Ppok Wahyu

  • Uploaded by: Ampi Sipakoly
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ppok Wahyu as PDF for free.

More details

  • Words: 3,924
  • Pages: 22
Pasien dengan Keluhan Sesak Napas Secara Terus Menerus disertai Batuk dan Riwayat Merokok Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jl.Arjuna Utara no.6, Jakarta 11510 Wahyu Abraham Adji Sipakoly 102015123 [email protected]

Pendahuluan Pencemaran udara dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan, harta benda, ekosistem maupun iklim. Umumnya gangguan kesehatan sebagai akibat pencemaran udara terjadi pada saluran pernapasan dan organ penglihatan. Salah satu dampak kronis dari pencemaran udara adalah bronchitis dan emphysema. Saluran pernapasan merupakan jalur pernapasan yang paling penting pada lingkungan industri. Berbagai jenis zat dapat terbawa dalam udara lingkungan kerja. Efek paparan zat melalui saluran pernapasan sangat beragam, tergantung pada konsentrasi dan lamanya pemaparan serta status kesehatan orang yang terpapar (Mulia, 2005). Banyak partikel kotoran dalam udara inspirasi ditangkap oleh mukus yang menutupi rongga nasal dan faring, maupun trakea dan percabangan bronkus. Pada percabangan bronkus, partikel difagositosis dengan segera atau dikembalikan ke arah glotis oleh silia epitel trakeobronkial (pergerakan mukosiliar). Silia bergetar 1220 kali/detik dan mendorong lapisan tipis mukosa pada kecepatan sekitar 1 cm/menit. Mukus yang dihasilkan pada kecepatan sekitar 10-100 ml/hari tergantung pada iritasi setempat (misalnya, asap) dan perangsangan vagal. Mukus biasanya ditelan dan cairannya diabsrobsi pada traktus gastrointestinal (Handojo Y, 1990). Obstruktif adalah penurunan kecepatan aliran ekspirasi (ekspiratory flow) (Harrison’s, 2000). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari morbiditas di seluruh dunia yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang progesif dan sebagian besar yang irreversible (Macnee, 2006). Gejala klinis pada PPOK berupa batuk, produksi sputum yang meningkat dan adanya gejala sesak. Beberapa faktor risiko sebagai penyebab PPOK yaitu merokok, usia, paparan asap populasi lingkungan atau pekerjaan, alpha-1 antitripsin, riwayat infeksi pernapasan dan riwayat keluarga yang mengalami PPOK (Stephen and yew, 2008). Menurut World Health Organization (WHO) (2008) PPOK merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Pada tahun 2002, 2004 dan 2005 Proportional Mortality Ratio (PMR) akibat PPOK di beberapa

negara maju masing-masing sebesar 3,9%, 3,5% dan 3,9%. Di negara berkembang masing masing sebesar 7,6%, 7,45% dan 8,1% serta di negara miskin masing-masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%. Angka-angka tersebut menunjukkan semakin meningkatnya kematian akibat PPOK di dunia. Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa sebanyak 201 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat PPOK pada tahun 2005. Diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab ke-tiga kematian di seluruh dunia (WHO, 2008). Tujuan penulisan efek paparan partikel terhadap kejadian PPOK adalah untuk mencegah sedini mungkin supaya tidak mudah mengalami fungsi paru menurun akibat paparan partikel yang berefek perubahan faal paru akibat pencemaran udara partikel.

Anamnesis 1. Identifikasi pasien -

Mengidentifikasi data seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan. Sumber riwayat biasanya pasien, tetapi dapat juga dari anggota keluarga, teman, surat rujukan atau rekam medis.

2. Keluhan utama -

Satu atau lebih gejala atau kekhawatiran pasien yang menyebabkan pasien mencari perawatan

-

Skenario : 3 tahun terakhir , nafas berat terutama aktivitas berat dan jika bila sedang demam dan batuk.

3. Penyakit saat ini - Menjelaskan keluhan utama, gambarkan bagaimana perkembangan setiap gejala, tunjukan tujuh gambaran dari setiap gejala yaitu lokasi (di mana, apakah menyebar), kualitas (seperti apa rasanya), kuantitas atau keparahan (seberapa parah), waktu terjadinya gejala (kapan mulai dirasakan, sudah berapa lama, seberapa sering gejala muncul), kondisi saat gejala terjadi (meliputi faktor lingkungan, aktivitas individu, reaksi emosi, atau keadaan lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit), faktor yang meredakan atau memperburuk penyakit, manifestasi terkait (apakah anda mengenali hal-hal lain yang menyertai gejala tersebut). Kemudian juga termasuk pikiran dan perasaan klien mengenai penyakitnya. Poin pengkajian dapat mencakup medikasi, alergi, kebiasaan merokok, alkohol, karena kerap kali terkait dengan penyakit yang sedang diderita. - Skenario : batuk berdahak, warna putih, sejak 3 hari yang lalu.

4. Riwayat kesehatan masa lalu Penyakit yang diderita pada masa kanak-kanak, penyakit yang dialami saat dewasa lengkap dengan waktunya yang sedikitnya mencakup empat kategori berikut: medis, pembedahan; obstetrik/ginekologik dan psikiatrik, termasuk praktik mempertahankan kesehatan seperti imunisasi, uji skrining, masalah gaya hidup, dan keamanan rumah. 5.

Riwayat keluarga Gambaran atau diagram usia dan keadaan kesehatan atau usia dan penyebab kematian, apakah bersumber dari saudara kandung, orangtua, dan kakek nenek. Dokumen yang menunjukan ada atau tidak adanya penyakit khusus dalam keluarga, seperti hipertensi, penyakit arteri koroner, dan sebagainya. 6. Riwayat pribadi dan sosial Jelaskan tentang tingkat pendidikan, suku bangsa keluarga, keadaan rumah tangga saat ini, minat individu, dan gaya hidup.1

Pemeriksaan Fisik 

Inspeksi. Melihat kulit thorax (warna), apakah ada benjolan, pelebaran kapiler/tidak. Bentuk thorax, apakah ada barrel chest. Mengamati dada pasien ketika inspirasi dan ekspirasi, apakah simetris/tidak. Mengamati sela iga, apakah ada retraksi/tidak..2



Palpasi. Meraba permukaan thorax dan sela iga pasien, apakah ada nyeri/tidak. Memeriksa fremitus paru pasien. Meletakkan tangan pada thorax pasien, kemudian merasakan saat pasien bernapas, apakah ada bagian paru yang tertinggal/tidak.2



Perkusi. Perkusi normal adalah sonor. Jika pada perkusi paru terdapat suara pekak di salah satu bagian paru artinya jaringan paru terisi dengan cairan. Namun jika suara perkusi hipersonor,artinya paru-paru dalam keadaan dipenuhi oleh udara.1,2



Auskultasi. Melakukan pemeriksaan paru dengan menggunakan stetoskop. Bunyi paru normal adalah vesikuler. Sedangkan suara paru yang patologis

adalah vesikuler

melemah/memanjang, bronkial karena alveoli terisi dengan eksudat, bronko-vesikuler, ronkhi kering (whezzing),ronkhi basah karena adanya udara yang melalui cairan.  Skenario :

-

Kesadaran compos mentis

-

TTV : Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 100x/menit, frekuensi napas 30 x/menit, suhu : 36 derajat Celcius

-

Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi intercostalis (+), taktil fremitus simetris

-

Palpasi : Taktil fremitus simetris

-

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru (bilateral).

-

Suara nafas wheezing +/+, ronkhi basah minimal +/+.2

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan radiologi -

Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.

-

Pada emfisema paru, foto toraks menunjukan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan ke distal.

2. Pemeriksaan fungsi paru Menunjukan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat destruksi jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien negalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator. 3. Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia kronis kadar hemoglobin bisa meningkat.3 Diagnosis Kerja Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas racun yang berbahaya (GOLD, 2010 ; Robbins et al., 2010). PPOK merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan tanda pernapasan yaitu batuk kronik, berdahak, dispnea dengan derajat yang bervariasi, dan penurunan aliran udara ekspirasi yang signifikan dan progresif (Meyer et al., 2010). Menurut Anthonisen (2004) istilah PPOK mencakup tiga patologi spesifik yaitu bronkhitis kronik, penyakit saluran napas perifer dan emfisema. Definisi PPOK menurut American Thoracic Society

(ATS) adalah suatu gangguan dengan karakteristik adanya obstruksi dari jalan napas karena bronkitis kronik atau emfisema; obstruksi jalan napas umumnya progresif dan dapat

Klasifikasi PPOK3 Terdapat ketidaksesuaian antara nilai VEP1 dan gejala pasien , oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1. DERAJAT

KLINIS

Derajat I

Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada

PPOK ringan

derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa faal paru mulai menurun. Tidak ada gejala waktu istirahat atau bila exercise Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi gejala ringan pada latihan sedang (misal : berjalan cepat, naik tangga)

Derajat II

Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala

PPOK

batuk dan produksi sputum . Pada derajat ini biasanya pasien mulai

Sedang

memeriksakan kesehatannya. Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi mulai terasa pada latihan / kerja ringan (misal : berpakaian) Gejala ringan pada istirahat

Derajat III

Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas , rasa lelah dan serangan

PPOK Berat

eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien Gejala sedang pada waktu istirahat

Derajat IV

Gejala diatas ditambah tanda tanda gagal napas atau gagal jantung kanan

PPOK

dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien

Sangat Berat

memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa. Gejala berat pada saat istirahat

Epidemiologi Penyebab tertinggi keempat morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat dan diperkirakan mencapai peringkat kelima pada tahun 2020 di seluruh dunia. Dalam sebuah penelitian, ditemukan emfisema kombinasi parasinus dan sentriasinus pada 50% kasus saat autpsi dan penyakit paru dianggap menjadi penyebab kematian pada 6,5% pasien-pasien ini.

Terdapat hubungan yang jelas antara merokok berat dan emfisema, dan tipe emfisema paling parah terjadipada pria perokok berat. Etiologi Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan. Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah dari partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut.4,5 

Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Merokok merupakan > 90% risiko untuk PPOK dan sekitar 15 % perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap “peka” dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruktif pada anak.



Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.



Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya : polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun), Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan dan Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan merupakan faktor risiko independen untuk PPOK.



Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak-kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK pada saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.



Jenis kelamin Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada lakilaki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok pria.



Status sosioekonomi dan status nutrisi



Asma



Usia >40 tahun

Patogenesis2 Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada selsel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi

Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni : peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma.7

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di saluran napas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK. Respon inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran udara uang bersifat progresif

Gejala Klinis Tanda-tanda PPOK : batuk, produksi sputum berlebihan (pada jenis bronchitis kronik), dispnea, obstruksi saluran napas yang progresif. Pada pemeriksaan spirometri, FEV1 di bawah predicted, perbaikan pada tes provokasi setelah pemberian bronkodilator < 12%. Dispnea progresif saat olahraga; dispnea nocturnal paroksismal; edema kaki atau perut kembung (cor pulmonale); batuk produktif; mengi.8 Gejala utama bronkitis kronik adalah batuk berdahak yang menetap. Selama bertahuntahun, tidak ada gangguan pernapasan lain, tetapi akhirnya pasien mengalami sesak napas jika beraktivitas (berolahraga). Dengan berlalunya waktu dan biasanya dengan berlanjutnya merokok, elemen-elemen lain PPOK mulai muncul, termasuk hiperkapnia, hipoksemia dan sianosis ringan. Pada kasus yang klasik, bronkitis kronik murni dapat dibedakan dari emfisema yang menyertai, tetapi banyak pasien PPOK mengalami kedua penyakit ini. Bronkitis kronik berat yang telah berlangsung lama sering menyebabkan cor pulmonale dan gagal jantung. Kematian juga dapat disebabkan oleh semakin memburuknya fungsi pernapasan akibat infeksi bakteri akut berulang.4,5 Dalam spectrum PPOK, dikenal dua gambaran klinis yang ekstrem: tipe A (pink puffer) dan tipe B (blue bloaters). Dulu dianggap bahwa tipe ini berkolerasi dengan jumlah relatif emfisema dan bronchitis kronik, khususnya dalam paru, tetapi keadaannya lebih rumit. Walaupun demikian, penjelasan kedua pola gambaran klinis ini masih berguna karena mereka mewakili patofisiologi yang berbeda. Dalam praktik, kebanyakan pasien memiliki gambaran keduanya.4,5 PINK PUFFER

BLUE BLOATER

Ukuran tubuh

Kurus dan ramping

Obese

Penyakit yang mendasari

Emfisema

Bronkhitis kroniks

Usia

50-75 tahun

40-55 tahun

Sputum

Sedikit

Banyak

Onset

Dyspnea

Batuk

PA paru

Emfisema panasinar

Emfisema sentrilobular

Cor pulmonal

(-)

(+)

Polisetemia sekunder

(-)

(+)

Sianosis

Sedikit atau (-)

(+)

Analisa Gas darah

PCO2 rendah

PCO2 meningkat

Tipe A = pink puffer (pp)

Tipe B = Blue bloater (BB)

Predominan Emfisema

Predominan

Bronkitis

kronik Riwayat perokok

ada/tidak ada

Ada

Riwayat keluarga

ada pada defisiensi alfa 1 ada pada fibrokistik antitripsin dan fibrokistik

Riwayat batuk

Batuk kering disertai dispnue Batuk progresif

Pemeriksaan fisik

kronik

sputum

produktif

malnutrisi, torak hipersonor, gisi

baik,

kadang-kadang

suara nafas melemah, sela iga obes, polisitemia, sianosis, melebar, jantung kecil.

ronki

basah

+/-,

jantung

besar,

cenderung

menjadi

corpulmonale. Foto torak

Diafragma mendatar

corakan bronkovaskuler paru

hiperlusen, jantung kecil

bertambah, jantung membesar.

Respons bronkodilator

tidak ada perbaikan

VEP1

ada

perbaikan

walaupun sedikit

Dasar patologik tipe A dan B Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, awalnya diyakini bahwa pasien tipe A sebagian besar menderita emfisema sementara pasien tipe B terutama menderita bronchitis kronis. Namun, pernyataan ini terlalu sederhana. Bagian yang membingungkan adalah bahwa kriteria yang berbeda untuk kedua tipe tersebut telah digunakan oleh dokter yang berbeda. Biasanya, jika kita membatasi klasifikasi tipe B untuk pasien batuk kronik berat dengan ekspektorasi,

seperti pada deskripsi yang asli, pasien demikian cenderung menunjukkan gambaran patologik bronchitis kronik. Akan tetapi, luasnya emfisema pada paru sulit untuk diperkirakan selama hidup. Beberapa dokter yakin bahwa perbedaan terpenting antara kedua tipe adalah dalam pengendalian napas. Mereka menyatakan bahwa hipoksemia yang lebih berat dan dampak insiden cor pulmonale yang lebih tinggi pada pasien tipe B dapat disebabkan oleh dorongan ventilasi yang berkurang, terutama sewaktu tidur.

Manifestasi Klinis Belum terlihat sampai paling sepertiga parenkim paru fungsional rusak. Dispnea adalah gejala awal, sesak nafas ini mucul secara perlahan tetapi terus progresif. Pada sebagian pasien, batuk dadan mengi merupakan keluhan utama sehingga mudah disangka asma. Batuk dan pengeluaran dahak sangat bervarisi. Penurunan berat badan sering terjadi dan dapat sedemikaian hebat sehingga seperti menandakan adanya tumor ganas tersembunyi. Pasien tampak memiliki dada berbentuk tong dan sesak dengan ekspirasi yang jelas memanjang, duduk condong ke depan dengan posisi membungkug dan bernapas melalui bibir yang mengerut. Pada pasien emfisema berat batuk sering hanya sedikit tetapi distensinya sangat parah, kapasitas difusinya rendah dan nilai-nilai gas darah relatif normal saat istirahat. Differential Diagnosis 1. Bronkiektasis6,7 Bronkiektasis merupakan infeksi kronik dengan nekrosis pada bronkus dan bronkiolus yang menyebabkan dilatasi permanen yang abnormal pada saluran napas ini. Gambaran klinisnya meliputi batuk-batuk, demam dan produksi sputum purulen yang berlebihan. Pada kasus yang berat dapat terlihat insufisiensi respiratorius obstruktif. Komplikasinya meliputi kor pulmonale, abses metastatic dan amiloidosis sistemik. Bronkiektasis disertai dengan : 

Kelainan congenital atau herediter (misalnya kistik fibrosis, keadaan imunodefisiensi)



Keadaan pasca-infeksi (pneumonia bakteri, virus atau fungus dengan nekrotisasi)



Obstruksi bronkus (misalnya oleh tumor atau benda asing)



Keadaan lain (misalnya arthritis rematoid atau penyakit graft-versus-host yang kronik)

Obstruksi dan infeksi merupakan penyebab utama bronkiektasis. Pada obstruksi terjadi inflamasi, nekrosis, fibrosis dan dilatasi saluran napas yang irreversibel. Morfologi Perubahan paling berat terjadi dalam saluran napas distal pada lobus paru sebelah bawah; dilatasi yang terjadi memiliki bentuk yang berbeda-beda (silindris, fusiformis atau sakuler). Pemeriksaan histologik memperlihatkan spectrum inflamasi yang ringan hingga inflamasi yang akut dan kronik dengan nekrotisasi pada saluran napas besar yang disertai fibrosis bronkiolus. 2) Asma bronkiale6 Kelainan inflamasi kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme yang paroksismal tetapi reversible pada saluran napas trakeo bronkial; serangan ini disebabkan oleh hiperreaktivitas otot polos. Insidennya meningkat secara signifikan dalam 3 dasawarsa terakhir ini di dunia Barat. Penyakit asma dapat dipilah menurut intensitas klinik, respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Secara patofisiologi dikenal dua tipe yang utama: 

Asma atopic (alergik; regain-mediated) merupakan tipe yang sering ditemukan; tipe asma ini dipicu oleh antigen lingkungan (misalnya debu, serbuk sari, makanan) dan sering disertai riwayat atopi dalam keluarga. Pada fase akut, pengikatan antigen pada sel-sel mast yang terselubung IgE menyebabkan pelepasan mediator sitokin yang primer (misalnya, leukotriene) dan sekunder (misalnya, sitokin, neuropeptide). Mediator fase akut menyebabkan bronkospasme, edema, sekresi mucus dan rekrutmen leukosit. Reaksi fase lanjut dimediasi oleh leukosit yang direkrut (misalnya eosinophil, limfosit, neutrophil, monosit); reaksi ini ditandai oleh bronkospasme yang persisten serta edema, infiltrasi leukosit dan kerusakan serta kehilangan epitel.



Asma non atopik (non reagenik, non imun) kerap kali dipicu oleh infeksi saluran napas, zat-zat iritan kimia atau obat-obatan dan biasanya tanpa riwayat keluarga dan tanpa keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas saluran napas tidak diketahui.

Morfologi

Paru-paru berkembang secara berlebihan dengan disertai bercak-bercak atelektasis dan oklusi saluran napas oleh sumbat mucus. Secara mikroskopik, paru-paru memperlihatkan edema, infiltrate radang pada bronkiolus dengan sejumlah eosinofil, fibrosis pada sebmembran basalis dan hipertrofi otot polos dinding bronkus serta kelenjar submukosa. Sumbat mucus yang berpilin (spiral Curschmann) dan debris granul eosinofil yang berbentuk kristaloid (Kristal Charcot-Leyden) mengendap di dalam saluran napas. Penatalaksanaan3 Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi gejala. Ada beberapa jenis bronkodilator, dimana tidak ada yang superior efeknya satu dari lainnya. Pemberian secara inhalasi lebih disukai karena mempunyaikeunggulan, karena dapat meningkatkan kapasitas olahraga dan menurangi gejala sesak nafas dengan cepat. 1.Golongan simpatomimetik Agonis Beta2 adrenergik selektif mekanisme kerja relaksasi otot polos bronkus dan bronkodilatasi dengan cara merangsang enzim adenilil siklase untuk membentuk siklik AMP, juga memperbaiki mucociliary clearence. Sediaan Biasanya diberikan secara inhalasi dengan MDI= metered dose inhaler. * Kerja cepat: albuterol, levabuterol, bitolterol dan terbutalin. Memiliki selektivitas Beta2 lebih besar, mula kerja cepat dan lama kerja lebih panjang dari sediaan kerja cepat lainnya seperti: isoproterenol, metaproterenol dan isoetarin, yaitu 4-6jam. * Kerja panjang: formoterol dan salmetelor, mempunyai lama kerja 12jam, tetapi karena mula kerjanya lama, maka obat ini tidak cocok untuk mengatasi gejala akut. Efek samping: jantung berdebar, takikardi, insomia dan hipertensi Kontraindikasi: sediaanini tidak boleh diberikan kepada penderita dengan pembesaran prostat jinak. 2. Golongan antikolinergik Mekanisme kerja:

Obat glongan ini menghambat secara kompetitif reseptor kolinergik pada otot polos bronkus, terjadi hambatan asetilkolin sehingga terjadi peningkatan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Sediaan *Ipatropium bromida; sediaan dengan kerja cepat, mula kerja lambat di banding Beta2 kerja cepat tetapi efek bronkodilatasinya lebih panjang. *Tiotropium bromida: sediaan kerja panjang, mula kerja 30menit dan lama kerja 24jam. Biasanya di berikan inhalasi. Terdapa juga sediaan kombinasi antikolinergik+simpotomimetik; misalnya albuterol + ipatropium dalam bentuk metered Dose Inhaler yang di pakai sebagai terapi penunjang. Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme berbeda tadi, mempunyai keunggulan dosis efektif lebih rendah serta efek sampiing juga lebih ringan. Efek samping Milut kering, mual, rasa kecap logam, penglihatan kabur, takikardi, retensiurin. 3.Golongan metilaxantin Mekanisme kerja Golongan xantin bekerja menghambat fosfodiesterase sehingga menyebabkan peningkatan siklik AMP, menghambat masuknya ion kalsium kedalam otot polos, merangsang keatekolamin endogen, bersifat antagonis pada reseptor adenosin dan prostaglandin dan menghambat lepasnya mediator kimiawi dari sel mast dan leukosit. Seidaan Teofilin dan aminofilin, pengguna lama teofili pada penderit PPOK menimbulkan pebaikan fungsi paru, mengurangi sesak nafas, meningkatkan berolahraga dan memperbaiki fungsi pernapas saya. Untuk meningkatkan kepatuhan makan obat sediaan lepas lambat. Teofilin cukup di berikan 1 kali. Farmakokinetik

Bersihkan teofilin dapa menurun, misalnya pada usia lanjut, pneumoniakarena virus atau bakteri, gsgsl ginjal dan hati, serta bersama semitidin, antimikroba golongan markolid dan flourkuinolon, sehingga dosisnya harus di sesuaikan. Sebaliknya bersihan teofilin dapat meningkatoada perokok, hipertiroid dsnbersama marihannau, fenitonin, fenobarbital dan rimpasmisin.

Efek samping Iritasi lambung misalnyaasi dipepsia, mual, munta, karena golongan ini mengiritasi lambung, juga dapat terjadi diare, kepala pusing dan takikardia. Kadar toksik dapat menimbalkan aritmia. 4.Kortiko steroid Mekanisme kerja Kortikosteroid di gungan karena efek inflamasinya, pearbilitas kapile sehingga terjadi pembentukan mukus, pelepasan enzim proteolitik dari lekosit menurun serta terjadi hambatan di protaglandin. Keunggulan klinis pengggunaan kortikosteroid sistemik tidak jelas, sehingga bila penggunaan jangka lama tidak di anjurkan bila sangat dibutuhkan.

Efek samping Kortikosteroid dapat membuat suara serak, nyri saaat menelan, kandidiasis oraldan bila hebat dapat terjadi supresi kelenjar adrenal, ostoeporosis dan katarak, terutama pada pemberian inhalasi kronis dalam dosis tinggi. Anti mikroba Hanya di beri bila terjadi eksasebrasi yang biasanya disebabkan karena infeksi atau virus, terutama bila terdapat gejala dispnoe,meningkat volume sputumdan sputum berubahmenjadi prulen Sediaan

Golonggan markolid, azitromisin, klaritomisin,sefalospirin generasi 2dan 3 serta dosisiklin. Bila kuman penyebab ada Beta laktamase, maka pilihan antimikroba:amoksili+klavulanat +levoflosaksingatiflosaksin dan mixoflogsasin. Dan bila penyeba adalah gram- trutama psedumonas, maka obat pilihan adalah floulorakuinolon Prognosis Tergantung pada : 1. Beratnya obstruksi 2. Adanya kor pulmonale 3. Kegagalan jantung kongestif 4. Derajat ganggunan amalisis gas darah 5. Apakah pasien mau berhenti merokok. Bila dibuat diagnosa dini dan segera dikelola secara optimal, prognosis adalah baik. Bila penderita sudah dalam stadium lanjut, dimana sudah terdapat kelainan-kelainan struktur jalan napas, dapat berakibat invalid dan survival 5 tahun hanya 40%. Pencegahan 1. Cobalah untuk tidak berada di luar ketika tingkat polusi udara tinggi. Jika tidak dapat menghindari polusi udara, memakai masker polusi udara untuk meminimalkan paparan Anda. 2. Memiliki ventilasi yang baik di rumah Anda untuk menghindari polusi udara dalam ruangan. Jauhkan karpet kering dan disedot secara rutin untuk membantu pengendalian debu. 3. Hindari asap rokok 4. Jika pekerjaan mengharuskan untuk asap kimia atau debu, gunakan peralatan keselamatan untuk mengurangi jumlah asap dan debu yang dihirup.10 Kesimpulan Laki-laki berusia 57 tahun dengan keluhan tersebut menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Daftar Pustaka 1. Baldwin D. Sistem pernapasan. Dalam : Houghton AR, Gray D. Chamberlain’s gejala dan tanda dalam kedokteran klinis. Cetakan 1. Jakarta : PT.Indeks; 2012. hml 99-125 2. Tania I et al. Paru-paru. Dalam: Mitchell RN et al. Buku saku dasar patologis penyakit Robbins dan Cotran. Edisi 7. Jakarta : EGC; 2008. Hml 432-7 3. Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Univeristas Kristen Krida Wacana. Farmako Terapi Aplikasi : Buku ajar farmakologi. Edisi 1. Jakarta : EGC; 2012.hlm 180-181 4. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus S, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta : EGC; 2009. Hml 2225-7 5. Sundaru H. Wheezing. Dalam : Setiati S, Purnamasari D, Rinaldi I, Pitoyo CW. Lima puluh masalah kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat Penerbit Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.hal 202-12 6. Maranatha D. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam : Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S. Buku ajar ilmu penyakit paru.Cetakan 2. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair; 2010.hml 37-9 7. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. 8. Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia.

PPOK

Pedoman

diagnosis

dan

penatalaksanaan di Indonesia. 1973- 2003. 9. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of

Chronic

Obstructive

Pulmonary

Disease.

USA,

Didapat

dari

:

http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp 10. Swierzewski,

SJ.

2007.Chronic

Obstructive

Pulmonary

http://www.pulmonologychannel.com/PPOK/complications.shtml.

Disease.(online)

Related Documents

Ppok Wahyu
October 2019 30
Ppok
June 2020 19
Ppok
October 2019 40
Ppok Iyas.docx
November 2019 21
Diagnosis Ppok
June 2020 14
Ppok .pptx
December 2019 30

More Documents from "laras"

Ppok Wahyu
October 2019 30
Tuhan Yesus Baik.docx
October 2019 11