Praproposal S2 Biologi Anna Raisa Masrurin.docx

  • Uploaded by: Anna Raisa
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Praproposal S2 Biologi Anna Raisa Masrurin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,249
  • Pages: 45
PRAPROPOSAL UJI EFEKTIFITAS ANTIMIKROBA METABOLIT SEKUNDER DARI FUNGI ENDOFIT KULIT BUAH NAGA SUPER MERAH (Hylocereus costaricensis)

I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Infeksi merupakan suatu keadaan masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh empat kelompok besar hama penyakit, yaitu bakteri, jamur, virus, dan parasit (Jawetz, 2005). Penyakit infeksi seperti Toxic shock syndrome, keracunan makanan, kerusakan pada kulit, endocarditis dan ensefalitis yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Untuk kasus diare di Indonesia lebih sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Vibrio cholera, Salmonella sp., selain Shigella sp., dan Campylobacter (Ajizah, 2004). Masalah tingkat kontaminasi makanan oleh Escherichia coli yakni 65,5% dan prevalensi penyakit diare sebanyak 116.075 kasus tahun 1995 dan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan masih juga tinggi yaitu 31.919 kasus tahun 1997, dengan angka kematian kasus 0,15% (Djaja, 2008). Adapun penyakit yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans dapat menekan sistem kekebalan tubuh inang dalam kondisi tertentu dengan jumlah berlebihan. Menurut Slavin et

al. (2004), Candida sp. adalah salah satu fungi penyebab penyakit infeksi saluran reproduksi pada wanita, seperti kandidiasis yang dapat menyebabkan kematian hingga lebih dari 25%. Permasalahan penyakit infeksi dapat diatasi dengan antimikroba. Antimikroba merupakan bahan penghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Senyawa antimikroba dapat diperoleh dari tanaman. Usaha dalam meningkatkan daya guna sumber alam Indonesia yang sangat melimpah dapat dilakukan dengan pemanfaatan mikroorganisme yang ada pada tumbuhan sebagai antimikroba alami yang berkhasiat tinggi, aman digunakan dan relatif murah. Menurut Amalia et al. (2014), menyatakan bahwa buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki aktivitas antimikroba yang bisa dimanfaatkan dalam mengobati penyakit infeksi. Fungi endofit merupakan organisme berukuran mikroskopis yang hidup di dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Mikroba endofit dapat berupa bakteri atau fungi. Fungi endofit dapat memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya, merupakan peluang untuk memproduksi metabolit sekunder dari tanaman inangnya tersebut (Radji, 2005). Selain itu, aman dalam pemanfaatannya. Sebagai contoh penelitian Winarno (2006), menyatakan bahwa kapang endofit dari batang Cinchona ledregiana dan Chicona pubescens dapat menghasilkan senyawa alkaloid yang sama seperti inangnya. Buah naga merah merupakan buah dari suku Cactaceae, yang mulai banyak dikonsumsi di Indonesia. Buah naga merah secara berkala dapat mencegah dan

mengobati osteoporosis, hipertensi, diabetes dan menurunkan kolesterol (Warisno, 2010). Penelitian mengenai khasiat buah naga merah juga telah banyak dilakukan. Buah naga merah memiliki khasiat sebagai antihepatotoksik (Latif dkk, 2012), antioksidan (Wu et al., 2006) dan hipokolesterolemik (Khalili, 2012). Penelitian Nurmahani (2012), juga membuktikan bahwa ekstrak heksana, kloroform dan etanol kulit buah naga merah memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) dengan rata-rata diameter zona hambat sebesar 8.0 ± 0.07 mm dan Gram negatif (Escherichia coli) dengan ratarata diameter zona hambar sebesar 7.0 ± 0.18 mm. Kulit buah naga merah (H. polyrhizus) yang berwarna merah atau merah violet merupakan sumber pigmen betalain. Betalain merupakan pigmen kelompok alkaloid yang larut air dan pigmen bernitrogen (Cai et al., 2005). Menurut Saati (2011), kulit buah naga merah berjumlah 30-35% dari berat buahnya dan seringkali hanya dibuang sebagai sampah. Hasil penelitian menunjukkan kulit buah naga merah mengandung antioksidan dan juga dapat menurunkan kadar kolesterol (Kanner et al., 2001) dan antibakteri (Amalia dkk., 2014). Penggunaan tanaman buah naga merah yang kaya antosianin juga dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kadar antosianin berkisar 8,8 mg/100 gr buah naga (Wu et al., 2006). Keunggulan kulit buah naga super merah menurut penelitian yang dilakukan oleh Wu et al. (2006), adalah kaya polifenol dan sumber antioksidan yang baik. Menurut studi yang dilakukan terhadap total kandungan fenolik, aktivitas antioksidan dan kegiatan antiproliferatif, kulit buah naga merah yakni lebih kuat inhibitor pertumbuhan sel-sel kanker dari pada dagingnya dan tidak

mengandung toksik. Penelitian Khalili et al. (2012), menunjukkan bahwa daging dan kulit dari buah naga merah menunjukkan kandungan fenolik yang lebih tinggi dari pada buah naga putih dan pepaya. Aktivitas senyawa antibakteri juga diakibatkan senyawa golongan alkaloid. Alkaloid memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan cara mengganggu penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Lamonthe et al., 2009). Salah satu senyawa golongan alkaloid yang ada pada kulit buah naga merah adalah betasianin (Phebe, 2009). Warna merah dari daging naga merah dapat menunjukkan adanya betalain dan senyawa fenolik yang lebih tinggi. Senyawa yang paling berperan sebagai antimikroba adalah antosianin dan betalain. Kulit buah naga berpotensi sebagai bahan obat karena memiliki kandungan sianidin 3-ramnosil glukosida 5-glukosida (Saati, 2009). Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa fraksi n-heksan Opuntia humifusa yang memiliki kedekatan famili dengan buah naga merah mempunyai aktivitas antibakteri pada Staphylococcus aureus. Hasil penelitian Ridwan (2012), menunjukkan kulit buah merah terbukti memiliki aktivitas antibakteri pada S. aureus (Gram positif) yang mengandung senyawa saponin, alkaloid, tanin, fenolat, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida. Berdasarkan uraian di atas serta penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa kulit buah naga super merah memiliki kandungan senyawa aktif yang berpotensi sebagai penghasil senyawa antimikroba. Akan tetapi, penelitian tentang metabolit sekunder fungi endofit khususnya kulit buah naga super merah (H.

costaricensis) yang berpotensi sebagai antimikroba belum banyak dilakukan. Dengan penelitian ini diharapkan kulit buah naga merah yang belum dimanfaatkan dan masih sebagai limbah yang tidak berguna dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal untuk meningkatkan nilai gunanya.

b. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana aktivitas antimikroba metabolit sekunder fungi endofit dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans? 2. Berapa nilai KHM dan KBM dari metabolit sekunder fungi endofit dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) yang dihasilkan dalam menghambat mikroba uji (Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans?

c. Tujuan Penelitian Tujuan pada penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui aktivitas antimikroba metabolit sekunder fungi endofit dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costarcensis) terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans. 2. Untuk mengetahui nilai KHM dan KBM dari metabolit sekunder fungi endofit dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costarcensis) yang dihasilkan

dalam menghambat mikroba uji (Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans)

d. Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai pemanfaatan buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) dalam rangka penyediaan senyawa antimikroba yang alami kuntuk mengobati berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur. 2. Senyawa antimikroba yang didapat, diharapkan nantinya dikembangkan lebih lanjut sehingga bermanfaat untuk menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh bakteri S. aureus dan E. coli serta jamur C. albicans.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Buah Naga Super Merah (Hylocereus costaricensis) Buah naga termasuk dalam kelompok tanaman kaktus atau famili Cactaceae dan Subfamili Hylocereanea. Adapun klasifikasi buah naga tersebut adalah (Kristianto, 2009): Divisi

: Spermathophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi

: Angiospermae (biji tertutup)

Kelas

: Dicotyledonae (berkeping dua)

Ordo

: Cactales

Famili

: Cactaceae

Subfamili

: Hylocereanea

Genus

: Hylocereus

Spesies

: Hylocereus costaricensis (daging super merah)

Buah naga merupakan kelompok tumbuhan biji tertutup yang berkeping dua. Spesies dari tanaman buah naga ada empat yaitu Hylocereus undatus (daging putih), Hylocereus polyrhizus (daging merah), Hylocereus costaricensis (daging super merah) dan Selenicereus megalanthus (kulit kuning, tanpa sisik). (Istianingsih, 2010). Buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) sepintas memang mirip buah Hylocereus polyrhizus, namun warna daging buahnya lebih merah. Itulah sebabnya tanaman ini disebut buah naga berdaging super merah. Batangnya bersosok lebih besar di banding Hylocereus polyrhizus. Batang dan cabangnya akan berwarna loreng saat berumur tua. Rasanya manis dengan kandungan kemanisan

13-15 briks. Tanaman buah naga super merah sangat menyukai daerah yang panas dengan ketinggian rendah (Kristianto, 2009).

Gambar 2.1 a. Buah Naga Merah b. Kulit Buah Naga Merah (Kristianto, 2014)

Warna hijau pada kulit buah naga merah yang masih muda disebabkan karena kandungan klorofil yang dominan. Klorofil merupakan zat warna hijau tanaman yang berperan pada proses fotosintesis (Setyawan, 2010). Sedangkan warna merah pada buah naga merah yang sudah matang disebabkan karena adanya pigmen antosianin yang dominan. Antosianin adalah pigmen dari kelompok flavonoid yang larut dalam air, berwarna merah sampai biru dan tersebar luas pada tanaman. Terutama terdapat pada buah dan bunga (Jawi, 2007).

B. Kandungan Senyawa Aktif Buah Naga Super Merah (H. costaricensis) Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny, 2006). Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, saponin, triterpenoid dan lain-lain. Kulit buah naga mengandung vitamin C, vitamin E, vitamin A,

alkaloid, terpenoid, flavonoid, tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, fenolik, karoten, dan fitoalbumin (Jaafar et al., 2009). Hasil analisis laboratorium Taiwan Food Industry Develop an Research Authoritis tahun 2007, didapatkan hasil pada Tabel 2.1: Tabel 2.1 Kandungan Nilai gizi per 100 gr Buah Naga Merah Zat Kandungan Gizi Air Protein Lemak Serat Kasar Karoten Kalsium Fosfor Iron Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B3 Vitamin C Thiamine Riboflavin

82,5-83 g 0,159-0,229 g 0,21-0,61 g 0,7-0,9 g 0,005-0,012 g 6,3-8,8 g 30,2-36,1 g 0,55-0,65 g 0,28-0,043 g 0,043-0,045 g 0,297-0,43 g 8-9 g 0,28-0,030 g 0,043-0,044 g

Kadar antosianin buah naga yakni 8,8 mg/100 gr. Antosianin membantu penyembuhan atau kondisi degeneratif. Kandungan antosianin pada kulit buah naga putih, kulit buah naga merah dan kulit buah naga super merah segar adalah 0,08 ± 0,03; 0,56 ± 0,43 dan 0,45 ± 0,26 ppm. Tepung kulit buah naga super merah memiliki kandungan terbaik berdasarkan kandungan nutrisinya karena protein kasar, mineral, kalsium dan antosianinnya paling tinggi sedangkan kandungan serat kasarnya yang paling rendah dibandingkan dengan tepung kulit buah naga putih dan tepung kulit buah naga merah (Kristianto,2014). Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang umumnya berfungsi sebagai antioksidan primer, chelator dan scavenger terhadap superoksida anion (Latief,

2012). Antosianin merupakan pigmen yang dapat memberikan warna biru, ungu, violet, magenta, merah dan orange pada bagian tanaman seperti buah, sayuran, bunga, akar, umbi dan lain-lain. Pigmen ini bersifat larut dalam air dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada pangan (Sari, 2005). Kulit buah naga merah mengandung berbagai macam senyawa selain antosianin, seperti flavonoid, tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, fenolik, polifenol, karoten dan fitoalbumin (Jaafar et al., 2009), serta betalain (Wu et al., 2006). Berikut adalah hasil perbandingan kandungan daging buah dan kulit naga merah yang telah diteliti. Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan kimia daging buah segar dan kulit buah naga merah kering Kandungan Daging buah Kulit buah kering /100 /100 gr gr Asam galat 42,4 ± 0,04 mg 39,7 ± 5,39 mg Flavonoid 7,21 ± 0,02 mg 8,33 ± 0,11 mg Betacyanin 10,3 ± 0,22 mg 13,8 ± 0,85 mg (Dikutip dari Wu et al., 2006)

Flavonoid atau polifenol adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman yang tersebar luas di alam, sesuai struktur kimianya yang termasuk flavonoid yaitu flavonol, flavon, flavanon, katekin, antosianidin dan kalkon (Harborne, 1984). Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan, 1999). Flavonoid bersifat lipofilik, bekerja dengan membentuk ikatan kompleks dengan protein ekstraseluler serta adanya senyawa tanin bekerja dengan mengikat dan mengendapkan protein (Katja et al., 2009)

Betalains adalah pigmen kelompok alkaloid yang larut dalam air yang menggantikan antosianin pada sebagian besar famili tanaman ordo Caryophyllales. Betasianin merupakan derifat tirosin. Betalain mempunyai dua subklas yaitu betasianin dan betaxantin yang masing-masing memberikan warna merah-violet dan kuning-orange pada bunga, buah dan jaringan vegetatif. Pigmen

yang

memberikan warna merah keunguan adalah betasianin dan yang memberikan warna kuning adalah betaxantin merupakan bagian dari bagian pigmen betalain (Mastuti, 2010). Pada buah naga merah, warna merah/ungu-keunguan yang terdapat pada daging buah mengandung “Anthocyanin“ yang berfungsi melambatkan proses penuaan (membuat awet muda). Sedangkan biji hitam mengandung “Albumen” yang berfungsi mengumpulkan sisa-sisa makanan dalam perut dan mengeluarkan toksik dari dalam tubuh (Cahyati dkk, 2010). Buah naga merah mengandung betasianin sebagai anti proliferasi dan menghambat pertumbuhan tumor, serat (mencegah kanker usus dan memperlancar proses pencernaan) (Wu et al., 2006) dan beta karoten (kesehatan mata, menguatkan otak dan menurunkan kadar glukosa dalam darah) (Raveh et al., 1998). Secara keseluruhan, setiap buah naga merah mengandungi protein yang mampu meningkatkan metabolisme tubuh dan menjaga kesehatan jantung; serat (mencegah kanker usus, kencing manis dan diet); karotin (kesehatan mata, menguatkan otak dan mencegah masuknya penyakit), kalsium (menguatkan tulang) (Cahyati dkk, 2010).

C. Potensi Buah Naga Super Merah Sebagai Senyawa Antimikroba Savitri (2008) menyebutkan tumbuhan yang baik dalam hal ini adalah tumbuhan yang bermanfaat bagi makhluk hidup termasuk tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pengobatan. Tumbuhan yang bermacam-macam jenisnya yang dapat digunakan sebagai obat berbagai penyakit. Manfaat tumbuhan ini merupakan salah satu anugerah Allah SWT yang harus dipelajari dan dimanfaatkan, tidak terkecuali tanaman buah naga merah secara berkala dapat mencegah dan mengobati osteoporosis, hipertensi, diabetes dan menurunkan kolesterol (Warisno, 2010). Amalia et al. (2014), menjelaskan pada penelitiannya bahwa beberapa senyawa pada fraksi n-heksan yang diduga memiliki aktifitas antibakteri berdasarkan hasil skrining fitokimia adalah alkaloid dan terpenoid. Alkaloid memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan cara mengganggu penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Lamonthe et al., 2009). Salah satu senyawa golongan alkaloid yang ada pada kulit buah naga merah adalah betasianin (Phebe, 2009). Menurut Nurliyana et al. (2010), kulit dari Hylocereus udatus dan Hylocereus polyrhizus mengandung jumlah fenolik yang cukup tinggi dari pada pulpnya. Antibakteri fraksi esktrak dari etanol 100% lebih efektif dari pada etanol 70%. Dan pada penelitian Nurmahani et al. (2012), menyatakan bahwa aktifitas antibakteri ekstrak etanol, kloroform dan heksana dari Hylocereus polyrhizus (Buah naga merah) dan Hylocereus undatus (Buah naga putih) terhadap 9 patogen (S.aureus, B.cereus, E.coli, Salmonella typhimiurium, Campylobacter jejuni,

Yersinia enterocolittica, Klensiella pneumonia) dengan metode difusi cakram ditemukan aktivitas antibakteri yang baik dengan range 1,25-10 mg/ml dari semua bakteri.

D. Fungi Endofit Fungi endofit merupakan mikroorganisme yang hidup dalam jaringan tanaman dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan tanaman inangnya. Setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit (Radji, 2005). Fungi endofit dapat memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya, merupakan peluang untuk memproduksi metabolit sekunder dari tanaman inangnya tersebut. Apabila jamur endofit yang diisolasi dari suatu tanaman obat dapat menghasilkan alkaloid atau metabolit sekunder sama dengan tanaman aslinya atau bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi, maka kita tidak perlu menebang tanaman aslinya untuk diambil sebagai simplisia yang kemungkinan besar memerlukan waktu puluhan tahun untuk dipanen (Radji, 2005). Fungi endofit yang diisolasi dari tumbuhan obat akan memiliki aktivitas yang lebih besar, bahkan dapat memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan aktivitas tumbuhan inangnya. Dilihat dari segi efisiensi, hal ini sangat menguntungkan, karena siklus hidup mikroba endofit lebih singkat dibandingkan

siklus hidup tumbuhan inangnya, sehingga dapat menghemat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan senyawa tersebut (Prihatiningtias, 2006). Asosiasi fungi endofit dengan tumbuhan inangnya, oleh Carrol (1988) dalam (Worang, 2003) digolongkan dalam dua kelompok, yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang erat antara fungi dengan tumbuhan terutama rumput-rumputan. Pada kelompok ini fungi endofit menginfeksi ovula (benih) inang, dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme induktif adalah asosiasi antara fungi dengan tumbuhan inang, yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara. Jenis ini hanya menginfeksi bagian vegetatif inang dan seringkali berada dalam keadaan metabolisme inaktif pada periode yang cukup lama. Menurut Mursyidi (1990) dalam Purwanti (2007), menjelaskan ciri-ciri metabolit sekunder antara lain : 1. Struktur kimianya beragam 2. Penyebarannya relatif terbatas 3. Pembentukannya dipengaruhi oleh enzim dan bahan genetik tertentu 4. Proses biosintesisnya dipengaruhi oleh sejumlah dan aktifitas enzim

E. Fermentasi Metabolit Sekunder Fermentasi adalah proses yang memanfaatkan kemampuan mikroba untuk menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Pengendalian dilakukan dengan pengaturan kondisi medium, komposisi medium, suplai O2 dan agitasi. Pada fermentasi terjadi perubahan

struktur kimia dan bahan-bahan organik dengan memanfaatkan agen-agen biologi terutama enzim sebagai biokatalis. Produk fermentasi dapat digolongkan menjadi 4 jenis yaitu : produk biomassa, produk enzim, produk metabolit, dan produk transformasi (Judoamidjojo et al., 1990). Dalam bioproses, fermentasi memegang peranan penting karena merupakan proses utama bagi produksi senyawa-senyawa berbasis biologi. Senyawa yang dihasilkan merupakan hasil metabolit dari mikroba seperti antibiotik, asam-asam organik, aldehid, dan alkohol. Medium yang digunakan dalam fermentasi harus memenuhi syarat seperti: mengandung nutrisi yang dapat digunakan sebagai sumber energi bagi mikroba, tidak mengandung zat yang dapat membahayakan pertumbuhan sel, dan tidak terdapat kontaminan yang dapat meningkatkan persaingan dalam penggunaan substrat (Judoamidjojo et al., 1990).

F. Antimikroba 1. Pengertian Antimikroba Kepekaan bakteri terhadap senyawa yang berfungsi sebagai antibiotik bervariasi. Bakteri Gram positif biasanya lebih peka dibandingkan bakteri Gram negatif, meskipun beberapa antibiotik dapat bereaksi atau mempengaruhi hanya pada bakteri Gram negatif, tetapi tidak menutup kemungkinan bakteri Gram negatif lebih peka di banding dengan bakteri Gram positif pada beberapa antibiotik tertentu. Zat antibiotik yang dapat bereaksi dengan bakteri Gram positif dan Gram negatif disebut dengan antibiotik Broad Spectrum atau antibiotik berspektrum luas (Brock, 1995).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ukuran zona penghambatan dan harus dikontrol adalah (Greenwood, 1995 dalam Pratama, 2005): a. Konsentrasi mikroba pada permukaan medium. Semakin tinggi konsentrasi mikroba maka zona penghambatan akan semakin kecil. b. Kedalaman medium pada cawan petri. Semakin tebal medium pada cawan petri maka zona penghambatan akan semakin kecil. c. Nilai pH dari medium. Beberapa antibiotik bekerja dengan baik pada kondisi asam dan beberapa kondisi alkali/basa. Tabel 2.3 Kategori daya hambat antimikroba Daerah Diameter Hambatan Kategori (mm) <5 Lemah 5-10 Sedang 10-20 Kuat >20 Sangat Kuat Sumber: Davis dan Stoud (1971)

Tabel 2.4 Beberapa ciri bakteri Gram positif dan Gram negatif Ciri Gram Positif Gram Negatif Struktur dinding sel Tebal (15-80 mm) Tipis (10-15 mm) Berlapis tunggal (mono) Berlapis tiga (multi) Komposisi dinding Kandungan lipid rendah (1-4 sel %) Peptidoglikan ada sebagai lapisan tunggal: jumlahnya lebih dari 50 % berat kering pada beberapa antibakteri Asam terkoat

Kandungan lipid tinggi (11-22 %) Peptidoglikan ada di dalam lapisan kaku sebelah dalam; jumlahnya sekitar 10 % berat kering Tidak ada asam terkoat

Kerentanan terhadap Penisilin

Kurang rentan

Lebih rentan

Sumber: Pelczar dan Chan (1988)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Antimikroba Menurut Pelczar dan Chan (2005), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja bahan antimikroba sebagai berikut: a. Konsentrasi atau intensitas bahan antimikroba, makin tinggi konsentrasi bahan antimikroba maka semakin tinggi daya penghambatan atau daya bunuhnya (sampai batas tertentu). b. Sifat bahan antimikroba, terdapat golongan/bahan yang memiliki kemampuan bekerja relatif cepat dalam menghambat atau mematikan mikroorganisme dan ada yang memiliki aktivitas relatif sangat lambat c. Jumlah, macam, umur, dan kondisi mikroorganisme atau jasad yang dikenai, menghambat atau membunuh mikroorganisme dalam jumlah besar lebih sukar dari pada mikroorganisme dalam jumlah kecil. d. Keasaman dan kebasahan (pH), mikroorganisme yang terdapat pada bahan dengan asam dapat dibasmi pada suhu yang lebih rendah dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan mikroorganisme yang sama dalam lingkungan basa e. Suhu dan waktu, kenaikan suhu yang sedang secara besar dapat menaikkan keefektifan suatu bahan antimikroba. Setiap kenaikan 10oC dapat menyebabkan penggadaan angka kematian. Mikroorganisme yang berada cukup lama dalam bahan antimikroba akan terlambat pertumbuhannya atau dapat mati, sebab waktu memberikan kontribusi dalam peresapan bahan antimikroba kedalam sel mikroorganisme.

3.Uji Aktivitas Antimikroba Uji aktivitas antimikroba merupakan pengukuran respon dari pertumbuhan populasi mikroba terhadap agen antimikroba. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikrobia pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikrobia (Sulistyo, 1971). Uji aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran (dilusi). Disc diffusion test atau uji difusi cakram dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan mikrobia oleh suatu senyawa antimikroba dalam ekstrak. Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan (sensitivitas) yaitu 105-108 CFU/mL (Hermawan et al., 2007). Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang (sumuran) dan metode cakram kertas. Metode lubang (sumuran) yaitu membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang (Kusmayati & Agustini, 2007). Prinsip metode pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masingmasing konsentrasi ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut akan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam dan diamati ada atau

tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan. Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 18-24 jam, lalu diamati ada atau tidaknya koloni bakteri yang tumbuh. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration (MBC) (Pratiwi, 2009).

4. Mekanisme Kerja Antimikroba Menurut Pelczar dan Chan (2008), mekanisme kerja antimikroba meliputi: a. Merusak Dinding Sel Pada umumnya jamur memiliki suatu lapisan luar yang disebut dinding sel. Sintesis dinding sel ini melibatkan sejumlah langkah enzimatik yang banyak di antaranya dihalangi oleh antifungi. Rusaknya dinding sel jamur misalnya karena pemberian enzim lisosim atau hambatan pembentuknya oleh karena obat antifungi, dapat menyebabkan sel jamur lisis. Kerusakan dinding sel akan berakibat terjadinya perubahan-perubahan yang mengarah pada kematian sel karena dinding sel berfungsi sebagai pengatur pertukaran zat-zat dari luar dan ke dalam sel, serta memberi bentuk sel.

b. Mengubah Permeabilitas Membran Sel Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh selaput yang disebut membran sel yang mempunyai permeabilitas selektif, membran ini tersusun atas fosfolipid dan protein. Membran sel berfungsi untuk mengatur keluar masuknya zat antar sel dengan lingkungan luar, melakukan pengangkutan zat-zat yang diperlukan aktif dan mengendalikan susunan dalam diri sel. Proses pengangkutan zat-zat yang diperlukan aktif dan mengendalikan susunan dalam diri sel. Proses pengangkutan zat-zat yang diperlukan baik kedalam maupun keluar sel dimungkinkan karena di dalam membran sel terdapat enzim protein untuk mensintesis peptidoglikan komponen membran luar. Dengan rusaknya dinding sel, jamur secara otomatis akan berpengaruh pada membran sitoplasma, beberapa bahan antifungi seperti fenol, kresol, detergen dan beberapa antibiotik dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel, bahan-bahan ini akan menyerang dan merusak membran sel sehingga fungsi semi permeabilitas membran mengalami kerusakan. Kerusakan pada membran sel ini akan mengakibatkan terhambatnya sel atau matinya sel. c. Kerusakan Sitoplasma Sitoplasma atau cairan sel terdiri atas 80% air, asam nukelat, protein, karbohidrat, lipid, ion anorganik dan berbagai senyawa dengan bobot molekul rendah. Kehidupan suatu sel tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Konsentrasi tinggi beberapa beberapa zat kimia dapat mengakibatkan koagulasi dan denaturasi komponenkomponen seluler yang vital.

d. Menghambat Kerja Enzim Di dalam sel terdapat enzim dan protein yang membantu kelangsungan proses-proses metabolisme, banyak zat kimia telah diketahui dapat menganggu reaksi biokimia misalnya logam-logam berat, golongan tembaga, perak, air raksa dan senyawa logam berat lainnya umumnya efektif sebagai bahan antifungi pada konsentrasi relatif rendah. Logam-logam ini akan mengikat gugus enzim sulfihidril yang berakibat terhadap perubahan protein yang terbentuk. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel. e. Menghambat Sintesis Asam Nukleat dan Protein DNA, RNA dan protein memegang peranan amat penting dalam sel, beberapa bahan antimikroba dalam bentuk antibiotik misalnya kloramfenikol, tetrasilin, pirumisin menghambat sentesis protein. Sedangkan sintesis asam nukleat dapat dihambat oleh senyawa antibiotik misalnya mitosimin. Bila terjadi gangguan pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel.

G. Mikroba Uji 1. Staphylococcus aureus

Gambar 2.3 Staphylococcus aureus Morfologi bakteri ini selnya berbentuk bulat (kokus) dengan diameter antara 0,8-1,0 µm, tunggal atau berpasangan, tidak bergerak dan tidak berspora. Suhu pertumbuhan optimumnya adalah 35oC dengan pH optimum 7,3. Pertumbuhan terbaik pada suasana aerob fakultatif (Sleigh et al., 1994 dan Gibson JM, 1996). Bakteri ini berasosiasi dengan kulit, kelenjar kulit dan selaput lendir hewan berdarah panas (Pelczar dan Chan, 2005). Bakteri S.aureus memproduksi enterotoksin yang bersifat stabil terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim-enzim pencernaan. Selain enterotoksin, bakteri ini juga memproduksi hemolisin, yaitu toksin yang dapat merusak dan memecah selsel darah merah. Makanan yang mengandung enterotoksin, yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan mencapai usus halus, selanjutnya dengan cepat akan merusak dinding usus halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus (Pratiwi, 2009). Bakteri ini mudah tumbuh pada kulit yang mengalami peradangan, kulit yang mengalami luka yang mengarah pada infeksi dan proses-proses bernanah lainnya (Salle, 1961). Bakteri S. aureus dapat menyebabkan berbagai macam infeksi pada kulit seperti menyebabkan lesi pada kulit, sedangkan infeksi serius dari bakteri ini

dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, infeksi saluran kemih (Lodhia et al., 2009).

2. Escherichia coli

Gambar 2.4 Escherichia coli E. coli merupakan Gram negatif berukuran basil yang berukuran sekitar 13 x 0,4-0,7 µm. Basil tersusun secara tunggal ataupun berpasangan. E. coli merupakan bakteri aerob dan anaerob fakultatif. Tumbuh pada rentan suhu 10-41oC (suhu optimum 37oC) dan pH 7,2. E.coli merupakan bakteri enterik utama. Bertindak sebagai patogen juga sebagai bakteri yang menguntungkan, dan menyebabkan bermacam-macam penyakit seperti diare, infeksi pada saluran urin (Talora, 2008). Spesies ini adalah satu-satunya anggota genus Escherichia. E. coli terdapat pada saluran pencernaan manusia dan binatang, dapat pula ditemukan di sungai, danau, tanah dan tempat lain yang telah terkontaminasi feses. E. coli dapat memproduksi endotoksin sehingga dapat menyebabkan penyakit saluran urin, gangguan pencernaan seperti diare, pneumonia dan meningitis. Namun sebagai bagian dari flora normal saluran pencernaan, E. coli berperan penting untuk

pencernaan makanan dengan memproduksi vitamin K dan materi-materi yang tidak tercenakan di usus besar (Singelton et al., 1981). E. coli adalah bakteri yang banyak ditemukan di dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada usus misalnya diare pada anak dan traveler diaarhea, serta memiliki kemampuan menimbulkan infeksi pada jaringan tubuh yang lain di luar usus (Gibson JM, 1996). Tempat yang paling sering terkena infeksi E. coli adalah saluran kemih, saluran empedu, dan tempat-tempat lain di rongga perut (Jawetz et al., 2011). Bakteri ini juga menghasilkan enterotoksin penyebab diare. E. coli memproduksi enterotoksin yang tahan panas dan dapat menyebabkan diare yang ringan, sedangkan enterotoksin yang tidak tahan panas dapat menyebabkan sekresi air dan klorida ke dalam lumen usus dan menghambat reabsorbsi natrium (Volk dan Wheeler, 1990).

3. Candida albicans

Gambar 2.5 Candida albicans Sel jamur Candida berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong. Koloninya pada medium padat sedikit menimbul dari permukaan medium, dengan permukaan halus, licin atau berlipat-lipat, berwarna putih kekuningan dan berbau ragi. Besar

koloni bergantung pada umur. Pada tepi koloni dapat dilihat hifa semu sebagai benang- benang halus yang masuk ke dalam medium. Pada medium cair jamur biasanya tumbuh pada dasar tabung (Suprihatin, 1982; Ariningsih, 2009). C. albicans menimbulkan suatu keadaan yang disebut kandidiasis, yaitu penyakit pada selaput lender, mulut, vagina dan saluran pencernaan (Pelczar dan Chan, 2005). Infeksi terbanyak secara endogen, karena jamur telah ada di dalam tubuh penderita, di dalam berbagai organ, terutama di dalam usus. Infeksi biasanya terjadi bila ada faktor predisposisi. Oleh karena itu, C. albicans dimasukkan sebagai jamur opurtunis (Suprihatin, 1982).

III. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis dari penelitian ini meliputi: a. Adanya aktivitas antimikroba metabolit sekunder fungi endofit dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costarincensis) terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans. b. Adanya nilai KHM dan KBM dari metabolit sekunder fungi endofit dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costarcensis) yang dihasilkan dalam menghambat mikroba uji (Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans)

IV. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah deskriptif kuantitatif, dimana tahap pertama yaitu uji senyawa aktif / fitokimia secara kualitatif. Uji fitokimia meliputi uji steroid, terpenoid, alkaloid, fenolik, flavonoid, tanin dan saponin. Tahap kedua yakni uji aktivitas zona hambat, tahap ketiga yakni uji penentuan konsentrasi hambat minimum (KHM) dan tahap keempat uji konsentrasi bunuh minimum (KBM).

B. Variabel Penelitian Variabel Bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas yang pertama adalah jenis fungi endofit yang sudah diisolasi dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) yakni Mucor sp. dan Fusarium sp. 2. Variabel bebas yang kedua adalah konsentrasi metabolit sekunder yaitu 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100%. Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: 1. Tingkat kekeruhan yang dihasilkan pada media NB (Nutrient Broth) untuk konsentrasi hambat minimum (KHM) atau minimal inhibitory concentration (MIC).

2. Jumlah koloni bakteri dan jamur yang dihasilkan pada media agar untuk konsentrasi

bunuh

minimum

(KBM)

atau

minimum

bactericidal

concentration (MBC) 3. Hasil zona hambat yang dihasilkan pada difusi cakram kertas (Paper disc) Variabel Terkendali Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah variable yang diusahakan sama pada setiap perlakuan meliputi suhu inkubasi, waktu, pH dan media.

C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu erlenmeyer 100 mL dan 250 mL, cawan petri, tabung reaksi, blank disk steril, gelas ukur 10 ml dan 25 ml, pinset, pipet volum, Laminar Air Flow (LAF), incubator, shaker incubator, rotary shaker, sentrifus dingin, object glass, hotplate, stirrer magnetic, autoklaf, microskop, lemari pendingin, jarum ose bakteri dan jamur, kertas label, botol semprot, Bunsen, korek api, masker, penjepit, penggaris ,botol media, timbangan analitik, tabung reaksi, mikro pipet, blue tip, beaker glass, batang pengaduk, alat tulis, spidol jangka sorong dan kamera digital. 2. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil isolat jamur dari kulit buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) yang sudah dimurnikan Fusarium sp. dan Mucor sp., media NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), PDY (Potato Dextrose Yeast), SDA (Sabouroud Dextrose Agar), SDB

(Sabouroud Dextrose Broth), MHA (Mueller Hinton Agar), biakan S. aureus , E. coli, kultur murni biakan C. albicans, akuades steril, spiritus, kertas cakram (diameter 6 mm), Alkohol 90%, Lugol, Safranin, Etanol, pereaksi wagner, pereaksi meyer, pereaksi dragendroff, Kloramfenikol, Nistatin, NaCl fisiologis 0,9 %, HCL, serbuk Mg, H2SO4, FeCl3 1%, plastik tahan panas (Petromax), masker, hand gloves, tissue gulung, kertas saring Whatman No.1, kertas cakram, kertas HVS, kapas, kasa, plastic wrap, aluminium foil.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2018 – Maret 2019 di Laboratorium Genetika, Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.

G. Prosedur Penelitian 1. Sterilisasi Alat Sterilisasi alat dilakukan sebelum semua peralatan digunakan, yaitu dengan cara semua alat dibungkus menggunakan kertas HVS, aluminium foil dan plastik yang sebelumya sudah dicuci bersih dan dikeringkan. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada 121oC dengan tekanan 15 psi (Per square inci) selama 15 menit. Alat yang tidak tahan terhadap panas tinggi disterilkan dengan alkohol 90%. Dan alatalat logam disterilkan dengan cara dipijarkan menggunakan api spiritus.

2. Pembuatan Media a. Nutrient Agar (NA) Pembuatan media miring dan media datar dilakukan untuk pertumbuhan bakteri uji dan peremajaan biakan murni, dengan cara 1 gr NA dilarutkan dalam 50 ml akuades. Media yang dihasilkan dipanaskan sampai mendidih, kemudian dimasukkan dalam beberapa botol media dan tabung reaksi masing-masing sebanyak 5 ml dan ditutup dengan kapas. Botol media dan Tabung-tabung yang telah terisi kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit kemudian diletakkan dalam posisi miring selama 24 jam pada suhu ruang (Volk dan Wheeler, 1990). b. Nutrien Broth (NB) NB ditimbang sebanyak 8 gr, lalu dilarutkan dengan 1 L akuades. Media dicampur sampai merata dengan cara pengadukan dan pemanasan menggunakan hot plate dan stirrer. Kemudian media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 2 atm selama 15 menit. c. Potato Dextrose Yeast (PDY) Broth Medium Potato Dextrose Yeast (PDY) digunakan untuk fermentasi metabolit sekunder jamur endofit. Pembuatan media PDY adalah ditimbang sebanyak 500 gr kentang kemudian direbus dalam 1 Liter aquadest. Hasil rebuasan kentang disaring dengan kertas saring. Lalu dicampur dengan 1 gr Yeast Extract dan 10 gr Dextrose sampai merata dengan cara pengadukan dan pemanasan menggunakan hot plate dan stirrer. Kemudian media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 2 atm selama 15 menit.

d. Saboraud Dekstroxe Agar (SDA) Prosedur pembuatan media SDA adalah ditimbang sebanyak 15 gr SDA, lalu dilarutkan dalam 1 liter akuades sampai didapatkan suspensi yang homogen dan dipanaskan selama 1 menit. Kemudian media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 2 atm selama 15 menit. e. Saboraud Dextrose Broth (SDB) Pembuatan media SDB adalah ditimbang sebanyak 30 gr media SDB, lalu dilarutkan dalam 1 L aquades sampai didapatkan suspensi yang homogen dan ditunggu hingga mendidih. Kemudian media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 2 atm selama 15 menit. f. Mueller Hinton Agar (MHA) MHA (Mueller Hinton Agar) ditimbang sebanyak 38 gr, lalu dilarutkan dengan 1 liter aquades menggunakan tabung erlenmeyer, kemudian dihomogenkan secara merata dengan cara pengadukan dan pemanasan menggunakan hotplate dan stirrer. Dituang ke dalam botol media yang sudah ditutup dengan kapas dan kasa. Kemudian media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 2 atm selama 15 menit. 3. Fermentasi Fungi Endofit Fermentasi fungi endofit dilakukan dengan menggunakan media PDY (Potato Dextrose Yeast), yang bertujuan untuk memperoleh ekstrak yang mengandung senyawa metabolit sekunder dari isolat jamur endofit. Koloni jamur endofit isolat pada media PDA yang telah bersporulasi, kemudian dipotong dan diambil 6 potongan berukuran ± 1 x 1 cm. Potongan jamur tersebut kemudian

diinokulasikan ke dalam media fermentasi cair PDY sebanyak 40 mL dalam labu erlenmeyer ukuran 100 mL. Labu erlenmeyer yang berisi media fermentasi cair PDY dan potongan kultur jamur endofit difermentasi goyang menggunakan rotary shaker dengan kecepatan 130 rpm (kocokan/menit), dilakukan pada suhu ruang (37˚C) selama 7 hari untuk Mucor sp. dan 8 hari untuk Fusarium sp.. Setelah itu medium cair hasil fermentasi tersebut dimasukkan ke dalam tabung sentrifus ukuran 1,5 mL yang sebelumnya telah disterilisasi terlebih dahulu, kemudian disentrifugasi dingin dengan kecepatan 16000 rpm, suhu 4˚C, selama 4 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diambil dan disaring menggunakan kertas saring. Supernatan ini kemudian digunakan untuk uji fitokimia, uji zona hambat, uji KHM dan uji KBM (Sinaga et al., 2009; Noverita et al., 2009). 4. Ekstraksi Metabolit Sekunder Fungi Endofit Ekstraksi hasil fermentasi metabolit sekunder fungi endofit ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dengan pelarut kloroform (1:1 v/v) dalam corong pisah selama 20 menit. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan penambahan N2 hingga memperoleh ekstrak pekat atau sekiranya bau pelarutnya agak hilang, untuk digunakan pada uji aktivitas antimikroba. Sebelum digunakan untuk uji antimikroba dan fitokimia terlebih dahulu ekstrak pekat yang didapatkan dilarutkan dengan DMSO (Dimetil Sulfoxida). 5. Uji Fitokimia Ekstraksi Metabolit Sekunder Fungi Endofit Ekstraksi hasil fermentasi metabolit sekunder fungi endofit ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dengan pelarut kloroform (1:1 v/v) dalam corong pisah selama 20 menit. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan penambahan N2

hingga memperoleh ekstrak pekat atau sekiranya bau pelarutnya agak hilang, untuk digunakan pada uji aktivitas antimikroba. Sebelum digunakan untuk uji antimikroba dan fitokimia terlebih dahulu ekstrak pekat yang didapatkan dilarutkan dengan DMSO (Dimetil Sulfoxida). 6. Peremajaan Biakan Miroba Uji a. Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Untuk melakukan peremajaan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli caranya antara lain dengan memindahkan bakteri dari koloni murni ke medium yang baru ke dalam cawan petri steril dan tabung reaksi. Bakteri diambil 1 ose kemudian digoreskan pada medium NA 5 ml dengan mendekatkan tabung dengan Bunsen dan diinkubasi pada suhu 37ᵒC selama 18-24 jam dalam incubator. b. Candida albicans Untuk melakukan peremajaan Candida albicans caranya antara lain dituang secukupnya SDA ke dalam cawan petri steril dan tabung reaksi dan ditunggu sampai memadat. Lalu diambil 1 ose jamur C. albicans dan di streak di atas media. Selanjutnya diinkubasi selama 2-3 hari pada suhu 37oC. 7. Pembuatan Suspensi Mikroba Uji a. Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Suspensi bakteri dibuat dengan cara, masing-masing bakteri uji pada agar miring NA yang telah diinkubasi selama 24 jam dan telah tumbuh koloninya diinokulasikan ke media NB dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Setelah diinkubasi selama 24 jam, sebanyak satu ose koloni bakteri uji diinokulasikan dalam larutan NaCl fisiologis 0,9 % sebanyak 5 ml. Kekeruhannya

diseragamkan dengan menggunakan standar Mc Farland 0,5 (kepadatan bakteri 1,5x108) pada latar belakang hitam dan cahaya terang. Standar kekeruhan Mc Farland dibuat dengan cara 0,5 ml larutan BaCl2 1% ditambah dengan 9,5 ml larutan H2SO4 1%. Teknik inokulasi bakteri yang dilakukan untuk pengujian antibakteri sebanyak 200 µL setiap cawan petri (Sinaga, 2009). b. Candida albicans Setelah diinkubasi selama 2-3 hari, sebanyak satu ose koloni jamur uji diinokulasikan dalam larutan NaCl fisiologis 0,9 % sebanyak 5 ml. Kemudian divortex selama ± 10-30 detik. Kemudian dilakukan pengenceran sebanyak 3 kali. Diambil sebanyak 200 µL dari pengenceran terakhir untuk setiap cawan petri dalam uji antijamur. 8. Uji Aktifitas Zona Hambat Pengujian aktivitas antimikroba dari supernatan hasil fermentasi fungi endofit dilakukan dengan metode Kirby-Bauer yang dikenal dengan sebutan metode cakram kertas dengan tiga kali pengulangan. Pengujian dilakukan menggunakan dua jenis bakteri uji, yaitu Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, dan satu jenis jamur uji yaitu Candida albicans, masing-masing dengan tiga ulangan kertas. Tiap-tiap kertas cakram steril (diameter 6 mm) sebelumnya disterilkan dengan cara dipanaskan dalam oven pada suhu 70oC selama 15 menit. Simarmata (2007), secara aseptik kertas cakram yang sudah disterilkan direndam supernatan kultur fungi endofit selama 60 menit. Kertas cakram diambil menggunakan pinset steril dan diletakkan di atas medium uji aktifitas antimikroba (MHA). Jumlah cakram kertas yang diletakkan dalam satu cawan petri berisi 3

buah paper disk dan masing-masing jarak antara kertas cakram diatur supaya tidak terlalu dekat. Sebagai kontrol positif untuk uji aktivitas antibakteri digunakan kloramfenikol dan sebagai kontrol positif untuk uji aktivifitas antifungi digunakan nistatin. Sedangkan sebagai kontrol negatif digunakan kertas cakram yang berisi DMSO (Dimetil sulfoksida) steril. Media biakan uji diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC untuk uji aktivitas antibakteri dan inkubasi selama 3-5 hari pada suhu 29oC untuk uji aktivitas antifungi. Setelah diinkubasi, dilakukan pengukuran zona hambat yang terbentuk menggunakan jangka sorong. 9. Pengukuran Zona Hambat Setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam untuk uji antibakteri dan 2-3 hari untuk uji antijamur, dilakukan pengukuran diameter daerah hambat yang ditandai dengan terbentuknya daerah bening di sekitar kertas cakram, dengan menggunakan penggaris millimeter (jangka sorong). Sampel yang mempunyai potensi menghasilkan zat antibakteri dan antijamur ditunjukkan dengan adanya zona bening (Zona hambat). Cara menghitung luas zona hambat yaitu (Simarmata, 2007):

Lz = Lav-Ld Keterangan : Lz

= Diameter zona hambat (mm)

Lav

= Diameter zona hambat dengan kertas cakram (mm)

Ld

= Diameter kertas cakram (6 mm)

10. Uji Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM), dilakukann setelah hasil uji zona hambat menunjukkan bahwa metabolit sekunder dari fungi endofit kulit buah naga super merah (H. costaricensis) dapat menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus, E.coli dan C. albicans. Kontrol kuman (KK) berisi mikroba uji dan media. Selain KK, digunakan juga kontrol bahan (KB) yang berisi bahan uji (supernatan dari hasil metabolit sekunder fungi endofit) dan aquades steril untuk mengetahui ada tidaknya mikroba yang tumbuh pada bahan uji. Penentuan KHM dan KBM dilakukan dengan menggunakan metode mikrodilusi menggunakan microplate untuk tiap mikroba uji: (3 sumuran untuk kontrol bahan atau KB, 3 sumuran untuk kontrol kuman atau KK) dan 30 sumuran untuk perlakuan uji. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Seri konsentrasi yang digunakan 10%, 20%, 30%, 40%, 50 %, 60 %, 70%, 80%, 90% dan 100%. Dilakukan pembuatan seri konsentrasi awal dari bahan uji di mikroplate masing-masing 3 ulangan dengan konsentrasi 100%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30%, 20% dan 10%. KB dan KK, dengan volume 90 µL. Dibuat suspensi bakteri dari masing-masing dengan kepadatan 108 pada media cair, dengan cara komparasi memakai standart larutan Mc Farland 108, diinokulasikan pada masingmasing konsentrasi awal bahan uji dengan volume 10 µL. Sehingga diperoleh volume akhir 100 µL dan konsentrasi perlakuan 100%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%,

40%, 30%, 20%, 10%, KB dan KK. Kemudian diinkubasi 1 x 24 jam suhu 37°C, Tahapan dilusi bisa dilihat pada bagan gambar 3.1

Gambar 3.1 Tahapan Dilusi Diamati perubahan kekeruhan atau endapan bakteri yang ada di dasar tabung dan ditentukan KHM nya. Nilai KHM ditentukan secara visual dari konsentrasi uji yang mempunyai kejernihan dibandingkan KK. Selanjutnya semua tabung di fortex mixer sehingga homogen, dan dilakukan penanaman pada media padat selektif masing-masing bakteri dan perlakuan konsentrasi menggunakan metode drop plate 10 µL, dan diinkubasi 3 - 8 jam suhu 37°C. Setelah itu, jumlah bakteri dan jamur dihitung menggunakan APD Colony Counter. Nilai KBM ditentukan pada konsentrasi yang menunjukkan setelah penanaman dan inkubasi sampai 8 jam yang tidak terdapat koloni mikroba yang tumbuh pada cawan petri.

11. Penghitungan Koloni Bakteri secara “Drop Plate” (Khunaifi, 2010) Setelah biakan di inkubasi selama 8 jam pada suhu 37°C lalu dilakukan pengamatan biakan bakteri dan dihitung dengan menggunakan APD Colony Counter. Biakan yang dihitung diambil koloni yang tumbuh sesuai dengan standar plate count yaitu 30-300 koloni per tetes. Adapun cara menghitung koloni adalah sebagai berikut: a. Satu koloni dihitung 1 koloni b. Dua koloni yang bertumpuk dihitung 1 koloni c. Beberapa koloni yang berhubungan dihitung 1 koloni d. Dua koloni yang berhimpitan dan masih dapat dibedakan dihitung 2 koloni e. Satu kumpulan koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan, dihitung sebagai 1 koloni f. Satu koloni yang membentuk satu deretan atau rantai dan terlihat sebagai satu garis tebal dihitung sebagai 1 koloni g. Dari hasil penghitungan yang dilakukan, kemudian dihitung jumlah koloni per mL dengan cara sebagai berikut: 1

Jumlah koloni = jumlah koloni tiap cawan × 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 Faktor pengenceran = pengenceran × jumlah yang diencerkan.

12. Analisis Data Data yang diperoleh dari uji antibakteri adalah besarnya zona hambat, nilai KHM, nilai KBM dan total koloni bakteri.. KHM ditunjukkan dengan konsentrasi minimal yang mampu menghambat bakteri sedangkan KBM ditentukan dengan konsentrasi minimal yang mampu membunuh bakteri atau tidak ditumbuhi bakteri

sama sekali. Total koloni dari uji KHM dan KBM dihitung menggunakan APD colony counter. Data yang diperoleh tersebut dianalisa secara deskriptif kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium terhadap Ekstrak Daun Psidium guajava L. Bioscientiae. Vol.1 No.1: 31-38. Amalia, Sri. Sri Wahdaningsih and Eka Kartika Untari. 2014. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi N-Heksan Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923. Trad. Med. J. Vol. 19(2), p 89-94. Ariningsih, R. I., 2009, Isolasi Streptomyces yang Berpotensi Antijamur terhadap Candida albicans dari Rizosfer Familia Poaceae. Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Brock, T.D. 1995. Robert Koch: Life in Medicine. Madison: Tech Publisher. Cahyati, I., Nani R., Titin, H.W.H. 2010. Tekonologi Pengolahan Buah Naga dan Diversifikasi Produk Olahannya sebagai Upaya Peningkatan Jiwa Kewirausahaan di SMK Agriindustri. Artikel Jurnal INOTEK. Yogyakarta: Staf Pengajar Pendidikan Teknik Boga dan Busana UNY. Cai Y., M. Sundan H. Corke. 2005. HPLC Characterization of Betasianins from Plants in the Amaranthaceae. J. Chromatogr. Sci., 43,454-60. Cowan, M. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agent. Clin Microbiol Rev. 12(4): 564-582. Davis dan Stoud. 1971. Disc Plate Method of Microbiological Antibiotic Essay. Journal Of Microbiology. Vol.22, No.4. Djaja, I Made. 2008. Kontaminasi E. coli pada Makanan dari Tiga Jenis Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) Di Jakarta Selatan. Makara Kesehatan. Vol. 12, No. 1, Hal. 36-41. Gibson JM. 1996. Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC. Harborne, J.B. 1984. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: ITB. Hermawan, A., Hana, W., dan Wiwiek, T. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk. Surabaya: Universitas Erlangga. Istianingsih, T. 2010. Pengaruh Perbedaan Umur Panen dan Suhu Simpan terhadap Umur Simpan Buah Naga Super Red (Hylocereus costaricensis). Skripsi. Bogor: IPB Bogor.

Jaafar, Ali, R., Nazri, M., dan Khairuddin, W., 2009, Proximate Analysis of Dragon Fruit (Hylecereus polyhizus), American Journal of Applied Sciences, 6: 1341-1346. Jawetz, Z.E., J.L. Melnick, and E.A. Adelberg. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Penerjemah: Tonang, H. Jakarta: EGC. Jawetz, E., Adelberg, EA. dan Melniek, J. 2011. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan Enugroho dan Maulana Edisi ke-20. Jakarta: EGC. Jawi, I.M., Suprapta, D.N., Sutirtayasa, I.W.P. 2007. Efek Antioksidan Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoiea batatas L) terhadap Hati setelah Aktivitas Fisik Maksimal dengan Melihat Kadar AST dan ALT Darah pada Mencit. Dexa Media, No. 3, Vol. 20. Judoamidjojo M, Darwis AA, dan Sa’id EG. 1990. Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU-Bioteknologi IPB. Kennet, K., Harel, S., Granit, R. 2001. Betalains-A New Class of Dietaru Cationized Antioxidants. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 49. Katja DG, Suryanto E, Wehantouw F. 2009. Potensi Daun Alpukat (Persea Americana Mill.) Sebagai Sumber Antioksidan Alami. Chem. Prog, 2(1): 64-58. Khalili R, Mohd Adzim, Che Abdullah A.B, and Abdul Manaf A. 2012. Total Antioxidant Activity, Total Phenolic Content And Radical Scavenging Activity Both Flesh and Peel of Red Pitaya, White Pitaya and Papaya. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Vol 4, Issue 2, ISSN- 0975-1491. Khunaifi, M. 2010. Uji Aktivitas Ekstrak Daun Bianhong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap Bakteri Staphlococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Skripsi. Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Kristianto, Daniel. 2009. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Jakarta: Penebar Swadaya. Kristianto, Daniel. 2014. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Jakarta: Penebar Swadaya. Lamonthe, R.G., Mitchell, G., Gattuso, M., Diarra, M.S. dan Malouin, F. 2009. Plant Antimicrobial Agents and Their Effects on Plant and Human Pathogens. International Journal of Molecular Sciences.10:3400-3419. Latif, A.Z., Haque, M. dan Shanmugasundaram, C. 2012. Clinical study of preventive potentials of consumption of Buah naga (Cactaceae) against paracetamol induced hepatotoxicity as well as the other associated biological effects. Asian J. Res. in Pharm. Sci. 2(1):16-23.

Lenny, S. 2006. Isolasi dan Uji Bioaktifitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan Metode Uji Brine Shrimp. Skripsi. Medan: Fakultas MIPA, USU. Lodhia, M.H., Bhatt, K.R, Thaker, V.S. 2009. Antibacterial Activity of Essential Oils from Palmarosa, Evening Primerose, Lavender, and Tuberose. Indian J. Pharm Sci. 71 (2). 134-136. Mastuti.2010. Identifikasi Pigmen Betasianin Pada Beberapa Jenis Inflorescence celosia. Yogyakarta: Bioloi UGM. Noverita, Fitria D, dan Sinaga E. 2009. Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Jamur Endofit dari Daun dan Rimpang (Zingiber ottensii Val.). Jurnal Farmasi Indonesia. Vol. 4, No. 4, Hal. 171 -176. Nurliyana, R., Zahir, I. S., Suleiman, K. M., Aisyah, M.R., dan Rahim, K. K. 2010. Antioxidant study of pulps and peels of dragon fruits: a comparative study. International Food Research Journal. 17: 367-365. Nurmahani, M.M, Osman, A., Abdul Hamid, A., Mohamad Ghazali, F. 2012. Short Communication: Antibacterial property of Hylocereus polyrhizus and Hylocereus undatus peel extracts. International Food Research Journal. Vol.19 (1). Pelczar, M dan Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Jakarta: UI-Press Pelczar, M.J., dan Chan. S. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi 1. Jakarta: UI Press. Phebe, D., Chew, M. K., Suraini, A. A., Lai, O. M. dan Janna, O. A. 2009. Redfleshed pitaya (Hylocereus polyrhizus) fruit colour and betacyanin content depend on maturity. Int. Food Res. J.16:233-242. Pratama, M. R. 2005 Pengaruh Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora persica) terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. http://skripsi.blogsome.com (Akses 11 Maret 2016). Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. Pratiwi, B. E. 2015. Isolasi dan Skrining Fitokimia Bakteri Endofit Dari Daun Rambutan (Nephelium lappaceum L.) Yang Berpotensi sebagai Antibakteri. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Prihatiningtias, W dan M.S.H Wahyuningsih. 2006. Prospek Mikroba Endofit Sebagai Sumber Senyawa Bioaktif. Artikel Kesehatan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Purwanti, E. 2007. Senyawa Bioaktif Tanaman Sereh Ekstrak Kloroform dan Etanol serta Pengaruhnya terhadap Mikroorganisme Penyebab Diare. Laporan Penelitian.

http://publikasi.umm.ac.id (Akses 27 Agustus 2016). Radji, Maksum. 2005. Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit Dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. 11:113-126. Raveh, E., Nerd, A. And Mizrahi, Y. 1998. Responses of Two Hemi Epiphytic Fruit Crop Cacti to Different Degrees of shde. Scientia Holticultura, 73: 151164. Saati, Elfi Anis. 2009. Identifikasi Dan Uji Kualitas Pigmen Kulit Buah Naga Merah (Hylocareus costaricensis) Pada Beberapa Umur Simpan Dengan Perbedaan Jenis Pelarut. Laporan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Malang : UMM. Salle AJ. 1961. Fundamental Principle of Bacteriology 5th Ed. New York: Mc Graw Hill Book Company Inc. Sari, P., Agustina, F., Komar, M. Unus, Fauzi, M. dan Lindriati, T. 2005. Ekstraksi dan Stabilitas Antosianin dari Kulit Buah Duwet (Syrgium cumini). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol.XVI. No.2. Savitri, Evika Sandi. 2008. Rahasia Tumbuhan Berkhasiat Obat Perspektif Islam. Malang: UIN-Malang Press. Setyawan, A. Dan Saryono. 2010. Metode Penelitian Kebidanan. Jakarta: Nuha Medika. Sinaga, Ernawati, Noverita dan Dinah Fitria. 2009. Daya Antibakteri Jamur Endofit Yang Diisolasi dari Daun dan Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga Sw.) Jurnal Farmasi Indonesia. Vol.4. No. 4. Hal 161-170. Singelton P, dan Diana S. 1981. Introduction to Bacteria : For Student In The Biological Science. New York, p 140-159. Slavin, M., Fastenau, J., Sukarom, L., Mavros, P., Crowley, S. 2004. Burden of Hospitalization of Patients with Candida and Aspergillus Infection in Australia. Int Journal Infect Dis.; 8:111-120. Sleigh JD, Timbury MC. 1994. Notes on Medical Bacteriology. Tokyo: Chruchill Livingstone. Sulistyo. 1971. Farmakologi dan Terapi. Yogyakarta: EKG. Sulistyawati, D., Mulyati, S. 2009. Uji Aktivitas Antijamur Infusa Daun Jambu Mete (Anacardium occidentale, L.) terhadap Candida albicans. Biomedika. 2(1): 47-51. Talora KP. 2008. Foundation in Microbiologi. Ed ke-6. New York: McGraw-Hill. Volk, W.A and M. F, Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar. Alih Bahasa: Markham. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

Warisno, Dahana K. 2010. Cara Pintar Bertanaman Buah Naga di Kebun, Pekarangan dan dalam Pot. Jakarta: Gramedia. Winarno, E.K . 2006. Produksi Alkaloid oleh Mikroba Endofit yang Diisolasi dari Batang Kina Cinchona ledgeriana Moens dan Chicona pubescens Vahl (Rubiaceae). Jurnal Kimia Indonesia. 1(2):59-66. Worang, R. L. 2003. Pengantar Falsafah Sains. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Wu, L.C., Hsu, H.W., Chen, Y.C., Chiu, C.C., Lin, Y.I. & Ho, J.A. 2006. Antioxidant and Antiproliferative Activities of Red Pitaya. Food Chemistry, 95: 319-327. Zainoldin, K.H., Baba, A.S. 2009. The Effect of Hylocereus polyrhizus and Hylocereus undatus on Physicochemical, Proteolysis, and Antioxidant Activity in Yogurt. World Academy of Science, Enginering and Technology 60.

RENCANA SUMBER BIAYA

1. Alat- Alat Untuk Penelitian a.

Biaya sewa alat-alat

Rp. 500.000

b.

Biaya pemakaian laboratorium

Rp. 150.000

2. Bahan-Bahan Untuk Penelitian a.

Medium (NA, NB, SDA, SDB, PDY,MHA)

Rp. 450.000

b.

Sampel buah naga super merah

Rp. 10.000

c.

Pelarut ekstraksi (Kloroform)

Rp. 40.000

d.

Mikroba Uji (S.aureus, E. coli dan C. albicans)

Rp. 400.000

e.

Larutan uji fitokimia (Amonia, FeCl3, Mg, HCL,

Rp. 500.000

dragendorff, mayer dan wagner) f.

Bahan kontrol (Nistatin dan Kloramfenikol)

Rp. 60.000

g.

Keperluan bahan lain-lain

Rp. 300.000

3. Biaya Lain-lain a.

Transportasi

Rp. 350.000

b.

Biaya print + jilid + CD + FC

Rp. 250.000

c.

Biaya tak terduga (kegagalan percobaan)

Rp. 300.000

Jumlah

Rp. 3. 310.000,-

Related Documents

Anna
May 2020 37
Anna
May 2020 39
Anna
November 2019 68
Anna
October 2019 61

More Documents from ""