Praktek Penentuan Harga.docx

  • Uploaded by: Ndud Deni
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Praktek Penentuan Harga.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,346
  • Pages: 23
MAKALAH EKONOMI MANAJERIAL PRAKTEK PENENTUAN HARGA Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Ekonomi Manajerial G dengan Dosen Pengampu Cempaka Paramita, S.E., M.Sc.

Oleh kelompok 3: Nurul Fadila

(160810201123)

Reza Aulia

(160810201136)

Ratna Pratiwi Nugroho

(160810201145)

Moch. Deni Rizal

(160810201162)

Ghina Alifah Hanif

(160810201165)

Tita Nindya Puspa

(160810201181)

Akbar Maulhayat

(160810201183)

JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS JEMBER 2018

PEMBAHASAN Kita tahu bahwa untuk memaksimumkan laba, sebuah perusahaan berproduksi pada saat pendapatan marjinal (marginal revenue-MR) sama dengan biaya marjinal (marginal costMC) dan kemudian menentukan harga, sesuai dengan kurva permintaan yang dihadapinya. Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis struktur pasar kecuali pasar persaingan sempurna, dimana perusahaan adalah price taker dan memaksimumkan labanya dengan menghasilkan output pada saat P = MR =MC. Dalam materi ini, kita akan mengkaji penentuan harga untuk banyak produk dari suatu perusahaan, diskriminasi harga atau penentuan harga untuk banyak produk yang dijual di berbagai pasar, penentuan harga transfer atau penentuan harga produk (antara) yang diperjualbelikan di antara bagian-bagian dalam perusahaan, dan penentuan harga biaya plus. Kita nantinya akan menutup materi ini dengan praktik penentuan harga yang lain saat ini. A. PENENTUAN HARGA UNTUK BEBERAPA JENIS PRODUK Kebanyakan perusahaan modern menghasilkan beberapa jenis produk dan bukan hanya sebuah produk. Hal ini membuat kita memperluas aturan penentuan harga untuk memperhitungkan faktor keterkaitan permintaan dan produk. A.1 Penentuan Harga Berbagai Jenis Produk yang Memiliki Keterkaitan Permintaan Produk-produk yang dijual perusahaan bisa memiliki keterkaitan sebagai barang subsitusiatau barang komplementer. Dalam menentukan harga produk yang memiliki keterkaitan, sebuah perusaahaan harus mempertimbangkan dampak dari perubahan harga salah satu produknya terhadap permintaan produk lain. Dengan demikian, untuk memaksimumkan laba, perusahaan harus menetapkan tingkat output dan harga dari berbagai jenis produk yang dihasilkan, secara bersamaan dan tidak secara terpisah. Hubungan antarpermintaan (demand interrelationship) mempengaruhi keputusan penentuan harga yang dilakukan oleh perusahaan penghasil beberapa jenis produk, melalui dampaknya terhadap pendapatan marjinal. Untuk perusahaan penghasil dua jenis produk (A dan B, fungsi permintaan marginal dari perusahaan tersebut adalah: 𝑀𝑅𝐴 =

βˆ† 𝑇𝑅𝐴 βˆ† 𝑇𝑅𝐡 + βˆ†π‘„π΄ βˆ†π‘„π΄

𝑀𝑅𝐡 =

βˆ† 𝑇𝑅𝐡 βˆ† 𝑇𝑅𝐴 + βˆ†π‘„π΅ βˆ†π‘„π΅

2

Dari kedua persamaan diatas, kita lihat bahwa pendapatan marjinal masingmasing produk mempunyai dua komponen, yang satu berhubungan dengan perubahan dalam pendapatan total akibat penjualan produk itu sendiri, dan yang lain berhubungan dengan perubahan dalam pendapatan total akibat penjualan produk yang lain. Dengan demikian, suku kedua dari sisi kanan masing-masing persamaan diatas, mencerminkan hubungan antarpermintaan. Jika suku kedua dari sisi kanan persamaan tersebut nialnya positif, yang berarti bahwa peningkatan penjualan salah satu produk memacu penjualan produk yang lain, maka kedua produk tersebut bersifat komplementer. Sebaliknya, jika suku kedua bernilai negatif, yang berarti bahwa peningkatan penjualan salah satu produk menurunkan penjualan produk lain, maka kedua produk tersebut bersifat subsitusi. Karena itu, keputusan penentuan harga dan output yang optimum perlu memperhitungkan dampak total (yaitu, dampak langsung dan dampak marjinal silang) akibat perubahan harga sebuah produk. Jika tidak, perusahaan akan menghasilkan keputusan penentuan harga dan output yang suboptimum. A.2 Pemanfaatan Kapasitas Parbrik dan Penentuan Harga Pokok yang Optimum Salah satu alasan penting bagi perusahaan untuk menghasilkan lebih dari satu jenis produk adalah agar bisa lebih memanfaatkan kapasitas pabrik dan kapasitas produksinya. Perusahaan yang telah menghasilkan sebuah jenis produk pada tingkat output terbaiknya, bisa mencari produk lain untuk dihasilkan sehingga bisa lebih memaksimumkan pemanfaatan kapasitas pabrik dan kapasitas produksi. Selama pendapatan marginal dari produk-produk lebih tinggi dari biaya marginalnya, maka laba perusahaan akan meningkat. Jadi daripada menghasilkan sebuah produk tunggal pada titik dimana MR=MC (pendapatan marginal = biaya marginal) dan menyisakan banyak kapasitas yang memiliki peluang. Perusahaan lebih baik memperkenalkan produk baru atau variasi dari produk yang sudah ada sesuai dengan urutan tingkat laba yang dihasilkannya, sampai dimana MR dan MC dari unit terakhir dari produk yang paling kecil labanya mencapai nilai yang sama. Kemudian harga dari setiap produk akan ditentukan berdasarkan masing-masing kurva perminataannya.

3

A.3 Penentuan Harga Optimum Produk Gabungan yang Diproduksi dalam Proporsi Tetap Produk yang diproduksi oleh suatu perusahaan bisa memiliki keterkaitan tidak hanya dalam hal permintaan ,tetapi juga dalam hal produksi. Saling ketergantungan produksi muncul ketika produk dihasilkan secara gabungan. Produk bisa dihasilkan secara gabungan dalam proporsi yang tetap atau berubah-ubah / variabel. Sebuah contoh produk gabungan dalam proporsi tetap adalah peternakan sapi, baik yang menghasilkan daging sapi maupun kulit sapi dengan proporsi satu banding satu. Sedangkan contoh untuk produksi gabungan dengan proporsi variabel yaitu, pengolahan minyak bumi yang menghasilkan bensin, solar, dan bahan bakar cair lainnya, dalam proporsi hingga tingkat tertentu yang bisa ditentukan oleh perusahaan sendiri. Ketika produk-produk dihasilkan secara gabungan dalam proporsi yang tetap, produk-produk tersebut harus dianggap sebagai sebuah β€œpaket produksi”. Dengan begitu tidak terdapat suatu cara yang rasional untuk mengalokasikan biaya produksi paket tersebut dalam masing-masing produk di dalam paket. Di sisi lain produk yang dihasilkan secara gabungan bisa saja memiliki permintaan dan pendapatan marginal yang berdiri sendiri. Tingkat output terbaik bagi produk gabungan itu kemudian ditentukan pada saat penjumlahan vertikal dari pendapatan marginal masing-masing komponen produk gabungan sama dengan biaya marginal tunggal untuk menghasilkan keseluruhan paket produk itu. A.4 Penentuan Harga Optimum untuk Produk Gabungan yang Diproduksi dalam Proporsi Variabel Meskipun kasus produk yang dihasilkan secara gabungan dalam proporsi tetap (yaitu bersifat komplementer dalam produksi) mungkin saja terjadi, yang lebih umum adalah kasus produk-produk yang dihasilkan secara gabungan dalam proporsi variabel (yaitu bersifat subtitusi dalam produksi).

B. DISKRIMINASI HARGA B,1 Arti dan Kondisi Terjadinya Diskriminasi Harga Diskriminasi harga (price discrimination) mengacu pada penentuan harga yang berbeda-beda, pada kuantitas yang berbeda pada sebuah produk, pada waktu yang berbeda untuk setiap pelanggan yang berbeda, atau pasar yang berbeda, tetapi bukan berdasarkan perbedaan biaya. Sebagai contoh, perusahaan telepon biasanya 4

menetapkan tarif tertentu per panggilan untuk sejumlah panggilan tertentu dan tarif yang lebih murah bagi sekumpulan panggilan berikutnya. Selain itu, menetapkan tarif yang lebih tinggi pada jam-jam bisnis ketimbang sore hari dan hari libur, dan tarif yang lebih tinggi untuk bisnis ketimbang rumah tangga. Yang mendorong dilakukan yakni adalah bahwa dengan melakukan diskriminasi harga perusahaan bisa meningkatkan penerimaan dan laba totalnya untuk suatu tingkat penjualan dan biaya total tertentu. Contoh lain diskriminasi harga adalah praktik penentuan harga oleh perusahaan energi (listrik dan gas), yang menentukan harga rendah untuk rumah tangga dan harga tinggi untuk kalangan bisnis ; penentuan harga yang lebih mahal di luar negeri dibanding di dalam negeri untuk berbagai produk dan jasa mulai dari buku, obatobatan, dan lain-lain. Namun demikian, harus diingat bahwa perbedaan harga akibat perbedaan biaya dalam memasok suatu produk atau jasa dengan jumlah yang berbeda, pada waktu yang berbeda, pada kelompok konsumen yang berbeda, atau dalam pasar yang berbeda tidaklah termasuk dalam kelompok diskriminasi harga. Agar menjadi diskriminasi harga, perbedaan ini tidaklah boleh berdasarkan perbedaan dalam biaya. Juga perlu ditekankan bahwa diskriminasi harga tidak memiliki konotasi yang negatif dalam ilmu ekonomi (tidak seperti dalam ilmu hokum). Artinya dalam ilmu ekonomi, diskriminasi harga bersifat netral dan menguntungkan sebagian orang (yang membayar harga yang lebih rendah bagi produk itu ketimbang jika tidak ada diskriminasi harga) dan juga merugikan sebagian lainnya, dank arena itu, sering kali sulit atau bahkan tidak mungkin untuk menentukan, apakah diskriminasi harga menguntungkan atau merugikan bagi masyarakat secara keseluruhan. Tiga kondisi harus dipenuhi agar sebuah perusahaan dapat menerapkan diskriminasi harga, antara lain: 1. Perusahaan harus mempunyai kemampuan mengendalikan harga produk (artinya, perusahaan tersebut haruslah perusahaan persaingan tidak sempurna) perusahaan persaingan tidak sempurna memiliki kendali atas harga produk yang dijual (artinya dia bertindak sebagai price taker) dan demikian tidak mungkin menerapkan diskriminasi harga. 2. Elastisitas harga permintaan terhadap produk tersebut harus berbeda untuk jumlah produk yang berbeda, pada waktu yang berbeda, untuk kelompok pelangaan yang berbeda atau dalam pasar yang berbeda. Seperti yang kita lihat nanti, jika 5

elastisitas permintaannya sama, maka perusahaan tersebut tidak dapat meningkatkan pendapatannya dan labanya dengan menerapkan diskriminasi harga. 3. Jumlah produk atau jasa tersebut, kapan waktu digunakan atau dikonsumsinya produk tersebut, dan kelompok pelanggan atau pasar bagi produk tersebut harus dapat dipisahkan (artinya, perusahaan tersebut harus mampu melakukan segmentasi pasar). Jika tidak, individu atau perusahaan akan membeli produk atau jasa dari tempat yang murah dan menjualnya kembali di tempat yang harganya lebih mahal, sehingga mengagalkan upaya perusahaan untuk menerapkan harga yang berbeda bagi produk yang sama (yaitu menerapkan diskriminasi harga). B.2 Diskriminasi Harga Tingkat Pertama dan Tingkat kedua Berkaitan dengan penjualan setiap unit produk secara terpisah dan mengenakan harga setinggi mungkin bagi setiap unit produk jual. Dengan melakukan hal itu, perusahaan menguras seluruh surplus konsumen dari konsumen dan memaksimumkan penerimaan dan laba total yang diperoleh dari penjualan produk tersebut. Namun demikian, diskriminasi harga tingkat-pertama jarang ditemukan dalam dunia nyata, karena untuk menerapkannya perusahaan harus memiliki pengetahuan yang akurat tentang kurva permintaan masing-masing konsumen secara individu dan mengenakan harga setinggi mungkin untuk setiap unit produk yang dijual terpisah. Hal ini tidak mungkin dilakukan. Sebuah situasi yang bisa mewujudkan hal ini adalah ketika sebuah sekolah lanjutan dan universitas swasta menyesuaikan jumlah bantuan keuangan untuk mahasiswa, berdasarkan data rinci tentang pendapatan keluarga, pendapatan bunga hipotek dan tabungan, dan kemudian mengenakan harga tertinggi yang mungkin. Yang lebih praktis dan sering terjadi adalah diskriminasi harga tingkat-kedua (second-degree price discrimination). Ini mengacu pada penentuan harga per unit yang sama untuk sejumlah atau sekelompok produk tertentu yang dijual kepada setiap pelanggan, kemudian memberikan harga yang lebih murah per unitnya untuk sejumlah atau sekelompok tambahan produk tersebut, dan seterusnya. Dengan melakukan ini, perusahaan akan memperoleh sebagian, tetapi tidak semua, surplus konsumen. Meskipun diskriminasi harga tingkat-kedua lebih umum terjadi dibandingkan tingkat-pertama, diskriminasi harga ini juga terbatas untuk kasus-kasus ketikan produk dan jasa dapat dengan mudah diukur, seperti kwh listrik, meter kubik gas, dan

6

air bersih. Jadi, diskriminasi harga tingkat-kedua sering ditemukan dalam penetapan tariff listrik, gas, air bersih, dan lain-lain. B.3 Diskriminasi Harga Tingkat Ketiga secara Grafis Diskriminasi harga tingkat-ketiga (third-degree price discrimination) mengacu pada penentuan harga yang berbeda-beda untuk produk yang sama dalam pasar yang berbeda, sehingga pendapatan marginal dari unit terkahir yang dijual dalam setiap pasar sama dengan biaya marginal untuk menghasilkan produk tersebut. Misalnya, jika sebuah perusahaan menjual sebuah produk dalam dua pasar (pasar 1 dan pasar 2), perusahaan tersebut akan memaksimumkan laba totalnya dengan menjual produk itu pada setiap pasar hingga MRΔ± = MR2 = MC. Jika MRΔ± > MR2, akan menguntungkan bagi perusahaan untuk meredistribusi penjualan dari pasar kedua ke pasar pertama hingga dicapai kondisi bagi maksimasi laba. Sebaliknya, jika MRΔ± < MR 2 akan menguntungkan perusahaan untuk mentransfer dari pasar pertama ke pasar kedua hinga MRΔ± = MR2. Seperti yang ditekankan sebelum ini, agar perusahaan dapat menerapkan diskriminasi harga jenis ini atau jenis lainnya, perusahaan harus memiliki kekuatan monopoli, elatisitas harga dari permintaan terhadap produk tersebut harus berbeda untuk masing-masing pasar, dan pasarnya harus dapat dipisahkan. Aturan untuk dapat memaksimumkan laba, perusahaan harus menjual pada masing-masing harga pasar hingga MRΔ± = MR2 = MC, berhubungan dengan menjual produk tersebut pada harga yang lebih tinggi untuk pasar yang elastisitas permintaannya lebih rendah dibanding pasar yang elastisitasnya lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dalam figur 1-1.

FIGUR 1-1

7

B.4 Diskriminasi Harga Tingkat Ketiga secara Aljabar Analisis grafis diskriminasi harga yang ditunjukkan dalam figur 1-1 dapat secara mudah disajikan dengan aljabar. Dari figur 1-1, kita dapat menentukan bahwa fungsi permintaan dan pendapatan marginal perusahaan dalam masing-masing pasar secara berturut-turut adalah: Q1 = 120 – 10P1 atau P1 = 12 – 0,1Q1 dan MR1 = 12 – 0,2Q1 Q2 = 120 – 10P2 atau P2 = 6 – 0,05Q2 dan MR2 = 6 – 0,05Q2 Dengan diskriminasi harga tingkat-ketiga untuk mencapai maksimasi laba adalah MR1 = MR2 = MR = MC Dengan menentukan MR1 = MC dan MR2 = MC, kita memperoleh MR1 = 12 – 0,2Q1 = 2 = MC dan MR2 = 6 – 0,1Q2 = 2 = MC Sehingga 0,2Q1 = 10

0,1Q2 = 4

Q1 = 50

Q2 = 40

Dan

Harga yang harus dibebankan oleh perusahaan untuk produk dalam setiap pasar adalah P1 = 12 – 0,1(50) = $7 dan P2 = 6 – 0,05(40) = $4 Sehingga TR1 = P1Q1 = ($7)($50) = $350 dan TR2 = P2Q2 = ($4)(40) = $160 Dan TR = TR1 + TR2 = $350 + $160 = $510 Jika fungsi biaya total perusahaan adalah TC = 90 + 2(50 + 40) = $270 Dan laba (πœ‹) total perusahaan adalah πœ‹ = TR1 + TR2 – TC = $350 + $160 - $270 = $240 Jika terdapat diskriminasi harga, perusahaan akan menjual produk tersebut pada tingkat harga yang sama dalam kedua pasar (artinya P1 = P2 = P3). Permintaan keseluruhan pasar yang dihadapi oleh perusahaan untuk harga dibawah $6 (untuk Q2 > 0) adalah

8

Q = Q1 + Q2 = 120 – 10P1 + 120 – 20P2 = 120 – 10P + 120 – 20P = 240 – 30P Sehingga P = 8 – 0,0333Q, TR = 8Q – 0,0333Β², dan MR = 8 – 0,0667Q. Dengan menentukan MR = MC, kita peroleh MR = 8 – 0,0667 = 2 = MC Sehingga 0,0667Q = 6 dan Q = 89,955 = 90 Pada Q = 90, P = 8 – 0,0333(90) = 8 – 2,997 =$5 sehingga TR = (P)(Q) = ($5)(90) = $450 (dibandingkan TR = $510 jika terjadi diskriminasi harga tingkatketiga. Maka laba total perusahaan menjadi Ξ  = TR – TC = $450 - $270 = $180 (dibanding sebesar $240 jika terdapat diskriminasi harga tingkat-ketiga). Hasil ini sama dengan yang ditunjukkan dalam figur 1-1. C. DISKRIMINASI HARGA INTERNASIONAL DAN DUMPING Diskriminasi harga juga dapat diterapkan antara pasar domestic dan pasar luar negeri. Diskriminasi internasional disebut dumping. Hal ini mengacu pada pengenaan harga yang lebih murah di luar negeri dibandingkan di dalam negeri untuk komoditas yang sama, karena lebih tingginya elastisitas harga permintaan di pasar luar negeri. Dengan melakukan hal tersebut, monopolis memperoleh laba yang lebih tinggi disbanding menjual pada tingkat output terbaik dengan harga yang sama dikedua pasar. Elastisitas harga permintaan untuk produk monopolis itu lebih tinggi di luar negeri dibanding di dalam negeri, karena adanya persaingan dari produsen Negara lain dalam pasar luar negeri. Selain dumping yang muncul sebagai akibat dari diskriminasi harga internasional (sering disebut sebagai persistent dumping), terdapat dua bentuk dari dumping. Yaitu predatory dumping dan sporadic dumping. Predatory dumping adalah penjualan sementara sebuah komoditas dibawah biaya produksinya atau pada tingkat harga yang lebih rendah diluar negeri agar bisa menyingkirkan produsen dari luar negeri dari persaingan, dan setelah itu

9

harga di luar negeri akan dinaikkan untuk mengambil keuntungan dari kekuatan monopoli yang baru saja diperoleh. Sporadic dumping adalah penjualan sekali-kali sebuah produk dibawah biaya produksinya atau pada tingkat harga yang lebih rendah di luar negeri daripada domestic, untuk menghabiskan kelebihan produksi yang bersifat sementara atau tidak diperkirakan sebelumnya, tanpa harus menurunkan harga domestik. Pembatasan perdagangan untuk menghadapi predatory dumping dapat dibenarkan dan diizinkan untuk melindungi industri domestik dari persaingan yang tidak sehat. Pembatasan ini biasanya mengambil bentuk pajak antidumping untuk menghilangkan perbedaan harga. Pada kenyataannya, ancaman terbesar dari menerima keluhan-keluhan tentang dumping adalah mengurangi keinginan untuk mengimpor dan menyebabkan lebih tingginya produksi dan laba domestik. Ini disebut β€œharassment thesis”. Sporadic dumping

dan persistent

dumping menguntungkan konsumen domestik (karena memungkinkan mereka untuk membeli komoditas itu dengan harga yang lebih rendah) dan keuntungan ini bisa jadi melebihi kerugian yang mungkin dialami produsen. D. PENENTUAN HARGA TRANSFER Dalam bagian ini, kita akan mendiskusikan arti dan nilai penting penentuan harga transfer, dan kita akan mengkaji aturan bagi penentuan harga transfer yang optimum, pada saat tidak tersedianya pasar eksternal bagi produk antara atau produk transfer, pada saat tersedianya pasar eksternal dan pasar eksternal tersebut merupakan persaingan sempurna, dan pada saat pasar tersebut berada dalam persaingan tidak sempurna. D.1 Arti dan Sifat Penentuan Harga Transfer Pertumbuhan perusahaan modern berskala besar yang pesat, juga diikuti dengan terjadinya desentralisasi dan pembentuan pusat-pusat penghasil laba yang semiotonom. Hal ini diperlukan karena adanya kebutuhan untuk mengendalikan kecenderungan peningkatan biaya komunikasi dan koordinasi di antara divisi-divisi yang berbeda. Desentralisasi dan pembentukan pusat-pusat penghasil laba semiotonom, juga menimbulkan perlunya penentuan harga transfer (transfer pricing), atau kebutuhan untuk menentukan harga β€˜produk antara’ (intermediate product) yang dijual oleh sebuah divisi semiotonom suatu perusahaan yang berskala besar dan dibeli oleh divisi semiotonom lain dari perusahaan yang sama. Penentuan harga yang sesuai untuk produk antara yang dijual oleh sebuah divisi semiotonom kepada divisi semiotonom lainnya (penentuan harga transfer) memiliki

10

nilai penting yang krusial bagi efisiensi masing-masing divisi, selain itu juga bagi operasi perusahaan tersebut secara keseluruhan. Alasannya ada dua. Pertama, harga yang dibayar oleh sebuah divisi dalam perusahaan untuk produk antara yang dihasilkan oleh divisi lain, memengaruhi output perusahaan secara keseluruhan. Kedua, harga-harga transfer memengaruhi tingkat laba dari divisi yang terlibat dalam jual-beli produk antara tersebut, dan akibatnya, harga transfer berfungsi sebagai insentif agar berbagai divisi dalam perusahaan dapat beroperasi secara efisien. Harga transfer yang terlalu rendah secara artifisial akan menurunkan tingkat laba dari divisi yang melakukan pembelian dan hal ini bisa menyebabkan jatuhnya semangat para manajer, staf, dan pekerja dalam divisi yang melakukan produksi karena peningkatan gaji dan bonus, dan bahkan kadang-kadang keberadaan pekerjaan mereka, tergantung pada tingkat laba divisi tersebut. D.2 Penentuan Harga Transfer Jika Tidak Terdapat Pasar Eksternal untuk Produk Antara Jika tidak terdapat permintaan eksternal untuk produk antara, divisi produksi bisa menjual barang antara tersebut hanya secara internal kepada divisi pemasaran perusahaan dan divisi pemasaran perusahaan bisa memberli barang antara itu hanya dari divisi produksi perusahaan. Karena 1 unit barang antara digunakan untuk menghasilkan setiap unit produk akhir, maka output barang antara dan barang akhir adalah sama. Figur 1-2 menunjukkan bagaimana harga transfer produk antara ditentukan ketika tidak terdapat pasar eksternal untuk produk barang antara tersebut. Dalam figur 1-2 dibawah, MCP dan MCm secara berturut-turut adalah biaya marginal dari divisi produksi dan divisi pemasaran perusahaan, sementara MC adalah penjumlahan kurva vertikal dari kurva MCP dan MCm dan merepresentasikan kurva biaya marginal total bagi perusahaan secara keseluruhan. Figur tersebut juga memperlihatkan kurva permintaan eksternal untuk produk akhir yang dijual oleh divisi pemasaran, Dm , dan juga kurva pendapatan marginalnya, MRm. Tingkat output terbaik atau yang memaksimalkan laba bagi perusahaan untuk produk akhir adalah 40 unit dan ditunjukkan oleh titikk Em , ketika MR m = MC. Karena itu, Pm = $14. Karena 40 unit produk antara dibutuhkan (artinya, diminta oleh divisi pemasaran perusahaan agar dapat menghasilkan produk akhir pada tingkat output terbaik sebanyak 40 unit), harga transfer untuk produk antara, Pt, ditetapkan sama dengan biaya marginal produk antara tersebut (MCp) pada Qp = 40. Dengan demikian, Pt = $6 dan ditunjukkan oleh

11

titik Ep ketika Qp = 40. Kurva permintaan dan pendapatan marginal yang dihadapi oleh divisi produksi perusahaan adalah kemudian sama dengan harga transfer tersebut (yaitu, Dp = MRp = Pt). Perhatikan bahwa Qp = 40 adalah tingkat output terbaik bagi produk antara yang dihasilkan divisi produksi karena pada Qp = 40, Dp = MRp = Pt = MCp = $6. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa harga transfer yang tepat bagi produk antara di mana tidak terdapat pasar eksternal adalah sebesar biaya marginal produksinya.

FIGUR 1-2 D.3 Penentuan Harga Transfer Jika Pasar untuk Produk Antara Bersifat Persaingan Sempurna Ketika pasar eksternal untuk produk antara tersedia, output dari divisi produksi tidak harus sama dengan output dari produk akhir. Jika output optimum dari divisi produksi melebihi jumlah produk antara yang diminta secara internal oleh divisi pemasaran, kelebihan produk antara yang dihasilkan bisa dijual dalam pasar eksternal produk antara itu. Disisi lain, jika divisi pemasaran meminta lebih banyak dari yang dapat disediakan oleh divisi produksi pada tingkat output terbaiknya, kelebihan permintaan dapat dipenuhi dengan pembelian prosuk antara dari pasar eksternal. Namun demikian, harga transfer tergantung kepada apakah pasar eksternal bersifat pasar persaingan sempurna atau tidak. Divisi produksi menghasilkan lebih banyak produk antara dibandingkan yang diminta oleh pemasaran dan menjual kelebihannya dalam pasar eksternal yang bersifat persaingan sempurna. rJadi, divisi produksi perusahaan menghasilkan 50 unit

12

produk antara dan menjual 40 unit secara internal kepada divisi pemasaran dengan P t = $6. Divisi pemasaran tidak akan membayar lebih dari harga eksternal sebesar $6 per unit untuk produk antara, sementara divisi produksi tidak akan menjual produk antara secara internal kepada divisi pemasaran seharga kurang dari $6 per unit. Dengan demikian, jika terdapat pasar eksternal bagi produk antara yang bersifat persaingan sempurna, harga transfer ditentukan oleh harga persaingan produk antara yang berlaku secara eksternal. Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan aljabar, sebagai berikut : Qm = 180 – 10 Pm atau Pm = 18 – 0,1Qm dan MRm = 18 – 0,2Qm Dengan mengasumsikan bahwa fungsi biaya marginal divisi produksi dan pemasaran perusahaan adalah, secara berturut-turut MC’p = 1 + 0,1Qp dan MCm = 0,1Qm dan bahwa harga eksternal dalam pasar persaingan sempurna bagi produk antara tersebut adalah Pt = $6, kita bisa menemukan tingkat output terbaik bagi produk antara yang dihasilkan divisi produksi dengan menentukan biaya marginalnya sama dengan harga transfer. Artinya, MC’p = 1 + 0,1Qp = $6 = Pt sehingga

0,1 Qp = 5

dan

Qp = 50

Tingkat output terbaik bagi produk-produk akhir yang dihasilkan divisi pemasaran ditentukan dengan mencari biaya marginal total dari divisi pemasaran (MCt) dan menyamakannya dengan pendapatan marginal. Yaitu, MCt = MCm + Pt = 0,1Qm + 6 kemudian MCt = 0,1Qm +6 = 18 – 0,2Qm = MRm 0,3Qm = 12 Sehingga

Qm = 40

dan

Pm = 18 – 0,1 (40) = $14 Dengan demikian, divisi produksi menjual 40 unit produk antara secara internal

kepada divisi pemasaran dan sisanya yang 10 unit dalam pasar eksternal yang bersifat persaingan sempurna, semuanya pada harga Pt = $6. Divisi pemasaran menggunakan 40 unit produk antara yang dibeli secara internal dari divisi produksi pada harga P t = 13

$6, untuk menghasilkan 40 unit produk akhir yang akan dijual dalam pasar eksternal seharga Pm = $14. D.4 Penentuan Harga Trnasfer Jika Pasar untuk Produk Antara Bersifat Persaingan Tidak Sempurna Jika Produk antara berada di pasar eksternal yang bersifat persaingan tidak sempurna, harga transfer produk antara untuk penjualan di dalam perusahaan akan berbeda dengan harga produk antara dalam pasar eksternal tersebut. Penentuan harga internal dan eksternal bagi produk antara yang dihasilkan divisi produksi, akan menjadi salah satu bentuk diskriminasi harga tingkat ketiga. Hal ini ditunjukkan dalam Figur 1-3.

FIGUR 1-3 Panel a dalam Figur 1-3 menunjukkan pendapatan marginal dari divisi pemasaran (yaitu, MRm) setelah dikurangi harga transfer dari produk antara (Pt), yang sama dengan biaya marginal divisi produksi (MCp). Dengan demikian, kurva MRm – MCp dalam panel kiri menunjukkan pendapatan marginal bersih dari divisi pemasaran. Panel b menunjukkan kurva permintaan bagi produk antara perusahaan, yang kemiringannya negatif dalam pasar eksternal yang bersifat persaingan tidak sempurna (De) dan kurva permintaan marginalnya (MRe). Dalam panel c, kurva MRp adalah kurva pendapatan total dari divisi produksi, yang sama dengan penjumlah

14

horizontal kurva pendapatan marginal bersih untuk penjualan internal kepada divisi pemasaran dan kepada pasar eksternal (yaitu, MRp = MRm – MCp + MRe). Sebaliknya, kurva MCp, menunjukkan biaya marginal divisi produksi untuk menghasilkan produk antara yang dijual secara internal ke divisi pemasaran dan ke pasar eksternal. Tingkat output terbaik bagi produk antara yang dihasilkan divisi produksi adalah 40 unit dan ditunjukkan oleh titik Ep, di mana MRp = MCp dalam panel c. Distribusi optimum 40 unit produk antara yang dihasilkan divisi produksi adalah 20 unit dijual secara internal kepada divisi pemasaran (ditunjukkan oleh titik Pt dalam panel a) dan 20 unit dijual kepada pasar eksternal (ditunjukkan oleh titik Ee dalam panel b), sehingga MRm –MCp = MRe = MCp = $4. Dengan demikian, divisi produksi perusahaan beroperasi sebagai penjual monopolis dari produk antara, dalam pasar internal dan eksternal yang tersegmentasi. Dengan menerapkan harga transfer inter pada Pt = MCp = $4 memastikan divisi pemasaran (dalam panel a) meminta 20 unit produk antara, yang menyebabkan tercapainya maksimisasi laba untuk divisi pemasaran dan bagi perusahaan secara keseluruhan. Dengan penjualan produk antara yang optimum, yaitu 20 unit di pasar eksternal (ditunjukkan oleh titik Ee dalam panel b), harga keseimbangan pasar untuk produk antara tersebut adalah Pe = $6. Aplikasi kasus 11-4 membahas bagaimana perusahaan multinasional menggunakan penentuan harga transfer untuk menhindari pembayaran pajak di negara yang pajaknya tinggi, dengan demikian laba mereka meningkat secara tajam. E. PENENTUAN HARGA DALAM PRAKTIK Dalam bagian ini kita membahas beberapa praktik penentuan harga yang dilakukan oleh berbagai perusahaan dalam dunia nyata. Praktik penentuan harga yang paling umum adalah penentuan harga biaya plus. Di sini kita akan menjelaskan praktik ini mendekati aturan penentuan harga yang memaksimumkan laba. Kita menutup bagian ini dengan pembahasan tentang analisis inkremental dalam penentuan harga, penentuan harga pada beban tinggi, tarif dua-bagian, pengikatan, penggabungan, dan praktik penentuan harga lain dalam dunia nyata. E.1 Penentuan Harga Biaya Plus Dalam dunia nyata, perusahaan mungkin tidak dapat (dan mungkin terlalu mahal) mengumpulkan data yang akurat tentang pendapatan marginal (MR) dan biaya marginal (MC) agar dapat menentukan tingkat output dan harga yang optimum pada

15

titik di mana MR = MC. Karena itu, berbagai perusahaan telah mengembangkan suatu aturan umum atau metode jalan pintas untuk menentukan harga produk mereka. Aturan penentuan harga yang paling banyak digunakan adalah penentuan harga biaya plus (cost-plus pricing-disebut β€œmarkup pricing” atau β€œfull cost pricing”). Cara yang paling umum dipergunakan untuk menghitungnya adalah pertama-tama perusahaan memperkirakan biaya variabel rata-rata (AVC) untuk memproduksi atau membeli dan memasarkan suatu produk untuk tingkat output yang normal atau standar (biasanya antara 70 hingga 80 persen kapasitas produksi). Kemudian perusahaan menambahkan kepada AVC tersebut biaya overhead rata-rata (biasanya sebagai persentase dari AVC), sehingga memperoleh perkiraan biaya (cost-c) rata-rata yang dialokasikan secara penuh. Terhadap biaya rata-rata yang dialokasikan secara penuh (fully allocated average cost) ini, perusahaan kemudian menambahkan sebuah markup (markup-m) atas biaya untuk memperoleh laba. Jadi rumus markup atas biaya (markup on cost) dapat ditulis sebagai π‘š

π‘ƒβˆ’πΆ 𝐢

Dengan m sebagai markup atas biaya, P sebagai harga produk dan C sebagai biaya rata-rata teralokasi penuh untuk produk tersebut. Penyebut dalam Persamaan 11-3 (yaitu, P – C) disebut margin laba (profit margin). Dengan mencari solusi untuk P dalam Persamaan 11-3, kita memperoleh harga dari produk dalam skema penentuan harga biaya plus, yaitu: P = C(1 +m) Sebagai contoh, misalkan bahwa sebuah perusahaan menggunakan 80 persen kapasitas produksi 125 unit untuk menghasilkan tingkat output yang normal atau standar. Perusahaan tersebut memproyeksikan baiay variabel dan overhead total untuk setahun ke depan, berturut-turut adalah $1.000 dan $600 untuk tingkat output normal atau standar etrsebut, dan ingin menetapkan 25 persen markup atas biaya. Maka output normal atau standar adalah sebesar 100 unit, AVC = $10, dan biaya overhead rata-rata adalah $6. Jadi, C = $16 dan P = 16(1+ 0,25) = $20 dengan m = ($20 $16)/$16 = 0,25. b sebesar 25 persen adalah penentuan yang terjadi secara tradisional dalam beberapa industri utama, seperti industri mobil, peralatan listrik dan alumunium, agar perusahaan dalam industri ini dapat mencapai target tingkat pengembalian atas investasi untuk tingkat output yang normal atau standar.

16

E.2 Evaluasi terhadap Penentuan Harga Biaya Plus Pemakaian penentuan harga biaya plus yang luas dalam dunia nyata disebabkan oleh beberapa kelebihan dari metode ini. Pertama, penentuan harga biaya plus pada umumnya memerlukan informasi yang lebih sedikit dan tidak terlalu akurat disbanding aturan menentukan harga pada tingkat output ketika pendapatan sama dengan biaya marginal. Kedua penentuan harga biaya plus terlihat mudah dan sederhana untuk digunakan. Ketiga penentuan harga biaya plus biaya menghasilkan harga yang relatif stabil ketika biaya tidak terlalu banyak berubah dengan berlalunya waktu. Ini merupakan kelebihan karena biaya untuk melakukan perubahan harga sangatlah mahal. Perubahan harga juga bias menyebabkan reaksi pesaing yang tidak pasti dalam pasar oligopolistik. Terakhir, penentuan harga biaya plus bias memberikan pembenaran yang jelas untuk meninggalkan harga yang di sebabkan peningkatan harga. Meskipun memiliki beberapa kelebihan yang penting di atas dan juga penggunaan yang luas, penentuan harga biaya plus memperoleh kritik berdasarkan beberapa hal yang cukup penting. Salah satu kritik adalah bahwa penentuan harga biaya plus didasarkan pada biaya akuntansi dan historis, tidak di dasarkan biaya penggantian atau biaya kesempatan (opportunity cost). Meskipun ini merupakan kritik yang serius terhadap bagaimana penentuan harga biaya plus biasanya dilakukan dalam praktik, hal ini bukanlah kritik terhadap penentuan harga biaya plus itu sendiri, karena perusahaan dapat (dua sudah seharusnya) mendasarkan perhitungan atas dasar biaya penggantian dan biaya biaya kesempatan yang benar dan tidak berdasarkan biaya akuntansi atau historis. Akhirnya, penentuan harga biaya plus dikritik karena mengabaikan kondisi permintaan. Namun, karena telah ditunjukkan bahwa perusahaan biasanya menentukan markup yang lebih tinggi terhadap produk yang menghadapi permintaan yang kurang elastis di bandingkan produk yang memiliki permintaan yang lebih elastis, dapatlah ditunjukkan bahwa produk penentuan harga biaya plus akan menyebabkan terjadinya harga yang mendekati pemaksimum laba. E.3 Analisis Inkremental dalam Penentuan Harga Keputusan penentuan harga dan output yang tepat membutuhkan analisis inkremental (incremental analysis). Artinya sebuah perusahaan harus mengubah harga produk atau outputnya, memperkenalkan produk baru, atau versi baru produk tertentu, menerima pesanan baru, dan lain-lain, jika peningkatan dalam pendapatan 17

total atau pendapatan inkremental dari tindakan tersebut melebihi peningkatan dalam biaya total atau pendapatan atau biaya incremental, contohnya, perusahaan penerbangan harus membuka jalur penerbangan baru, jika penerimaan inkrementalnya melebihi biaya inkrementalnya. Jika dalam jangka pendek masih tersedia sebuah perusahaan harus melakukan suatu tindakan atau tidak. Karena biaya overhead atau biaya tetap sudah tertutupi, segala tindakan perusahaan yang meningkatkan pendapatan melebihi biaya mengakibatkan peningkatan dalam laba total dan tindakan tersebut sebaiknya dilakukan. Sebaliknya, jika perusahaan sudah berproduksi pada kapasitas penuh, menurunkan harga produk untuk meningkatkan penjualan atau memperkenalkan produk baru akan menyebabkan peningkatan seluruh biaya, termasuk biaya untuk pabrik dan peralatan. Dalam kasus ini, penentuan harga full-cost dan incremental-cost akan memberikan hasil yang sama. Bahkan ketika perusahaan beroperasi dengan kapasitas menganggur, implikasi jangka panjang dari rencana tindakan tertentu harus diperhitungkan agar perusahaan dapat mencapai keputusan penentuan harga dan output yang tepat. Sebagai contoh, jika sebuah perusahan menurunkan harga produk untuk meningkatkan penjualan atau memperkenalkan sebuah produk baru untuk memanfaatkan

kapasitas

yang

masih

menganggur,

tindakan

ini

mungkin

membutuhkan peningkatan kapasitas jika perusahaan memperkirakan bahwa permintaan untuk produknya akan meningkat untuk jangka panjang. Dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelaslah bahwa sebuah perusahaan tidak dapat menentukan harga bagi seluruh produknya atas dasar inkremental, karena dalam peningkatan agregat, perusahaan juga harus menutup seluruh biaya overhead dan biaya tetapnya, paling tidak dalam jangka panjang. E.4 Penentuan Harga pada Beban Tinggi, Tarif Dua-Bagian, Pengikatan, dan Penggabungan Penentuan harga pada beban tinggi (peak-load pricing) mengacu pada pembebanan harga yang lebih tinggi untuk barang atau jasa selama jam beban tinggi disbanding di luar jam beban tinggi. Permintaan untuk beberapa jasa (seperti listrik) lebih tinggi selama beberapa saat (seperti di sore hari atau di musim dingin) disbanding saat lainnya (seperti selama siang hari atau di musim semi). Listrik merupakan jasa yang tidak dapat disimpan (maksudnya, hal tersebut harus dihasilkan saat dibutuhkan). Agar permintaannya terpuaskan, perusahaan penghasil listrik harus tidak mengoperasikan peralatan yang sudah kuno dan tidak efisien karena akan 18

menjadikan biaya marginal lebih tinggi dan harga akan dibebankan terlalu tinggi. Perbedaan harga didasarkan pada perbedaan harga perolehan, sehingga tidak terjadi diskriminasi harga secara teknis (walaupun begitu, perusahaan tersebut harus mengacu diskriminasi harga sementara). Tarif dua-bagian (two-part tariff) mengacu pada praktik penentan harga ketika konsumen membayar biaya awal untuk mendapatkan hak membeli sebua produk atau jasa, selain juga biaya penggunaan atau harga untuk setiap unit yang mereka beli. Perusahaan oligopolistik dan monopolistik kadang-kadang menggunakan metode penentuan harga ini untuk meningkatkan laba mereka. Peningkatan (trying) mengacu pada keharusan bagi konsumen yang membeli atau menyewa sebuah produk, untuk juga membeli produk yang lain yang dibutuhkan untuk menggunakan produk yang pertama. Penggabungan (bundling) adalah sebuah bentuk umum dari pengikatan, di mana perusahaan mengharuskan pelanggan yang membeli atau menyewa sebuah produk atau jasanya juga untuk membeli atau menyewa produk atau jasa lainnya ketika pelanggan memiliki selera yang berbeda tetapi perusahaan tidak bisa melakukan diskriminasi harga (seperti dalam pengikatan). Dengan menjual atau menyewakan produk atau jasa sebagai sebuah paket atau bundle dibanding sebagai bagian yang terpisah, seorang monopolis bisa meningkatkan laba totalnya. E.5 Praktik Penentuan Harga Lainnya Banyak praktik penentuan harga lain yang sering digunakan dalam dunia nyata. Di antaranya adalah penentuan harga gengsi, penentuan batas harga, skimming, dan penentuan harga nilai. Teknologi baru penentuan harga berdasarkan penggunaan alat pembaca elektronik juga berkembang pesat dalam pasar-pasar swalayan. Penentuan harga gengsi (prestige pricing) mengacu kepada penentuan harga yang tinggi dengan sengaja untuk menarik konsumen yang berorientasi pada gengsi. Konsumen sering membayar harga yang mahal untuk sejumlah barang, ketika barang subsitusi serupa yang lebih murah harganya tersedia, karena mereka menyamakan harga dengan kualitas. Penentuan batas harga (price lining) adalah jenis dari praktik penentuan harga yang kadang-kadang ditemukan. Hal ini mengacu kepada penentuan harga yang ditargetkan oleh sebuah perusahaan dan kemudian mengembangkan sebuah produk yang memungkinkan perusahaan untuk memaksimumkan laba pada tingkat harga tersebut. Bukannya lebih dulu memutuskan tipe produk yang akan dihasilkan dan baru 19

kemudian menentukan harga yang akan dikenakan untuk memaksimumkan laba total perusahaan (seperti biasanya), urut-urutannya dibalik. Skimming mengacu kepada penentuan harga yang tinggi ketika sebuah produk diluncurkan dan secara bertahap harganya diturunkan. Ini paling sering terjadi dalam penjualan barang tahan lama seperti lemari es, mesin cuci, dan computer personal. Penentuan harga nilai (value pricing) mengacu pada penjualan barang-barang berkualitas pada tingkat harga yang lebih rendah dari sebelumnya. Ini merupakan metode pemotongan harga yang sudah kuno, tetapi rekayasa ulang dilakukan pada produk tersebut untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas ketika menurunkan harganya, sehingga tetap bisa memperoleh laba. Dengan cara ini, perusahan menawarkan lebih banyak dengan harga yang lebih murah. Pengimbangan harga (price matching) adalah strategi penentuan harga di mana sebuah perusahaan mengiklankan harga bagi produk atau jasanya dan berjanji akan mengimbangi harga yang lebih rendah yang ditawarkan oleh pesaingnya. Teknologi penentuan harga dalam pasar swalayan telah mengalami revolusi dengan digunakannya pemindai elektronik (electronic scanner). Lebih dari setengah pasar swalayan di AS sudah menggunakan alat pemindai elektronik di bagian kasirnya untuk memunculkan harga yang ditulis dengan kode laser (barcode). Penggunaan

pemindai

tersebut

secara

drastis

mengurangi

biaya

karena

memungkinkan supermarket untuk menghindari penentuan harga item-per-item dan pemberian harga ulang untuk bahan makanan pada rak-rak, serta mengizinkan mereka untuk menggunakan tenaga penjualan yang kurang ahli dan dengan gaji yang lebih rendah yang ditetapkan di kasir. Penentuan harga melalui lelang (auction pricing) adalah strategi penentuan harga di mana para pembeli dan para penjual melakukan penawaran untuk barang yang akan dijual.

STUDI KASUS TUDUHAN PRAKTEK DUMPING YANG DILAKUKAN INDONESIA : Pada Sengketa Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan Indonesia sebagai Negara yang melakukan perdagangan Internasional dan juga anggota dari WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas

20

Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan Indonesia yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT Pindo Deli Pulp & Mills, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, dan April Pine Paper Trading Pte Ltd. Korea dan Indonesia, sebagai anggota WTO, mengupayakan penyelesaian sengketa berdasarkan langkah-langkah yang telah diatur di WTO. Panel DSB (Dispute Settlement Body) menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pada Mei 2003 Korea Selatan memberlakukan BM (bea masuk) anti-dumping atas produk kertas Indonesia, namun pada November 2003 mereka menurunkan BM anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel. Tepatnya pada 9 Mei 2003 KTC mengenai Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61 persen, PT Pindo Deli 11,65 persen, PT Indah Kiat 0,52 persen, April Pine dan lainnya sebesar 2,80 persen. Kemudian Pada 7 November 2003, KPC menurunkan BMAD untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat masing-masing sebesar 8,22 persen, serta untuk April Pine dan lainnya 2,8 persen. Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant)yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh Negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus anti-dumping untuk Korea Certain Paper Products. Pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti-dumping Korea Selatan terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke DSB WTO agar Korea Selatan mencabut tindakan anti dumpingnya yang melanggar kewajibannya di WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reason-able period of time/RPT). 21

Namun sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan belum juga mematuhi keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut. Padahal Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menyatakan Korea Selatan melakukan kesalahan prosedur dalam penyelidikan anti-dumping kertas Indonesia pada 2003. Untuk itu DSB meminta Korea Selatan segera menjalankan keputusan ini.

ANALISIS STUDI KASUS Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional agar terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement aytau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang. Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh Negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus anti-dumping untuk Korea Certain Paper Products. Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi. Investigasi

anti-dumping

juga

harus

dihentikan

jika

fakta

dilapangan

membuktikan`bahwa marjin dumping dianggap tidak signifikan (dibawah 2% dari harga ekspor). Dan jika volume impor dari suatu produk dumping sangat kecil kurang dari 3% dari jumlah ekspor Negara tersebut ke Negara pengimpor, tapi investigasi juga akan tetap berlaku jika produk dumping impor dari beberapa Negara pengekspor secara bersamaan diperhitungkan berjumlah 7% atau lebih.

22

DAFTAR REFERENSI

Salvatore, Dominick. 2005.MANAJERIAL ECONOMICS ed. Bahasa Indonesia, Jakarta: penerbit Salemba Empat. 22 Oktober 2007. https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm (diakses 16 November 2018 pada situs World Trade Organization – WTO) Gayatri, Aprilia & Adriani, Femita.2008.’Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia: pada sengketa anti-dumping produk kertas dengan Korea Selatan’ https://binchoutan.files.wordpress.com/2008/06/studi-kasus-dumping.pdf sumber dari https://www.foxitsoftware.com/ (diakses 16 November 2018)

23

Related Documents

Penentuan Lokasi.docx
June 2020 12
Penentuan Pemenang
June 2020 14
Penentuan Sulfat
November 2019 19
Penentuan Lokasi.docx
June 2020 11
Praktek Takwa.pdf
June 2020 13

More Documents from "ibnu donall"