Presentasi Kasus Hiperbil.pdf

  • Uploaded by: Linda Pratiwi Sulaeman
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presentasi Kasus Hiperbil.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 6,872
  • Pages: 41
PRESENTASI KASUS HIPERBILIRUBINEMIA NEONATUS

Oleh: Linda Pratiwi Sulaeman 1112103000035

Pembimbing:

dr. Jaya Ariheryanto, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUP FATMAWATI JAKARTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus dengan judul Hiperbiliruinemia Neonatus. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Jaya Ariheryanto, Sp.A selaku pembimbing presentasi kasus ini. Penulis menyadari makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat dan membuka wawasan pembaca.

Jakarta, April 2017

Penulis

2

DAFTAR ISI

COVER

……………………………………………………………

1

KATA PENGANTAR

……………………………………………………………

2

DAFTAR ISI

…………………………………………………………...

3

BAB I ILUSTRASI KASUS ……………………………………………………………

4

BAB II ANALISA KASUS …………………………………………………………...

13

…………………………………………………...

15

…………………………………………………………..

29

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS  Pasien Rekam medis

: 01508446

Nama

: By.Ny.E (An. MAF)

Tempat/Tanggal Lahir : Depok, 01 April 2017 Umur

: 0 thn 0 bln 6 hari

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jl. Rajawali RT 005/004, Beji, Depok

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Sunda

Pendidikan

: Belum sekolah

Perkawinan

: Dibawah umur

Masuk RS

: 06 April 2017

 Orang Tua Pasien Ayah

Ibu

Nama

:

Tn. D

Umur

:

24 tahun

Agama

:

Islam

Islam

Pendidikan

:

SMA

SMP

Pekerjaan

:

Pegawai Swasta

Penghasilan

:

Rp. 3.000.000 - 5.000.000/bulan

Ny. E 21 tahun

Ibu Rumah Tangga (-)

II. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan pada tanggal 06 April 2017 secara alloanamnesis dengan orang tua pasien.

4



Keluhan Utama Bayi tampak kuning sejak 3 hari SMRS

 Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien dibawa ke RSF oleh orangtua dengan keluhan mata dan badan kuning sejak 3 hari SMRS (hari ke-3 setelah lahir). Menurut ibu pasien, awalnya hanya mata pasien yang terlihat kuning, namun lama-kelamaan kuning menjalar sampai akhirnya ke bagian dada sejak 2 hari SMRS, dan menjalar sampai ujung tangan dan kaki. Keluhan demam, teraba dingin, tampak lemas atau tampak kebiruan tidak ada. Pasien tampak aktif dan tidak tampak sesak. BAB pasien tidak ada kelainan, warna kuning, konsistensi lembek. Tidak ada keluhan BAB berwarna seperti dempul. BAB warna kehjauan hanya terjadi sampai 1 hari setelah lahir saja. BAK berwarna kuning jernih, ibu tidak mengetahui berapa kali karena pasien memakai pampers. Tidak ada keluhan BAK berwarna seperti teh. 

Riwayat Makan Pasien sampai saat ini meminum ASI > 10x/hari. Pasien sering menyusu namun masih tetap rewel dan sering masih tampak kehausan. Pasien juga diberikan susu formula sebagai tambahan dari Rumah Sakit (Ibu pasien tidak tahu) 5x @25cc sejak usia pasien 2 hari karena produksi ASI sedikit. Hingga saat ini pasien tampak aktif menyusu.

 Riwayat Kehamilan dan Persalinan Ibu pasien hamil selama 34 minggu, lalu dibawa ke RS Graha Permata karena telah terjadi kontraksi terus menerus dan dikatakan terdapat gawat janin sehingga pasien dilakukan operasi sectio cesaria. Keluhan ketuban pecah dini tidak ada. Pasien lahir langsung menangis. Pasien lahir dengan BL 1950gr dan PL 43 cm. Selama hamil pasien rutin kontrol ke puskesmas di lingkungan rumahnya dan dikatakan bayi dalam keadaan baik. Saat hamil Ibu pasien tidak pernah keputihan ataupun perdarahan. Tidak terdapat keluhan gigi berlubang, demam lama atau batuk lama. Keluhan tekanan darah tinggi saat kehamilan tidak ada. Ibu pasien mengatakan tidak ada riwayat kuning, serta tidak ada riwayat kencing manis. Ibu tidak minum jamu

5

maupun merokok. Ayah pasien merupakan perokok aktif dan merokok di sekitar rumah selama ibu hamil. Dalam sehari ayah menghabiskan sekitar 6-8 batang rokok.  Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa pada keluarga tidak ada, riwayat penyakit gangguan pembekuan darah pada keluarga tidak ada, riwayat alergi dan asma tidak ada. Pasien adalah anak pertama. Ibu pasien memiliki golongan darah A dan ayah pasien memiliki golongan darah AB. Ibu pasien lupa golongan darah rhesus.  Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan sekitar Rp. 3.000.000 - 5.000.000,-/bulan. Sedangkan ibu pasien saat ini tidak bekerja (ibu rumah tangga).  Riwayat Perumahan dan Sanitasi Lingkungan Keluarga pasien tinggal di kontrakan dengan ukuran 6m x 6m, kontrakan berlantai semen, terdapat toilet didalam kontrakan. Ventilasi rumah dan pencahayaan sinar matahari terasa kurang, hanya terdapat 1 jendela di depan kontrakan. Kontrakan terletak di pemukiman padat. Kontrakan terletak lumayan jauh dari selokan dan tidak ada tumpukan sampah di sekitar.

III.

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik pada tanggal 06 April 2017 Keadaan umum

: bayi tenang, respon (+) kuat, menangis kuat, tampak kuat

menyusu Kesadaran

: compos mentis

Tanda Vital

: HR: 130 x/m, RR: 40 x/m , T: 36.4C

Berat badan

: 1950 gram

Panjang badan

: 43 cm

Lingkar kepala

: 31 cm

Lingkar dada

: 27 cm

Lingkar perut

: 28 cm

Lingkar lengan atas

: 9 cm

6

Kulit

: Ikterik (+) hingga telapak tangan dan kaki (skor kremer V), pucat (-), sianosis (-)

Kepala

: LK 30 cm, ubun-ubun datar

Mata

: konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik +/+, pupil bulat

Telinga

: normotia, sekret -/-

Hidung

: deformitas (-),napas cuping hidung (-), sekret -/-

Mulut

: bibir basah (+), mukosa bibir lembab (+), sianosis (-)

Leher

: KGB tidak teraba membesar

Toraks

: Bentuk dan gerak dada simetris saat statis dan dinamis,

retraksi sela iga (-) Jantung Inspeksi

:Ictus cordis terlihat di ICS IV linea midclavicularis sinistra

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicularis sinistra

Perkusi

: tidak dilakukan

Auskultasi

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru Inspeksi

: simetris saat statis dan dinamis, retraksi(-)

Palpasi

: tidak ada benjolan (-)

Perkusi

: tidak dilakukan

Auskultasi : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/Abdomen Inspeksi

: datar

Palpasi

: supel, turgor <2 detik, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: tidak dilakukan

Auskultasi : bising usus (+) normal Ekstremitas

: akral hangat, CRT <2 detik, ikterik (-)

Genitalia/anus

: laki-laki, kedua skrotum terisi oleh testis, anus (+)

Refleks Moro

: (-)

Refleks tonic neck

: (-)

Refleks grasp

: -/-

7

PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Laboratorium Tanggal 06-04-2017 sd 09-04-2017 Pemeriksaan

06-04-2017

06-04-2017

Hematologi

Pkl 12.00

Pkl 21.00

Hemoglobin

22

Hematokrit

09-04-2017

Nilai normal

15.6

12.7

12,7-18,7 g/dL

47

39

44-72 %

Leukosit

25.6

15.2

16.3

5,0-21 ribu/uL

Trombosit

245

193

198

150-440 ribu/uL

Eritrosit

4.46

3,7-6,10 juta/uL

VER

106.1

94-150 fl

HER

34.9

29-45 pg

KHER

32.9

24-36 g/dL

RDW

19.8

11,5-14,5%

SGOT

29

0-34

SGPT

22

0-40

VER/HER/ KHER/RDW

Fungsi Hati

Bilirubin Total

14.1

21.80

12.00

0.00 – 12.00

Bilirubin Direk

1.18

5.50

4.6

<0.20

Bilirubin

12.92

16.30

7.4

<0.60

Indirek Serologi CRP

<0.4

<1

46

30-60 mg/dL

Natrium

147

135-147

Kalium

4.75

3.10-5.10

Klorida

101

95-108

IT ratio

0.03

<0.20

Hematologi Glukometer (POCT) Elektrolit (darah)

Sero-Imunologi

ABO/Rh

AB (+) 8

IV. RESUME Pasien dibawa ke RSF oleh orangtua dengan keluhan mata dan badan kuning sejak 3 hari SMRS (hari ke-3 setelah lahir). Menurut ibu pasien, awalnya hanya mata pasien yang terlihat kuning, namun lama-kelamaan kuning menjalar sampai akhirnya ke bagian dada sejak 2 hari SMRS, dan menjalar sampai ujung tangan dan kaki. Keluhan demam, teraba dingin, tampak lemas atau tampak kebiruan tidak ada. Pasien tampak aktif dan tidak tampak sesak. BAB pasien tidak ada kelainan, warna kuning, konsistensi lembek. Tidak ada keluhan BAB berwarna seperti dempul. BAB warna kehjauan hanya terjadi sampai 1 hari setelah lahir saja. BAK berwarna kuning jernih, ibu tidak mengetahui berapa kali karena pasien memakai pampers. Tidak ada keluhan BAK berwarna seperti teh. Pasien sampai saat ini meminum ASI > 10x/hari. Pasien sering menyusu namun masih tetap rewel dan sering masih tampak kehausan. Pasien juga diberikan susu formula sebagai tambahan dari Rumah Sakit (Ibu pasien tidak tahu) 5x @25cc sejak usia pasien 2 hari karena produksi ASI sedikit. Ibu pasien hamil selama 34 minggu, lalu dibawa ke RS Graha Permata karena telah terjadi kontraksi terus menerus dan dikatakan ada gawat janin sehingga ibu pasien dilakukan operasi sectio cesaria. Keluhan ketuban pecah dini tidak ada. Pasien lahir langsung menangis. Pasien lahir dengan BL 1950gr dan PL 43 cm. Selama hamil pasien rutin kontrol ke puskesmas di lingkungan rumahnya dan dikatakan bayi dalam keadaan baik. Ibu pasien memiliki golongan darah A dan ayah pasien memiliki golongan darah AB. Pada pemeriksaan fisik tanggal 06 April 2017 didapatkan: bayi tenang, ikterik (+), pucat (-), sianosis (-), frekuensi denyut jantung 130 kali/menit, frekuensi napas 40 kali/menit. Sklera ikterik (+). Status generalis dalam batas normal.

V.

DIAGNOSIS KERJA 

Hiperbilirubinemia



Kolestasis



Neonatus Kurang Bulan – Sesuai Masa Kehamilan

VI. PENATALAKSANAAN -

Fototerapi 36 jam

-

Bactecyn 2 x 100mg iv

9

-

Gentamisin 10g/36 jam iv

-

Diet : 8 x 40cc (naik 5cc/hari)

-

Obat pulang : -

Asam ursodeokikolat 5-30mg/kgBB/hari = 2 x 20 mg PO

-

Cefixime 2 x 10 mg PO

VII. PROGNOSIS Ad vitam

: Bonam

Ad fungsionam

: Dubia ad bonam

Ad sanationam

: Dubia ad bonam

VIII. FOLLOW UP Pasien dirawat di ruang anak gedung Teratai lt.2 utara (perina) dari tanggal 7 April hingga 10 April 2017, berikut ini hasil follow up pasien dan hasil rekam medis selama di ruang rawat inap anak.

Tanggal 7 April 2017 jam 07.00 S

Demam (-), aktif, rewel, BAB kuning 3x/hari

O

KU/kes : TSS/CM N 140 x/menit RR 42x/menit T 36,5 BB: 2.1 kg PB: 43 cm Status Generalis Kepala = LK 30 cm Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+ Mulut : oral thrush (-) Telinga: secret (-) Leher : pembesaran KGB (-) Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/Jantung : BJI dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen : tampak datar, BU + normal, organomegali (-) Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik. Kulit : Ikterik (+)hingga telapak tangan dan kaki (skor kremer V)

A

NKB-SMK Hiperbilirubinemia Kolestasis 10

P

Bedrest Fototerapi 36 jam Bactecyn 2 x 100mg iv Gentamisin 10g/36 jam iv Diet : 8 x 40cc (naik 5cc/hari)

8 April 2017 pukul 17.00 S

Demam (-), aktif, sesak (-)

O

KU/kes : TSS/CM N 136 x/menit RR 40x/menit T 36,2 BB: 2.1 kg PB: 43 cm

A

P

Status Generalis Kepala = LK 30 cm Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+ Mulut : oral thrush (-) Telinga: secret (-) Leher : pembesaran KGB (-) Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/Jantung : BJI dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen : tampak datar, BU + normal, organomegali (-) Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik. Kulit : Ikterik (+)hingga badan atas (skor kremer III) NKB-SMK Hiperbilirubinemia Kolestasis Bedrest Fototerapi 36 jam Bactecyn 2 x 100mg iv Gentamisin 10g/36 jam iv Diet : 8 x 40cc (naik 5cc/hari)

11

10 April 2017 07.00 S

Demam (-), aktif, sesak (-), aktif menyusu, BAB warna kuning

O

KU/kes : TSS/CM N 136 x/menit RR 40x/menit T 36,0 BB: 2.1 kg PB: 43 cm

A

P

Status Generalis Kepala = LK 30 cm Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+ Mulut : oral thrush (-) Telinga: secret (-) Leher : pembesaran KGB (-) Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/Jantung : BJI dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen : tampak datar, BU + normal, organomegali (-) Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik. Kulit : ikterik (-) Hiperbilirubinemia Kolestasis Obat pulang : Asam ursodeokikolat 5-30mg/kgBB/hari = 2 x 20mg PO Cefixime 2 x 10 mg PO

12

BAB II ANALISA KASUS

Dari ilustrasi kasus diatas telah dirumuskan melalui keterangan anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan serta disesuaikan dengan teori yang ada, maka kasus ini mengarah kepada diagnosis : hiperbilirubinemia dan kolestasis pada neotatus kurang bulan Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan, didapatkan hal-hal yang mendukung ke arah diagnosis, antara lain : 1. anamnesis - pasien tampak kuning saat hari ke-3 setelah lahir, kuning muncul dari mata, wajah, sampai ke dada - pasien lahir kurang bulan (34 minggu) dan secara sectio caesaria 2. Pemeriksaan fisik dan penunjang - Pemeriksaan Fisik : sclera ikterik (+), kulit ikterik (+) -

Pada pemeriksaan penunjang 06-04-2017

09-04-2017

Bilirubin Total

21.80

12.00

Bilirubin Direk

5.50

4.6

Bilirubin Indirek

16.30

7.4

Fungsi Hati

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis hiperbilirubinemia dan kolestasis. Hiperbilirubinemia dan kolestasis yang terjadi pada pasien harus diketahui penyebabnya. Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien lahir kurang bulan (34 minggu), dengan cara sectio caesaria, namun langsung menangis. Pasien juga sampai saat ini aktif, kuat menyusu, dan tidak tampak tanda-tanda letargi. Dengan ini dapat disingkirkan kemungkinan sepsis. Dari hasil anamnesis didapatkan Ibu pasien memiliki golongan darah A dan ayah pasien memiliki golongan darah AB. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan golongan darah pasien AB (+), maka dari itu dapat disingkirkan kemungkinan hiperbilirubinemia karena inkopabilitas ABO. Namun orangtua pasien harus diperiksa kembali golongan darah rhesus untuk dilihat apakah ada kemungkinan inkompabilitas rhesus. Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien dilahirkan kurang bulan (34 minggu), maka dari itu terdapat faktor resiko hiperbilirubinemia yaitu lahir prematur. Pada

13

pemeriksaan penunjang didapatkan jumlah bilirubin direk lebih dari 20%, maka dari itu dapat ditegakkan diagnosis kolestasis. Infeksi pada neonates merupakan penyebab tersering dari kolestasis, dan infeksi tersering yang terjadi pada bayi baru lahir adalah infeksi saluran kemih, maka dari itu seharusnya dilakukan analisa urin dan kultur urin. Tatalaksana fototerapi tetap diberikan walau terdapat kolestasis karena nilai bilirubin indirek sudah mencapai 16.30. Pasien juga diberikan antibiotik Bactecyn 2 x 100mg iv dan Gentamisin 10g/36 jam iv, namun seharusnya antibiotik diberikan setelah pemeriksaan analisa urin dan kultur urin.

14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Fisiologi Metabolisme Bilirubin

3.1.1 Pembentukkan Bilirubin Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasireduksi. 75% berasalah dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokorm, katalase dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Kecepatan produksi bilirubin adalah 8-10mg/kg BB/ hari pada neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kg BB/ hari pada orang dewasa sehat.1,4 Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa eritrositnya lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek (70-90 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan reabsopsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).1 Langkah oksidasi pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukkan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.1

15

Gambar 3.1 Metabolisme Bilirubin.2 Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mgg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada BBL disebabkan masa hidup eritrosit lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degenerasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat.3

16

3.1.2 Transportasi dan Konjugasi

Gambar 3.2 Skema metabolism bilirubin.3 Terdapat 4 bentuk bilirubin yang berbeda dalam serum, antara lain: 

Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin (membentuk sebagian besar bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum)



Bilirubin bebas



Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukuronida dan diglukuronida)



Bilirubin terkonjugasi yang berikatan dengan albumin serum (-bilirubin)

Pada saat kompleks bilirubin albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat dengan reseptor dipermukaan sel. Kemudian bilirubin akan ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk kesirkulasi, sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati, dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.2,3 Bilirubin yang tidak larut dalam air akan berikatan dengan albumin untuk bisa larut dalam air. Pada janin, lipid-insoluble bilirubin monoglucuronide (BMG) terkonjugasi dan bilirubin diglucuronide (BDG) harus dikembalikan pada bentuk 17

tidak terkonjugasi oleh enzim ß-glucuronidase untuk memfasilitasi transfer bilirubin tidak terkonjugasi lewat plasenta. Saat bayi telah lahir, glucuronidase yang berada pada susu atau pada usus bayi berkontribusi terhadap bilirubin untuk bersirkulasi kembali

pada

jalur

entero-hepatik

dan

memungkinkan

untuk

menambah

perkembangan hiperbilirubinemia.3 Pada retikulum endoplasma sel hepar, bilirubin tak terkonjugasi akan dikonversikan kebentuk bilirubin terkonjugasi dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucuronocyl transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian akan dieksresikan kedalam kanalikulus empedu. Jika ada bilirubin yang tak terkonjugasi makan akan direkonjugasi lagi oleh retikulum endoplasma. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan kehepar akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi. Pada penelitian didapatkan bahwa aktifitas enzim diphosphate glucuronocyl transferase (UDPG-T) mengalami defisiensi pada 24 jam pertama kehidupan, namun setelah itu aktifitasnya akan meningkat melebihi bilirubin yang masuk kehepar sehingga konsentrasi bilirubin serum akan menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada hari k-4 kehidupan. Pada bayi baru lahir, kapasitas ikatan plasma terhadap bilirubin terbilang rendah karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang rendah. Selain itu albumin memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap obat-obat yang bersifat asam sehingga dapat melepaskan ikatan yang terjadi antara albumin dan bilirubin.3

Tabel 3.1. Obat-obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.2 18

3.1.4. Ekskresi Setelah konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, bilirubin tersebut diekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Pada usus halus dan feses bayi baru lahir terdapat enzim beta glukoronidase yang dapat menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat di absorpsi kembali.1 Bilirubin yang mencapai usus akan terhidrogenasi oleh flora normal di usus menjadi urobilinogen dalam bentuk stercobilinogen dimana zat ini akan diekskresikan melalui feces dan membuat warna feces menjadi hijau kecoklatan. Di sisi lain, bilirubin terkonjugasi juga akan beredar di pembuluh darah dan diekskresikan melalui ginjal melalui perubahan menjadi urobilinogen yang mewarnai urin menjadi kuning. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat pada epitel usus, kemudian bilirubin indirek yang dihasilkan ini akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi dan diikat oleh albumin kembali ke hati, yang dikenal sebagai siklus enterohepatik. Bilirubin sendiri berguna sebagai antioksidan poten serta pengikat peroksil, dan dapat melindungi neonatus dari toksisitas oksigen pada harihari pertama kehidupan. Walaupun bilirubin memiliki peran fisiologis sebagai antioksidan, peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi/indirek secara memiliki potensial neurotoksik karena sifatnya yang lipofilik yang mampu menembus sawar darah otak. Sedangkan, bentuk terkonjugasi tidak neurotoksik, hiperbilirubinemia direk mengindikasikan gangguan hepatik yang serius atau penyakit sistemik.1 Mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim betaglukoronidase yang dapat menghidrolisis monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin tak terkonjugasi yang dapat diabsorpsi kembali. Pada bayi baru lahir, lumen usus halus steril sehingga bilirubin terkonjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin. Bayi baru lahir memiliki konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi relatif tinggi dalam usus karena peningkatan produksi bilirubin, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih (diperkuat oleh aktivitas beta-glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi), konsentrasi bilirubin yang tinggi dalam mekonium. Kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen akan meningkatkan pool bilirubin usus.1,4 Pada bayi baru lahir memiliki konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang tinggi dikarenakan produksi yang meningkat pada usus. Hal ini salah satunya

19

disebabkan pada bayi lahir memiliki kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen.

3.2 Ikterus neonatorum 3.2.1 Definisi Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah.4 Warna kuning tersebut tampak pada sklera, membran mukosa, wajah, frenulum, palmar creases, yang meluas sesuai arah sefalokaudal ke dada, perut, kemudian ekstremitas. Neonatus akan tampak kuning apabila kadar bilirubin >5 mg/dl.1,5 Ikterus tampak lebih nyata bila terdapat prematuritas, asidosis, hipoalbumin, dan dehidrasi. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi optimal sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal, menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Dengan menggunakan nomogram dapat dilihat kadar normal dan nilai tinggi bilirubin dalam darah, dengan menggunakan persentil sesuai umur.6 3.2.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat angka kejadian ikterus neonatorum dapat mencapai sekitar 60%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus tersebut mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.1 Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya. Kejadian ikterus dapat terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19 % bayi menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian kasus bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.1,3

20

3.2.3 Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi menjadi: 3.2.3.1 Produksi yang berlebihan Ikterus dapat disebabkan oleh jumlah bilirubin melebihi kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya,

misalnya

pada

hemolisis

yang

meningkat

pada

inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.1,3 3.2.3.2 Gangguan proses “uptake” dan konjugasi dalam hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.1,3

3.2.3.3 Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian dibawa ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.1-3

3.2.3.4 Gangguan ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek.1,3 21

Dasar

Penyebab produksi Incompabilitas darah fetomaternal (Rh,

Peningkatan

ABO)

bilirubin Peningkatan

penghancuran



hemoglobin

Defisiensi

enzim

kongenital

(G6PD, galaktosemia)

Peningkata

n

jumlah



Sepsis



Polisitemia

hemoglobin

(twin-to-twin

transfusion, SGA)

Peningkatan

sirkulasi



Keterlambatan klem tali pusat



Keterlambatan

enterohepatik

nium,

ileus

pasase

meko-

mekonium,

meconium plug syndrome 

Puasa

atau

keterlambatan

minum 

Atresia atau stenosis intestinal

clearance Imaturitas

Perubahan bilirubin hati Perubahan

produksi

aktifitas

atau



Gangguan metabolik/endokrine



Asfiksia, hipoksia, hipotermi,

uridine

diphosphoglucoronyl transferase Perubahan

fungsi

dan

perfusi hati

Obstruksi hepatic

hipoglikemi 

Sepsis



Obat-obatan dan hormon



Anomali

kongenital

(atresia

biliaris, fibrosis kistik) 

Statis biliaris (hepatits, sepsis)



Bilirubin load berlebihan

Tabel 3.2 Penyebab Hiperbilirubinemia neonatal indirek1

22

3.2.4 Klasifikasi Ikterus neonatorum merupakan suatu keadaan klinis pada neonates yang ditandai oleh perubahan warna pada kulit dan sclera menjadi kuning (warna ikterus) akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl.1,3 Tingkat bilirubin yang tak terkonjugasi bayi baru lahir (BBL) pada minggu pertama adalah >2mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Sedangkan pada BBL yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak lebih tinggi dan lebih lama, demikian juga penurunannya jika tidak diberikan fototerapi. Peningkatan sampai 1012 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan sampai 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.3,7 Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut3,7 ; 1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam 2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi 3. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam 4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil) 5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan

3.2.4.1 Ikterus Fisiologis Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum adalah sebesar 13 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru dapat terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl yaitu pada hari ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.1 23

Pada bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, dan pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.1,3 Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium. Ikterus fisiologis mempunyai karakteristik sebagai berikut:5 1.

Muncul setelah 24 jam.

2.

Berlangsung kurang lebih 7 hari (pada bayi cukup bulan) hingga 14 hari (pada bayi prematur).

3.

Peningkatan terutama terdiri dari bilirubin indirek.

4.

Kadar tertinggi bilirubin total kurang dari 15 mg/dL dan bilirubin direk < 2 mg/dL.

5.

Tidak terdapat kondisi patologis lain

Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau preterm dapat dipikirkan hanya apabila sebab lain telah disingkirkan berdasarkan riwayat, temuan klinis, dan laboratorium.5

24

Tabel 3.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis.3

3.2.4.2 Ikterus Patologis Keadaan ikterus yang bersifat patologis dapat menjadi petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit pada bayi . Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.1,3

Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut ; a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam b. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi c. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam d. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil) e. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan3

25

3.2.4.3 Kolestasis5 Kolestasis neonatus didefinisikan sebagai kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk > 20 % dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5 mg/dL. Manifestasi klinik yang ditimbulkan dari kolestasis ini adalah ikterus dan urin menjadi kuning tua karena bilirubin direk bersifat larut dalam air.5 Secara klinis, kolestasis pada neonatus dibagi menjadi dua, yaitu sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis ekstrahepatik. Sindrom Hepatitis neonatal dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti infeksi (bakteri, toxoplasma, virus, rubella, cytomegalovirus, herpesvirus) dan kelainan metabolik (sindrom Alagille, kelainan endokrin, kelainan kromosom, hepatitis neonatal idiopatik, nutrisi parenteral). Kolestasis ekstrahepatik meliputi atresia bilier, kista duktus koledokus, perforasi spontan duktus bilaris komunis. Setiap neonatus yang mengalami kolestasis harus dievaluasi lebih lanjut dan perlu dipikirkan penyakit-penyakit yang perlu ditangani segera, seperti sepsis, obstruksi bilier, serta komplikasi yang akan terjadi. Komplikasi yang terjadi dapat meliputi koagulopati karena hipoprotrombinemia atau defisiensi vitamin K dan konsekuensi nutrisi akibat malabsorbsi lemak perlu dipertimbangkan karena terapi akan memperbaiki outcome dan kualitas hidup pasien.5 Tahapan evaluasi yang perlu dilakukan pada pasien dengan kolestasis neonatus adalah        

Evaluasi Klinik, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan warna BAB Pemeriksaan bilirubin direk, indirek, serta asam empedu Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (AST, ALT, fosfatase alkali, GGT) Tes fungsi hati (albumin, waktu protrombin, glukosa darah, amonia) Singkirkan penyebab yang dapat diterapi Bedakan obstruksi ekstrahepatik dengan kelainan intrahepatik USG Abdomen Biopsi hati

3.2.5

Patofisiologi Ikterus

Mekanisme terjadinya ikterus dapat disebabkan oleh adanya abnormalitas dari: 1. produksi bilirubin, 2. ambilan bilirubin oleh hepatosit, 26

3. Ikatan bilirubin intrahepatosit, 4. Konjugasi bilirubin, 5. Sekresi bilirubin, dan 6. Ekskresi bilirubin. Abnormalitas yang terjadi dapat melibatkan beberapa dari penyebab di atas. Misalnya pada kasus peningkatan bilirubin akibat hemolisis yang berlebih akan menyebabkan kerusakan hepatosit atau duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi, dan ekskresi bilirubin. Selain itu, gangguan ekskresi bilirubin dapat mengganggu proses ambilan dan transpor bilirubin ke hati, serta kerusakan hepatoselular memperpendek umur eritrosit yang akan meningkatkan hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin oleh hepatosit. Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek/unkonjugasi. Penurunan ekskresi bilirubin menghasilkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis. Sedangkan jika mekanismenya bersifat campuran maka akan terjadi peningkatan kedua jenis bilirubin.1,3 Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tersebut menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1,4

27

Gambar 3.3. Skema peningkatan bilirubin pada pasien baru lahir 3.2.6 Pendekatan Klinis Ikterus Pendekatan klinis ikterus dimulai dari anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Pemeriksaan fisis ikterus dapat dilakukan secara kasar dengan menggunakan aturan Kramer:4

28

Tabel 3.3 . Kadar bilirubin total berdasarkan Kramer4

Pendekatan untuk mencari etiologi ikterus dapat dilakukan berdasarkan jenis hiperbilirubinemia dan usia munculnya ikterus, karena keduanya dapat menunjukkan penyebab yang spesifik. Jenis dan derajat hiperbilirubinemia akan menentukan apakah ikterus yang terjadi merupakan ikterus fisiologis atau patologis. Langkah pertama evaluasi ialah menentukan jenis hiperbilirubinemia. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia indirek terjadi pada bayi sehat akibat gangguan pada beberapa mekanisme. Hiperbilirubinemia dibagi menjadi 2 kategori, yaitu bilirubin direk (terkonjugasi) dan indirek (tidak terkonjugasi). Peningkatan bilirubin indirek (lebih dominan dibanding bilirubin direk) disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin, gangguan ambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Sedangkan peningkatan kedua fraksi bilirubin merupakan akibat penyakit hepatoseluler, gangguan ekskresi kanalikuler, maupun obstruksi bilier. Berdasarkan usia maka hiperbilirubinemia dapat dibagi menjadi hiperbilirubinemia neonatus, bayi, atau anak. Berikut beberapa algoritma yang dapat dipakai untuk pendekatan ikterus:5

29

Gambar 3.4. Skema Pendekatan hiperbilirubinemia pada neonates.5

Gambar 3.5. Pendekatan diagnosis pada ikterus neonates.5

30

Evaluasi hiperbilirubinemia pada neonatus: a.

Tak terkonjugasi: fraksi bilirubin serum (total, direk, indirek); golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan bayi; hemoglobin/hematokrit/retikulosit/trombosit; Uji Coombs; sediaan apus darah; work up sepsis; skrining tiroid (T3, T4, TSH); G6PD.

b.

Terkonjugasi: SGOT dan SGPT; PT dan APTT; serum albumin; skrining TORCH; work up sepsis; skrining metabolik; skrining galaktosemia; USG abdominal; sweat chloride5

Tabel 3.4. Etiologi ikterus neonatorus sesuai dengan onset.5

Tabel 3.5 Karakteristik tipe-tipe ikterus neonatorum.3 31

3.2.7 Diagnosis Banding9

3.2.8 Penilaian Risiko Sebelum dipulangkan dari pusat perawatan, setiap bayi baru lahir harus dinilai risiko untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat. Hal ini perlu terutama pada bayi yang akan dipulangkan sebelum berusia 72 jam. American Academy of Pediatric merekomendasikan untuk menilai Total Bilirubin Serum atau Transcutaneous Bilirubin dan/atau menilai faktor risiko klinis. Nilai Total Bilirubin Serum dapat diperoleh saat melakukan pemeriksaan rutin. Pada bayi dengan nilai Total Bilirubin Serum rendah menurut nomogram memiliki resiko rendah untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat.1

32

Gambar 3.6. Nomogram penilaian risiko hiperbilirubinemia pada bayi dengan usia gestasi 36 minggu/lebih dengan BB lahir 2000 gram/lebih, dan pada bayi dengan usia gestasi 35 minggu/lebih dengan BB lahir 2500 gram/lebih.3,8

Tabel 3.6. Faktor risiko untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat pada neonatus usia kehamilan 35 minggu/lebih.8 33

3.2.8 Penatalaksanaan Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi; pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.2 1.

Strategi pencegahan hiperbirubinemia (1) Pencegahan primer - Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama - Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi (2) Pencegahan sekunder - Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa. o

Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi

o

Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jikan dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum keluar RS dan tindak lanjut yang memadai.

- Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 812 jam. (3)

Evaluasi laboraturium -

Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.

-

Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang berlebihan

-

Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam

(4) Penyebab kuning -

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin

-

Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk mengidentifikasi adanya kolestatis

34

-

Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan evaluasi tambahan mencari penyebab kolestatis

-

Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau ernis/asal geografis yang menunjukan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi buruk.

(5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan -

Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat Bayi Keluar RS

Harus dilihat saat umur

Sebelum umur 24 jam

72 jam

Antara umur 24 – 27,9 jam

96 jam

Antara umur 48 dan 72 jam

120 jam

Tabel 3.7. Evaluasi ikterus pada bayi baru lahir (6) Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI -

Observasi semua fese awal bayi, pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses keluar dalam waktu 24 jam

-

Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang diberikan sama

-

Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula pengganti

-

Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan dengan pola menyusui

-

Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran/produksi ASI dengan cara memompaa, dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP

2. Penggunaan Farmakologi (1) Imunoglobulin intravena digunakan pada bayi dengan Rh yang berat dan inkompabilitas ABO untuk menekan isoimun dan menurunkan tindakan transfusi ganti (2) Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktifitas dan konsentrasi UPGDT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin

35

(3) Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotoporphyrin yang merupakan analog sintesis heme. Zat ini efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, yang diperlukan untuk katabolisme heme manjadi biliverdin. (4) Tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. (5) Pemberian inhibitor β-glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang.

3. Foto Terapi dan Transfusi tukar Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau terus meningkat walaupun telah mendapat

fototerapi

intensif,

kemungkinan

telah

terjadi

hemolysis

dan

direkomendasikan untuk menghentikan fototerapi. Pada penatalaksanaan fototerapi intensif atau transfusi tukar sesuai indikasi perlu dilakukan hal berikut: -

Lakukan pemeriksaan laboraturium 

Bilirubin total dan direk



Golongan darah (ABO Rh)



Tes antibodi direk (Coombs)



Serum albumin



Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi



Jumlah retikulosit



ETCO (bila tersedia)



G6PD (bila terdapat kecurigaan berdasarkan etnis dan geografis atau respon terhadap terapi kurang)



Urinalisis



Bila anamnesis dan tampilan klinis menunjukan kemungkinan sepsis lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, dan liquor untuk protein, glukosa, hitung jenis dan kultur

-

Tindakan

36



Bila bilirubin total ≥ 25 mg atau ≥20 mg pada bayi sakit atau bayi <38 minggu, lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan direncakan transfusi ganti.



Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat walau telah dilakukan foto terapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi ganti, berikan imunoglobulin intravena 0,5-1 g/kg selama 2 jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian.



Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih 12% atau secara klinis atau terbukti secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu formula atau ASI tambahan.

-

Pada bayi mendapat foto terapi intensif -

Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam

-

Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam

-

Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <20 mg/dL dilang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, periksa ulang dalam 8-12 jam

-

Bila kadar bilirubin total tidak turun atau mendekati kadar transfusi tukar atau perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati angkat untuk transfusi tukar maka dilakukan transfusi ganti.

-

Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, foto terapi dihentikan.

-

Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya rebound.



Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total mencapai 25 mg/dL atau lebih tinggi, hal ini merupakan emergensi sehingga harus langsung mendapatkan perawatan fototerapi intensif.



Terapi transfusi tukar harus dilakukan diruang NICU dengan observasi ketat oleh personel terlatih.



Pada penyakit isoimun hemoliti, pemberian Ɣ-globulin (0.5-1 g/kgBB selama 2 jam) direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat wlaupun telah mendapat fototerapi intensif atau kadar bilirubin total serum berkisar 2-3 mg/dL dari kadar transfusi tukar.

37



Merupakan

suatu

pilihan

untuk

mengukur

kadar

serum

albumin

dan

mempertimbangkan kadar albumin kurang dari 3g/dL sebagai suatu factor resiko umtuk menurunkan ambang batas penggunaan fototerapi 

Jika dipertimbangkan transfusi tukar kadar albumin harus diukur dan digunakan rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan factor-faktor lainnya yang menetukan dilakukannya transfusi tukar.



Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi tukar pada setiap bayi ikterus dan tampak manifestasi menegah sampai lanjut dari ensefalopati bilirubin akut (hypertonia, arching, retrocollis, opistotonus, demam, menangis melengking) meskipun kadar bilirubin total telah menurun.2

Manajemen bayi ikterus pada tatalaksana Fototerapi -

Sebagai patokan adalah bilirubin total

-

Faktor resiko: isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin <3 g/dL 38

-

Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar “medium risk line”.

-

Diperbolehkan melakukan fototerapi baik dirumah sakit atau dirumah pada kadar bilirubin total 2-3 mg/dL dibawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi yang memilki factor resiko lebih baik dilakukan dirumah sakit.

Transfusi Tukar

-

Sebagai patokan adalah bilirubin total

-

Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap fototerapi

-

Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar bilirubim total ≥ 5mg/dL diatas garis patokan

-

Faktor resiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis

-

Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total/albumin

-

Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu (resiko sedang) transfusi tukar dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai usia.

3.2.9

Kernikterus dan Bilirubin Ensefalopati

39

Kadar bilirubin tak terkonjugasi dapat melebihi kapasitas ikatan albumin, dan terjadi deposisi bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama ganglia basalis, pons, dan serebelum, menyebabkan perubahan neuropatologi. Insidens meningkat pada kadar bilirubin diatas 20 mg/dL, dan dapat terjadi pada keadaan sepsis, meningitis, hemolisis, hipoksia, hipotermia, hipoglikemia, dan prematuritas. Kern ikterus adalah keadaan klinis yang kronik dengan sekuele yang permanen karena toksik bilirubin. Manifestasi klinis kern ikterus (tahap kronik bilirubin ensefalopati) adalah athenoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, displasia dental-enamel, paralisis upward gaze. Akut bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada SSP yaitu basal ganglia dan berbagai nuklei batang otak, tampak pada minggu pertama setelah lahir. Manifestasi klinis adalah letargi, hipotoni, refleks hisap buruk, kejang, muntah, high-pitched cry. Fase intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan hipertoni (opistotonus dan retrocollis), bayi demam, bulging fontanelle, dan perdarahan pulmonar. Selanjutnya akan menjadi hipotonia, retardasi mental, gangguan perkembangan motorik, gangguan pendengaran sensorineural,

gangguan

penglihatan

dan

extrapyramidal

abnormalities

(choreoathetoid cerebral palsy).3,8

Tabel 3.8. Manifestasi Klinis Kernicterus8

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Yunanto, ari. M. soleh. Hiperbilirubinemia. Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta : 2008. 2. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oksi FA. Bilirubin Metabolism. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, editors. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke 7. Philadelphia: WB Sanders Company, 1998; p.995-1002. 3. Robert, Kliegman. Bonita, MD. Nina, Schor. Stanton MD, Joseph St. Geme MD, et al. Thalassemia. Nelson Textbook of Pediatrics, 2-Volume Set, 20th edition. Elsevier Philadelpia : 2015. 4. Martiza I. Ikterus. Dalam: Juffrie M, Soenarta SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku ajar gastrenterologi hepatologi jilid I. Jakarta: IDAI; 2008. h.263,273. 5. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In: Kliegman R, Stanton B, Schor N, St Geme J, Beherman R. Nelson Textbook of Pediatrics. 2011. Philadelphia: Elsevier; 2011. p.603-8. 6. Amerian Academy of Pediatrics. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 2004;114;297. 7. Tanto Chris. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta: 2014. 8. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia: Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation, Pediatrics 114:297–316, 2004. 9. Levine MI, Tudehpoe D, Therale J. Essential of Neonatal medicines. BrookesWaterloo.1990

41

Related Documents


More Documents from "astri"