertai perdarahan berwarna hitam. Oleh karena itu, palpasi bagian-bagian janin tidak mungkin dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang seharusnya karena telah terjadi penumpukan darah di dalam uterus pada kategori concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus bertambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi rahim terlihat membulat dan kulit di atasnya kencang. Pada auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai syok. Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan yang tidak seberapa keluar dari vagina. Kadar fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada tromobositopenia (Prawirohardjo, 2009). 6. Penegakan diagnosis Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, dan 46

pada solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan KTG. Namun kadang pasien datang dengan gejala perdarahan tidak banyak dengan perut tegangan tetapi janin telah meninggal. Diagnosis pasti hanya bisa ditegakkan dengan melihat adanya perdarahan retroplasenta setelah partus (Cunningham, 2013).

Gambar. Perdarahan Retroplasenta Ditekankan bahwa tanda dan gejala pada solusio plasenta dapat sangat bervariasi. Sebagai contoh, pedarahan eksternal dapat deras, namun plasenta yang terlepas tidak terlalu luas sehingga belum membahayakan janin secara langsung. Walaupun jarang, mungkin tidak terjadi perdarahan eksternal tetapi plasenta terlepas total dan sebagai akibatnya janin meninggal. Hurd dkk. (1983) dalam sebuah penelitian prospektif yang relatif kecil tentang solusio plasenta, mengidentifikasi frekuensi berbagai gejala dan tanda yang berhubungan (Tabel 2). Perdarahan dan nyeri abdomen adalah temuan tersering. Temuan lain yang didapatkan adalah perdarahan serius, nyeri punggung, nyeri tekan uterus, kontraksi uterus yang sering (Cunningham, 2013). Pada penelitian-penelitian lama, USG jarang mengkonfirmasi diagnosis solusio plasenta. Sebagai contoh, Sholl (1987) memastikan diagnosis secara sonografis hanya pada 25% wanita. Hal yang sama dikemukakan oleh Glantz dan Purnell (2002), yang mengkalkulasi hanya 24% dari 149 wanita yang melakukan USG dapat menyingkirkan

47

kemungkinan adanya solusio plasenta. Yang penting, temuan negatif pada pemeriksaan USG tidak menyingkirkan solusio plasenta (Cunningham, 2013). Tabel 2. Gejala dan Tanda yang Terdapat pada 59 Wanita Solusio Plasenta (Cunningham, 2013). Gejala dan Tanda Frekuensi (%) Perdarahan pervaginam 78 Uterus tegang atau nyeri pinggang 66 Gawat janin 60 Partus prematurus 22 Kontraksi yang terus menerus 17 tinggi Hipertonus 17 Kematian janin 15

7. Penatalaksanaan Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia kehamilan serta status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila persalinan pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan memilih seksio sesaria darurat.

a. Solusio Plasenta Ringan Solusio plasenta ringan jarang ditemukan di RS. Pada umumnya didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaaan USG oleh karena tidak memberikan gejala klinik yang khas. Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu dan perdarahan kemudian berhenti, perut tidak menjadi nyeri, dna uterus tidak tegang, maka penderita harus diobservasi dengan ketat. Apabila perdarahan berlangsung terus dan gejala solusio plasenta bertambah jelas atau dengan pemeriksaan USG daerah solusio plasenta bertambah luas maka dilakukan terminasi kehamilan (Cunningham, 2013). b. Solusio Plasenta Sedang dan Berat

48

Pada solusio plasenta sedang sampai berat dilakukan perbaikan keadaan umum terlebih dahulu dengan resusitasi cairan dan transfusi darah. Bila janin masih hidup biasanya dalam keadaan gawat janin, dilakukan seksio sesarea, kecuali bila pembukaan telah lengkap. Pada keadaan ini dilakukan amniotomi, drip oksitosin, dan bayi dilahirkan dengan ekstraksi forcep. Apabila janin telah mati dilakukan persalinan pervaginam dengan cara melakukan amniotomi, drip oksitosin. Bila bayi belum lahir dalam waktu 6 jam, dilakukan tindakan seksio sesarea. pada saat ini besar kemungkinan dapat membahayakan ibu karena mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif yang parah (Cunningham, 2013). Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan (Cunningham, 2013). Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin

49

terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah (Cunningham, 2013). Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi

darah

dapat

mencegah

kelainan

pembekuan

darah

(Cunningham, 2013). Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria (Cunningham, 2013). Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan

setelah

dilakukan

seksio

sesaria

maka

tindakan

histerektomi perlu dilakukan (Cunningham, 2013). c. Seksio Sesarea Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin hampir selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara cepatnya persalinan dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala klinis berupa solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara neurologis dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam waktu 20 menit setelah keputusan akan dilakukan operasi. 11 bayi meninggal atau berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8 bayi dilahirkan di bawah 20 menit setelah pertimbangan waktu, sehingga cepatnya respons adalah faktor yang penting bagi prognosis bayi ke depannya. Seksio sesarea pada saat ini besar kemungkinan dapat membahayakan ibu karena mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif yang parah (Prawirohardjo, 2009) d. Persalinan Pervaginam

50

Apabila menyebabkan

terlepasnya janin

plasenta

meninggal,

sedemikian lebih

parah

dianjurkan

sehingga persalinan

pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif, atau

terdapat

penyulit

obstetri

yang

menghambat

persalinan

pervaginam. Defek koagulasi berat kemungkinan besar dapat menimbulkan kesulitan pada seksio sesarea. Insisi abdomen dan uterus rentan terhadap perdarahan hebat apabila koagulasi terganggu. Dengan demikian, pada persalinan pervaginam, stimulasi miometrium secara farmakologis atau dengan massage uterus akan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah berkontraksi sehingga perdarahan serius dapat dihindari walaupun defek koagulasinya masih ada. Lebih lanjut, perdarahan yang sudah terjadi akan dikeluarkan melalui vagina (Cunningham, 2013). e.

Amniotomi Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting dalam penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini adalah bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin faktor-faktor pembekuan aktif dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak ada bukti keduanya tercapai dengan amniotomi. Apabila janin sudah cukup matur, pemecahan selaput ketuban dengan mempercepat persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh mungkin lebih efisien untuk mendorong pembukaan serviks daripada tekanan yang ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran kecil dan kurang menekan serviks (Cunningham, 2013).

f.

Oksitosin Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi kontraksi uterus yang ritmik, pasien diberi oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus untuk menimbulkan persalinan pervaginam

51

memberikan manfaat yang lebih besar daripada risiko yang didapat. Pemakaian oksitosin pernah dipertanyakan berdasarkan anggapan bahwa tindakan ini dapat meningkatkan masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu sehingga memacu atau memperparah kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli cairan amnion (Cunningham, 2013). 8. Komplikasi Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada Ibu adalah sebagai berikut (Cunningham, 2013): a. Syok perdarahan Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat. Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan.

52

b. Gagal ginjal Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan

infeksi,

atasi hipovolemia, secepat mungkin

menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah. c. Kelainan pembekuan darah Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh

Wirjohadiwardojo

di

RSUPNCM

dilaporkan

kelainan

pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya. Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah. Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase: 1) Fase I Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga

coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom

53

subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan

intravaskuler

tersebut.

Akibat

gangguan

mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan oliguria/anuria. 2) Fase II Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis . Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan

laboratorium,

namun

di

klinik

pengamatan

pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu. d. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire) Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otototot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum

latum.

Perdarahan

ini

menyebabkan

gangguan

kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan . Komplikasi solusio plasenta yang dapat terjadi pada janin (Cunningham, 2013) : a. Fetal distress b. Gangguan pertumbuhan/perkembangan c. Hipoksia dan anemia d. Kematian

54

9. Prognosis Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio plasenta ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena mortalitas dan morbiditas perinatal yang tinggi. Solusio plasenta berat mempunyai prognosis yang paling buruk baik terhadap ibu terlebih terhadap janinnya (Prawirohardjo, 2009).

D. METODE OPERASI WANITA 1. Definisi Tubektomi / MOW adalah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba Fallopii seorang wanita, yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat hamil atau tidak menyebabkan kehamilan lagi. MOW (Metode Operatif Wanita) / Tubektomi atau juga dapat disebut dengan sterilisasi. MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur, dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki laki sehingga tidak terjadi kehamilan. (BKKBN, 2006) Tubekomi atau Sterilisasi merupakan metode kontrasepsi permanen yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang memang tidak ingin atau tidak boleh memiliki anak (karena alasan kesehatan). Disebut permanen karena metode kontrasepsi ini hampir tidak dapat dibatalkan (reversal) bila kemudian ingin memiliki anak (BKKBN, 2006). 2. Keuntungan dan Kerugian Keuntungan dari tubektomi adalah sebagai berikut: a. Motivasi hanya dilakukan 1 kali saja, sehingga tidak diperlukan motivasi yang berulang-ulang b. Efektivitas hampir 100% 55

c. Tidak mempengaruhi libido seksual. d. Kegagalan dari pihak pasien tidak ada. e. Tidak mempengaruhi proses menyusui (breast feeding). f. Baik bagi pasien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius. g. Merupakan suatu pembedahan sederhana, dapat dilakukan anestesi lokal. h. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium). Ada pula ditemukan kerugian dari tubektomi adalah sebagia berikut: a. Tidak reversible, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi. Oleh karena itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu. b. Risiko dan efek samping pembedahan. Risiko sterilisasi, seperti halnya operasi lainnya, terutama berkaitan dengan anestesi. Ahli bedah juga dapat tanpa sengaja merusak ligamen peritoneal selama operasi. Jika ligamen peritoneal rusak, produksi hormon pada ovarium menurun dan menopause bisa dimulai dini. c. Kadang-kadang sedikit merasakan nyeri pada saat operasi. d. Infeksi mungkin saja terjadi bila prosedur operasi tidak benar. e. Kesuburan sulit kembali Karena metode tubektomi merupakan kontrasepsi permanen, sebelum mengambil keputusan untuk dilakukan tubektomi, istri dan suami terlebih dahulu mempertimbangkannya secara matang. Meskipun saluran telur yang tadinya di potong atau diikat dapat disambung kembali, namun tingkat keberhasilan untuk hamil lagi sangat kecil. 3. Indikasi Pada konferensi Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di dianjurkan wanita umur 25-40 tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut: a. Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih b. Umur antara 0-35 tahun dengan 2 anak atau lebih

56

c. Umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih d. Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anak telah melebihi jumlah yang diinginkan pasangan suami istri Menurut Mochtar (2008) indikasi dilakukan MOW yaitu sebagai berikut: a. Indikasi medis umum Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat bila wanita ini hamil lagi. 1) Gangguan fisik yang dialami seperti tuberculosis pulmonum, penyakit jantung dan sebagainya. 2) Gangguan psikis yang dialami yaitu seperti skizofrenia (psikosis),

sering menderita psikosa nifas, dan lain lain. b. Indikasi medik obstetri yaitu toksemia gravidarum yang berulang, seksio sesarea yang berulang, histerektomi obstetri, dan sebagainya. c. Indikasi

medis ginekologik.

Pada

waktu

melakukan

operasi

ginekologik dapat pula dipertimbangkan untuk sekaligus melakukan sterilisasi. d. Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi yang sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat. 4. Kontraindikasi Menurut Mochtar (2008) kontraindikasi dalam melakukan MOW yaitu dibagi menjadi 2 yang meliputi kontraindikasi mutlak dan kontraindikasi relatif. a. Kontraindikasi mutlak 1) Peradangan dalam rongga panggul 2) Peradangan liang senggama akut (vaginitis, servisitis akut) 3) Kavum Douglas tidak bebas, ada perlekatan

b. Kontraindikasi relatif 1) Obesitas berlebihan 2) Bekas laparotomi

57

Sedangkan menurut Noviawati dan Sujiyati (2009) yang sebaiknya tidak menjalani Tubektomi yaitu: a. Wanita yang hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai) b. Wanita dengan perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya c. Wanita dengan infeksi sistemik atau pelvis yang akut d. Wanita yang tidak boleh menjalani proses pembedahan e. Wanita yang kurang pasti mengenai keinginan fertilitas dimasa depan f. Wanita yang belum memberikan persetujuan tertulis 5. Waktu Pelaksanaan Tubektomi Adapun waktu pelaksanaan tubektomi adalah: a. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional wanita yang akan menjalani tubektomi tidak hamil. b. Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi). c. Pasca persalinan dianjurkan 24 jam atau selambat-lambatnya dalam 48 jam setelah bersalin. d. Pasca keguguran. 6. Cara Tubektomi a. Cara Mencapai Tuba Tindakan untuk mencapai tuba dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Schmidt et al. 2014): 1) Laparotomi Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus untuk tubektomi. Cara mencapai tuba melalui laparotomi biasa, terutama pada masa pasca persalinan, merupakan cara yang banyak dilakukan di Indonesia sebelum tahun 70an. Disini penutupan tuba dijalankan sebagai tindakan tambahan apabila wanita yyang bersangkutan perlu dibedah untuk keperluan lain. Tubektomi juga dilakukan bersamaan dengan seksio sesarea, dimana kehamilan selanjutnya tidak diinginkan lagi, sebaiknya setiap laparotomi harus dijadikan kesempatan untuk menawarkan tubektomi (Schmidt et al. 2014).

58

Gambar 2.1. Laparotomi 2) Laparotomi postpartum Laparoromi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa waktu perawatan nifas sekaligus dapat digunakan untuk perawatan pascaoperasi, dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil dekat fundus uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi lunar (bulan sabit) di garis tengah distal dari pusat dengan panjang kurang-lebih 3 cm dan penutupan tuba biasanya diselenggarakan dengan cara Pomeroy (Schmidt et al. 2014). 3) Minilaparotomi Laparatomi mini dilakukan dalam masa interval. Laparotomi khusus tubektomi ini paling mudah dilakukan 48 jam pasca persalinan. Uterus yang masih besar, tuba yang masih panjang, dan dinding perut yang masih longgar memudahkan mencapai tuba dengan sayatan kecil sepanjang 2 cm setinggi fundus hingga menembus peritoneum. Apabila fundus uteri setinggi pusat, sayatan dilakukan di lipatan kulit bawah pusat. Tetapi bila lebih tinggi (pada persalinan ganda atau anak kembar), sayatan dilakukan di lipatan kulit di atas pusat (Schmidt et al. 2014). Bila tubektomi dilakukan pada 3-5 hari postpartum, jika fundus uteri terletak di bawah pusat karena uterus dan tuba telah berinvolusi maka dapat dilakukan insisi mediana setinggi 2 jari dibawah fundus uteri sepanjang 2 cm. Infeksi lebih sering terjadi pada minilaparotomi yang

59

dilakukan lebih dari 48 jam pasca persalinan karena lokia merupakan media untuk tumbuhnya infeksi (Schmidt et al. 2014). Untuk menampilkan tuba dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut (Schmidt et al. 2014): a) Retraktor abdomen ditarik ke arah tuba yang akan dicapai. Dengan cara ini saja kadangkala bagian proksimal tuba sudah terlihat dan dapat dijepit dengan pinset atau klem dan ditarik perlahan-lahan keluar lubang sayatan. b) Dengan jari lewat lubang sayatan, uterus dan tuba didorong kearah lubang sayatan. Pada saat tuba tampak segera dijepit dengan pinset atau klem. 4) Laparoskopi Mula- mula dipasang cunam serviks pada bibir depan portio uteri, dengan maksud supaya kelak dapat menggerakkan uterus jika hal itu diperlukan pada waktu laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit di bawah pusat sepanjang lebih 1 cm. Kemudian di tempat luka tersebut dilakukan pungsi sampai rongga perineum dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO2 sebanyak 1 sampai 3 liter dengan

kecepatan sekitar

1 liter per menit.

Setelah

pneumoperitoneum di rasa cukup, jarum Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya di masukkan trokar (dengan tabungnya). Sesudah itu, trokar di angkat dan dimasukkan laparaskop melalui tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita di letakkan dalam posisi trendelenburg dan uterus di gerakkan melalui cunam serviks pada portio uteri (Schmidt et al. 2014). Kemudian, dengan cunam yang masuk dalam rongga peritoneum bersama dengan laparaskop, tuba di jepit dan dilakukan penutupan tuba dengan kauterisasi, atau memasang pada tuba cincin yoon atau cincin falope atau clip hulka. Berhubungan dengan kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak di lakukan caracara yang lain. Teknik ini dapat dilakukan pada 6-8 minggu 60

pascapersalinan atau setelah abortus (tanpa komplikasi) (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.2. Laparoskopi 5) Kuldoskopi

Rongga pelvis dapat dilihat melalui alat kuldoskop yang dimasukkan kedalam kavum Douglas. Adanya laparoskopi transabdominal, maka kuldoskopi kurang mendapat perhatian/minat dan sekarang sudang jarang dikerjakan. Wanita ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah spekulum dimasukkan dan bibir belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik keluar dan agak ke atas, tampak kavum Douglas mekar di antara ligamentum sakro-uterinum kanan dan kiri sebagai tanda tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan menggunakan jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara masuk dan usus–usus terdorong ke rongga perut. Dan setelah jarum di angkat, lubang di perbesar, sehingga dapat di masukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop dilakukan pengamatan adneksa dan cunam khusus tuba di jepit dan di tarik keluar untuk dilakukan penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi, atau pemasangan cincin Falope (Schmidt et al. 2014). b. Cara Penutupan Tuba

61

Cara tubektomi yang dapat dilakukan adalah cara Pomeroy, Madlener, Irving, Aldrige, Uchida, Kroener, pemasangan cincin folope, klip filshie, dan elektro-koagulasi disertai pemutusan tuba (Schmidt et al. 2014). 1) Cara Pomeroy Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat bagian tengah tuba sehingga membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap (Catgut biasanya no. 0 atau no. 1), lipatan tuba kemudian dipotong di atas ikatan catgut tadi. Tujuan pemakaian catgut biasa ini ialah lekas diabsorpsi, sehingga kedua ujung tuba yang di potong terpisah satu sama lain, dengan demikian rekanalisasi tidak dimungkinkan. Angka kegagalan berkisar antara 0-0,4% (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.3. Cara Pomeroy 2) Cara Madlener Bagian tengah dari tuba di angkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar dari lipatan tersebut di jepit dengan cunam kuat- kuat, dan selanjutnya dasar itu di ikat dengan benang yang tidak dapat di serap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba. Sekarang cara Madlener tidak dilakukan lagi karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1 % sampai 3% (Schmidt et al. 2014).

62

Gambar 2.4. Cara Madlener 3) Cara Irving Pada cara ini tuba dipotong di antara dua ikatan benang yang dapat di serap (biasa dengan benang chromic catgut no. 0 atau no. 00), ujung proksimal dari tuba di tanamkan ke dalam miometrium, sedangkan ujung distal di tanamkan ke dalam ligamentum latum. Dengan cara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin terjadi. Cara tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomi besar seperti seksio sesarea (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.5. Cara Irving 4) Cara Aldrige Peritoneum dari ligamentum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama- sama dengan fimbria ditanam ke dalam ligamentum latum (Schmidt et al. 2014).

63

Gambar 2.6. Cara Aldrige 5) Cara Uchida Pada cara ini tuba ditarik keluar abdomen melalui suatu insisi kecil (minilaparatomi) di atas simpisis pubis. Kemudian di daerah ampula tuba di lakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam dibawah serosa tuba. Akibat suntikan ini, mesosapling di daerah tersebut mengembung. Lalu, dibuat sayatan kecil di daerah yang kembung tersebut, Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang kira- kira 4- 5 cm, tuba dicari dan setelah ditemukan, dijepit, diikat, lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di bawah serosa, sedangkan ujung tuba yang distal di biarkan berada di luar serosa. Luka sayatan di jahit secara kantong tembakau. Angka kegagalan cara ini adalah 0 (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.7. Cara Uchida 6) Cara Kroener Bagian fimbria dari tuba di keluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan benang sutera dibuat melalui bagian mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini diikat 2 kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain

64

mengelilingi tuba sebelah proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria di potong. Setelah pasti tidak ada pendarahan, maka tuba dikembalikan ke dalam rongga perut. Teknik ini banyak yang digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecil kemungkinan kesalahan mengikat ligamentum rotundum. Angka kegagalan 0,19% (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.8. Cara Kroener 7) Pemasangan cincin falope Cincin falope (yoon ring) terbuat dari silikon, dewasa ini banyak digunakan. Dengan aplikator bagian isthmus tuba ditarik dan cincin dipasang pada bagian tuba tersebut. Sesudah terpasang lipatan tuba tampak keputih-putihan oleh karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi fibrotik. Cincin falope dapat dipasang pada laparotomi mini, laparoskopi atau dengan laprokator (Schmidt et al. 2014). 8) Pemasangan Klip Berbagai jenis klip telah dikembangkan untuk memperoleh kerusakan minimal agar dapat dilakukan rekanalisasi bila diperlukan kelak. Klip filshie mempunyai keuntungan dapat digunakan pada tuba yang edema. Klip Hulka-clemens digunakan dengan cara menjepit tuba. Oleh karena klip tidak memperpendek panjang tuba, maka rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan (Schmidt et al. 2014).

65

2.9. Pemasangan Klip 9) Elektro koagulasi dan pemutusan tuba Cara ini dahulu banyak dikerjakan pada tubektomi laparaskopi. Dengan memasukkan grasping forceps melalui laparoskop, tuba fallopii dijepit kurang lebih 2 cm dari kornu kemudian diangkat menjauhi uterus dan alat-alat panggul lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba dibakar kurang lebih 1 cm ke proksimal dan distal serta mesosalping dibakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi tuba tamapak menjadi putih, menggembung, lalu putus. Cara ini sekarang banyak ditinggalkan (Schmidt et al. 2014). 7. Komplikasi dan Penanganan Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tubektomi tersebut, antara lain (Schmidt et al. 2014): a. Infeksi luka. Apabila terlihat luka, obati dengan antibiotika. Lakukan drainase dan pengobatan bila terdapat abses. b. Demam pasca operasi. Cari penyebab demam dan obati berdasarkan penyebab yang ditemukan. c. Perlukaan kandung kemih saat operasi (jarang terjadi). Langsung diperbaiki dengan jahitan kontinu dengan catgut halus dan dilakukan jahitan lapis kedua dengan simpul. Pasien dirawat kurang lebih selama 5 hari dan diberikan antibitok profilaksis. d. Emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi (sangat jarang terjadi). Rujuk ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensif, termasuk cairan intravena, resusitasi kardiopulmonar dan tindakan penunjang kehidupan lainnya. e. Rasa sakit pada lokasi pembedahan. Pastikan apakah ada infeksi atau abses dan obati berdasarkan penyebab yang ditemukan. f. Perdarahan superficial (tepi-tepi kulit atau subkutan). Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan penyebab yang ditemukan. 8. Kesimpulan MOW (Metode Operasi Wanita) atau tubektomi merupakan tindakan medis berupa penutupan tuba uterine yang menyebabkan sel telur tidak dapat

66

melewati sel telur, dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki-laki sehingga tidak terjadi kahamilan dalam jangka panjang sampai seumur hidup. Ada dua langkah tindakan penting dalam tubektomi yaitu tindakan pendahuluan mencapai tuba fallopi dan penutupan tuba fallopi. Dahulu Tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal.

Sekarang,

dengan

alat-alat

dan

teknik

baru,

tindakan

ini

diselenggarakan secara lebih ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Adapun keuntungan tubektomi adalah lebih aman, efektifitas hampir 100%, tidak mempengaruhi libido seksualis dan kegagalan dari pihak pasien tidak ada. Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah merupakan bagian yang penting dalam program keluarga berencana di banyak negara di dunia. Di indonesia sejak tahun 1974 telah berdiri Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan metode dengan operasi (M.O) atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak termasuk ke dalam program nasional keluarga berencana indonesia.

67

V.

MASALAH DAN PEMBAHASAN

Diagnosis awal kasus saat dari Instalasi Gawat Darurat adalah Gravida 3 Para 2 Abortus 0 usia 28 tahun hamil 33 minggu 5 hari, dengan perdarahan antepartum, preeklampsia berat dan riwayat sectio caesarean 2 kali. Beberapa hal yang perlu dibahas berkaitan dengan kasus ini antara lain: A. Pre Eklamsia Berat Pre eklamsia berat ditegakkan berdasarkan dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pada saat masuk VK IGD yaitu 170/120 mmHg. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan urin 1000 mg/ 24 jam. Hasil pemeriksaan fisik tekanan darah yang tinggi dialami pasien sejak kehamilan umur 6 bulan. Pada kehamilan sebelumnya pasien juga terdapat riwayat pre eklampsia berat sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan pengertian pre eklampsia berat, yaitu kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga

terjadi

vasospasme

setelah

usia

kehamilan

20

minggu,

mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (Brooks MD, 2011). Salah satu faktor resiko dari pre eklampsia berat adalah multipara dengan riwayat pre eklampsia sebelumnya (Cunningham, 2014) B. Plasenta Previa Diagonsis plasenta previa didapatkan berdasarkan dari anamnesis bahwa pasien mengeluhkan keluar darah prongkol-prongkol sejak datang ke VK IGD RSMS pada tanggal 5 Juli 2017 pada pukul 21.45. Pada anamnesis juga didapatkan keluhan berupa pusing Hal ini sesuai dengan anamnesis yang didapatkan pada plasenta previa yaitu didapat perdarahan tanpa keluhan nyeri dan perdarahan berulang. Pada perabaan fornises teraba bantalan lunak pada presentasi kepala.Pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya dibenarkan bila dilakukan di kamar operasi

68

yang telah siap untuk melakukan operasi segera (Sastrawinata, 2004). Sedangkan pusing disebabkan karena adanya perdarahan yang nantinya akan menyebabkan pasien kehilangan darah dan menyebabkan hipoperfusi dan nantinya akan menimbulkan manifestasi klinis berupa pusing. C. Solusio Plasenta dan Uterus Couvellaire Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan lahirnya anak. Solutio plasenta terjadi karena

terbentuknya

miometrium. penekanan

Dengan dan

hematom

yang

berkembangnya

perluasan

pelepasan

berasal hematom plasenta

dari

pembuluh

subkhorionik dari

dinding

darah terjadi uterus

(Cunningham, 2013). Darah yang keluar dapat menyebabkan ekstravasasi pada struktur di sekitarnya. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire, dimana pada kondisi ini dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak berwarna biru atau ungu. Teori tersebut sesuai dengan temuan klinis pada pasien berupa perdarahan prongkol-prongkol yang terjadi sejak pasien datang, dan ditemukannya uterus couvelaire merupakan salah satu dampak dari solusio plasenta yang diakibatkan oleh adanya hematom. Salah satu faktor resiko solusio plasenta adalah pre eklampsia berat yang akan berdampak buruknya perfusi plasenta akibat terbentuknya arteri spiralis pada pre eklampsia berat yang akan menyebabkan terlepasnya plasenta (Cunningham, 2014)

D. Sterilisasi MOW MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur, dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki laki sehingga tidak terjadi kehamilan. (BKKBN, 2006)

69

Model sterilisasi MOW dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah usia pasien. Menurut (Mochtar, 2008), salah satu indikasi dilakukannya sterilisasi MOW pada wanita dengan umur antara 0-35 tahun dengan 2 anak atau lebih. Selain itu, melihat dari riwayat PEB pada kehamilan pasien sebelumnya yang ditakutkan akan timbul kembali jika pasien hamil lagi.

70

VI. 1.

KESMPULAN

Diagnosis awal pasien ini adalah G3P2A0 Usia 28 Tahun Hamil 33 Minggu 5 Hari dengan Perdarahan Antepartum, Preeklampsia Berat dan Riwayat Sectio Caesarean 2x

2.

Diagnosis akhir pasien ini adalah P3A0 Usia 28 Tahun post SCTP + MOW + β Lynch Procedure a.i Plasenta Previa, Uterus Couvelaire, Preeklampsia Berat, Riwayat SC 2x

3.

Preeklampsia Berat adalah kelainan malafungsi endotel yang menyebabkan terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya hipertensi, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick).

4.

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir,

5.

Solusio plasenta merupakan terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan lahirnya anak.

6.

Terdapat hubungan yang berimplikasi antara pre eklampsia berat, plasenta previa, solusio plasenta dan uterus couvellaire

7.

MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur, dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki laki sehingga tidak terjadi kehamilan

71

DAFTAR PUSTAKA Asih L, Juliaan F, 2010. Pola Pemakaian Kontrasepsi. Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi 2010. Badan Pusat Statistik (BPS), BKKBN, Departemen Kesehatan dan Macro International Inc. (MI), 2008. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Columbia, Maryland, USA : BPS dan MI. Bari A, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Prawirohadjo S. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Chalik, T.M.A., 2008. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan. Dalam: Prawirohardjo, Sarwono., 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan I. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.pp: 492-502 Cunningham, FG., et al. 2013. Obstetri Williams (Williams Obstetri). Jakarta: EGC. De Cheney, AH., Nathaan, L., 2007. Current obstetric and gynecologic diagnosis and treatment. 10th edition. New York: Mc. Graw – Hill.pp: 336-338 Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian Obstetri danGinekologi FK UNHAS; 1997. 3-8. Hartanto, Hanafi. 2004.KB dan Kontrasepsi. Jakarta: Sinar Harapan, Meilani, Niken., Setyawati, Nanik., Estiwidani, Dwiani., Suherni. 2010.Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Tramaya. Mochtar, Rustam. 2008.Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC, Mose, Johanes C. 2004. Penyulit Kehamilan; Perdarahan Antepartum; Dalam: Obstetri Patologi, edisi ke-2. Editor: Prof. Sulaiman Sastrawinata, dr, SpOG(K), Prof. Dr. Djamhoer Martaadisoebrata, dr, MPSH, SpOG(K), Prof. Dr. Firman F. Wirakusumah, dr, SpOG(K). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC dan Padjadjaran Medical Press. h. 91-96 Noviawati, Sujiyawati. 2009. Panduan Lengkap KB Terkini,:p.165-166. Oxorn, H., 2003. Ilmu Kebidanan: Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica.pp: 425-428 Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 23th ed. R Hariadi, R Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga University Press, 2013; 456-70.

72

Prawirohardjo S. 2009 Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; hal. 495-502 Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi, 2010. Pemantauan PUS Melalui Mini Survei di Indonesia Tahun 2009. Rabe, Thomas. 2003.Ilmu Kandungan. Jakarta: Hipokrates. Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009; 36285. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, editor. 2004. Obstetri Patologi:Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi II. Jakarta : EGC. Schmidt, E, Diedrich J, et al. 2014. Surgical Procedures of Tubal Sterilization. In: The Global Library of Women’s Medicine. Sri H, Buku Ajar Pelayanan KB. Yogyakarta: Pustaka Rihama: 2010. Suyono,Lulu,Gita,Harum,Endang. 2007. Hubungan Antara Umur Ibu Hamil Dengan Frekuensi Solusio Plasenta di RSUD Dr. Moewardi Surakarta; Dalam: Cermin Dunia Kedokteran vol.34 no.5.h 233-238 Wardana, GA dan Karkata, MK., 2007. Faktor Risiko Plasenta Previa . CDK 34: 229-32. AvailableFrom:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/158_05Faktorrisikopl asentaprevia.pd f/158_05Faktorrisikoplasentaprevia.html [Accessed 11 juli 2017] WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO, 2003. 518-20.

73

Related Documents


More Documents from ""