Presentasi Kasus Interna 5 Fix Mah.docx

  • Uploaded by: sir.
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presentasi Kasus Interna 5 Fix Mah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,069
  • Pages: 54
PRESENTASI KASUS Bronchopneumonia dengan Asma Eksaserbasi Akut Berat

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota Salatiga

Diajukan kepada: dr. Apriludin, Sp.P.

Disusun oleh: Mahidin 1413010006

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD KOTA SALATIGA PROGRAM PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2019

1

HALAMAN PENGESAHAN Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul Bronchopneumonia dengan Asma Eksaserbasi Akut Berat

Disusun oleh: Mahidin 1413010006

Telah dipresentasikan Hari/Tanggal: Kamis 10 Januari 2019

Disahkan oleh: Dosen Pembimbing,

dr. Apriludin, Sp.P.

2

BAB I PENDAHULUAN

A. IDENTITAS Nama

: Ny.B

Umur/ Tanggal Lahir

: 84 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

No. CM

: 18-19-402093

Alamat

: Gobik 5/18, Girirejp, Ngablak, Magelang.

Tanggal Masuk

: 02-01-2019

B. ANAMNESIS (SUBJEKTIF) 1. Keluhan Utama Sesak napas

2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) Pasien dibawa ke IGD RSUD Kota Salatiga dengan keluhan sesak napas yang berat sejak beberapa jam yang lalu. Keluhan sesak tersebut sudah ada terjadi sejak 3 bulan yang lalu dan hilang timbul. Keluhan biasanya muncul lebih dari satu kali dalam seminggu dan hampir setiap hari. Namun, kali ini keluhan yang muncul terasa sangat berat, bahkan pasien hanya bisa berkata sepatah kata karena beratnya keluhan sesak tersebut, dan pasien hanya dalam posisi duduk, dan pasien tidak dapat beraktivitas. Biasanya rasa sesak terutama di rasakan ketika malam hari atau ketika cuaca dingin, keluhan tidak membaik dengan perubahan posisi, dan setelah itu hilang sendiri biasanya siang hari. Selain itu, pasien mengaku sering keluar masuk rumah sakit karena keluhan sesaknya dan dokter mengatakan bahwa pasien memiliki penyakit jantung. Kemudian, 3 bulan yang lalu pasien sempat diberi pengobatan uap untuk dapat mengurangi sesaknya. Pada saat sesak, terdengar suara mengi pada napas pasien. Keluhan disertai batuk berdahak berwarna putih kekuningan dan sulit tidur, badan lemas, berdebar debar, dan terkadang

3

terasa demam serta nyeri dada disangkal. Pasien juga mengaku bahwa badannya kurus serta pakaian yang digunakan longgar akan tetapi pasien menyaka hal itu terjadi karena kurangnya konsumsi makan. Dari informasi yang didapatkan bahwa keluhannya hanya itu saja dan tidak ada keluhan yang lain seperti pusing, menggigil, tidak ada keluhan yang lainnya baik pada kepala, mata, telinga, hidung, mulut, tenggorokan atau leher, dada, punggung dan tangan, serta genitalia.

3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) Pasien mengaku bahwa tidak memiliki keluahan yang serupa sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi, Pasien tidak memiliki riwayat

darah

tinggi/Hipertensi,

tidak

memiliki

riwayat

kencing

manis/Diabetes Melitus, pasien tidak memiliki riwayat kolesterol tinggi, dan pasien memiliki riwayat penyakit jantung sejak 1,5 tahun yang lalu dan pernah dirawat bebrapa kali karena penyakit jantungnya, namun pasien jarang kontrol teratur mengenai penyakitnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) Keluarga pasien ada yang memiliki keluhan yang serupa yaitu pada salahsatu anak laki-lakinya dengan keluhan berupa sesak pada sore atau malam hari atau pada saat udara dingin. Sedangkan beberapa anak yang lainnya memiliki alergi terhadap makanan terutama makanan laut biasanya timbul gatal dan kemerahan pada kulit, keluarga pasien tidak memiliki riwayat kencing manis/Diabetes Melitus, tidak memiliki riwayat darah tinggi/Hipertensi, tidak memiliki riwayat kolesterol tinggi, tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

5. Riwayat Personal Sosial Ekonomi (RPSE) Pasien bekerja sebagai petani sawi dan kubis di ladangnya. Aktivitas sehari-hari pasien sedang- berat, dengan bekerja dari pagi sampai sore. Namun pasien akhirakhirini aktivitas pasien semakin berkurang karena keluahan sesaknya. Makan dan minum pasien teratur dengan buah dan sayuran yang cukup. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi

4

minuman beralkohol. Namun dikeluarganya ada yang merokok yaitu sumi dan anaknya dengan merokok lebih dari 10 batang setiap harinya

C. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG (OBJEKTIF) 1. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Tampak sakit sedang (tampak sesak dan lemas). b. Kesadaran Compos mentis (E4 M6 V5) c. Vital Sign 1) TD

: Tekanan darah 150/80 mmHg, tekanan nadi 70

2) RR

: Frekwensi napas 32x/menit, pola napas cepat dan teratur

3) Nadi

: Frekwensi nadi 116x/menit, irama 1reguler, pulsasi cukup

4) Suhu

: 36C

d. Saturasi oksigen 86% e. Status Gizi Status Gizi: kurang (BB: 45 Kg, TB: 160 cm, IMT: 1,57 kg/cm2 ) f. Status Generalis 1) Pemeriksaan kepala

: Inspeksi: Normocephali, wajah simtris, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +, konjungtiva anemis -/-, wajah dan bibir tidak tampak pucat, pada hidung terpasang oksigen dengan nasal kanul, tidak terlihat napas cuping hidung, pasien tampak sesak napas dan menggunakan 1 bantal. Palpasi: Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening di daerah kepala

5

2) Pemeriksaan Leher

: Inspeksi: Leher tampak simetris, tidak ada Pembesaran kelenjar getah bening, tidak terlihat adanya peningkatan pulsasi vena jugularis, terlihat kontraksi otot bantu pernapasan dileher. Palpasi: tidak teraba adanya masa pada leher, nyeri tekan tidak ada,. Auskultasi: tidak terdengar bruit.

3) Pemeriksaan Thorax anterior : Inspeksi: Dada berbentuk datar dan simetris, tidak ada kelaian bentuk, tidak ada jejas. Pada Cor (jantung) tidak terlihat pulsasi iktus kordis. Pada pulmo (paru) tidak terlihat adanya retraksi dinding dada dan sela iga. Palpasi: Iktus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra, taktil fremitus sama kuat dan kekuatan sulit dinilai. Perkusi: suara perkusi sonor pada lapang paru kanan dan kiri. batas paru-lambung normal pada SIC VIII, batas paru-hepar normal pada SIC VI dengan peranjakan hati 2 jari, pada jantung terdengar suara redup dan batas jantung membesar (batas kanan atas SIC II linea parasternalis dextra, batas kanan bawah SIC IV linea misdclaviularis dextra, batas kiri atas SIC II linea parasternalis sinistra, batas kiri bawah SIC VII linea axilaris anterior) / terdapat pembesaran pada jantung. Auskultasi: pada cor bunyi jantung I dan II ireguler, tidak ada bisisng dan suara tambahan jantung seperti murmur dan gallop, pada Pulmo, Surara

6

dasar vasikuler +/+ (menurun), ronki +/+, wheezing +/+. 4) Pemeriksaan thorax posterior :Thorak posterior: inspeksi: datar tidak ada jejas dan kelainan bentuk. Palpasi: taktil premitus normal dan kekuatan sulit dinilai, perkusi: suara sonor. Auskultasi: terdengar suara dasar vasikuler pada lapang paru +/+. Ronki +/+, whezeng +/+. 5) Pemeriksaan Abdomen : Inspeksi: Perut tampak datar dan sedikit cekung, tidak ada jejas, dan terlihat kontrrskdi

otot

bantu

pernapasan.

Auskultasi: suara bisisng usus +. Perkusi: terdengar suara timpani, area troube timpani. Palpasi: perut teraba supel, nyeri tekantidak ada, pembesarn pada lien, hati, dan ginjal tidak ada 6) Pemeriksaan Ekstremitas :Inspeksi : Tidak terlihat adanya jejas, telapak tangan tidak pucat, tidak terlihat pembengkakan pada tangandan kaki , Palpasi: tidak Terdapat pembengkakan pada kedua kaki (pitting edema), Akral dingin, CRT <3 detik. kekuatan ekstramitas sama kuat. 7) Pemeriksaan Genitalia

: tidak dilakukan pemeriksaan

7

2. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan laboratorium tanggal 3-1-2019 Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Hematologi Lekosit 10.83 Eritrosit 4. 80 Hemoglobin

14.4

Hematokrit 43.4 MCV 90.0 MCH 30.0 MCHC 33.1 Trombosit 225 Laju endap darah 1 5 Laju endap darah 2 18 Golongan darah A ABO Pemeriksaan Hitung Jenis Eosinofil % 0.1 Basofil % 0.1 Limfosit % 2.2 Monnosit % 1.5 Neutrofil % 96,1 Pemeriksaan Kimia Darah Gula darah sewaktu 152 Ureum 41 Creatinin 0.8 SGOT 19 SGPT 29

8

Nilai rujukan

Satuan

4.50-11.00 L:4.50-6.50 W: 3.80-5.80 L: 13-18 W: 11.5-16.5 40-52 80-96 28-33 33-36 150-450 6-11

Ribu/ul Juta/ ul

2-4 0-1 25-60 2-8 50-70

% % % % %

10-50 1.0-1.3 L:<37; W:<31 L:<42; W:<32

Mg/dl Mg/dl U/L U/L

g/dl Vol% Fl Pg g/dl Ribu/ul mm mm

b. Pemeriksaan EKG 1) Pemeriksaan EKG tanggal 2-1-2019

Gambar 1.1 Hasil Pemeriksaan EKG Interpretasi hasil EKG nya adalah: -

Irama : Sinus

-

Regularitas: ireguleri-ireguler

-

Frekuensi : 96 x/ menit (normal)

-

Axis : (normo axis)

-

Gelombang P : (normal), tidak ada P mitral dan P pulmonal.

-

P-R Interval : (normal)

-

Kompleks QRS : (normal), tidak terdapat Q patologis

-

Segmen ST : Segmen ST normal tidak ada depresi segmen ST, atau elevasi segmen ST

-

Gelombang T : (normal)

-

Gelombang U: tidak terlihat

9

2) Pemeriksaan EKG pada tanggal 6-1-2019

Gambar 1.2 Hasil Pemeriksaan EKG Interpretasi hasil EKG nya adalah: -

Irama : Sinus

-

Regularitas: ireguleri-ireguler

-

Frekuensi : (tidak dapat dinilai)

-

Axis : (normo axis)

-

Gelombang P : detik (normal), tidak ada P mitral dan P pulmonal.

10

-

P-R Interval : (normal)

-

Kompleks QRS : (normal), tidak terdapat Q patologis

-

Segmen ST : Segmen ST normal tidak ada depresi segmen ST, atau elevasi segmen ST

-

Gelombang T : (normal)

-

Gelombang U: tidak terlihat

c. Pemeriksaan radiologi tanggal 7-1-2019 Hasil foto thoraks AP view dewasa, posisi supine, asimetris, inspirasi dan kondisi cukup

Gambar 1.3 Radiologi foto Thorax

11

Hasil: -

Tampak opasitas inhomogen di hampir merata di kedua pulmo dengan batas tak tegas dan airbronchogram multiple

-

Tak tampak pelebaran pleural space bilateral

-

Tak tampak pembesaran limfonodi hilus bilateral

-

Diafragma bilateral licin dan tak mendatar

-

Cor CTR= 0,63

-

Sistema tulang yang tervisualisasi intak

Kesan -

Bronchopneumonia DD/ TB pulmo lesi luas

-

Cardiomegaly (LVH,LAH)

D. DIAGNOSIS (ASSESMENT) -

Asma akaserbasi akut berat Aritmia Bronkopneumonia Suspect TB paru

E. TERAPI (PLANING) Terapi atau penatalaksanaannya adalah sebagai berikut: 1. Penatalaksanaan pada Tanggal 2-1- 2018 a. Tatalaksana di IGD -

budesonid nebul 0,5 mg (pulmicort)

-

terbutaline sulfate nebul 5 mg (bricasma)

-

metil prednisolon inj 125mg iv

-

aminofilin 180 mg drip dalam infus asering 500 ml 20 tpm

-

aminofilin 60 mg iv

-

omeprazole inj 40 mg iv

-

N-asetilsistein caps 2x200 mg

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

12

b. Tatalaksana di bangsal, bed rest dan terapi medikasi -

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x 0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

N-asetilsistein caps 2x200 mg

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

2. Tatalaksana di bangsal 4-1-2018 -

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x 0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

OBH syr 3x1 Cth

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

3. Tatalaksana di bangsal 4-1-2018 -

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x 0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

OBH syr 3x1 Cth

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

4. Tatalaksana di bangsal 5-1- 2018 -

Salbutamol tab 3x2mg

-

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x 0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

13

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

Ambroxol tab 3x60mg (2 tab)

-

OBH syr 3x1 Cth

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

-

Kendaron 1 x 1

5. Tatalaksana di bangsal 6-1- 2018 -

Salbutamol tab 3x2mg

-

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

Ambroxol tab 3x60mg (2 tab)

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

-

Kendaron 1 x 1

6. Tatalaksana di bangsal 7-1- 2018 -

Salbutamol tab 3x2mg

-

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x 0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

Ambroxol tab 3x60mg (2 tab)

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

-

Kendaron 1 x 1

7. Tatalaksana di bangsal 8-1- 2018 -

Salbutamol tab 3x2mg

-

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x 0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

14

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

Ambroxol tab 3x60mg (2 tab)

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

-

Kendaron 1 x 1

8. Tatalaksana di bangsal 9-1- 2018 -

Salbutamol tab 3x2mg

-

Aminofilin drip 180 mg dalam cairan infus 500 ml 20 tpm (3flb/hari)

-

Budesonid (pulmicort) nebul 3x 0,5 mg

-

Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1 mg

-

Omeprazole inj 2x40mg

-

Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab)

-

Ambroxol tab 3x60mg (2 tab)

-

Oksigen nasal canul 3 lpm

-

Kendaron 1 x 1

-

Procaterol HCl hydrate inhaler (untuk dibawa pulang)

Kemudian pasien tetap di evaluasi sampai keadaan setabil. Setealah keadaan pasein setabil kemudian pasien dapat pulang dan disarankan untuk kkontrol pada hari senin tanggal 14-1-2019.

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Bronchus dan Pulmo 1. Bronchus Trachea bercabang dua di belakang arcus aortae menjadi bronchus principalis dexter dan sinister (primer atau utama). Bronchus principalis dexter meninggalkan trachea dengan membentuk sudut sebesar 25 derajat dengan garis vertikal. Bronchus prlncipalis sinister meninggalkan trachea dengan membentuk sudut 45 derajat dengan garis vertikal. Bronchus terusmenerus bercabang dua sehingga akhirnva membentuk jutaan bronchiolus terminalis yang berakhir di dalam satu atau leblh bronchiolus respiratorius (Snell, 2006). Setiap bronchiolus respiratorius terbagi menjadi 2 sampai 11 ductus alveolaris yang masuk ke dalam saccus alveolaris. Alveoli timbul dari dinding saccus sebagai diverticula (Snell, 2006). a. Bronchus Principalis Dexter Bronchus principalis dexter lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal dari bronchus principalis sinister dan panjangnya lebih kurang 2,5 cm. Vena azygos melengkung di atas pinggir superiornya. Bronchus lobaris superior dimulai sekitar 2 cm dari pangkal bronchus principalis di carina. Kemudian bronchus principalis dexter masuk ke hilus paru-paru kanan, dan bercabang dua menjadi bronchus lobaris medius dan bronchus lobaris inferior (Snell, 2006). b. Bronchus Principalis Sinister Bronchus principalis sinister lebih sempit, leblh panjang, dan lebih horizontal dibandingkan bronchus principalis dexter dan panjangnya lebih kurang 5 cm. Berjalan ke kiri di bawah arcus aorta dan di depan oesophagus. Pada waktu masuk ke hilus pulmonalis sinister, bronchus

16

principalis sinister bercabang menjadi bronchus lobaris superior dan bronchus lobaris inferior (Snell, 2006). Setiap bronchus lobaris (sekunder) yang berjalan ke lobus paru mempercabangkan

bronchus

segmentalis

(tersier).

Setiap

bronchus

segmentalis kemudian masuk ke segmenta bronchopulmonalia. Setelah masuk segmenta bronchopulmonalia, setiap bronchus segrnentalis terbagi dua berulang-ulang. Pada saat bronchus menjadi lebih kecil, cartilago yang berbentuk U yang ditemui sejak dari trachea perlahan-lahan diganti dengan lempeng cartilago yang lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya. Bronchus yang paling kecil membelah dua menjadi bronchiolus, yang diameternya kurang dari 1 mm. Bronchiolus tidak mempunyai cartilago di dalam dindingnya dan dilapisi oleh epitel silender bersilia. Lapisan submucosa mempunyai serabut otot polos melingkar yang utuh. Bronchiolus kemudian membagi dua menjadi bronchiolus terminalis, yang mempunyai kantongkantong lembut pada dindingnya (Snell, 2006). Pertukaran gas yang terjadi antara darah dan udara terjadi pada dinding kantong-kantong tersebut, karena itu dinamakan bronchiolus respiratorius. Diameter bronchiolus respiratorius sekitar 0,5 mm. Bronchiolus respiratorius berakhir dengan bercabang menjadi ductus alveolaris yang menuju ke arah saluran berbentuk kantong dengan dinding yang tipis disebut saccus alveolaris. Saccus alveolaris terdiri dari beberapa alveoli yang terbuka ke satu ruangan. Masingmasing alveolus dikelilingi oleh jaringan yang mengandung kapiler yang padat. Pertukaran gas terjadi antara udara yang terdapat di dalam lumen a1veo1i, melalui dinding aiveoli ke dalam darah yang ada di dalam kapiler di sekitarnya (Snell, 2006).

17

Gambar 2.1. Trachea, bronchus, bronchiolus, ductus alveolaris, saccus alveolaris, dan alveoli (Snell, 2006).

2. Pulmo Pulmo atau paru (paru kanan dan kiri) terletak di samping kanan dan kiri mediastinum. Di antaranya, di dalam mediastinum, terletak jantung dan pembuluh darah besar. Paru berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis. Paru tergantung bebas dan dilekatkan pada mediastinum oleh radiksnya. Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menonjol ke atas ke dalam leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula; basis yang konkaf yang terletak di atas diaphragma; facies costalis yang konveks yang disebabkan oleh dinding thorax yang konkaf; facies mediastinalis yang konkaf yang merupakan cetakan pericardium dan alat-alat mediastinum lainnya. Sekitar pertengahan facies mediastinalis terdapat hilus pulmonis, yaitu suatu cekungan di mana bronchus, pembuluh darah, dan saraf yang

18

membentuk radix pulmonis masuk dan keluar dari paru. Pinggir anterior tipis dan tumpang tindih dengan jantung; pada pinggir anterior ini pada paru kiri terdapat incisura cardiaca. Pinggir posterior tebal dan terletak di samping columna vertebralis (Snell, 2006). a. Paru Kanan Paru kanan sediklt lebih besar dari paru kiri, dan dibagi oleh fissura obliqua dan fissura horizontalis menjadi tiga lobus; lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Fissura obliqua berjalan dari pinggir inferior ke atas dan belakang menyilang permukaan medial dan costalis sampai memotong pinggir posterior. Fissura horizontalis berjalan horizontal menyilang permukaan costalis dan bertemu dengan fissura obliqua. Lobus medius merupakan lobus kecil berbentuk segitiga yang dibatasi oleh fissura horizontalis dan fissura obliqua (Snell, 2006).

Gambar 2.2 Permukaan lateral dan medial paru kanan (Snell, 2006). b. Paru Kiri Paru kiri dibagi oleh satu fissura (fissura obliqua) menjadi dua lobus: lobus superior dan lobus inferior.

19

Gambar 2.3 Permukaan lateral dan medial paru kiri (Snell, 2006).

B. Bronkopneumonia 1. Definisi Bronkopneumonia disebut juga pneumonia loburalis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi sperti bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing (Bennete, 2013). Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution), Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).

2. Epidemiologi Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anakanak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).

3. Etiologi Sebagian besar penyebab bronkopneumonia adalah mikroorganisme (virus, bekteri, jamur), dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti

20

hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi lambung kedalam saluran pernafasan (aspirasi). Berbagai penyebab bronkopneumonia tersebut dikelompokan berdasarkan golongan umur, berat ringannya penyakit dan penyulit yang menyertainya (komplikasi). Mkroorganisme tersering sebagai penyebab bronkopneumonia adalah virus dan bakteri yaitu Diplococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Virus Influenza. Awalnya, mikroorganisme masuk melalui percikan ludah (droplet), kemudian terjadi penyebaran mikroorganisme dari saluran nafas bagian atas ke jaringan (parenkim) paru dan sebagian kecil karena penyebaran melalui aliran darah (Misnadiarly, 2008). Sedangkan, menurut Mansjoer (2008) etiologi terjadinya pneumonia diantaranya: a. Bakteri: Pneumotorakokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pada orang dewasa umumnya disebabkan oleh pneumokokus serotype 1 sampai dengan 8. Sedangkan pada anak-anak serotype 14, 1, 6, dan 9. Insiden meningkat pada usia lebih kecil 4 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur. Steptokokus, sering merupakan komlikasi dari penyakit virus lain, seperti mobildan varisela atau komlikasi penyakit kuman lainnya seperti pertusis, pneumonia oleh pnemokokus. Himiphilus influenza, pneumokokus aureginosa, tuberculosa. Streptokokus, lebih banyak pada anak-anak dan bersifat progresif, resisten terhadap pengobatan dan sering menimbulkan komplikasi seperti : abses paru, empiema, tension pneumotoraks. b. Virus: Virus respiratory syncytial, virus influenza, virus adeno, virus sistomegalik. c. Aspirasi: Makanan, pada tetanus neonatorum, benda asing, koreson. d. Pneumonia hipostatik: Penyakit ini disebabkan tidur terlentang terlalu lama, missal pada anak sakit dengan kesadaran menurun. e. Jamur: Histoplasmamosis capsultatum candi dan abicans, biastomokasis, kalsedis mikosis, aspergilosis dan aktino mikosis.

21

4. Klasifikasi Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011). a. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia interstitiali, Bronkopneumonia b. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia) c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri Pneumonia virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal Pneumonia atipikal e. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia persisten.

5. Tanda dan Gejala Menurut Arief Mansjoer (2008), manisfestasi klinis secara umum dapat dibagi menjadi : a. Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal. b. Gejala umum pernafasan bahwa berupa batuk buruk, ekspektorasi sputum, cuping hidung, sesak, sianosis. c. Tanda pneumonia berupa peningkatan frekuensi nafas, suara nafas melemah, ronchi, wheezing. d. Tanda empiema berupa perkusi pekak, nyeri dada, kaku kuduk, nyeri abdomen. e. Infeksi ekstrapulmonal.

22

6. Patofisiologi Proses bronchopneumonia dimulai dari akibat inhalasi mikroba yang ada diudara, aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen. Selain itu juga berhasilnya kuman pathogen seperti virus, bakteri, jamur, mycoplasma dan benda asing masuk kesaluran pernafasan 3 yaitu ke bronkus sehingga terserap ke paru perifer yang menyebabkan reaksi jaringan berupa udema, yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadinya serbukan sel PMN (poli morfonuklear), fibrin, eritrosit, cairan edema dan kuman di alveoli. Proses ini termasuk dalam stadium hepatisasi merah, sedangkan stadium hepatisasi kelabu adalah kelanjutan proses infeksi berupa deposisi fibrin ke permukaan pleura. Ditemukan pula fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan proses fagositosis yang cepat. Dilanjutkan stadium resolusi, dengan peningkatan jumlah sel makrofag di alveoli, degenerasi sel dan menipisnya fibr in, serta menghilangnya kuman. (Mansjoer,2000) Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel (Bradley et.al., 2011): Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

23

a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti) Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat 9 infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. b. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. c. Stadium III (3-8 hari berikutnya) Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya) Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

7. Pemeriksaan penunjang Menurut

Mansjoer

Arif

2000,

pemeriksaan

penunjang

dari

Bronkopnemonia adalah: a. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan polimorfonuklear atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang.

24

b. Pemeriksaan radiologi memberi gambaran bervariasi: - Bercak konsolidasi merata para bronkopneumonia. - Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris. - Gambaran pneumonia difus atau infiltrat interstisialis pada pneumonia stafilokokus. c. Pemeriksaan mikrobiologik, spesimen usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea, pungsi pleura atau aspirasi paru.

8. Penatalaksanann Menurut

Mansjoer

Arif

(2000),

penatalaksanaan

medis

bronkopneumonia adalah: a. Oksigen 1-2 liter b. IVFD dextrose 10%; NaCl 0,9%=3:1, +KClL 10mEq/500ml cairan. c. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui selang nasogastrik dengan feading drip. d. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transfor mukosilier. e. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. f. Anti biotik sesuai dengan hasil biakan atau berikan: 1) Untuk kasus bronkopneumonia community base (1. Ampicilin 100mg/kgBB/hari dalam 4 hari pemberian. 2. Chloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian). 2) Untuk

kasus

bronkopneumonia

hospital

base

(1.

Cefotaxim

100mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian. 2. Amikasin 1015mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian)

9. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi berupa: Abses kulit, Abses jaringan lunak, Otitis media, Sinusitis, Meningitis perikarditis, Perikarditis. (Mansjoer, 2000:466)

25

10. Prognosis Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1 %, sedangkan pada anak dalam keadaan malnutrisi energi yang datang terlambat datatang dapat

emnunjukan

mortalitas yang lebih besar (Behrman & vaughan. 2000)

C. ASMA 1. Definisi Penyakit ssma berasal dari kata “ ashtma” yang diambil dari bahasa yunani yang berarti “sukar bernapas (Kemenkes RI, 2013). Asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam rangsangan (Alsagaff, 2010). Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi/peradangan kronik saluran nafas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat didada terutama pada malam hari dan dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Kemenkes RI, 2008).

Gambar 2.4. Perbedaan bronkus pada orang normal dan pada orang asma (Roche, 2015).

26

2. Epidemiologi Saat ini penyakit asma masih menunjukan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencaapai 400 juta. Jumlah ini mungkin dapat lebih besar karena asma merupakan penyakit yang underdiagnosis. Sedangkan secara nasional pada tahun 2007 masih terlihat ada 18 provinsi yang mempunyai angka melebihi angka nasional (Kemenke RI, 2013) Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbidititas) bersama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalititas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000 (PDPI, 2003).

3. Faktor Risiko Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) tahun 2016, faktor resiko penyebab asma dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : Faktor genetik (atopi/alergi, hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin, ras/etnik, obesitas), faktor lingkungan (alergen dalam rumah dan alergen luar rumah), dan faktor lain (alergen dari makanan, alergen obat-obatan tertentu, exercise-induced asthma). Faktor risiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host faktor) dan faktor lingkungan (Kemenke RI, 2013).

27

Tabel 1. Faktor risiko asma (Kemenkes RI, 2013)

4. Etiologi Untuk menjadi asma ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum terjadinya asma (Kemenkes RI, 2013): a. Seseorang dengan resiko genetik dan lingkungan apabila terpejan dengan pemicu (inducer/sensitizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya yang disebut dengan fase sensitisasi b. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi tepejan dengan pemicu (enhancer) maka proses inflamasi pada saluran napasnya . proses inflamsi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus. c. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpejan oleh faktor pencetus (triger) maka akan terjadi serangan asma atau mengi.

28

Gambar 2.5 Gambar skematis terjadinya asma (Kemenkes RI, 2008)

5. Klasifikasi Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma yang lain. Dahulu dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (intrinsik). Asma alergik

terutama munculnya

pada waktu

kanak-kanak mekanisme

serangarmya melalui reaksi alergi tipe I terhadap alergen. Sedangkan asma dikatakan asma intrinsik bila tidak ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun klasifikasi tersebut pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan nonalergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu: 1). asma ekstrinsik, 2). asma intrinsik, 3). asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik (Sundaru et al., 2009). Selanjumya Global Initiative for Asthma (GINA) mengajukan klasifikasi asma intermiten dan persisten ringan, sedang dan berat. Baru-baru ini, berdasarkan gejala siang, aktivitas. gejala malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membagi asma menjadi asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol (Sundaru et al., 2009)

29

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinis (Kemenkes RI, 2008)

Tabel 3. Klasifikasi asma berdasarkan terkontrol tidaknya (PDPI, 2003)

30

Pasien yang pertama kali datang dengan gejala asma akan dinilai derajat eksasrbasi akut dan beratnya asma. Penilaian tersebut menentukan tatalaksana awal dan terapi rawat jalan. Tabel 4. Derajat eksaserbasi asma (GINA, 2014)

6. Patogenesis dan patofisiologis Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Patogenesisnya terdiri dari proses inflamasi akut, inflamasi kronis dan airway remodeling (PDPI, 2003). .

31

Gambar 2.6 Keterkaitan patogenesis asma (PDPI, 2003). a. Inflamasi Akut Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. -

Reaksi Asma Tipe Cepat Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

-

Reaksi Fase Lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

b. Inflamasi Kronik Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus. - Limfosit T : Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke

32

arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. - Epitel : Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel. - Eosinofil : Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.

- Sel Mast Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan

sel

mast.

Terjadi

degranulasi

sel

mast

yang

mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

- Makrofag Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan

33

berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growthpromoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β c. Airway Remodeling Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis

dari

diferensiasi,

migrasi,

maturasi,

dediferensiasi

sel

sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi selsel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi : Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas, Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, Penebalan membran reticular basal, Pembuluh darah meningkat, Matriks ekstraselular fungsinya meningkat, Perubahan struktur parenkim, Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

34

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation). Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. Pemikiran baru mengenai patogenesis asma dikaitkan dengan terjadinya Airway remodeling Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan asma. Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang beraksi pada genotip asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau memperburuk asma yang sudah terjadi. Di samping itu dipahami terjadinya kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma seperti lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi dari epitel akibat pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi dan remodeling. Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth factors terutama TGF-β dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, plateletderived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai mediator tersebut, TGF-β adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang kemudian

akan

mensekresi

kolagen

interstisial,

sedangkan

mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF-β dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan

35

napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkan remodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya. Teori TH-2 dan EMTU Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya sitokin proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan binatang yang menunjukkan peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis asma Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2. Akan tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13, Il-4) yang dianggap berperan penting dalam remodeling adalah berinteraksi dengan sel epitel mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin proinflamasi tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi .interaksinya dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya airway remodeling pada asma. Sehingga dirumuskan suatu postulat bahwa kerusak sel epitel dan sitokinsitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam menimbulkan gangguan fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respons inflamasi dan remodeling sebagai karakteristik asma kronik.

36

Gambar 2.7. Proses patogenesis asma (PDPI,2003) Sedangkan menurut Permenkes RI (2008) gejala asma seperti sesak, batuk dan mengi merupakan akibat obstruksi bronkus yang disasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma , besarnya hiperaktivitas bronkus ini dapat dinlai secara tidak langsung yaitu dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik. Faktor pencetus serangan asma dapat menginduksi serangan respon inflamasi akut (reaksi asma cepat dan lambat) dan dapat terus berlanjut menjadi inflamasi sub akut atau cronis. Pada saat ini terjadi inflamasi bronkus dan skitranya berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu yang compleks, hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus , lumen jalan nafas, dan dibawah membran basal. Selin selmas sel lain juga dapat melepaskan mediator seperti sel makrofag alveloar, eosinofil, sel epitel jalan nafas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Ketika tejadi inhalasi alergen akan mengkativasi sel mast intralumen. Sel makrovag alveolar, nervus vagus dan epitel saluran napas. Mediator inflamasi yang terjadi dapat

37

menyebabkan serangan asma. Selain itu sel efektor skunder seperti eosinosil, netrofil, platelat, dan limfositdapat menimbulan hiperaktivitas bronkus (Permenkes RI, 2008)

Gambar 2.8 Patofisiologis asma (Permenkes RI, 2008)

7. Gejala klinis Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan. (O’Byrne, et al., 2010). Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. (Sundaru et al., 2009)

38

8. Penegakan Diagnosis Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Sundaru et al., 2009): a. Anamnesis Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak.mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadangpasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnyatimbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupunkeluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul padamalam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan.

Dengan

mengetahui

faktor

pencetus,

kemudian

menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah. Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaim pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat. artinya serangan asma tanpa diobati ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat bervariasi dari satu individu ke individu Iain, dan bahkan bervariasi pada individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding siang hari. b. Pemeriksaan Fisik Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagno¬ sis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga

diperlukan

pemeriksaan

diagnosis.

39

penunjang

untuk

menegakkan

c. Pemeriksaan Penunjang - Spirometri Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan

dengan bronkodilator.

Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEPl sebanyak > 12% atau (> 200niL) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari >12% atau (> 200niL) tidak berarti bukan asma. Halhal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untukjangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian. Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif kronik. - Uji provokasi bronkus Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi

40

dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEPl sebesar 20%o atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90%o dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji. - Pemeriksaan sputum Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil,

kristal

Charcot-

Leyden,

dan

Spiral

Curschmann,

pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus. - Pemeriksaan eosinofil total Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma - Uji kulit Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya. - Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.

41

- Foto dada Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan Iain-lain. - Analisis gas darah Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaC02 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaC02 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaC02 > 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

9. Penatalaksanaan Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol) (Kemenkes RI, 2008). Tujuannya (Kemenkes RI, 2008):  Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma,  Mencegah aksaserbasi akut  Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin  Mengupayakan aktivits normal termasuk exrcise  Menghindari efek samping obat  Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara irreversibel  Mencegah kematian karena asma  Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembanganak sesuai dengan potensi genetiknya

42

Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluham atau pernyataan pasien, dan ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pada dasarnya penatalaksanaan asma dikelompokan menjadi penatalaksanaan asma saat akut/saat serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang (Kemenkes RI, 2008): a. Penatalaksaan asma akut/saat serangan Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus iketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah, dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan drajat serangan . penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan dan gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat (Kemenkes RI, 2008).Pada saat serangan obat yang digunakan adalah (Kemenkes RI, 2008): Bronkodilator (beta agonis kerja cepat dan ipatropium bromida), Kortikosteroid sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya beta agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan mmaka dapat diberikan secara sistemik . pada dewasa dapat dibrikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentuseperti ada riwayat serangan berat sebelumnya maka kortikosteroid oral seperti metilprednisolon dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan sedang diberikan beta 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral, dan pada dewasa dapat diberikan ipatropium bromida inhalasi, aminofilin iv baik bolus atau drip. Pada anak belum diberikan ipatropium bromida inhalasi maupun aminofilin iv (Kemenkes RI, 2008). Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan iv, dan aminofilin iv, beta 2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat diberikan

43

adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jjiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obatan bronkodilator terutama dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada maka dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer) (Kemenkes RI, 2008). b. Penatalaksanaan jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan asma jangka panjang meliputu (Kemenkes RI, 2008): edukasi dan obat asma (obat pengontrol dan pelega) 1) Edukasi Edukasi yang diberikan mencangkup: - Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan - Mengenali gejala serangan asma secara ddini - Mengetahui obatobatan pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya - Mengenali dan menghindari faktor pencetus - Kontrol teratur Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma, sedangkan pada anak menggunakan lembar harian 2) Obat asma Obat asma terdiri dari obat pelega dan obat pengontrol. Obat pelega diberika ketika serangan asma sedangkan obat pengontrol diberikan untuk mencegah terjadinya serangan asma dan diberian dalam waktu panjang secara terus menerus. Untuk mengontrol asma diberikan obat anti inflamasi berupa kortikosteroid inhalasi. Pada anak kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikkosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.

44

Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain: - Inhalasi kortikosteroid - Beta 2 agonis kerja panjang - Antileukotrien - Teofilin lepas lambat Tabel 4. Obat jenis asma

Keterangan: IDT

: inhalasi dosis teratur: metered inhaler/MDI, dapat

digunakan bersama specer Solution: larutan untuk menggunakan nebulasi dengan nebulizer Oral

: dapat berbentuk sirup

Injeksi

: dapat digunakan secara subcutan, im, dan IV

45

Gambar 1.9 Algoritma penatalaksanaan asma di rumah (Kemenkes RI, 2008)

46

Gambar 1.10 Algoritma penatalaksanaan asma di rumahsakit (Kemenkes RI, 2008).

47

Gambar 1.1 Penyuluhan pelangi asma (Kemenkes RI, 2008). 10. Komplikasi Keparahan pada asma akut dapat mengakibatkan komplikasi (Lewis, et al. 2007). Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah : Pneumothoraks, Pneumomediastinum, Atelektasis, Aspergilosis, Gagal napas, Bronkhitis, Fraktur iga. Selain itu dapat juga terjadi pneumonia dan status asmatikus. (Lewis, et al. 2007). 11. Prognosis Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya bahwa asma dapat tenang tanpa gejala, tidak menggangu aktivitas, tetapi dapa juga bersifat ekaserbai dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Kemenkes RI, 2008). Karena asma juga dapat mengantarkan penderitanya kepada kematian seketika, sehingga sangat penting sekali penyakit ini dikontrol dan di kendalikan untuk kepentingan keselamatan jiwa penderitanya (Sundaru et al., 2008)

48

Asma dikatakan terkontrol bila (PDPI, 2003): a. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam b. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise c. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan) d. Variasi harian APE kurang dari 20% e. Nilai APE normal atau mendekati normal f. Efek samping obat minimal (tidak ada) g. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau.

49

BAB III PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN Pada hari Jum’at tagggal 2 Januari 2018 Ny. B dirawat di RSUD kota salatiga. Berdasarkan hasil anamnesis pemerikasaan fisik dan pemeriksaan penunjang Ny. B didiagnosa mengalami bronkopnemonia, asma aksaserbasi akut berat, Aritmia/ gangguan irama jantung, dan suspeck TB paru. Asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam rangsangan. Ny.

B

mengalami

bronkopneumonia.

Bronkopneumonia

adalah

peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution), Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Sebagian besar penyebab bronkopneumonia adalah mikroorganisme (virus, bekteri, jamur), dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi lambung kedalam saluran pernafasan (aspirasi). Gejala yang muncul pada pasien adalah adanya demam, batuk berdahak serta sesak napas dengan adanya suara tambahan paru berupa rhonki Asma pada Ny. B sebelumnya tergolong persisten ringan karena gejala lebih dari 1 kali dalam seminggu dan sering menggangu aktivitas seharihari dan tidur. Saat masuk IGD pasien sedang mengalami serangan asma atau asma akut dengan gejala berat. Dengan gejala asma yang utama berupa sesak, batuk dan mengi. Keluhan disertai sulit tidur, badan lemas, berdebar debar, Pasien juga mengaku bahwa badannya kurus serta pakaian yang digunakan longgar akan

50

tetapi pasien menyaka hal itu terjadi karena kurangnya konsumsi makan. Keluhan ini muncul karena adanya faktor pemicunya. Faktor pemicu yang dicurigai adalah udara dingin yang dapat menyebabkan hiperaktivitas dari bronkus. Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus iketahui oleh pasien, dan dikatakan berat karena ketika datang pasien hanya dalam keadaan duduk dan sesak, serta hanya mampu berka tiap kata. Penatalaksanaan yaang deberikan pada pasien berupa. obat-obatan yang digunakan untuk Tatalaksana di IGD: budesonid nebul 0,5 mg (pulmicort) , terbutaline sulfate nebul 5 mg (bricasma), metil prednisolon inj 125mg iv, aminofilin 36 mg drip (15ml/ 1,5 amp) dalam infus asering 500 ml 20 tpm, aminofilin inj ½ amp extra iv, omeprazole inj 40 mg iv, N-asetilsistein caps 2x200 mg , Oksigen nasal canul 3 lpm. Tatalaksana di bangsal, bed rest dan terapi medikasi: Salbutamol tab 3x2mg, Aminofilin drip 3x20 tpm dalam cairan infus 500 ml, Budesonid (pulmicort) nebul 3x1, Terbutalin sulfat (bricasma) nebul 3x1, Omeprazole inj 2x40mg, Metil prednisolon tab 3x 62,5mg (1/2 tab), Ceftriaxone inj 2x1g, Ambroxol tab 3x60mg (2 tab), OBH syr 3x1 Cth, Oksigen nasal canul 3 lpm, Procaterol HCl hydrate inhaler (untuk dibawa pulang) Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah, dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan drajat serangan . penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan dan gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat Pada saat serangan obat yang digunakan adalah: Bronkodilator (beta agonis kerja cepat dan ipatropium bromida), Kortikosteroid sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya beta agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan mmaka dapat diberikan secara sistemik . pada dewasa dapat dibrikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentuseperti ada riwayat serangan berat sebelumnya maka kortikosteroid oral seperti metilprednisolon dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan sedang diberikan

51

beta 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral, dan pada dewasa dapat diberikan ipatropium bromida inhalasi, aminofilin iv baik bolus atau drip. Pada anak belum diberikan ipatropium bromida inhalasi maupun aminofilin iv Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan iv, dan aminofilin iv, beta 2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat diberikan adrenalin subkutan. Atau sesuai dengan. Karena

asma juga dapat mengantarkan

penderitanya kepada kematian seketika, sehingga sangat penting sekali penyakit ini dikontrol dan di kendalikan untuk kepentingan keselamatan jiwa penderitanya. Kemudian pasien tetap di evaluasi sampai keadaan setabil. Setealah keadaan pasein setabil kemudian pasien dapat pulang dan disarankan untuk kkontrol pada hari senin tanggal 14-1-2019.

B. KESIMPULAN  Berdasarkan hasil anamnesis pemerikasaan fisik dan pemeriksaan penunjang Ny. B didiagnosa mengalami Asma aksaserbasi akut berat, Aritmia jantung, bronkopnemonia, dan suspect TB paru.  Asma pada Ny. B tergolong persisten ringan karena gejala lebih dari 1 kali dalam seminggu dan sering menggangu aktivitas seharihari dan tidur. Saat ini pasien sedang mengalami serangan asma atau asma akut  Pada saat serangan obat yang digunakan adalah (Kemenkes RI, 2008): Bronkodilator (beta agonis kerja cepat dan ipatropium bromida), Kortikosteroid sistemik.  Penatalaksaan pada pasien secara umum sudah sesuai dengan dasar teori yang ada, dan pasien sudah membaik dan pasien diperbolhekan untuk pulang dan disarankan untuk kontrol.

52

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Arif, M. (2008). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Penerbitan Media Aesculapius FKUI. Behrman, R.V. & Vaughan, V.C. (2000). Nelson ilmu kesehatan anak. Bagian II edisi 15 jakarta: EGC hal 883-889 Bennete. M. J.(2013). Pediatric pneumonia. http : www//emedicine. Medscape.com / arti / cle / 67822-overview Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C. (2011). The management of community-acquired pneumonia in infants and children older than 3 months of age: Clinical practice guidelines by the pediatric infectious diseases society and the infectious diseases society of America. FitzGerald, M., Bateman, E.D., Bouler, L.P. et.al. Global Initiative for Asthma (GINA). Dalam: FitzGerald, M. 2014. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Kemenke RI. (2013). Infodatin: pusat data dan informasi kesehatan kementrian kesehatan republik indonnesia, you can control asma. Issn 1442-7659. Kemenkes RI, (2008). pedoman pengendalian asma. Keputusan mentri kesehatan rpublik indonesia. Nomor 1023/menkes/sk/xi/2008 Lewis, S.M., Heitkemper, M.M, Dirksen, S.R. (2007). Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problem. Pennsylvania: W.B Saunders Mansjoer, A (2008). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran. Mansjoer, A. (2000) Kapita Selekta Kedokteran jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. Misnadiarly, (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Pustaka Obor Populer, Jakarta O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2010), Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Ontario Canada. PDPI (2003) pedoman diagnosis dan tatalaksana asma di indonesia

53

Roche. (2015). Gambar bronkus normal dan asma Dalam Shutterstock. Bronchoconstriction. Desigua. 161240786. Snell, (2006). Sistem pernapasan dalam Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. Sundaru, heru & sukamto, (2009). asma. dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing Sundaru, Heru, Sukamto. (2006). Asma. dalam Sudoyo, Aru W, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadhibrata, S. Setiati, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

54

Related Documents


More Documents from "Ega Meilyta"