TUGAS 1 PENGANTAR PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN
Kelompok 7 Arifah Alfiyyah
(1706105744)
Aulia Safitri Hanifa
(1706105763)
Ayu Sekarwati
(1706105800)
Ika Fitri Alfiani
(1706106034)
Inna Apriantini
(1706106066)
S1 EKSTENSI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA 2017
A. Pengertian Parasit Metazoa a. Definisi/Pengertian Parasit Parasit adalah hewan renik yang bisa menurunkan produktivitas hewan yang ditumpanginya. Parasit bisa menyerang manusia dan hewan, seperti menyerang kulit manusia. Parasitoid ialah parasit yang memakai jaringan organisme lainnya untuk keperluan nutrisi mereka hingga inang/hospes yang ditumpangi meninggal karena kehilangan nutrisi atau jaringan yang dibutuhkan. Hospes adalah makhluk hidup sebagai tempat hidup parasit.
b. Macam-macam Parasit
Parasit Obligat(Permanen) : Parasit yang tidak bisa hidup tanpa inang/hospesnya.
Parasit Fakultatif(Opportunist) : Organisme yang hidup bebas tetapi suatu waktu dapat menjadi parasit, contohnya micronema dan beberapa ameba.
Parasit Temporer(Intermitten) : Parasit yang sebagian masa hidupnya hidup bebas, sewaktu-waktu akan menjadi parasit, contohnya strongyloides stercoralis.
Parasit Spuria/Koprozoik(Palsu) : Spesies asing yang melalui intestinum dan ditemukan dalam tinja/kotoran manusia dalam keadaan hidup/mati.
Parasit Insidentil : Parasit yang kebetulan bersarang pada inang yang biasannya tidak dihinggapinya.
Parasit Patogen : Parasit yang membuat kerusakan lokal/sistemik pada hospes.
Parasit Apatogen : Parasit yang tidak membuat kerusakan.
Pseudoparasit : Artefak yang mirip parasit, sering kali diduga sebagai parasit.
Menurut jumlah sel yang membentuknya, parasit terbagi menjadi 2 yaitu :
Protozoa : Parasit satu sel.
Metazoa : Parasit banyak sel, metazoa terbagi atas arthropoda dan helminths(Cacing).
Menurut tempat hidup parasit pada hospes, terbagi menjadi 2 macam yaitu :
Ektoparasit : Hidupnya pada permukaan tubuh(Kulit) hospesnya, jenis ini kebanyakan dari arthropoda
Endoparasit : Hidupnya di dalam tubuh hospes.
Proses menempelnya ektoparasit pada tubuh hospes disebutinfestasi, sedangkan masuknya endoparasit ke dalam tubuh hospes dikenal infeksi. B. Teori Simpul Penyakit yang disebabkan oleh Parasit Metazoa 1. Filariasis a. Pengertian Filariasis Filariasis adalah penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan jika tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara, scrotum dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya, penderita tidak dapat bekerja secara optimal, bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara (Achmadi, 2001). Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga jenis spesies cacing filaria yaitu Wucheria bancrofti, Brugi malayi, dan Brugia timori. Cacing ini memiliki bentuk langsing ditemukan di dalam sistem peredarah darah putih, otot, jaringan ikat atau rongga permukaan tulang belakang. Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk tersebut mendapat cacing filaria kecil (mikrofilaria) sewaktu menghisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria.
Teori Simpul Penyakit Filariasis
SIMPUL 1
SIMPUL 2
SIMPUL 3
SIMPUL 4
SUMBER
TRANSMISI
PERILAKI
STATUS
PENYAKIT
PENYAKIT
MASYARAKAT
KESEHATAN
1. Parasit Wucheria bacrofi Brugia Malayi Brugia timori 2. Penderita Filariasis
1. Nyamuk Anopheles 2. Nyamuk Aedes 3. Nyamuk Culex
1. Faktor Manusia Umur Jenis Kelamin Imunitas 2. Faktor Nyamuk Siklus gonotrofik Frekuensi menggit manusia
1. Sehat 2. Sakit
FAKTOR LAIN YANG BERPENGARUH: Suhu udara, kelembaban, tempat berkembangbiakan nyamuk kebiasaan keluar rumah, pemakaian kelambu, pekerjaan.
1. SIMPUL 1 : Sumber Penyakit Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan). Penyakit filariasis adalah penyakit menular oleh karena itu sumber penyakit filariasis ini adalah penderita penyakit menular itu sendiri dan parasit nematoda jaringan. Teori simpul 1 disebut juga dengan Sumber Penyakit. Simpul 1 pada penyakit menular umumnya adalah penderita itu sendiri. Pada penyakit filariasis, sumber penyakit adalah penderita filariasis dan parasit nematoda jaringan. 2. SIMPUL 2 : Media Transmisi Penyakit Penyebaran penyakit filariasis melalui nyamuk Anopheles sp, Aedes aegypti, dan Culex yang menggigit penderita penyakit filariasis, kemudian nyamuk tersebut memindahkan penyakit filariasis ke orang sehat melalui gigitan nyamuk tersebut. Proses penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu: a. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. Manusia Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya. Hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah, oleh karena itu
juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia. (Utama, 2008) b. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis c. Manusia yang rentan terhadap filariasis Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. (Hasyim, 2008) 3. SIMPUL 3 : Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure) Agent penyakit dengan atau tanpa menunjang komponen lingkungan lain, masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal sebagai proses hubungan interaktif. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dengan konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural exposure (Achmadi, 1985). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Perilaku pemajanan pada penyakit filariasis terdiri dari faktor manusia, faktor nyamuk dan faktor agent. a. Manusia Umur Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3 atau L-3) ribuan kali. (Depkes RI, 2006). Jenis kelamin Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria, pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sring kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2006)
Imunitas Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam tubuh (Depkes RI, 2006) b. Nyamuk Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air, kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5mm, setelah 1-2hari menetas menjadi jentik, 8-10hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2hari menjadi nyamuk dewasa. (Depkes RI, 2007) Siklus Gonotrofik Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan interval mengigit nyamuk. Frekuensi Menggigit Manusia Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temepratur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam. (Depkes RI, 2007) Faktor yang penting Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor sangat penting
untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor (Depkes RI, 2006)
c. Agent Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu : 1. Wucheria bancrofti tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya
memiliki
periodisitas
nokturna,
ditularkan
oleh
nyamuk
Cx.quiquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. (DepKes RI, 2006) 2. Wuchereria bancrofti tipe Pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex . 3. Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularannya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. (DepKes RI, 2006) 4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di drah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang di temukan di hutan rimba 6. Brugia timori tipe periodik nokturna Di temukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. (DepKes RI, 2006)
4. SIMPUL 4 : Kejadian Penyakit Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang miliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Penyakit filariasis ini akan menghasilkan 2 kejadian yaitu sehat maupun sakit.
2. Kecacingan a) Pengertian Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung memberikan analisa keliru ke arah penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal (Margono, 2008).
Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis STH yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris trichuira dan Ancylostoma duodenale (Margono et al., 2006). Kecacingan ini umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan beriklim basah dimana hygiene dan sanitasinya buruk. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan pada berbagai golongan usia (WHO, 2011).
Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyai saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk silindris serta panjangnya bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih dari satu meter. Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus, dimana sebagian besar cacing dewasa melekat dengan kait oral atau lempeng pemotong. Cacing ini menyebabkan penyakit karena dapat menyebabkan kehilangan darah, iritasi dan alergi (Margono, 2008). b) Teori Simpul
Manajemen Penyakit Cacingan
Simpul 1 “Sumber (Agents) Penyakit” Parasit berupa cacing
Simpul 2 “Media Transmisi” a. Tanah
Simpul 3 “Perilaku Pemajanan” a. Pencernaan
Simpul 4 “Kejadian Penyakit” a. Diare
b. Makanan
b. Permukaan
b. Anemia
kulit
c. Malnutrisi
Simpul 5 “Topografi ; Iklim ; Institusi terkait”
1. SIMPUL 1 : Sumber Penyakit Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit
melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan). Penyakit caingan adalah penyakit menular oleh karena itu sumber penyakit cacingan ini adalah parasit nematoda jaringan yaitu berupa cacing parasite seperti taniea saginata, cacing pita dan lain-lain Teori simpul 1 disebut juga dengan Sumber Penyakit. Simpul 1 pada penyakit menular umumnya adalah penderita itu sendiri. Pada penyakit kecacingan sumber penyakit adalah penderita filariasis dan parasit nematoda jaringan. 2. SIMPUL 2 : Media Transmisi Penyakit Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Jenis-jenis cacing tersebut banyak ditemukan didaerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya. (Depkes RI, 2006) 3. SIMPUL 3 : Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure) Agent penyakit dengan atau tanpa menunjang komponen lingkungan lain, masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal sebagai proses hubungan interaktif. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dengan konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural exposure (Achmadi, 1985). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Perilaku pemajanan pada penyakit filariasis terdiri dari faktor manusia, faktor nyamuk dan faktor agent. Perilaku manusia pendorong terkena penyakit kecacingan : 1. Personal Hygine meliputi memcuci tangan, memotong dan membersihkan kuku, penggunaan alas kaki 2. Sanitasi lingkunga meliputu sanitasi sumber air, pembuangan kotoran manusia dan sanitasi makaa yang mendukun kea rah infeksi
4. SIMPUL 4 : Kejadian Penyakit Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang miliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Penyakit kecacingan ini akan menghasilkan 2 kejadian yaitu sehat maupun sakit.
C. Trasmisi parasit metazoa a. Filariasis Penyakit filariasis ditularkan dari penderita (orang yang didalam darahnya mengandung mikrofilaria) baik yang sudah dengan gejala klinik maupun yang belum kepada orang lain melalui gigitan nyamuk penularnya. Dibeberapa daerah penyakit ini dapat juga ditularkan dari binatang kebinatang, binatang kemanusia, dan dari manusia kebinatang. Sklus penularan penyakit filariasis terdiri atas dua tahap: a
Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor)
(1) Saat nyamuk (vektor) menghisap darah penderita (mikrofilaremia) beberapa mikrofilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam lambung nyamuk. (2) Beberapa saat setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepas selubung, kemudian menerobos dinding lambung menuju kerongga badan dan selanjutnya kejaringan otot toraks. (3) Didalam jaringan otot toraks, larva stadium I (L1) berkembang menjadi larva stadium II (L2) dan selanjutnya berkembang menjadi larva stadium III (L3) yang infektif. (4) Waktu untuk berkembang L1 menjadi L3 (masa inkubasi ekstrinsik) untuk wucheriria bancrofti antara 10 – 14 hari, brugia malayi dan brugia timori 7-10. (5) Mikrofilaria stadium III bergerak menuju proboscis nyamuk dan akan dipindakan ke manusia (hospes definitif) dan binatang (hospes reservoir). (6) Mikrofilaria didalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan bentuk dan tidak mengadakan perkembangbiakan. b
Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan reservoir
(1) Di dalam tubuh manusia L3 akan menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina. (2) Melalui proses kopulasi, cacing betina menghasilkan mikrofilaria yang beredar didalam darah secara periodik. Seekor cacing betina dewasa akan menghasilkan 30.000 larva setiap harinya. (3) Perkembangan L3 menjadi cacing dewas dan menghasilkan mikrofilaria untuk wucheriria bancrofti selama 9 bulan dan brgia malayi dan brugia timori selama 3 bulan. (4) Perkembangan seperti ini terjadi juga dalam tubu binatang. b. Cacingan Beberapa jenis cacing yang paling umum menyebabkan penyakit cacingan pada manusia, yaitu: 1. Cacing Pita Cacing pita atau Cestoda, dapat dikenali dari bentuknya yang tampak seperti pita yaitu pipih dengan ruas-ruas pada seluruh tubuhnya. Panjang cacing pita dewasa dapat mencapai 4,5 hingga 9 meter.Cacing pita memasuki tubuh manusia ketika tangan bersentuhan dengan tinja atau tanah yang mengandung telur cacing kemudian terbawa ke dalam mulut ketika sedang makan. Selain itu, cacing pita juga dapat masuk melalui konsumsi makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi telur cacing. Konsumsi daging babi, sapi ataupun ikan yang mentah atau dimasak kurang matang juga dapat menyebabkan masuknya cacing pita ke dalam tubuh manusia. 2. Cacing Tambang Cacing tambang dalam bentuk larva dan dewasa dapat hidup dalam usus halus manusia dan dapat menyerang binatang peliharaan, termasuk kucing dan anjing. Umumnya infeksi cacing tambang terjadi karena bersentuhan dengan tanah di lingkungan hangat dan lembap yang di dalamnya terdapat telur atau cacing tambang.Cacing tambang dewasa dengan panjang sekitar 5-13 milimeter dapat menembus kulit, misalnya melalui telapak kaki yang tidak menggunakan alas, kemudian masuk ke sirkulasi darah dan ikut terbawa ke dalam paru-paru dan tenggorokan. Jika tertelan, maka cacing akan memasuki usus. Infeksi cacing
tambang masih umum terjadi di daerah iklim tropis dan lembap dengan sanitasi lingkungan yang buruk, termasuk Indonesia. 3. Cacing Kremi Cacing kremi berwarna putih dan halus, dengan panjang sekitar 5-13 milimeter. Infeksi cacing kremi paling banyak dialami oleh anak-anak usia sekolah.Infeksi cacing kremi umumnya disebabkan oleh menelan telur cacing kremi yang sangat kecil secara tidak sengaja. Telur cacing ini sangat mudah menyebar. Bisa melalui makanan, minuman atau jari yang terkontaminasi. Telur cacing kemudian masuk ke usus dan berkembang menjadi cacing dewasa dalam beberapa minggu. Jika telur cacing mencapai anus dan digaruk, maka telur cacing dapat berpindah ke jari, lalu menyentuh permukaan benda atau orang lain. 4. Cacing Gelang Cacing ini berukuran cukup besar, dengan panjang sekitar 10 -35 cm. Cacing gelang dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui tanah yang telah terkontaminasi telur cacing. Ketika masuk ke dalam tubuh, telur akan menetas di usus, kemudian menyebar melalui pembuluh darah atau saluran getah bening ke organ tubuh lain seperti paru-paru atau empedu.
5. Pencegahan a. Fariasis a.
Pencegahan
Oleh karena vaksin untuk pencegahan belun ada, maka satu-satunya cara pencegahan adalah mencegah agar tidak digigit nyamuk. Mengingat nyamuk penularnya sangat banyak dan tersebar luas, maka upaya ini perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat dengan cara: (1) Memebersihkan got / selokan (2) Mamalihara ikan pada kolam (3) Memakai kelambu bila tidur (4) Memakai obat/cream agar tidak digigit nyamuk b.
Pemberantasan
Pemberantasan filariasis dilakukan dengan cara memutuskan rantai penularnya sehingga tidak terjadi penularan baru. Cara-cara pemberantasannya sebagai berikut: (1) Memberantas nyamuk penularnya Dalam tubuh nyamuk terjadi proses perubahan mikrofilaria yang dihisap dari darah manusia menjadi larva infektif, apabila nyamuk ini diberantas maka rantai penularan terputus sehingga tidak terjadi transmisi penyakit. Oleh karena jenis dan jumlah nyamuk sangat banyak maka sulit untuk dilakukan pemberantasan. (2) Pemberantasan mikrofilaria dan cacing dewasa Manusia merupakan salah satu sumber penularan penyakit filariasis selain monyet dan kucing dibeberapa daerah tertentu. Larva infektif yang keluar dari nyamuk dan masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang menjadi cacing jantan dan betina didalam saluran limfe. Melalui kopulasi cacing betina akan mengeluarkan ribuan mikrofilaria kedalam darah yang dapat terisap oleh nyamuk. Agar tidak terjadi penularan cacing dewasa mikrofilaria adalah dengan pemberian obat DEC dan Albendazol.
b. Cacingan Salah satu cara efektif mencegah penyakit cacingan yaitu dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Selain itu, ada beberapa langkah lain yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit cacingan, yaitu: a.
Menyimpan daging mentah dan ikan dengan baik, kemudian masak hingga matang.
b.
Mencuci buah dan sayur dengan benar sebelum dikonsumsi.
c.
Jika terkena infeksi cacing, basuh bagian anus Anda pada pagi hari untuk mengurangi jumlah telur cacing, karena cacing biasa bertelur pada malam hari.
d.
Ganti pakaian dalam dan seprei setiap hari selama terinfeksi.
e.
Cuci pakaian tidur, seprei, pakaian dalam, dan handuk dengan air panas untuk membasmi telur cacing.
f.
Hindari menggaruk daerah di sekitar anus yang gatal. Gunting kuku agar tidak ada tempat untuk telur cacing. Jangan menggigit kuku.
g.
Cuci tangan secara teratur, terutama setelah buang air, mengganti popok bayi, sebelum memasak dan sebelum makan.
h.
Hindari berjalan tanpa alas kaki dan menyentuh tanah atau pasir tanpa sarung tangan.
SOAL KELOMPOK 2 K01 Kota Riau Baru merupakan kota yang berkembang dengan pesat. Hal ini mudah dipahami karena sejak diketemukannya tambang minyak yang disedot. Perusahaan asing sangat menarik bagi pendatang. Sepertinya kota yang tumbuh dengan pesat ini dikelola secara tidak terencana dengan baik. Ada master plan RTRW namun kurang diikuti oleh pelaksana maupun warga sebagai dampaknya kemacetan dimana-mana. Kota ini juga dikelilingi oleh hutan yang setiap tahun disulap jadi kebun kelapa sawit, dan pemukiman baru. Sebelum alih fungsi perlu land clearing dengan cara dibakar, dan memang itu legal dibolehkan karena alasan hal tersebut merupakan kearifan lokal yang terjadi secara turuntemurun. Sebagai dampaknya terjadi pencemaran udara yang pada akhirnya menimbulkan berbagai penyakit akibat pencemaran udara
1. Dinamika Transmisi Penyakit Dinamika perpindahan agen penyakit dari suatu tempat ke tempat lainnya pada umumnya diperantarai oleh media-media seperti udara, tanah/pangan, serangga, air, ataupun manusia melalui kontak langsung dengan agen. Berikut adalah skematik patogenesis penyakit yang dapat menjelaskan dinamika transmisi penyakit berdasarkan teori simpul yang dikemukakan oleh Achmadi (2008).
Sumber Penyakit
Komponen Lingkungan
Penduduk
Sakit/Sehat
Media Transmisi
Variabel Lain yang Berpengaruh
Gambar 2.1. Diagram Skematik Patogenesis Penyakit Mengacu pada gambar 2.1. proses transmisi atau kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul, yaitu:
a. Simpul 1: Sumber penyakit Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agen penyakit. Agen
penyakit
dibagi
menjadi
3
jenis,
antara
lain
1)
agen
mikroorganisme/mikroba seperti virus, bakteri, parasit, dan fungi; 2) agen fisik seperti radiasi, kebisingan, dan kekuatan cahaya; 3) agen bahan kimia beracun seperti pestisida, merkuri, kadmium, CO, dan lain sebagainya. Selain itu, sumber penyakit ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu sumber penyakit alamiah misalnya gas dan debu beracun akibat letusan gunung berapi dan sumber penyakit hasil kegiatan manusia seperti hasil industri, rumah tangga, kendaraan bermotor, atau penderita penyakit menular. Parameter pada simpul 1 yaitu pengukuran pada sumber penyakitnya atau lazim dikenal sebagai pengukuran emisi. b. Simpul 2: Media transmisi penyakit Terdapat 5 komponen lingkungan yang bisa menjadi media transmisi pnyakit yang memindah agen penyakit, yaitu: 1) Udara 2) Air 3) Tanah/pangan 4) Binatang/serangga 5) Manusia (kontak langsung) Parameter pada simpul 2 yaitu pengukuran berbagai komponen penyebab sakit pada ambient (sebelum kontak dengan manusia), seperti pengukuran kualitas udara, air, makanan, dan sebagainya. c. Simpul 3: Perilaku pemajanan (behavioural exposure) Perilaku pemajanan (behavioural exposure) merupakan hubungan interaktif atau kontak antara komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit dengan manusia/penduduk (population at risk) dimana jumlah kontak tersebut dapat dipengaruhi oleh perilaku manusia itu sendiri. Parameter pada simpul 3 antara lain behavioural exposure assesment baik dengan metode noninvasif maupun dengan metode invasif.
d. Simpul 4: Kejadian penyakit Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia/penduduk, seperti gangguan kesehatan/sakit. Parameter pada simpul 4 adalah adanya kejadian penyakit, misalnya prevalensi berbagai penyakit. Berdasarkan kasus K01 dimana terjadi pencemaran udara di Kota Riau Baru yang menimbulkan berbagai penyakit akibat dari pembakaran hutan, industri, rumah tangga, dan banyaknya kendaran bermotor. Mengacu pada teori simpul, sumber penyakit atau agen penyakit (simpul 1) pada kasus tersebut adalah karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO dan NO2), hidrokarbon, belerang oksida (SO2), timah hitam (Pb), dan debu. Udara berperan sebagai media transmisi penyakit (simpul 2) pada kasus tersebut. Masyarakat Kota Riau Baru yang melakukan aktivitas di luar rumah/ruangan merupakan population at risk (simpul 3) dari pencemaran udara yang terjadi. Pencemaran udara ini menimbulkan beberapa penyakit dari yang bersifat lokal hingga sistemik, seperti asthma, bronkhitis, pneumonia, PPOK, penyakit kardiovaskuler, serta gangguan-gangguan pada organ liver dan ginjal (simpul 4). Dinamika transmisi penyakit bermula pada emisi hasil kendaraan bermotor dan pembakaran hutan berada di udara, kemudian masyarakat yang beraktivitas di luar rumah/ruangan menghirup partikel dan zat-zat tersebut, hingga menimbulkan sakit di masyarakat.
2. Variabel yang berperan dalam dinamika media dan agen penyakit Sebelum kontak dengan manusia, agen-agen penyakit mengalami beberapa proses dalam dinamikanya menuju kelompok masyarakat. Dalam kasus pencemaran udara ada beberapa variabel penentu dinamika pencemaran udara, antara lain: a. Arah dan kecepatan angin. Zat-zat dan partikel pencemar udara dibawa dan ditentukan arahnya oleh angin, terutama gas dan partikel berukuran kecil. Kecepatan angin dapat memengaruhi konsentrasi bahan pencemar udara tersebut, semakin cepat angin bertiup maka semakin terurai sehingga konsentrasinya menurun.
Perubahan bahan-bahan pencemar udara di
lingkungan menjadi tidak beracun/toksik disebut sink. Karbon monoksida merupakan zat pencemar udara yang paling sulit terdegradasi.
b. Kelembapan. SO2 dalam pencemaran udara dapat bereaksi menjadi ikatan sulfit dan sulfat yang bersifat korosif dalam kondisi kelembapan udara yang tinggi. c. Suhu. Reaksi suatu zat/bahan kimia dapat dipengaruhi oleh suhu, seperti suhu yang meningkat dapat meningkatkan kecepatan reaksi suatu bahan kimia, atau suhu yang menurun menyebabkan kelembapan relatif tinggi sehingga meningkatkan efek korosif. d. Sinar matahari. Sinar matahari dapat memengaruhi oksidan terutama O3 di atmosfer yang menyebabkan kerusakan pada bahan dan alat bangunan atau bahan-bahan yang terbuat dari karet. 3. AGEN PENYAKIT 1. Pengertian Agen Penyakit Agen atau faktor penyebab adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit atau masalah kesehatan lainnya. (Muliani, dkk., 2010) Agen penyakit dapat berupa benda hidup atau mati dan faktor mekanis, namun kadang – kadang untuk penyakit tertentu, penyebabnya tidak diketahui seperti pada penyakit ulkus peptikum, penyakit jantung coroner dan lain. (Chandra, 2006) 2. Klasifikasi Agen Penyakit Agen penyakit dapat diklasifikasikan menjadi 5 kelompok : a) Agen biologis, antara lain virus, bakteri, protozoa, jamur dan , parasite b) Agen kimiawi, dari luar tubuh (zat racun, obat, senyawa kimia) dan dari dalam tubuh (ureum, kolesterol) c) Agen Fisika, panas (luka bakar), radiasi, dingin, kelembaban, tekanan, cahaya, kebisingan d) Agen Mekanis, gesekan, benturan, irisan, tikaman, pukulan yang menimbulkan kerusakan jaringan pada tubuh host e) Agen Nutrisi, kekurangan atau kelebihan nutrisi seperti : Protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air. 3. Karakteristik Agen Penyakit Karakteristik agen penyakit yang menyebabkan dapat terjadinya penyakit, antara lain :
a) Infektivitas. Kemampuan dari organisme untuk beradaptasi sendiri terhadap lingkungan dari pejamu untuk mampu tinggal dan berkembang biak dalam jaringan pejamu b) Invasitas. Kemampuan organisme bibit penyakit untuk melakukan penetrasi dan menyebar setelah memasuki jaringan c) Patogenesitas. Kemampuan penyakit / organisme untuk menimbulkan suatu reaksi klinik khusus yang patologis setelah terjadinya infeksi pada pejamu yang diserang d) Toksisitas. Kemampuan bibit penyakit untuk memproduksi reaksi kimia yang toksis dari substansi kimia yang dibuatnya e) Virulensi. Ukuran derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh bibit penyakit. f) Antigenisitas. Kemampuan organisme bibit penyakit untuk merangsang reaksi imunologis dari pejamu. (Kasjono, dkk., 2008)
Komponen lingkungan (yang merupakan wahana penyakit) yang mengandung potensi dampak dibagi dalam kelompok: a. Kelompok Mikroba Virus, spora, bakteri, parasit, jamur, masing-masing perlu lebih dideskripsikan lagi, bagaimana mengukur jumlah kontak atau perkiraan dosisnya, misalnya hitung koloni kuman termasuk salah satu metode untuk memperkirakan exposure terhadap kuman. b. Kelompok Bahan Kimia Klasifikasi bahan kimia amat luas, misalnya jenis pestisida bisa mencapai ratusan, limbah industri, asap rokok, jenis logam berat, jenis bahan kimia ikutan sehingga diperkirakan ratusan ribu jenis bahan kimia beredar di lapangan dan masing-masing memiliki potensi bahaya kesehatan lingkungan. Untuk itu harus ditetapkan atau dipelajari bahan kimia apakah yang hendak kita pantau? c. Kelompok Fisik Radiasi, elektromagnetik, kebisingan, getaran, suhu, ultraviolet, cuaca, radiasi, dan sebagainya. Zat-zat Pencemar Udara, Sumbernya, dan Dampaknya pada Kesehatan
1. Sulfur dioksida (SO2)
sumber : pembakaran dari kegiatan rumah tangga/ domestik, pembangkit tenaga listrik, kilang minyak, pabrik baja/ logam.
Dampak : menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas, sehingga menimbulkan gejala batuk, sesak nafas (meningkatkan kasus asma)
2. Partikel debu melayang di udara (TSP, PM 10, PM 2,5)
sumber : pembakaran domestik, emisi kendaraan bermotor, pabrik gas, pembangkit tenaga listrik, kilang minyak, pabrik semen, tempat pembakaran sampah, pabrik keramik, pabrik pelebur logam.
Dampak : masuk ke dalam sistem pernafasan atas sampai ke bagian paru-paru terdalam (alveoli: tempat pertukaran gas di paru2 dan darah). Sehingga : menimbulkan infeksi saluran pernafasan atas, jantung, bronchitis, asma.
3. Hidrokarbon (HC)
sumber : emisi kendaraan bermotor, kilang minyak.
Dampak : menimbulkan iritasi pada membrane mukosa dan bila terhisap oleh paruparu akan menimbulkan luka di bagian dalam dan timbul infeksi.
4. Nitrogen oksida (NOx)
Sumber : emisi kendaraan bermotor, pabrik pengolahan asam nitrat, pabrik baja/ logam, pabrik pupuk.
dampak : keracunan gas NOx menyebabkan susah bernafas dan dapat menyebabkan kematian.
5. karbon monoksida (CO)
sumber : emisi kendaraan bermotor.
dampak : CO yang ikut dalam aliran darah akan membentuk karboksihaemoglobin (COHb). COHb merupakan senyawa yang stabil sehingga fungsi darah sebagai pengangkut oksigen terganggu. Keracunan gas CO ditandai dengan pusing/ bingung, sakit kepala, dan mual. Keadaan lebih berat berupa menurunnya kemampuan gerak tubuh, gangguan kardiovaskular, serangan jantung, sampai pada kematian.
6. Karbon dioksida (CO2)
sumber : sisa-sisa pembakaran domestik dan industri, emisi kendaraan bermotor.
7. Amoniak (NH3)
sumber : Pabrik pembuatan amoniak dan pengubahan amoniak (pabrik pupuk)
8. Klorine dan Hidrogen Klorida
sumber : pabrik clorine, pabrik alumunium, pengolahan kembali logam
9. Merkaptan
sumber : kilang minyak, pabrik pembuatan bubur kertas.
10. Hidrogen sulfide (H2S)
sumber : Pembangkit tenaga listrik, pengenceran logam, vulkanisir/ tambal ban dan kegiatan pembakaran batu bara.
11. Timah Hitam (Pb)
sumber : emisi kendaraan bermotor b. dampak : mengganggu peredaran darah, sistem saraf, ginjal, dan sistem reproduksi. Pengaruh Pb di daerah dalam dapat menimbulkan anemia. Bagi ibu yang sedang hamil Pb dapat menghambat
pertumbuhan janin, Sedangkan bagi anak-anak dapat menurunkan tingkat kecerdasan (IQ).
4. Population at Risk Population at risk adalah kelompok yang terkena risiko/kelompok yang mendapatkan ancaman penyakit lebih tinggi untuk terjadinya penyakit. Telah disebutkan bahwa pada dasarnya pengukuran dan pemantauan dampak pada manusia adalah community based. Oleh karena dalam penentuan population at risk, harus mengikuti sebaran potensi dampak (yakni komponen lingkungan yang mengandung agents penyakit/potensi dampak). Sebagai contoh adalah risiko yang bergantung pada aliran dan penyebaran air ataupun udara. Sebuah pembangkit tenaga listrik yang diperkirakan mengeluarkan polusi udara, akan mengalir kearah satu daerah. Penduduk di sekitar arah angin merupakan population at risk. Dari populasi yang telah kita definisikan kemudian kita ambil sampel menurut prosedur baku yang telah ada, yakni teknik sampling. Contoh lainnya adalah distribusi makanan yang diduga tercemar merkuri. Dalam hal ini population at risk, bisa tersebar di mana-mana, tergantung apakah penduduk tersebut makan makanan yang mengandung merkuri atau tidak. Population at risk juga dapat didasarkan pada kelompok umur, atau tempat ataupun waktu, kebiasaan yang sama. Kesamaan-kesamaan “riwayat exposure” barangkali yang amat menentukan terhadap kelompok berisiko ini. Population at risk harus didefinisikan dulu, berdasarkan berbagai faktor yang sekiranya menentukan kesamaan risiko tadi, barulah diambil sampelnya.
DINAMIKA ATAU KINETIKA PERJALANAN SUATU BAHAN TOKSIK DAN ATAU FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT Mempelajari dinamika atau kinetika perjalanan suatu bahan toksik dan atau faktor penyebab penyakit (fisik, kimia, mikroba) yang “menumpang” atau berada dalam “vehicle” atau kendaraan transmisi hingga kontak dengan manusia atau penduduk, misal bahan toksik Pb yang merupakan bahan campuran bahan bakar bensin yang di “emisikan” dari knalpot kendaraan menjadi bahan pencemar udara perkotaan dapat masuk ke dalam tubuh manusia selain langsung melalui udara juga dapat melalui makanan yang tercemar
oleh Pb, melalui air dan atau media lain, seperti tanah yang kemudian kontak dengan manusia melalui produk pertanian. Demikian pula karakteristik debu kapas, karakteristik kebisingan, karakteristik gas ataupun berbagai bahan toksik dalam lingkungan sebelum kontak dengan manusia. Bagi penyebab mikroba, perilaku atau kinetika bagaimana mikroba tersebut menumpang “vehicle”, seperti air, udara, makanan juga harus dipelajari. Misalnya sifat Legionella dalam kasus Legionellosis, dari mana serta bagaimana cara berkembang biak harus dipelajari terlebih dahulu. Bagi epidemiologis lingkungan tidak mungkin mengetahui semua sifat dan karakteristik perjalanan agents penyakit. Untuk itu yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan referensi tentang agents tertentu dari sebuah buku referensi. Teknik mencari referensi menjadi amat penting. Pemahaman tentang kinetika atau dinamika agents akan menentukan teknik mengukur atau analisis pemajanan atau “exposure assessment”.
5. Behaviour Exposure, Biotransformasi dan Kinetika Bahan Kimia Toksik dalam Tubuh, & Genetic Enviromental Health a. Behaviour Exposure Perilaku pemajanan (behaviour exposure) adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Agent penyakit dengan atau tanpa menumpang komponen lingkungan lain, masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal dengan hubungan interaktif. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural exposure. Masing-masing agent penyakit yang masuk ke dalam tubuh dengan cara-cara yang khas, yakni melalui sistem pernafasan, sistem pencernaan, dan masuk melalui permukaan kulit. Jumlah kontak setiap manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit berbeda satu sama lain, karena ditentukan oleh perilakunya. Dalam kasus K01, dijelaskan bahwa kota Riau Baru ini merupakan kota yang berkembang pesat pada bidang penambangan minyak yang menyebabkan banyak para pendatang datang kesana sehingga menimbulkan kemacetan dimana-mana,
yang kemudian merupakan salah satu sumber polusi udara. Alih fungsi lahan di kota ini juga menggunakkan metode land clearing dengan cara dibakar. Dampak dari 2 hal tersebut adalah pencemaran udara yang menyebabkan berbagai penyakit akibat pencemaran udara seperti ISPA. Dalam teori simpul, perilaku pemajanan terjadi pada simpul 3. Dalam behaviour exposure, diketahui bahwa komponen lingkungan yang mengandung potensi penyakit yaitu pencemaran udara/polusi udara yang terjadi di kota Riau Baru tersebut. Perilaku menggunakkan kendaraan berbahan bakar fosil dan membakar lahan untuk alih fungsi lahan merupakan hubungan interaktif agen penyakit menumpang pada polusi udara dan masuk ke dalam tubuh. Lokasi kota Riau Baru yang dulunya dikelilingi hutan namun sudah beralihfungsi menjadi pemukiman dan kebun kelapa sawit juga berpengaruh dalam menciptakan udara yang tidak sehat, karena hutan tersebut sudah tidak bisa menyerap CO2 yang ada dalam kota tersebut. Orang yang bekerja setiap hari di perusahaan minyak dan tepapar gas flaring serta menggunakkan kendaraan berbahan bakar fosil, dengan misal ibu rumah tangga yang ada di rumah dan terpapar asap pembakaran hutan tentu berbeda dosis paparannya satu sama lain. b. Biotransformasi dan Kinetika Bahan Kimia Toksik dalam Tubuh Biotransformasi adalah proses menetralkan/menawarkan bahan beracun menjadi tidak beracun lagi sebelum dikeluarkan oleh tubuh melalui sistem eskresi yang berupa keringat, air seni, tinja, ataupun cairan tubuh lain. Beberapa enzim melakukan tugas biotransformasi dengan prinsip mengubah dari bahan kimia yang lebih lipophilic atau fet soluble diubah bentuk menjadi yang lebih 'larut dalam air' atau water soluble. Ada dua macam fase dalam proses ini, yakni fase pertama mengubah struktur kimia dengan cara oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Kemudian fase kedua dengan reaksi konjugasi dan sintesis. Biotransformasi tidak selamanya merupakan kegiatan detoksifikasi, namun kadang dalam prosesnya bisa mengubah metabolit menjadi lebih beracun, berbahaya atau lebih toksik dikenal sebagai proses toksikasi. Secara umum benda asing tersebut semakin lipophilic semakin mudah menembus kulit, mukosa paru, dan sistem pencernaan. Secara prinsip benda-benda yang masuk bersifat lipophilic (larut dalam lemak) sehingga harus diubah bentuk menjadi lebih hydrophilic, atau lebih mudah larut
dalam air. Dengan demikian, lebih mudah dibuang melalui saluran pembuangan, misalnya saluran empedu kemudian bermuara ke dalam sistem pencernaan, dan/atau sistem saluran urin. Benda-benda yang sulit berubah dan tetap bersifat lipophilic akan berada dalam tubuh dan terjadi akumulasi, terutama organ yang memiliki lemak tinggi. Proses perubahan ini merupakan prinsip dasar upaya mengubah atau biotransformasi. Proses perubahan menggunakan mekanisme enzymatic. Proses enzymatic ini melalui hidrolisis, oksidasi, dan reduksi. Fase kedua dari proses ini adalah biosynthesis, atau membentuk bahan kimia baru yang lebih mudah larut dalam air' yang dikenal sebagai metabolit. Metabolit inilah yang sering kali, dapat diukur menjadi parameter pemajanan terhadap bahan kimia tertentu atau biomarker (Klaassen et al., 2009). Proses biotransformasi tidak selamanya bersifat detoksifikasi-menawarkan racun. Beberapa metabolit justru merupakan racun dalam tubuh manusia. Misalnya bahanbahan kimia yang carcinogenic, teratogenic, dan metabolit organophosphate. Proses biotransformasi terletak di liver. Keberadaan liver memang bertugas mengubah berbagai bahan kimia yang diterima oleh usus, baik yang ginjal, paru, usus, bahkan testis, plasenta, namun kemampuannya diperlukan oleh tubuh maupun tidak. Pada dasarnya organ lain juga memiliki kemampuan untuk melakukan biotransformasi ini, misalnya ginjal, paru, usus, bahkan testis, plasenta, namun kemampuannya terbatas. Hal ini dikenal sebagai extrahepatic biotransformation. Beberapa variabel berperan dalam proses biotransformasi, yakni umur, diet makanan dan lain sebagainya. Usia muda misalnya bayi dan anak-anak dan/atau semakin tua tentu memengaruhi proses biotransformasi, yakni menjadi lebih sensitif. Sedangkan diet, misalnya mineral deficiensi Calcium, Copper, dan Fe, Mg, Zn menurunkan kemampuan citochrome-P-450 catalyzed dan mengganggu kemampuan oksidasi dan reduksi. Demikian pula bila kekurangan vitamin C, E, dan B komplek serta protein akan menurunkan kemampuan biotransfromasi. Berbagai penyakit muncul akibat interaksi gen dengan lingkungan, setiap orang menghasilkan interaksi yang berbeda-beda, karena memang gen serta faktor lingkungan yang juga berbeda. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana lingkungan sekitar bisa mempengaruhi gen yang sudah diturunkan dari
generasi sebelumnya. Mengapa dua orang saudara kembar bisa mengalami penyakit yang berbeda padahal keduanya memiliki kesamaan DNA dan gen yang cukup besar. Berikut adalah interaksi antara gen dengan lingkungan yang bisa mempengaruhi kehidupan seorang individu secara keseluruhan: 1. Mutagen. Mutagen adalah zat asing dari luar tubuh atau lingkungan yang masuk ke dalam tubuh dan kemudian mengubah gen serta DNA, contohnya zat kimiawi dari rokok yang bisa menyebabkan kanker. 2. Interaksi antargen. Di dalam tubuh gen-gen berinteraksi satu sama lain untuk mempertahankan fungsi tubuh untuk tetap normal. Namun ketika sesuatu hal yang dapat mempengaruhi gen masuk ke dalam tubuh, maka interaksi tersebut akan terganggu. Contohnya, orang yang mengonsumsi alkohol terlalu sering dan banyak menyebabkan perubahan fungsi gen. 3. Faktor transkripsi. Transkripsi adalah proses di mana DNA disalin dan diubah ‘teks’nya menjadi RNA yang kemudian akan digunakan sebagai ‘surat tugas’ yang diberikan ke berbagai sel untuk menjalankan fungsinya. Dalam proses ini, protein sangat dibutuhkan untuk pembuatan RNA. Proses ini juga rentan akan gangguan yang mungkin saja datang dari luar tubuh atau lingkungan. Seperti pada orang yang sedang mengalami stres. Keadaan stres bisa membuat kadar protein yang dibutuhkan tubuh untuk proses transkripsi berubah. Hal ini tentu saja akan mengubah ‘surat tugas’ yang dibuat oleh DNA. 4. Epigenetik. Proses epigenetik adalah proses di mana lingkungan bisa mempengaruhi jumlah protein. Protein tidak hanya berfungsi sebagai pembentukan jaringan, tetapi pada tingkat DNA protein berperan penting untuk membuat suatu gen aktif atau tidak.
Contohnya, ketika seseorang memiliki gen kanker yang disebabkan oleh keturunan, maka gen tersebut bisa saja aktif ataupun tidak. Tergantung dengan seberapa besar paparan lingkungan untuk mengaktifkannya. Lingkungan yang mempengaruhi gen adalah lingkungan yang kurang baik untuk kesehatan secara keseluruhan, seperti misalnya zat polusi yang terlalu tinggi, asap rokok, atau bahkan kebiasaan merokok dapat mempengaruhi pembentukan gen. Tidak hanya itu, perilaku makan yang tidak sehat juga dianggap dapat mempengaruhi ekspresi gen di dalam tubuh. Dalam kasus K01 dijelaskan bahwa kota Riau Baru merupakan kota yang udaranya sudah tercemar sehingga paparan lingkungan yang tidak sehat tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit genetik seperti polusi udara mengubah gen maupun DNA menjadi penyakit kanker, serta polusi udara dapat mengaktifkan gen kanker seseorang yang disebabkan oleh keturunan.
Referensi: 1. https://www.alodokter.com/kenali-penyebab-lalu-cegah-penyakit-cacingan 2. file:///C:/Users/partini/Downloads/597-1137-1-SM.pdf 3. http://e-medis.blogspot.com/2014/02/parasitologi-jenis-parasit-dalam-ilmu.html 4. http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123091-S-5280-Faktor-faktorTinjauan%20literatur.pdf 5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57343/Chapter%20II.pdf;jsessionid =636160240FCC7E6B6CDA01F7F9AE832E?sequence=4 6. https://emedicine.medscape.com/article/217776-overview 7. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-filariasis.pdf 8. Achmadi, Umar Fahmi. Dasar-dasar penyakit berbasis lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. 9. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2008. 10. Budiarto , Eko dan Anggraeni Dewi. 2001. Pengantar Epidemiologi, ed. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 11. Chandra, Budiman. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan Komunitas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 12. Kasjono, Heru Subraris dan Heldhi B. Kristiawan. 2009. Intisari Epidemiologi.Yogyakarta : Mitra Cendekia 13. Muliani, dkk. 2010. Segitiga Epidemiologi. http://id.pdfcoke.com/doc/136 (diakses pada tanggal 4 Oktober 2014) 14. Timmreck, Thomas. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC