Preskas Mata Strabismus.docx

  • Uploaded by: NiarLatupono
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Preskas Mata Strabismus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,076
  • Pages: 48
BAB I PENDAHULUAN

Kemampuan kita melihat dengan baik sangat tergantung pada kedudukan bola mata yang relatif lurus ketika memandang sebuah objek, koordinasi gerak kedua mata yang baik, dan kemampuan otak melakukan integrasi serta interpretasi terhadap apa yang dilihat. Hal-hal tersebut dijaga dengan baik oleh keseimbangan otot-otot ekstraokular, serta kerja sama antara mata dengan korteks penglihatan. Dalam menjalankan fungsi ini, keenam otot ekstraokular harus bekerja secara sinergi; kegagalan atau ketidakseimbangan otot dalam berfungsi sebagai tim dapat menyebabkan fungsi-fungsi di atas terganggu. Jika kedua mata tidak berada dalam posisi/kedudukan segaris (aligned) menuju suatu objek, kedua mata tidak akan melihat objek yang sama. Kondisi ini dikenal sebagai strabismus, atau penyimpangan kedudukan bola mata. Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau sentral. Cacat sensorik disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis, palpebra, Parut Kornea Katarak Kongenital Cacat Sentral akibat kerusakan otak. Cacat Sensorik dan Sentral menimbulkan Strabismus Konkomitan atau non paralitik. Cacat motorik seperti paresis otot mata akan menyebabkan gerakan abnormal mata yang menimbulkan strabismus paralitik.10 Deviasi horizontal dapat dibagi menjadi 2 yaitu : esotropia dan exotropia. Esotropia adalah strabismus konvergen horizontal.8 Penyimpangan horisontal dibagi lebih lanjut ke penyimpangan comitant dan incomitant (juga disebut sebagai bersamaan dan noncomitant, masing-masing). Comitant merujuk ke deviasi mata yang tidak berbeda dengan arah pandangan; incomitant menggambarkan deviasi mata yang bervariasi dengan arah tatapan.8 Esotropia adalah jenis strabismus atau misalignment mata. Istilah ini berasal dari 2 kata Yunani: Eso, yang berarti ke dalam, dan trépò, berarti giliran. Dalam esotropia, mata disilangkan, yaitu, sementara satu mata melihat lurus ke depan, mata lainnya adalah berpaling ke arah hidung. Penyimpangan ini ke dalam mata dapat mulai sejak bayi, kemudian di masa kecil, atau bahkan menjadi dewasa.6 Perkiraan prevalensi strabismus di dalam populasi umum adalah 2-5%, tetapi epidemiologi strabismus memperlihatkan variasi geografik. Prevalensi strabismus di Amerika, umur 1-3 tahun (1,9%), umur 4-54 tahun (3,3%), dan umur 55-75 tahun (6,1%). Di populasi Asia, Timur Tengah dan Afrika, eksotropia merupakan jenis strabismus yang paling banyak ditemukan; sedangkan di populasi Barat, esotropia. Dalam penelitian oleh Chia terhadap 3009 anak Singapura usia 6-72 bulan, rasio kejadian eksotropia terhadap esotropia adalah 7:1. 1

Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa kasus esotropia (juling ke dalam) terjadi sekitar 3-5 kali lebih banyak daripada eksotropia (juling ke luar). Strabismus juga dapat diklasifikasikan berdasarkan saat onset, terdapat strabismus kongenital atau didapat; berdasarkan frekuensi kemunculan, terdapat strabismus intermiten atau konstan; berdasarkan simetri deviasi di berbagai posisi lirikan, terdapat strabismus komitan dan inkomitan. Pada strabismus komitan, besar deviasi pada saat melirik ke depan, ke samping, kanan kiri, ke atas

bawah, sama besarnya. Sedangkan pada strabismus inkomitan, besar deviasi ke berbagai posisi, berbeda-beda. Sebagiann besar strabismus bersifat komita, sedangkan yang inkomitan biasanya terjadi akibat paralisis atau restriksi saraf/otot Esotropia Mengakuisisi dapat terjadi setelah masa kanak-kanak dan tidak selalu responsif terhadap kacamata rabun dekat, karena ini, itu tidak jatuh ke dalam kategori esotropia bawaan atau esotropia akomodatif, yang dijelaskan dalam artikel lain. Meskipun esotropia diperoleh dapat terjadi pada pasien usia 1-8 tahun, biasanya berkembang pada pasien berusia 2-5 tahun dan tampaknya jarang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya. Dengan mengakuisisi esotropia, sudut deviasi relatif kecil, dan koreksi bedah dini (jika diperlukan) lebih mungkin mencapai fiksasi bifoveal untuk pasien ini dibandingkan mereka yang esotropia bawaan.3 Tujuan penatalaksanaan primer strabismus adalah untuk mencegah ambliopia dan mencapai kemampuan penglihatan binokular terbaik dengan persepsi kedalaman (stereopsis) fungsional, dan sekunder untuk kosmesis yang lebih baik. Dengan demikian, strabismus bukan hanya merupakan masalah pada mata yang dapat mengganggu fungsinya yang kompleks, tetapi juga bisa menjadi indikasi adanya kelainan sistemik lain yang mengancam jiwa pasien. Pada orang dewasa, strabismus mengganggu banyak aspek kehidupan penderita baik yang berkaitan langsung dengan fungsi penglihatan (seperti penglihatan dobel atau diplopia) maupun yang berkaitan dengan kondisi psikologik dan kemampuan menyelenggarakan peran sosialnya.

2

BAB II LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus : SMF ILMU PENYAKIT MATA RSPAD Gatot Soebroto Tanda Tangan Nama

: Nurul Dahniar Latupono

NIM

: 110.2013.220

Dr. Pembimbing

: dr.Astrid Chairini C, Sp.M

----------------

STATUS PASIEN I.

II.

Identitas Nama

: Tn. M

Umur

: 31 desember 1963

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

:-

Alamat

: Johar baru, tanah tinggi.

Tanggal Pemeriksaan

: Kamis, 21 Febuari 2019

Anamnesis Dilakukan Autoanamnesis pada Hari Kamis, 21 Febuari 2019 Pukul : 10.00 WIB

Keluhan Utama : Penglihatan Ganda sejak ± 1,5 bulan yang lalu. Keluhan Tambahan

:

Tidak dapat melirik kearah kiri, sakit kepala sebelah kiri.

3

Riwayat Penyakit Sekarang

:

Pasien datang dengan keluhan penglihatannya menjadi ganda secara tiba-tiba yang dirasakan ± 1,5 bulan yang lalu atau sejak pertengahan januari yang lalu. Keluhan ini baru pertama kali dialami oleh pasien dan keluhan ini tidak pernah dialami pasien sejak ia kecil. Penglihatan ganda yang dialami pasien biasanya hanya dirasakan pasien jika melihat jauh dengan kedua mata. Selain itu pasien juga mengeluh tidak dapat melirik kearah kiri karena bola mata kiri pasien tidak dapat digerakan kearah luar (temporal). Sebelumnya pasien mengatakan kedua bola matanya masih simetris. Saat melakukan anamnesis dengan pasien, pasien sering memiringkan kepalanya ke arah kiri sehingga lebih dominan menggunakan mata kanan pasien untuk melihat. Selain itu pasien juga mengeluhkan mata kirinya terasa pegal. Pasien mengatakan awal-awal pasien mulai merasakan gejala ini muncul disertai dengan sakit kepala yang di rasakan hanya sebelah kiri. Nyeri (-) Gatal (-), Merah (-), berair (-), silau (-), riwayat trauma (-), riwayat pemakaian kacamata (+). Selain pasien berobat ke poli mata, pasien juga merupakan pasien poli penyakit dalam di RSUD gatot Soebroto karena mengalami Diabetes melitus dan kolesterol, saat ini kondisi gula darah pasien mulai terkontrol menurut pengakuan pasien terakhir Gula darah sewaktu pasien adalah 115 mmHg. Pasien mengkonsumsi obat rutin untuk penyakit diabetes melitus yang sering diminum adalah metformin. Riwayat Penyakit Dahulu a. Umum -

Diabetes Melitus

: Ada

- Riwayat Stroke

: Tidak Ada

-

Jantung

: Tidak Ada

- Tuberkulosis

: Tidak Ada

-

Hipertensi

: Tidak Ada

b. Mata -

Riwayat sakit mata sebelumnya

: tidak ada

-

Riwayat penggunaan kaca mata

: ada

-

Riwayat operasi mata

: tidak ada

-

Riwayat trauma mata sebelumnya

: tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga: -

Penyakit mata serupa

: tidak ada

-

Penyakit mata lainnya

: tidak ada

4

III.

-

Diabetes Melitus

: tidak ada

-

Hipertensi

: Ada, Ibu pasien (+)

-

Stroke

: tidak ada

Pemeriksaan Fisik A. Status Generalis Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Suhu

: 36.7˚C

Pernapasan

: 22 x/menit

Kepala

: Normocephali

Mata

: Lihat Status Oftalmologikus

Hidung

: Simetris, Sekret –,

THT

: Hiperemis (-), T1/T1

Leher

: Tidak tampak pembesaran KGB / Tiroid

Jantung/Paru – Paru : Tidak Dilakukan Abdomen

: Tidak Dilakukan

B. Status Ophtalmologis Visus KETERANGAN

OD

OS

Tajam penglihatan

0,8 PH (+)

0,5 PH (+)

Koreksi

Tidak dikoreksi

S + 1,00 C - 0,75 X 180o = 0,8 PH (-)

Addisi

Tidak ada

Tidak ada

Distansia Pupil

68 mm /66 mm ada

ada

Kacamata lama Pasien tidak membawa kacamata lama

5

Kedudukan bola mata KETERANGAN

OD

OS

Eksoftalmus

Tidak ada

Tidak ada

Endoftalmus

Tidak ada

Tidak ada

Deviasi

Tidak ada

Tidak ada

Tes Hirschberg

normal

Esotropia 30o

Baik ke segala arah

Sulit

normal

Esotropia

Gerakan bola mata

Cover/Uncover

6

Tes Hirschberg

Supra silia KETERANGAN

OD

OS

Warna

Hitam

Hitam

Letak

Simetris

Simetris

7

Palpebra Superior dan Inferior KETERANGAN

OD

OS

Edema

Tidak ada

Tidak Ada

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Ektropion

Tidak ada

Tidak ada

Entropion

Tidak ada

Tidak ada

Blefarospasme

Tidak ada

Tidak ada

Trikiasis

Tidak ada

Tidak ada

Sikatriks

Tidak ada

Tidak ada

Fissura Palpebra Vertikal : 9 mm Fissura palpebra

Fissura Palpebra Horizontal : 30 mm Fissura Palpebra Margin Reflex Distance : 4 mm

Ptosis

Tidak ada

Tidak ada

Hordeolum

Tidak ada

Tidak ada

Kalazion

Tidak ada

Tidak ada

Pseudoptosis

Tidak ada

Tidak ada

Konjungtiva Tarsalis Superior dan Inferior KETERANGAN

OD

OS

Hiperemis

Tidak ada

Tidak Ada

Folikel

Tidak ada

Tidak Ada

Papil

Tidak ada

Tidak ada

8

Sikatriks

Tidak ada

Tidak ada

Anemia

Tidak ada

Tidak ada

Kemosis

Tidak ada

Tidak ada

Konjungtiva bulbi KETERANGAN

OD

OS

Injeksi konjungtiva

Tidak ada

Tidak ada

Injeksi Siliar

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Pterigium

Tidak ada

Tidak ada

Pinguekula

Tidak ada

Tidak ada

Nevus Pigmentosus

Tidak ada

Tidak ada

Kista dermoid

Tidak ada

Tidak ada

Kemosis

Tidak ada

Tidak ada

KETERANGAN

OD

OS

Punctum Lacrimal

Terbuka

Terbuka

Epifora

Tidak ada

Tidak ada

Tes anel

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

Perdarahan subkonjungtiva

Sistem lakrimalis

9

Sklera KETERANGAN

OD

OS

Warna

Putih

Putih

Ikterik

Tidak ada

Tidak ada

KETERANGAN

OD

OS

Kejernihan

Jernih

Jernih

Permukaan

Licin

Licin

Ukuran

12 mm

12 mm

Sensibilitas

Baik

Baik

Infiltrat dan Dendrit

Tidak ada

Tidak ada

Ulkus

Tidak ada

Tidak ada

Perforasi

Tidak ada

Tidak ada

Arkus senilis

Tidak ada

Tidak ada

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Tes Placido

Reguler

Reguler

Kornea

Bilik Mata Depan KETERANGAN

OD

OS

Kedalaman

Normal

Normal

Kejernihan

Jernih

Jernih

10

Hifema

Tidak ada

Tidak ada

Hipopion

Tidak ada

Tidak ada

Efek Tyndall

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

KETERANGAN

OD

OS

Warna

Coklat

Coklat

Kriptae

Jelas

Jelas

Bentuk

Bulat

Bulat

Sinekia anterior dan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Iris

posterior Koloboma

Pupil KETERANGAN

OD

OS

Letak

Di tengah

Di tengah

Bentuk

Bulat

Bulat

Ukuran

± 3 mm

± 3 mm

Refleks cahaya langsung

Positif

Positif

tidak Positif

Positif

Refleks

cahaya

langsung

11

Lensa KETERANGAN

OD

OS

Kejernihan

Jernih

Jernih

Letak

Di tengah

Di tengah

Shadow Test

Negatif

Negatif

Badan kaca KETERANGAN

OD

OS

Kejernihan

Jernih

Jernih

Fundus okuli KETERANGAN

OD

OS

Reflex Fundus

Positif

Positif

Papil -

Bentuk

Bulat

Bulat

-

Warna

Jingga muda

Jingga Muda

-

Batas

Tegas

Tegas

-

CD Ratio

0.3

0.3

2/3

2/3

Arteri Vena Retina -

Edema

Tidak Ada

Tidak Ada

-

Perdarahan

Tidak Ada

Tidak Ada

12

-

Exudat

Tidak Ada

Tidak Ada

-

Sikatrik

Tidak Ada

Tidak Ada

Makula Lutea -

Reflex Fovea

Positif

positif

-

Edema

Tidak ada

Tidak Ada

-

Pigmentosa

Tidak ada

Tidak Ada

KETERANGAN

OD

OS

Nyeri Tekan

Tidak ada

Tidak ada

Massa Tumor

Tidak ada

Tidak ada

Tensi Okuli

Normal perpalpasi

Normal perpalpasi

Tonometri

15,0 mmHg

Tidak ada

Palpasi

IV.

Resume Pasien menegluh penglihatannya menjadi ganda secara tiba-tiba yang dirasakan ± 1,5 bulan yang lalu atau sejak pertengahan januari yang lalu. Keluhan ini baru pertama kali dialami oleh pasien dan keluhan ini tidak pernah dialami pasien sejak ia kecil. Penglihatan ganda yang dialami pasien biasanya hanya dirasakan pasien jika melihat jauh dengan kedua mata. Selain itu pasien juga mengeluh tidak dapat melirik kearah kiri karena bola mata kiri pasien tidak dapat digerakan kearah luar (temporal). Sebelumnya pasien mengatakan kedua bola matanya masih simetris. Pasien sering memiringkan kepalanya ke arah kiri sehingga lebih dominan menggunakan mata kanan pasien untuk melihat. Selain itu pasien juga mengeluhkan mata kirinya terasa pegal. Pasien mengatakan awal-awal pasien mulai merasakan gejala ini muncul disertai dengan sakit kepala yang di rasakan hanya sebelah kiri. Nyeri (-) Gatal (-), Merah (-), berair (-), silau (-), riwayat trauma (-), riwayat pemakaian kacamata (+), riwayat DM (+) . 13

Pada pemeriksaan fisik, visus mata kanan 0,8 PH (+), visus mata kiri 0,5 PH (+) Koreksi mata kiri S +1.00 C - 0,75 X 180o = 0,8 PH (-), terdapat penyempitan lapang pandang pada OS dan gerakan bola mata yang terbatas . berdasarkan hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tadi pasien ini dapat didiagnosis dengan Esotropia Akut et causa Paresis Nervus VI. V.

Diagnosis Kerja Strabismus Inkomitan e.c Paresis Nervus VI OS

VI.

Diagnosis Banding Esotropia akut

VII.

Anjuran Pemeriksaan USG CT-Scan atau MRI otak

VIII.

IX.

Tatalaksana 

Terapi oklusi untuk menghilangkan diplopia



Terapi bedah strabismus jika tidak ada perbaikan setalah 6 bulan

Prognosis Ablasio Retina

OD

OS

1. Ad vitam

Bonam

Bonam

2. Ad fungsionam

Bonam

Dubia Ad Bonam

3. Ad sanactionam

Bonam

Dubia Ad Bonam

14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Otot Ekstraokuler dan Fisiologi Pergerakan Bola Mata 3.3.1 Anatomi Otot Ekstraokular Di dalam orbita terdapat enam otot ekstraokular yang berfungsi menggerakkan mata: empat otot rektus dan dua otot oblik. Otot levator palpebra merupakan otot ketujuh di dalam orbita, tetapi tidak termasuk ke dalam otot ekstraokular yang menggerakkan bola mata, sehingga tidak dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, keenam otot ekstraokular ini dikenal sebagai otot okulorotatorik. Meskipun terdapat enam otot ekstraokular dengan tugas berbeda-beda, semua otot ini bekerjasama secara aktif sebagai tim, bahkan dalam keadaan otot-otot seolaholah “beristirahat” saat melihat lurus ke depan. Semua otot tetap memiliki tonus, tetapi yang membuat mata tetap terjaga lurus adalah keseimbangan tonus dari keenam otot. Pada saat melakukan lirikan ke satu objek, otot penggerak utama akan mengalami peningkatan tonus (otot agonis), sedangkan otot penyeimbang pada mata yang sama (otot antagonis) mengalami penurunan tonus. Lima dari enam otot ekstraokular (kecuali otot oblik inferior) berorigo pada region apeks orbita. Otot-otot rektus superior, inferior, medial dan lateral berasal dari sebuah cincin tendinosa pada apeks, yang disebut annulus Zinn; sedangkan otot oblik superior berorigo pada sebuah daerah tepat di atas anulus Zinn. Keempat otot rektus kemudian berjalan dari origo ini ke anterior dan berinsersi pada sklera di sebelah anterior ekuator; sedangkan otot oblik superior berjalan dari apeks orbita, menyusuri dinding superomedial orbita, dan kemudian membelok ke lateral tepat di troklea, untuk kemudian berinsersi di bawah otot rektus superior. Troklea merupakan jaringan ikat yang menjadi semacam katrol (pulley) dan pada dasarnya berfungsi sebagai origo fungsional otot oblik superior. Otot oblik inferior adalah satu-satunya otot ekstraokular yang tidak berorigo di region apeks: origo berasal dari tulang maksila medial, posterior terhadap rima orbita, di dekat fossa lakrimalis. Otot kemudian akan melintas ke posterior, lateral (di bawah otot rektus inferior), kemudian temporal. Insersi otot oblik inferior memiliki 15

kemaknaan penting karena terletak di daerah yang kira-kira bersesuaian dengan macula. Berbeda dengan keempat otot rektus yang berinsersi di anterior ekuator bola mata, kedua otot oblik berinsersi pada sklera di sebelah posterior ekuator. Lintasan (muscle axis) otot-otot oblik membentuk sudut 51o terhadap sumbu penglihatan (visual axis); sedangkan lintasan otot rektus superior dan inferior membentuk sudut 23o terhadap sumbu penglihatan. Sudut datangnya insersi terhadap sklera, letak origo dan insersi otot yang menentukan sumbu otot (muscle axis) serta posisi relatifnya terhadap sumbu penglihatan (visual axis) berperan penting dalam menghasilkan berbagai fungsi gerak yang bisa dihasilkan oleh satu otot, yaitu fungsi primer, sekunder, dan tersier. Meskipun dengan variasi antar individu, secara umum jarak antara insersi keempat otot rektus terhadap limbus membentuk pola sirkumferensial, dengan otot rektus medial terletak paling dekat dengan limbus (5,5 mm), dan otot rektus superior terletak paling jauh (7,7 mm). Pola melingkar berbentuk spiral ini dikenal sebagai spiral og Tillaux yang berperan penting sebagai patokan dalam bedah strabismus (Gambar 1).

Gambar 1. Kiri: keenam otot ekstraokular dan jarak masing-masing insersi otot terhadap limbus. Perbedaan jarak ini membentuk struktur spiral og Tillaux (biru). Kanan: otot-otot ekstraokular dilihat dari lateral. Perhatikan lintasan otot-otot oblik dan hubungannya dengan otot-otot rektus. Insert: cincin biru menunjukkan cincin tendinosa annulus of Zinn di region apex orbita dan insersi otot-otot yang bermula dari struktur tersebut. RS = rektus superior; RL = rektus lateral; RI = rektus medial; SO = oblik superior. (Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI)

16

Semua otot ekstraokular mendapat suplai pendarahan dari a. oftalmika dan cabang-cabangnya. Cabang a. oftalmika, yaitu a. siliaris anterior, adalah cabang yang mensuplai keempat otot rektus, dengan masing-masing otot rektus mendapat 2 cabang, kecuali otot rektus lateral (satu cabang). Oleh karena a. siliaris anterior juga memperdarahi segmen anterior mata, jika pada sebuah operasi strabismus dilakukan manipulasi terhadap semua otot rektus secara serentak, dapat timbul iskemia segmen anterior. Arteri siliaris posterior longus merupakan pembuluh kolateral yang bisa mensuplai otot setelah pembedahan otot rektus. Drainase vena otot-otot ekstraokular dilakukan oleh vena orbita superior dan inferior. Sebagaimana pendarahannya, sebagian besar otot ekstraokular dipersarafi oleh saraf okulomotor (N. III), kecuali otot oblik superior oleh saraf troklear (N. IV) dan otot rektus lateral oleh saraf abdusen (N. VI). Oleh karena N. IV berjalan di luar konus otot, pada anestesi retrobulbar operasi katarak, otot oblik superior tidak lumpuh. 3.3.2 Fisiologi Pergerakan Bola mata Diameter bola mata manusia dewasa adalah sekitar 24-25 mm, dan dapat berputar ±50o ke kanan kiri (horizontal), 42o ke atas dan 48o ke bawah (vertical), dan ±30o torsional. Gerakan satu mata memutari sumbu vertikalnya ke lateral dan medial, atau memutari sumbu horizontalnya ke superior serta inferior disebut sebagai gerakan duksi. Duksi ke arah lateral disebut sebagai abduksi; ke medial, adduksi; ke superior, supraduksi/elevasi; dan ke inferior adalah infraduksi/ depresi. Eksiklodan insikloduksi masing-masing secara beturutan adalah geraka torsional ke luar dan ke dalam. Dengan demikian penilaian duksi adalah dalam konteks monokular, dan hambatan/keterbatasan dalam melakukan gerak duksi dapat menjadi petunjuk adanya paresis/paralisis atau restriksi. Setiap otot memiliki kerja primer, sekunder, dan tersier, yang terjadi akibat sumbu otot yang berjalan tidak paralel terhadap sumbu penglihatan. Berbagai gerakan otot dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kerja Otot – Otot Ekstraokuler Otot

Kerja Primer

Kerja Sekunder

Kerja Tersier

Rektus Medial

Adduksi

-

-

17

Rektus Lateral

Abduksi

-

-

Rektus Inferior

Depresi

Eksikloduksi

Adduksi

Rektus Superior

Elevasi

Insikloduksi

Adduksi

Oblik Inferior

Eksikloduksi

Elevasi

Abduksi

Oblik Superior

Insikloduksi

Depresi

Abduksi

Pada saat memandang/melirik ke sebuah objek, kedua mata akan bergerak secara terkoordinasi menuju objek yang dituju, dan mengatur dirinya sedemikian rupa dengan tujuan agar image dari mata kanan dan mata kiri bisa jatuh tepat di masing-masing fovea. Pada saat seseorang sedang memandang lurus ke depan ke sebuah objek di kejauhan dengan posisi kepala lurus, posisi ini disebut sebagai posisi primer (primary position of gaze); pada posisi ini kita melakukan banyak pemeriksaan mata seperti jarak interpupil, menilai simpangan, pemeriksaan Hirschberg, Hertel, dan lain-lain. Dalam pemeriksaan oftamologi, gerakan mata dipetakan ke dalam 9-positions of gaze yang bersesuaian dengan kerja otot-otot ekstraokular, yang mempunyai kemaknaan diagnostik penting dalam menilai kerja serta kedudukan bola mata (Gambar 2). Otot yang berkontraksi dan bertanggung jawab menggerakkan mata ke arah yang dituju adalah otot agonis. Pada konteks monokular duksi ini berlaku hukum Sherrington (persarafan resiprokal), yaitu pada saat sebuah otot agonis mendapat impuls untuk berkontraksi, otot antagonis (penyeimbang pada mata yang sama) mengalami inhibisi impuls atau relaksasi. Sebagai contoh, saat mata kiri melirik ke kiri (berabduksi), terjadi kontraksi otot agonis yaitu otot rektus lateral mata kiri, dan relaksasi otot antagonis yaitu otot rektus medial mata kiri. Jika otot oblik superior kanan berkontraksi, otot oblik inferior kanan (antagonis dari oblik superior kanan) berelaksasi.

18

Gambar 2. 9-positions of gaze sebagai posisi diagnostic gerakan bola mata, sekaligus memperlihatkan arah urutan melakukan pemeriksaan versi. Perhatikan simetri dan kesamaan rentang gerak antara mata kanan dan kiri yang ditemukan pada mata normal. (Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)

Berbeda dengan duksi yang dinilai secara monokular, terdapat juga gerakan yang dinilai dalam konteks binokular, atau pada saat kedua mata bergerak sekaligus, yaitu versi dan vergens. Gerakan versi bersifat konjugat, yang berarti gerakan kedua mata berlangsung ke arah lirikan/gaze yang sama, seperti pada saat melirik ke kanan: baik mata kanan maupun kiri sama-sama bergerak ke kanan (disebut: dekstroversi). Jika kedua mata bergerak dalam arah lirikan berlawanan, gerakan ini disebut gerakan diskonjugat (vergens) seperti terjadi pada saat seseorang melihat objek dekat (konvergensi): mata kiri bergerak ke kanan, mata kanan bergerak ke kiri. Dalam praktik, ketika seseorang melirik ke sebuah objek di sebelah kanan, otot agonis pada masing-masing mata adalah otot rektus lateral kanan dan otot rektus medial kiri. Pasangan otot ini disebut sebagai pasangan otot yoke. Pada gerakan binokular ini berlaku hukum Hering (hukum korespondensi motoric) yang menyatakan bahwa pasangan yoke muscles mendapat inervasi sama besar dan serentak pada saat melirik ke posisi tertentu. 3.2 Penglihatan Tunggal Binokular Manusia dikaruniai sepasang mata di bagian depan wajah karena penggunaan dua mata secara bersamaan (penglihatan binokular) memiliki sejumlah keunggulan, yaitu memperluas lapang pandangan dan membangun penglihatan stereoskopik. Stereopsis 19

merupakan salah satu bentuk kompleks dari penglihatan tunggal binokular yang sangat bermanfaat bagi manusia karena memampukan seseorang untuk mempersepsi kedalaman (depth perception) dan melihat secara 3-dimensi. Selain itu, penglihatan binokular meningkatkan kemampuan persepsi terhadap bentuk, warna, serta hubungan dinamis antara tubuh dengan lingkungan, di mana hal-hal ini memfasilitasi kemampuan menggapai benda, kendali keterampilan, dan keseimbangan. Sebagai konsekuensi adanya input dari dua mata, jika kita memandang sebuah objek, sesungguhnya otak kita dihadapkan pada dua gambar yang terpisah secara fisik. Akan tetapi, meskipun memang terdapat dua gambar fisik (retina) terpisah, hanya ada satu objek yang dipersepsi atau “terlihat” oleh kita. Fenomena ini terjadi tanpa disadari, seolah-olah memang sudah seharusnya kita hanya melihat satu objek bila hanya ada satu objek di depan kita; seseorang baru akan merasa terganggu jika pada satu kondisi melihat dobel. Kemampuan untuk mempersepsi atau “melihat” dua input gambar binokular tadi secara serentak sebagai satu imej tunggal dikenal sebagai kemampuan penglihatan tunggal binokular (BSV, binocular single vision).

Gambar 3. Manusia dapat melihat objek secara 3-dimensi karena adanya sudut pemandangan yang sedikit berbeda dari masing-masing mata. Kemampuan melihat menggunakan kedua mata secara bersamaan disebut penglihatan binokular, dan bila otak mampu memfusi kedua bayangan tersebut menjadi satu, maka disebut penglihatan tunggal binokular. (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)

Secara proses, penglihatan tunggal binokular adalah refleks peleburan (fusi) atau integrasi di tingkat korteks, terhadap dua gambar yang berasal dari dua retina (kanan dan kiri) sehingga pada akhirnya dilihat/dipersepsikan sebagai satu gambar tunggal. Tanpa penglihatan binokular tunggal, dua gambar dari dua mata akan selalu terlihat sebagai dua gambar, diikuti hilangnya berbagai keunggulan penglihatan binokular yang disebutkan di 20

atas. Agar pusat penglihatan di otak bisa belajar melebur dua gambar menjadi satu, syaratsyarat di bawah ini harus terpenuhi, yaitu: 

Tidak terdapat gangguan anatomis maupun fisiologis sepanjang jalur penglihatan sehingga tajam penglihatan kedua mata baik dan setara. Dengan demikian terdapat input gambar yang berkualitas baik dan sama jelas/terang serta serupa bentuk/ukuran.



Aksis penglihatan kedua mata selalu mengarah ke dan berfiksasi pada objek, sehingga juga terdapat lapang pandangan mata yang beririsan, melalui koordinasi otot-otot ekstraokular dengan tingkat ketepatan tinggi (fusi motorik baik).



Elemen-elemen retinokortikal mampu saling bekerja sama untuk membantu fusi (fusi sensorik baik). Gambar yang berkualitas baik adalah yang jatuh tepat di fovea, karena fovea

memiliki potensi tajam penglihatan paling tinggi. Untuk keperluan itu harus ada otot-otot ekstraokular yang berfungsi baik, disertai koordinasi yang juga baik dengan otak agar gambar bisa dijatuhkan di kedua fovea secara serentak. Jika gambar tidak dapat dilebur dengan baik karena belum jatuh tepat di fovea, otak akan mengarahkan otot agar lebih segaris dengan objek. Gerakan kedua bola mata (yang dikendalikan oleh otak) untuk menyegariskan diri ke arah objek yang dituju adalah fusi motorik. Fusi motorik ini merupakan syarat untuk terjadinya fusi sensorik, yaitu proses neurofisiologik di area sensorik visual otak untuk mengintegrasikan data visual dari dua mata menjadi satu. Ketidakmampuan mengatur posisi bola mata karena misalnya kelumpuhan otot, trauma, atau gangguan fungsi sensorik pasca-stroke, dan lain-lain bisa mengganggu penglihatan tunggal binokular karena imej tidak jatuh di fovea sebagaimana harusnya, dan pasien akan mengalami keluhan penglihatan dobel (diplopia). Proses pembelajaran refleks penglihatan tunggal binokular terjadi dalam masa kritis perkembangan penglihatan mulai usia 3-4 bulan, dengan puncak perkembangan pada usia 2 tahun, terbentuk dengan baik pada 4 tahun, dan menurun setelah usia 8 tahun. Jika terjadi penyimpangan kedudukan bola mata sebelum atau dalam masa kritis ini, kemampuan penglihatan tunggal binokular bisa tidak terbentuk; sedangkan jika deviasi terjadi setelah penglihatan binokular tunggal terbentuk, baik pada anak-anak maupun dewasa, dapa muncul diplopia yang mengganggu. Jika diplopia terjadi dalam kurun waktu usia hingga 78 tahun (sistem visual masih imatur), otak bisa melakukan adaptasi sensorik untuk

21

mengatasi diplopia tersebut dan mempertahankan fusi. Pada orang dewasa, adaptasi sensorik tidak bisa lagi terjadi. Bentuk adaptasi sensorik bisa berupa: 

Supresi: upaya menghilangkan salah satu gambar yang mengganggu dengan “menekan” fungsi penglihatan salah satu mata saat sedang digunakan bersamaan – tajam penglihatan masing-masing mata bisa tetap normal.



Anomalous retinal correspondence (ARC): upaya untuk tetap membangun penglihatan tunggal binokular melalui pembentukan sirkuit neuro-fisiologik abnormal. Ambliopia adalah penurunan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (BCVA,

best corrected visual acuity) pada satu atau (lebih jarang) dua mata, yang tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan efek dari kelainan structural atau jalur penglihatan posterior pada mata. Ambliopia disebabkan oleh suatu pengalaman pembelajaran visual yang tidak normal pada masa kanak-kanak akibat:  Strabismus  Perbedaan besar di antara status refraksi kedua mata (anisometropia) atau kelainan refraksi yang sama-sama tinggi pada kedua mata (isoametropia).  Deprivasi/hilangnya asupan rangsang penglihatan (misal katarak kongenital, massa di posterior, dll)

3.3 Strabismus 3.3.1 Defenisi Kemampuan kita melihat dengan baik sangat tergantung pada kedudukan bola mata yang relatif lurus ketika memandang sebuah objek, koordinasi gerak kedua mata yang baik, dan kemampuan otak melakukan integrasi serta interpretasi terhadap apa yang dilihat. Hal-hal tersebut dijaga dengan baik oleh keseimbangan otot-otot ekstraokular, serta kerja sama antara mata dengan korteks penglihatan. Dalam menjalankan fungsi ini, keenam otot ekstraokular harus bekerja secara sinergi; kegagalan atau ketidakseimbangan otot dalam berfungsi sebagai tim dapat menyebabkan fungsi-fungsi di atas terganggu. Jika kedua mata tidak berada dalam posisi/kedudukan segaris (aligned) menuju suatu objek, kedua mata tidak akan

22

melihat objek yang sama. Kondisi ini dikenal sebagai strabismus, atau penyimpangan kedudukan bola mata. Strabismus dapat bersifat manifes (-tropia), atau laten (-foria). Strabismus manifes adalah deviasi nyata yang tidak terkontrol oleh fusi. Pemahaman “laten” adalah bahwa kecenderungan mata untuk berdeviasi masih dapat dikontrol oleh mekanisme fusi sehingga mata tetap terlihat lurus, dan juling tersembunyikan. Juling atau deviasi akan muncul jika fusi diganggu atau tidak sanggup dipertahankan, antara lain seperti pada saat kesadaran/fokus berkurang – melamun, lelah, dan lainlain. Dikenal 2 bentuk foria yaitu : -

Ortoforia Ortoforia merupakan keduduan bola mata dimana kerja otot – otot luar bola mata seimbang sehingga memungkinkan terjadinya fusi tanpa usaha apapun. Pada ortoforia kedudukan bola mata ini tidak berubah walaupun reflek fusi diganggu. Ortoforia yang sempurna sebetulnya suatu keadaan yang jarang dan kedudukan mata tergeser sebesar 3-5 derajat pada bidang horizontal atau 2 derajat pada bidang vertikal masih dianggap dalam batas normal. Penglihatan kedua mata adalah perlu didalam kehidupan sehari – hari karena dengan penglihatan binokular didapatkan persepsi serentak dengan kedua mata, fusi dan penglihatan ruang (stereopsis).

-

Heteroforia Heterofori dalam keadaan kedudukan bola mata yang normal namun akan timbul penyimpangan (deviasi) apabila refleks fusi diganggu. Deviasi hilang bila faktor desosiasi ditiadakan akibat terjadinya pengaruh refleks fusi. Macam – macam heteroforia bergantung kepada penyimpangannya, pada bidang horizontal ditemukan esofori dan eksofori, pada bidang vertikal ditemukan hipoforia atau hiperforia sedang pada bidang frontal ditemukan insiklofori dan eksiklofori. Penyebab adalah akibat tidak seimbangnya atau insufisiensinya otot pergerakan mata. Terdapat 75%-90% penduduk menderita heteroforia dan biasanya tidak menimbulkan keluhan. Pada penelitian ditemukan bahwa bila kekuatan fusi vergens 2 kali sebesar kekuatan heteroforianya makan heteroforia ini tidak akan 23

menibulkan keluhan. Fusi pasien dapat terganggu bila pasien letih atau satu mata tertutup misalnya pada uji tutup mata dan uji tutup bergantian. Pada heteroforia tidak terdapat ambliopia dan mungkin masih terdapat penglihatan stereoskopik. Heteroforia ini dibagi menurut arah penyimpangan sumbu penglihatan.

3.3.2 Epidemiologi Perkiraan prevalensi strabismus di dalam populasi umum adalah 2-5%, tetapi epidemiologi strabismus memperlihatkan variasi geografik. Di populasi Asia, Timur Tengah dan Afrika, eksotropia merupakan jenis strabismus yang paling banyak ditemukan; sedangkan di populasi Barat, esotropia. Dalam penelitian oleh Chia terhadap 3009 anak Singapura usia 6-72 bulan, rasio kejadian eksotropia terhadap esotropia adalah 7:1. 3.3.3 Klasifikasi A. Berdasarkan Arah Deviasi Bola Mata (Gambar 4.) 1. Perputaran ke dalam, disebut ESODEVIASI 2. Perputaran ke luar, disebut EKSODEVIASI 3. Perputaran ke atas, disebut HIPERDEVASI 4. Perputaran ke bawah, disebut HIPODEVIASI B. Berdasarkan Saat Onset 1. Strabismus Kongenital 2. Strabismus Didapat C. Berdasarkan Simetri Deviasi 1. Strabismus Inkomitan a) Strabismus Inkomitan Kongenital Neurogenik b) 1) Kelumpuhan Saraf Okulumotor (N III) 2) Kelumpuan Saraf Trokhlearis (N IV) 3) Kelumpuhan Saraf Trokhlearis (N VI) c) Strabismus Inkomitan Kongenital Mekanik 1) Sindrom Duanne

24

2. Strabismus Komitan

Gambar 4. Berbagai bentuk strabismus berdasarkan arah deviasi bola mata. (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)

3.4 Strabismus Sensorik Strabismus sensorik yang bisa disebut juga sebagai strabismus sekunder, merupakan kelainan kedudukan bola mata yang berhubungan dengan penglihatan buruk pada satu mata. Strabismus sensorik dapat berupa strabismus horizontal, vertical, dan torsional atau bentuk kombinasi, tetapi bentuk yang paling umum dikenal adalah bentuk horizontal. Dalam uraian ini akan dikemukakan bentuk strabismus sensorik horizontal saja yaitu esotropia sensorik dan eksotropia sensorik. Mekanisme pada terjadinya strabismus sensorik tidak diketahui, tetapi penglihatan buruk pada satu mata diketahui dapat menyebabkan gangguan fusi sebagian atau seluruhnya, sehingga terjadi penyimpangan kedudukan bola mata. Secara klinis, strabismus sensorik dibagi menjadi dua kelompok yaitu esotropia sensorik dan eksotropia sensorik.

3.4.1 Eksotropia Sensorik Merupakan strabismus divergen yang terjadi sebagai akibat penurunan penglihatan pada satu mata yang mengganggu fusi, dengan prevalensi kurang dari 3% populasi anak penderita strabismus. Eksotropia sensorik dapat disebabkan oleh defisit sensorik seperti anisometropia yang tidak dikoreksi, katarak unilateral, atau gangguan penglihatan unilateral lainnya. Angka kejadian kondisi ini sama dengan esotropia sensorik pada kelompok anak di bawah umur 5 tahun, tetapi pada kelompok umur yang lebih tua (5-18 tahun) lebih banyak ditemukan eksotropia sensorik, dan lebih banyak lagi pada populasi pasien dewasa. Meskipun terjadi lebih sering daripada esotropia sensorik, eksotropia sensorik memiliki faktor-faktor penyebab yang sama. Penurunan relatif tonus konvergen seiring dengan bertambahnya usia diperkirakan merupakan penyebab lebih tingginya insiden eksotropia sensorik pada usia lebih tua.

25



Manifestasi Klinis Eksotropia sensorik terjadi unilateral dan bersifat konnstan pada fiksasi jauh dan dekat, dan sering disertai dengan deviasi vertikal akibat overaction otot oblik superior serta inferior. Bila onset kondisi ini terjadi pada usia dini, kecil kemungkinan untuk mendapatkan penglihatan binokular normal atau stereopsis derajat tinggi meskipun kedudukan bola mata diperbaiki secara anatomik.



Diagnosa Banding Eksotropia Sensorik o

Sindrom Duane’s tipe 2

o

Kelumpuhan saraf kranial III yang hanya mengenai rektur medial yang disertai penurunan penglihatan pada satu mata. Untuk dapat menegakkan diagnosis strabismus sensorik dan melakukan

penatalaksanaan dengan baik, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan mata umum, dan pemeriksaan strabismus yang cermat. Pemeriksaan mata lebih ditekankan untuk mencari ada tidaknya penglihatan buruk pada satu mata serta mencari penyebabnya, dan duksi serta versi untuk menyingkirkan diagnosis banding. Bila pergerakan bola mata baik dan terdapat tajam penglihatan buruk pada satu mata disertai deviasi horizontal yang konstan, maka dapat ditegakkan diagnosis trabismus sensorik. Pemeriksaan penunjang diperlukan hanya untuk kasus-kasus tertentu, seperti katarak unilateral, di mana sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG untuk melihat keadaan segmen posterior yang tidak dapat dilihat melalui funduskopi. 

Penatalaksanaan Pada esotropia atau eksotropia sensorik sejak usia dini, di mana penyebab visus buruk pada satu mata berkaitan dengan kekeruhan media, seperti katarak kongenital unilateral, maka tindakan operasi katarak harus segera dilakukan; kalau memungkinkan dalam 2 bulan pertama kehidupan. Di samping operasi katarak, juga dilakukan koreksi optik dengan lensa kontak, atau penanaman lensa intraokular, serta terapi oklusi untuk ambliopia. Penatalaksaan kemudian baru diarahkan untuk intervensi strabismus yang ada, bergantung pada besar sudut deviasi. Tetapi prisma dapat dipertimbangkan untuk membangun fusi, jika memang ada potensi untuk terjadinya fusi. Alternatif berikutnya adalah operasi strabismus. Pada anak-anak dan orang dewasa yang sudah mempunyai penglihatan binokular baik, kemudian mengalami strabismus sensorik akibat misalnya katarak traumatik unilateral yang tebal, maka fusi bisa menghilang bila kelainan penyebab tidak diangkat selama lebih dari 2 tahun. Dengan demikian walaupun kemudian dilakukan 26

operasi katarak, tetap akan dibutuhkan terapi dengan memberikan prisma dan atau dilakukan operasi strabismus. Hal ini menjadi alasan untuk sebaiknya cepat melakukan operasi katarak, sebelum pasien kehilangan kesempatan untuk mengembalikan fusi. Namun demikian harus tetap diingat bahwa dalam menghadapi pasien dengan strabismus sensorik, apakah masih memungkinkan mendapatkan fusi, tergantung pada penyebab terjadinya visus buruk pada satu mata, apakah reversible atau irreversible. Bila kemungkinan irreversible, maka harus dijelaskan pada pasien dana tau keluarga, penglihatan binokular tidak mungkin dicapai.

3.4.2 Esotropia Sensorik Esotropia sensorik adalah strabismus konvergen (mata juling ke dalam), yang berhubungan dengan penglihatan yang buruk pada satu mata. Keadaan ini mungkin terjadi akibat sejumlah kondisi yang membatasi ketajaman penglihatan pada satu mata (misalnya anisometropia yang tidak dikoreksi, katarak unilateral, kekeruhan kornea, atrofi saraf optik, atau kelainan makula). Kondisi ini paling sering terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. Sekitar 4% pasien dengan esotropia merupakan esotropia sensorik. Sebagian besar kasus esotropia sensorik berkembang pada 5 tahun pertama kehidupan. Pada tipe esotropia yang relatif jarang ini, katarak kongenital atau katarak traumatika unilateral merupakan penyebab terbanyak, yaitu pada hamper 30% seluruh kasus. Esotropia berkembang akibat defisit visual akibat kelainan organik, yang mengakibatkan hambatan fusi. Derajat gangguan penglihatan monokular yang menyebabkan esotropia sensorik berkisar antara 6/18 sampai persepsi cahaya. 

Manifestasi Klinis Pada pasien esotropia sensorik biasanya didapatkan esotropia unilateral yang konstan pada fiksasi jauh maupun dekat, dengan anisometropia berat. Deviasi vertical berkaitan dengan overaction otot oblik superior dan inferior. Ambliopia fungsional tumpeng tindih dengan kehilangan penglihatan yang disebabkan oleh kelainan organik. Potensi penglihatan binokular normal dan stereopsis derajat tinggi sangat terbatas.

A. Esodeviasi (Juling ke dalam) Esodeviasi merupakan bentuk juling kearah nasal atau ke dalam: jika satu mata berfiksasi pada sebuah objek, maka mata sebelahnya akan menyimpang ke arah hidung. Berdasarkan kemampuan pengendalian fusi, esodeviasi dapat dikelompokkan menjadi: -

Esoforia merupakan esodeviasi yang paling ringan, bersifat laten, selalu dalam kendali mekanisme fusi, sehingga mata selalu tampak normal bila kedua mata dibuka.

27

Esoforia, mata berbakat juling ke dalam, adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan ke arah nasal yang tersembunyi oleh karena masih adanya refleks fusi. Esoforia yang mempunyai sudut penyimpangan lebih besar pada waktu melihat jauh dari pada waktu melihat dekat disebabkan oleh suatu insufisiensi divergen. Esoforia yang mempunyai sudut penyimpangan lebih kecil pada waktu melihat dekat disebabkan oleh suatu ekses konvergen. Biasanya diakibatkan oleh suatu akomodasi yang berlebihan pada hipermetropia yang tidak dikoreksi. Bila besar sudut penyimpangan sama besar pada waktu melihat dekat dan melihat jauh, maka ini disebut sebagai Basic-type. Penglihatan esoforia dapat diobati dengan jalan: 1. Memberikan koreksi hipermetropia untuk mengurangi ragsang akomodasi yang berlebih – lebihan. 2. Memberikan miotika untuk menghilangkan akomodasinya 3. Memberikan prisma base out yang dibagi sama besar untuk mata kiri dan kanan 4. Tindakan operasi bila usaha di atas tidak berhasil. -

Esotropia intermiten (laten-manifes) merupakan esodeviasi laten yang dikendalikan oleh mekanisme fusi secara intermiten, sehingga bila dalam keadaan lelah atau sakit, juling secara spontan akan manifes.

-

Esotropia (manifes) merupakan esodeviasi yang sama sekali tidak dikontrol oleh fusi, sehingga esodeviasi terus menerus manifes secara konstan.

 Klasifikasi Berdasarkan onset atau waktu mula terjadinya, esodeviasi dapat dikelompokkan menjadi: ESOTROPIA KONGENITAL (INFATIL) Merupakan esodeviasi yang mulai muncul sebelum usia 6 bulan kehidupan. Insiden esotropia kongenital adalah sekitar 1 di antara 1000 anak. Penyebab pasti terjadinya esotropia kongenital tidak diketahui, tetapi ada 2 teori yang saat ini dianut yaitu teori defek perkembangan sensorik di otak yang menyebabkan kelainan 28

kedudukan bola mata, dan teori motorik primer di mana kelainan kedudukan bola mata merupakan abnormalitas primer yang selanjutnya menyebabkan disrupsi penglihatan binokular. Kedua hal tersebut mungkin secara bersama-sama bertanggung jawab sebagai penyebab untuk berkembangnya esotropia kongenital. 

Manifestasi Klinis Esodeviasi terlihat pada usia kurang dari 6 bulan, dengan ukuran deviasi besar (>30 PD) dan konstan (Gambar 5). Tidak ada hambatan abduksi, kelainan refraksi hiperopia bermakna, ataupun kelainan mata lain yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan strabismus sensorik. Pada pemeriksaan versi, pasien esotropia kongenital sering mengesankan adanya defisit abduksi; hal ini merupakan pseudoparesis akibat fiksasi silang (cross-fixation) di mana untuk melihat sesuatu di sisi kanan, anak akan menggunakan mata kiri, atau sebaliknya. Fiksasi silang ini umumnya terjadi bila tajam penglihatan kedua mata seimbang. Namun bila terdapat ambliopia, tidak akan terjadi fiksasi silang. Keterbatasan melakukan abduksi penuh ini penting untuk dibedakan: apakah pseudoparesis akibat fiksasi silang atau memang terdapat kelumpuhan otot rektus lateral (N. VI). Pada bayi, kedua kondisi ini dapat dibedakan dengan melakukan doll’s head maneuver.

Gambar 5. Esotropia kongenital pada seorang anak berusia 3 tahun. Tampak bahwa deviasi berukuran cukup besar pada posisi primer (>15o ET) , tetapi gerakan abduksi baik. (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI,2017) 29



Diagnosis Banding untuk esotropia kongenital adalah : -

Pseudo-esotropia

-

Sindroma Duane tipe I

-

Kelumpuhan saraf abdusen kongenital

-

Esotropia akomodatif dengan onset yang sangat dini

-

Esotropia sensorik

-

Esotropia dengan kelainan neurologi Semua

anak

yang

dicurigai

menderita

esotropia

kongenital harus diperiksa secara lengkap, termasuk pemeriksaan funduskopi dengan pupil yang dilebarkan untuk menyingkirkan kemungkinan esotropia sensorik akibat kelainan okular lain. Selain itu, dilakukan refraksi objektif dengan sikloplegik untuk menyingkirkan esotropia akomodatif dengan onset sangat dini. Bila ditemukan hiperopia bermakna, diberikan kaca mata koreksi penuh sesuai ukuran dalam sikloplegik, kemudian evaluasi apakah pemberian kaca mata memiliki efek terhadap besar esodeviasinya. Dengan mengamati fixation preference, dapat diketahui ada atau tidaknya ambliopia. 

Penatalaksanaan Pada prinsipnya, tatalaksana esotropia kongenital adalah operasi. Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan evaluasi secara seksama apakah ada ambliopia. Bila terdapat ambliopia, dilakukan terapi ambliopia terlebih dahulu; dan bila ambliopia sudah teratasi, baru dilakukan bedah strabismus.

ESOTROPIA AKOMODATIF Esotropia akomodatif merupakan deviasi konvergen atau ke dalam, yang berhubungan dengan aktivasi refleks akomodasi. Sekitar 50% dari semua kasus esotropia masa kanak-kanak adalah kasus esotropia akomodatif refraktif dan akomodatif campuran. Esotropia non-akomodatif adalah bentuk paling umum kedua dari esotropia masa kanak-kanak, yang menyusun sekitar 10%.Esotropia akomodatif, yang mulai usia 6 bulan hingga 7 tahun, bila dikoreksi hipertropianya maka akan terlihat hingga esotropianya. 30

Mekanisme yang terlibat di dalam patofisiologi estoropia akomodatif adalah adanya hiperopia yang tidak terkoreksi konvergensi akibat akomodasi, dan insufisiensi fusi divergen. Bila terdapat hiperopia yang tidak dikoreksi, maka ada upaya mata untuk melakukan akomodasi agar bayangan yang jatuh di retina lebih terfokus. Konsekuensi dari upaya akomodasi ini adalah konvergensi berlebihan. Bila amplitudo fusi divergen cukup besar untuk mengoreksi konvergensi yang berlebihan tersebut, tidak akan terjadi esotropia. Namun, apabila amplitude fusi divergen tidak mencukupi atau terdapat kelainan fusi motorik akibat hambatan sensorik, maka akan terjadi esotropia. 

Manifestasi Klinis Esotropia akomodatif mempunyai karakteristik berupa onset pada usia antara 6 bulan – 7 tahun (rata-rata 2,5 tahun). Meskipun demikian, ada juga esotropia akomodatif yang terjadi sedini usia 4 bulan. Pada awal terjadinya, kondisi ini umumnya bersifat intermiten, dan lama-kelamaan berubah konstan. Kelainan ini seringkali bersifat herediter dan sering disertai dengan ambliopia; kadang-kadang dicetuskan oleh trauma atau sakit. Bila onset penyakit terjadi pada anak dengan usia lebih tua di mana perkembangan penglihatan binokular sudah terjadi, dapat terjadi keluhan penglihatan dobel pada saat awal. Secara klinis, berdasarkan respon terhadap koreksi kaca mata sferis positif (hiperopia), esotropia akomodatif dapat dibedakan menjadi: o Esotropia akomodatif refraktif: bila dengan kaca mata hiperopia koreksi penuh, deviasi jauh dan dekat terkoreksi (Gambar 6). o Esotropia akomodatif non-refraktif: bila dengan kaca mata hiperopia koreksi penuh, deviasi jauh terkoreksi, sedangkan deviasi dekat tidak semuanya terkoreksi dan deviasi dekat baru terkoreksi bila diberikan addisi sferis positif (2-3 dioptri).

31

o Esotropia akomodatif campuran: bila dengan kaca mata hiperopia koreksi penuh, deviasi jauh dan deviasi dekat terkoreksi hanya sebagian.

Gambar 6. Esotropia akomodatif yang memperlihatkan perbedaan besar deviasi saat tanpa dan dengan kacamata. Pada gambar kiri terlihat esotropia nyata dengan refleks cahaya kornea di temporal pupil, dan setelah pemakaian kacamata, kedudukan bola mata menjadi ortotropia. (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)



Klasifikasi a. Esotropia akomodatif refraktif Esotropia refraktif adalah suatu esodeviasi yang timbul sebagai akibat suatu usaha komodasi pada hipertropia tak terkoreki. Biasanya timbul pada anak normal, tetapi sensitive anara usia 2 dan 3 tahun bila terdapat suatu hipertropia sedang sampai tinggi dalam tingkat +4.00 atau lebih. Biasanya esodeviasi mulai bila si anak mulai tertarik perhatian untuk memperhatikan objek – objek jarak dekat. Kaca mata yang tepat waktunya dan penggunaan koreksi hiperopik memberikan pengobatan yang memadai untuk esotropia refraktif pada kebanyakan kasus. Bila kaca mata tidak cukup segera diberikan atau bila hiperopia itu tidak terkoreksi dengan penuh, maka esodeviasi itu dapat menjadi sukar terhadap pengobatan kaca mata dan memerlukan bedah. b. Esotropia akomodatif non refraktif Pasien – pasien ini menderita suatu esotropia sedang untuk jarak jauh dengan suatu esotropia yang lebih besar untuk jarak dakat. Seperti pada esotropia akomodatif refraktif, esotropia akomodatif non refraktif biasanya menjadi jelas nyata usia 2 dan 3 tahun. 32

Pengobatan terdiri dari koreksi penuh untuk kelainan refraksi jarak jauh (kaca minus) dengan tambahan bifokal untuk jarak dekat. 



Diagnosis Banding untuk esotropia akomodatif -

Esotropia Kongenital

-

Esotropia Non- Akomodatif

Penatalaksanaan -

Esotropia akomodatif refraktif ditatalaksana dengan kaca mata sferis positif koreksi penuh.

-

Esotropia akomodatif non-refraktif diberikan kaca mata sferis positif koreksi penuh dengan addisi.

-

Esotropia akomodatif campuran dibantu dengan kaca mata sferis positif koreksi penuh, dan koreksi bedah (operasi strabismus) untuk deviasi yang tersisa yang tidak terkoreksi dengan kaca mata.

ESOTROPIA NON- AKOMODATIF (DIDAPAT) Di antara kasus-kasus esotropia non-akomodatif didapat, yang sering dijumpai adalah esotropia (didapat) tipe basic dan esotropia akut. Tidak hilang hingga dengan koreksi hipermetropinya. -

Esotropia didapat tipe basic Esotropia non-akomodatif adalah esotropia yang berkembang setelah usia 6 bulan, namun tidak berkaitan dengan upaya akomodasi. Deviasi jauh sama dengan deviasi dekat, dan walaupun ada hiperopia, umumnya tidak signifikan – koreksi hiperopia tidak mempunyai efek terhadap besar deviasi. Penyebab pasti kondisi ini belum diketahui secara lengkap, tetapi kemungkinan besar berhubungan dengan anomali motorik primer atau anomali sensorik primer. 

Diagnosis diferensial untuk esotropia didapat tipe basic adalah: -

Esotropia akomodatif

-

Kelumpuhan saraf abdusen

-

Sindrom Duane

33

Pada kasus ini harus dinilai ada tidaknya komponen akomodatif dan

menyingkirkan

kemungkinan

kelainan

sensorik

yang

menyebabkan kelainan penglihatan pada satu mata. Pada prinsipnya tatalaksana adalah dengan melakukan operasi strabismus secepatnya, tidak lama dari onset, untuk mendapatkan kembali penglihatan binokular. Bila terdapat ambliopia, dilakukan terapi ambliopia terlebih dahulu, baru dilakukan operasi strabismus. -

Esotropia Akut Esotropia akut yang umumnya terjadi akibat paresis/paralisis nervus abdusen. Beberapa tanda dan gejala klinis yang dapat menyebabkan esotropia akut adalah sebagai berikut : I. II.

Heteroporia yang dekompensasi Late-onset acomodative esotropia

III.

Nervus abducens/lateral rectus palsy

IV.

Divergence paralysis/insuficiency

V.

Acute acquired esotropia Masing-masing perbedaan gejala klinis penyebab di atas, bisa

dilihat pada tabel dibawah :

34

3.5 Strabismus Inkomitan Strabismus inkomitan adalah kelainan letak bola mata sedemikian rupa sehingga besar deviasi bervariasi pada berbagai posisi lirikan. Bergantung pada arah lirikan atau mata mana yang digunakan untuk berfiksasi. Kebanyakan strabismus inkomitan bersifat paralitik (neurogenik), restriktif (mekanik), atau miogenik. Keadaan ini dapat bersifat kongenital atau didapat. Oleh karena sebagian besar strabismus inkomitan bersumber dari penyebab neurogenik, kondisi ini perlu mendapat perhatian dan perujukan cepat ke dokter spesialis mata untuk mengantisipasi gangguan sistemik atau sentral yang mungkin menjadi penyebab.  Etiologi Etiologi strabismus inkomitan secara umum adalah: 

Kelainan vaskular yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada saraf kranial penggerak bola mata (nervus okulomotor, abdusen, maupun trokhlearis).



Trauma kepala: lebih sering menyebabkan kelumpuhan N IV, walaupun pada dasarnya dapat mengenai saraf lainnya



Aneurisma lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf oculomotor



Neoplasma



Diabetes mellitus 35



Hipertensi



Giant cell arteritis



Multiple sclerosis

 Diagnosa Dari anamnesis dapat diperoleh keluhan berikut: 



  

Pasien dapat mengeluh penglihatan ganda (diplopia) terutama pada kelumpuhan saraf atau kelainan mekanik yang didapat. Keluhan semakin hebat bila melirik ke arah kerja utama otot yang mengalami kelumpuhan atau kelainan mekanik. Pada kelumpuhan dan kelainan mekanik kongenital tidak ada keluhan penglihatan ganda. Pada keadaan tertentu, pasien dapat mengadopsi posisi kepala yang tidak normal (anomalous head posture) untuk mendapatkan penglihatan binokular tunggal, menghilangkan kesan penglihatan ganda. Pasien bisa memalingkan wajah, mengangkat dagu menundukkan kepala, atau memiringkan wajah. Riwayat kesehatan umum seperti diabetes mellitus, hipertensi. Riwayat trauma kepala. Pada pemeriksaan mata akan dapat ditemukan kelainan sebagai berikut: o Strabismus (kelainan kedudukan bola mata) yang dapat berupa esotropia, eksotropia, atau deviasi vertical o Kelainan posisi kelopak (ptosis), edema kelopak, kemosis konjungtiva o Kelainan pupil (mid-dilatasi) o Proptosis, sehingga dapat terjadi lagoftalmos o Asimetri wajah o Anomalous head posture (posisi kepala abnormal) berupa head turn (memalingkan wajah), head tilt (memiringkan wajah), chin-up (mengangkat dagu), atau chin-down (menundukkan kepala).

a) Strabismus Inkomitan Kongenital Neurogenik 1) Kelumpuhan Saraf Okulomotor (N III)  Manifestasi Klinis Kelumpuhan saraf okulomotor baik kongenital maupun didapat akan memperlihatkan eksotropia dan hipotropia pada mata yang terkena, dengan ptosis total atau sebagian. Adduksi, depresi dan elevasi terhambat. Dapat disertai dengan dilatasi pupil (Gambar 8).  Diagnosis ditegakan berdasarkan 

Karakteristik eksotropia dan hipotropia yang berkaitan dengan hambatan adduksi, gerakan vertical 36



Keterlibatan pupil (dilatasi pupil) mempunyai kemaknaan penting karena bisa merupakan petunjuk tentang adanya pelebaran aneurisma intracranial



Pada pasien dengan kelumpuhan saraf okulomotor didapat, harus dilakukan evaluasi neurologik, termasuk CT-scan atau MRI

 Diagnosis Banding 

Eksotropia kongenital



Fibrosis otot ekstraokular kongenital

Gambar 8. Pasien dengan paralisis N III mata kanan dan kiri, yang terlihat dengan kedudukan mata eksotropia pada posisi primer, ketidakmampuan beradduksi baik mata maupun kiri, serta juga gangguan elevasi serta depresi. (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)

 Penatalaksanaan 

Dilakukan terapi oklusi untuk mengatasi diplopia sebagai terapi awal pada kelumpuhan saraf okulomotor didapat



Pada anak yang rentan mengalami ambliopia dilakukan oklusi alternating atau bergantian untuk menghindari amblyopia



Pembedahan ditunda beberapa bulan sampai kondisi deviasi stabil tindakan pembedahan pada kelumpuhan saraf okulomotor, khususnya kelumpuhan komplit, merupakan bedah strabismus yang paling kompleks

37



Pada yang mengalami ptosis total, operasi ptosis dini diperlukan untuk mencegah amblyopia



Jika terdapat overaction rektus lateral dan oblik superior akibat kelumpuhan

saraf

okulomotor

total,

dilakukan

upaya

untuk

melemahkan otot-otot tersebut.

2) Kelumpuhan Saraf Trokhlearis (N IV)  Manifestasi Klinis Pasien dengan kelumpuhan saraf trokhlearis unilateral sering datang dengan posisi kepala abnormal untuk mengurangi penglihatan ganda yang terjadi, sehingga menyerupai gejala tortikolis. Posisi kepala abnormal yang berlangsung lama dapat membuat anak dengan kelumpuhan N IV tumbuh dengan membentuk asimetri wajah. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan kondisi sekarang dengan foto-foto lama pasien. Pasien akan mengalami head tilt ke sisi mata yang sehat, memalingkan wajah ke arah kontralateral, dan sedikit menundukkan kepala. Namun bila kelumpuhan terjadi pada kedua mata, umumnya pasien akan sedikit menundukkan kepala. Tidak adanya head tilt pada anak preverbal dengan kelumpuhan saraf trokhlearis memperkuat kecurigaan adanya ambliopia.  Diagnosa Pada pemeriksaan akan ditemukan hipertropia pada mata yang mengalami kelumpuhan, dan hipertropia semakin hebat bila melirik ke sisi kontralateral serta bila memiringkan wajahnya ke sisi ipsilateral. Pada kelainan bilateral terdapat tanda khas berupa hipertropia alternans, artinya bila melirik ke kanan muka terjadi hipertropia mata kiri, dan bila melirik ke kiri terjadi hipertropia mata kanan. Selain itu pada kelumpuhan bilateral ditemukan esotropia pola-V dan eksilotorsi yang besar.  Diagnosis Banding Strabismus vertikal yang menyebabkan hipertropia

38

Gambar 9. Pasien dengan strabismus inkomitan akibat paralisis N IV mata kiri. Pasien senang mengambil posisi adaptasi kepala kea rah kanan (berlawan dengan sisi kelumpuhan) untuk mengkompensasi hipertropia yang terjadi pada mata kiri. Karena posisi kepala abnormal ini berlangsung kronis, terjadi asimetri wajah dengan pemendekan wajah sisi kanan (perhatikan garis tengah wajah yang miring kea rah kanan). (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI)

 Penatalaksanaan Terapi umumnya bersifat operatif, dengan terutama melakukan pelemahan terhadap otot antagonis otot oblik superior, yaitu otot oblik inferior.

3) Kelumpuhan Saraf Abdusen (N VI)  Manifestasi Klinis Pasien dengan kelumpuhan saraf abdusen yang baru terjadi akan mengeluhkan penglihatan ganda (diplopia) horizontal. Penglihatan ganda akan semakin terasa bila meilirk ke sisi mata yang mengalami kelumpuhan. Bila kelumpuhan terjadi hanya pada satu mata, penglihatan ganda dapat dihindari dengan memalingkan wajah ke sisi mata yang sehat. Selain itu akan ditemukan esotropia pada posisi primer serta hambatan abduksi ke arah sisi mata yang terkena.  Diagnosis Pada Kelumpuhan N VI perlu dilakukan pemeriksaan berikut: 

Pemeriksaan lengkap, termasuk kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial yang bermanifestasi di mata sebagai papilledema

39



Perlu dipertimbangkan untuk konsultasi neurologi dan pemeriksaan CT-scan atau MRI otak



Sangat penting untuk membedakan kelumpuhan saraf abdusen kongenital dari esotropia kongenital, untuk menghindari prosedur yang tidak perlu

 Diagnosis Banding 

Esotropia Kongenital



Sindrom Duane tipe – 1

Gambar 10. Pasien dengan strabismus inkomitmen akibat paralisis N VI mata kanan. Pada posisi primer, mata tampak mengalami sedikit esotropia (juling ke dalam). Perhatikan hambatan abduksi yang terjadi pada mata kanan, sedangkan mata kiri berabduksi penuh. Jika diukur, akibat keterbatasan gerak kea rah-arah tertentu ini terjadi besar simpangan yang “inkomitan” atau berbeda-beda di berbagai posisi lirikan. (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)

 Penatalaksanaan Terapi inisial yang diberikan adalah terapi oklusi untuk menghilangkan diplopia, dan diberikan kaca mata sesuai dengan kelainan refraksi yang ada. Bila tidak ada perbaikan setelah 6 bulan, dipertimbangkan terapi bedah strabismus. b) Strabismus Inkomitan Kongenital Mekanik 1) Sindrom Duanne Sindrom Duane adalah jenis strabismus kongenital yang langka, dan paling sering ditandai oleh ketidakmampuan mata untuk abduksi. 40

Sindrom Duane ditemukan 1% penderita strabismus, dapat unilateral maupun bilateral, namun bentuk bilateral lebih jarang dijumpai dibandingkan unilateral. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Etiopatologi dari Sindrom Duane masih belum jelas. Teori yang dianut saat ini adalah anomali struktur serta persyarafan otot ekstraokular, juga tidak adanya atau hipoplasia nukleus saraf abdusen. Terdapat juga teori yang menyebutkan adanya ko-invervasi dari otot rektus vertical dan horizontal.  Manifestasi Klinis Tanda klinis yang paling khas untuk sindrom Duane adalah hambatan abduksi, sedikit hambatan adduksi, retraksi bola mata saat adduksi, penyempitan fisura palpebral saat adduksi, up-shoot atau down-shoot saat adduksi.  Diagnosis Banding o Kelumpuhan saraf abdusen o Esotropia kongenital o Eksotropia Keadaan yang paling mirip dengan sindrom Duane adalah kelumpuhan saraf abdusen; dengan pembeda paling jelas adalah besarnya deviasi. Pada kelumpuhan saraf abdusen umumnya terdapat deviasi yang lebih besar. Di samping itu, tanda penting yang harus dicatat adalah retraksi bola mata serta penyempitan fissure palpebral saat adduksi yang tidak ditemukan pada kelumpuhan saraf abdusen.

Gambar 11. Kondisi ini sering salah didiagnosis sebagai kelumpuhan sarah VI. Pada sindrom Duane, yang menjadi gambaran khas adalah adanya penyempitan fisura palpebtra saat adduksi serta retraksi bola mata. (Sumber : Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)

41

 Penatalaksanaan o Bila terdapat kelainan refraksi, dilakukan koreksi terlebih dahulu, demikian pula bila terdapat ambliopia dilakukan terapi ambliopia. o Setelah koreksi kelainan refraksi dan terapi ambiopia, baru dilakukan terapi bedah bila diperlukan. o Terapi bedah diperlukan bila deviasi terlalu besar pada posisi primer, terdapat anomali posisi kepala, retraksi bola mata yang mencolok sehingga secara kosmetik tampak kurang baik. 2) Sindrom Brown Sindrom Brown adalah suatu bentuk strabismus yang jarang ditemui, ditandai dengan keterbatasan elevasi pada mata yang terkena. Sindrom Brown dapat terjadi sebagai kelainan kongenital maupun didapat. Wanita terkena lebih banyak dibandingkan pria dengan perbandingan 3:2, dan ditemukan lebih banyak pada mata kanan; 10% kasus bersifat bilateral. Sindrom Brown yang bersifat kongenital terjadi karena anomali pada selubung anterior tendon oblik superior; sedangkan pada bentuk didapat, kemungkinan disebabkan oleh berbagai keadaan seperti akibat komplikasi pembedahan otot oblik superior, trauma, pasca operasi sinus, serta peradangan di daerah troklear.  Manifestasi Klinis Pada pasien sindrom Brown terdapat ciri khas berupa defisiensi elevasi saat adduksi. Namun pada posisi midline, elevasi sedikit membaik, dan pada posisi abduksi akan normal atau mendekati normal.  Diagnosis Banding 

Kelumpuhan oblik inferior



Aksi berlebih oblik superior



Monocular elevator deficiency (MED) Untuk membedakan sindrom Brown dari overaction otot oblik

superior adalah dengan melihat pola strabismusnya. Pada sindrom Brown akan terlihat pola V, sedangkan overaction oblik superior memperlihatkan pola A. selain itu harus dilakukan forced duction test yang memberikan hasil positif pada sindrom Brown. 42

Gambar 12. Sindrom Brown bilateral pada seorang anak yang memperlihatkan hambatan elevasi pada saat adduksi (pada kedua mata), yang relative normal pada saat abduksi. (Sumber: Buku Ajar Oftamalogi Edisi Pertama BP FKUI, 2017)

 Penatalaksanaan Sindrom Brown didapat yang berkaitan dengan peradangan dapat diberikan kortikosteroid atau anti inflamasi non-steroid baik secara sistemik atau dengan injeksi di daerah trokhlear. Bila tidak berhubungan dengan peradangan dan ditemukan anomali posisi kepala, hipotropia yang nyata pada posisi primer, dapat dilakukan terapi bedah strabismus. Pembedahan yang dilakukan adalah

43

BAB IV IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISA KASUS

1.

Identifikasi Masalah Berdasarkan data medis pasien diatas, ditemukan beberapa permasalahan. Adapun permasalahan medis yang terdapat pada pasien adalah: SUBJECTIVE a. Pengelihatan ganda b. Bola mata kiri tidak dapat bergerak ke temporal c. Hanya melihat ganda jika melihat jauh dengan kedua mata d. Terjadi secara tiba-tiba OBJECTIVE a. Pemeriksaan status lokalis pada mata kiri didapatkan : -

2.

Lapang pandang menyempit dan gerakan bola mata terbatas

Analisa Kasus A. Penglihatan Ganda Penglihatan ganda pada pasien ini terjadi karena mata pasien yang juling, sehingga bayangan benda yang dilihat pasien tidak jatuh tepat di kedua fovea, sehingga terjadi objek yang sama terlihat di dua tempat (diplopia). B. Bola mata kiri tak dapat bergulir ke luar (temporal) Untuk mempertahankan posisi bola mata tepat di tengah, dipengaruhi oleh 6 otot ekstraokular yang berperan dalam mengatur posisi mata dalam tiga sumbu rotasi. Kerja primer suatu otot adalah efek utama yang ditimbulkan pada rotasi mata, efek yang lebih kecil disebut efek sekunder atau tersier. Otot

Kerja Primer

Kerja Sekunder

Rektus Lateralis

Abduksi

Tidak ada

Rektus Medialis

Aduksi

Tidak ada

Rektus Superior

Elevasi

Aduksi, intorsi

Rektus Inferior

Depresi

Aduksi, ekstorsi 44

Oblique Superior

Intorsi

Depresi ,abduksi

Oblique Inferior

Ekstorsi

Elevasi, abduksi

Nerve Supply N. III

RM,RS,RI, OB

N. IV

Oblique Superior

N.VI

Rektus lateral

Pada pasien didapatkan kelainan bola mata kiri yang yang tidak dapat digerakan ke arah luar (temporal), yang kemungkinan terjadi akibat adanya kelemahan salah satu otot ekstaokuler dimana dalam kasus ini terjadi kelemahan otot “Rektus Lateralis sinistra” sehingga menyebabkan pasien tidak dapat melakukan gerakan abduksi Sehingga kemungkinan juga terjadi gangguan pada saraf yang menginervasi otot tersebut yaitu N.VI(abducens)

45

C. Hasil pemeriksaan status lokalis pada mata kiri Gerakan bola mata kari yang terbatas disertai dengan tes lapang pandang yang menyempit, kemungkinan terjadi akibat paresis atau restriksi kerja pada salah satu atau lebih otot ekstraokular. Dimana dalam hal ini yang mengalami gangguan adalah otot rektus lateralis sinistra.

46

BAB III KESIMPULAN Setiap penyimpangan dari penjajaran okular yang sempurna itu disebut “strabismus”. Ketidaksesuaian penjajaran tersebut dapat terjadi dalam segala arah-ke dalam, ke luar, ke atas, dan ke bawah. Besar penyimpangan adalah besar sudut mata yang menyimpang dari penjajaran. Strabismus yang terjadi pada kondisi penglihatan binokular disebut strabismus manifes, heterotropia, atau tropia. Suatu deviasi yang hanya muncul setelah penglihatan binokular terganggu (mis. dengan penutupan salah satu mata) disebut strabismus laten, heterotrofia, atau foria. Dalam mendiagnosis strabismus diperlukan anamnesa yang cermat dari mulai riwayat keluarga, usia, jenis onset, jenis deviasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan meliputi ketajaman penglihatan, penentuan kesalahan refraksi, inspeksi, penentuan sudut strabismus sampai pada pemeriksaan sensorik meliputi pemeriksaan stereopsis, supresi dan potensial fusi.

47

DAFTAR PUSTAKA 1

American Association for Pediatric Opthalmology and Strabismus. Pseudostrabismus. Diunduh dari: http://www.aapos.org/terms/conditions/88.

2

Bani PA. Kelainan Kedudukan Bola Mata. Dalam : Sitorus SR, Sitompul R, Widyawati S,dkk. Ed. Buku Ajar Oftalmologi. Edisi ke.1. Jakarta : Balai Penerbut FKUI, 2017.h.308

3

Chang DF. Ophthalmologic examination. Dalam Riordan-Eva, Whitcher JP. Vaughan & Ausbury’s General Opthalmology. 18th ed. New York: McGraw-Hill. 2011. p.27-57

4

Clinical Opthalmology A Systematic Research. Kanski J, Bowling B.7th Edition. USA.Elsevier. 2011

5

Ilyas S, Yulianti RS. Strabismus. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015. h. 245-273

6

Pascotto, Antonio. Esotropia Acquired. [online] 2011 [ cited 2011 april ]; Available from: URL: www.emedicine.medscape.com/article

7

Perdami.2006. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran, Perdami

8

Plotnik, J. A-Pattern Esotropia and Exotropia [online] 2011 [ cited 2011 april ]; Available from: URL: www.emedicine.medscape.com/article

9

Riordan, Paul dkk. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Jakarta; EGC

10 Syafa. Strabismus Case [online] 2011 [ cited 2011 april ]; Available from: URL: www.drshafa.wordpress.com

48

Related Documents

Preskas Ahc.docx
August 2019 39
Preskas Anggi.pdf
May 2020 21
Preskas Keebumen.docx
May 2020 22
Preskas Cipamokolan.docx
October 2019 32
Preskas Tfa.docx
May 2020 15

More Documents from "Akmalia Fatimah"