Potensi likuifaksi Kota Padang: Komparasi antara Prediksi dan Observasi Likuifaksi Selama Gempa Padang 2009 Sari Gempa bumi 30 September 2009 di Padang telah mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan bangunan serta korban jiwa 383 di Kota Padang. Banyak likuifaksi dan deformasi tanah yang disebabkan oleh gempa bumi adalah bukti terutama di daerah beberapa kilometer dari pantai. Makalah ini menyajikan hasil investigasi geoteknik lapangan sebelumnya tentang potensi likuifaksi dan pengamatan likuifaksi barubaru ini di Kota Padang. Peta mikrozonasi dibuat menggunakan data dari analisis potensial likuifaksi dan indeks potensial likuifaksi. Zona kerentanan likuifaksi yang diprediksi menunjukkan korelasi yang baik dengan pengamatan di lokasi. Penilaian menunjukkan bahwa kerentanan likuifaksi berkurang ke arah timur laut dari garis pantai. Terjadinya gempa besar tidak hanya dapat memicu tsunami, tetapi juga likuifaksi di daerahdaerah yang terbuat dari tanah berpasir yang longgar dengan permukaan air tanah yang dangkal. Terjadinya likuifaksi yang diinduksi oleh gempa bumi dapat mengakibatkan kerusakan infrastruktur, seperti jembatan, jalan, landasan pacu, tanggul sungai, dan bangunan, karena penyelesaian tanah, penyebaran lateral, pendidihan pasir, kehilangan daya dukung, dll.Gempa bumi (Mw = 7,6) melanda pantai barat Sumatra, mempengaruhi daerah dengan populasi sekitar 1,2 juta orang di Padang dan Pariaman. Gempa bumi mengakibatkan 383 kematian serta kerusakan signifikan di Kota Padang (Satkorlak, 2009). Korban sebagian besar disebabkan oleh keruntuhan. Ini juga memicu likuifaksi di banyak daerah aluvial daratan juga di sepanjang pantai. Penyebaran lateral, pendidihan pasir dan penyelesaian tanah banyak diamati di Kota Padang, dan di sepanjang pantai utara Teluk Padang. Namun, beberapa penyelidikan tentang terjadinya likuifaksi dan kegagalan tanah yang terkait telah dilakukan setelah gempa bumi (mis. EERI, 2009). Potensi likuifaksi bagian utara Kota Padang telah dipelajari oleh penulis setelah gempa Banda Aceh 2004, untuk tujuan kesadaran pemerintah dan masyarakat tentang bahaya agunan gempa bumi (Tohari et al., 2006). Investigasi berikutnya kemudian dilakukan untuk mencakup bagian selatan kota pada tahun 2008 (Tohari et al., 2008). Tujuan dari makalah ini adalah untuk mempresentasikan hasil penyelidikan sebelumnya dari potensi likuifaksi di Kota Padang dan untuk membandingkan hasilnya dengan fenomena liquefaction yang diamati terjadi selama gempa Padang 2009. GEOLOGI DAN TATANAN TEKTONIK Pengaturan Geologi seperti yang terlihat dari peta geologi pada Gambar 1, Kota Padang terdiri dari tiga unit geologi yang berbeda. Satuan tertua adalah batuan vulkanik Tersier (Tomv), yang ada di bukit di sebelah tenggara. Satuan tersebut terdiri dari andesit yang diubah dan termineralisasi menjadi tuf basaltik, breksi, dan lava. Mereka ditindih oleh batuan vulkanik PlioPlistocene (QTv), yang terdiri dari riolitik, dasitik dan andesit tuff, breksi dan lava. Mereka hadir di bukit di sebelah timur laut. Unit termuda adalah endapan aluvial kuarter (Qa) yang terdiri dari pasir, lumpur dan kerikil serta endapan rawa. Data lubang bor menunjukkan bahwa lapisan pasir yang rentan terhadap likuifaksi terdapat dalam endapan aluvial. Kedalaman air tanah umumnya berkisar antara 0,5 dan 5,0 m; kedalaman air tanah rata-rata dekat garis pantai adalah sekitar 1,5 m (Tohari et al., 2008). Tatanan Tektonik
Pulau Sumatra terletak di atas lempeng Asia Tenggara, yang menimpa lempeng samudera India dan Australia yang menundukkan yang konvergen sekitar 50 hingga 60 mm / tahun (Prawirodirdjo et al., 2000). Konvergensi miring dipartisi menjadi dua komponen: dip slip ditampung pada antarmuka subduksi, dan komponen strike-slip ditampung sebagian besar oleh kesalahan Sumatra (McCaffrey, 1992; Sieh dan Natawidjaja, 2000). Zona patahan Sumatra sepanjang 1900 km (SFZ) membentang di sepanjang tulang belakang Sumatera, di dalam atau di dekat busur gunung berapi aktif. SFZ sangat tersegmentasi, dan karenanya terdiri dari 19 segmen utama dengan panjang mulai dari 35 km hingga 200 km. Segmen patahan ini dipisahkan oleh lebih dari selusin diskontinuitas, dengan lebar mulai dari kurang dari 4 hingga 12 km, sebagian besar adalah stepover dilatasional (Sieh dan Natawidjaja, 2000). SFZ menimbulkan bahaya besar, khususnya untuk orang-orang yang tinggal di dan dekat jejak kesalahan aktif. Sejak 1890, sekitar 21 gempa bumi besar pecah segmen SFZ dengan besarnya berkisar 6,5-7,7 (Sieh dan Natawidjaja, 2000). KARAKTERSITIK UTAMA GEMPA BUMI 2009 PADANG Gempa Padang, dengan kekuatan 7,6 (Mw) terjadi pada hari Rabu 30 September 2009, pada pukul 5:16 malam, mempengaruhi daerah dengan populasi sekitar 1,2 juta orang, termasuk 900.000 di Padang dan 80.000 di Pariaman. Episentrum gempa bumi terletak di lepas pantai sekitar 60 km WNW Padang, pada kedalaman sekitar 80 km di dalam lempeng samudera lempeng Indo-Australia (Gambar 2). Gempa bumi menghasilkan zona pecah kompak, dengan bentuk hampir bundar dengan radius hanya 15 km (EERI, 2009). Selama gempa bumi, puncak percepatan tanah (PGA) 0,3g tercatat di stasiun geofisika, bernama PDSI, di Padang. Karena stasiun ini terletak di perbukitan Limau Manis, 12 km dari pantai dan di atas tanah yang kaku (lihat juga Gambar. 1), gerakan tanah di pusat Padang, pada endapan tanah yang lebih dalam, kemungkinan lebih besar. (EERI, 2009).
KERUSAKAN LIQUEFACTION DI KOTA PADANG Gambar 3 menunjukkan lokasi penyelesaian tanah, pendidihan pasir dan penyebaran lateral akibat gempa. Permukiman tanah dan penyebaran lateral umumnya terjadi di daerah berpenduduk hingga 5 km dari garis pantai, dengan kerusakan signifikan pada infrastruktur kota (jalan dan jembatan), perumahan dan bangunan. Banyak bangunan, yang terletak di dekat bagian depan sungai mengalami pergerakan fondasi karena penyelesaian tanah. Salah satu contoh gerakan pondasi ditunjukkan oleh bangunan kerja umum berlantai empat, yang terletak di dekat bagian depan sungai (Gambar 4). Konfigurasi bangunan berkonsentrasi deformasi lateral dan pergeseran residu pada cerita pertama. Di sekitar bangunan, pasir halus umumnya dikeluarkan dari celah-celah tanah. Permukiman tanah juga menyebabkan fondasi banyak perumahan untuk menetap hingga 1,0 m (Gambar 5). Fenomena ini diamati dengan baik di bagian utara Kota Padang, terutama di Kecamatan Koto Tangah. Penyebaran lateral terutama terjadi di daerah sepanjang rawa dan sungai, biasanya di tanggul jalan dan tanggul sungai. Salah satu contoh penyebaran lateral yang baik terlihat di jalan Samudera, yang merupakan jalan tanggul yang terletak di sepanjang Pantai Padang (Gambar 6). Kehadiran lapisan tanah
jenuh yang lemah di dasar tanggul adalah faktor penyebab utama tanggul mengalami penyebaran lateral selama gempa. EVALUASI POTENSI LIQUEFACTION SEBELUM GEMPA BUMI TAHUN 2009
Situs dan Metodologi Investigasi Pada tahun 2006 dan 2008, serangkaian investigasi geoteknis dilakukan untuk mengevaluasi dan menilai potensi likuifaksi di Kota Padang. Gambar 7 menunjukkan lokasi investigasi geoteknik lapangan. Investigasi terdiri dari pengeboran geoteknik hingga kedalaman 30 m di 6 lokasi, tes penetrasi standar (SPT) pada setiap 1,5 m di setiap lubang bor, tes penetrasi kerucut (CPT) di 40 lokasi hingga kedalaman 30 m, pemetaan kedalaman air tanah tabel, dan penentuan laboratorium distribusi ukuran butir dan berat satuan tanah. Analisis potensi pencairan kemudian dilakukan dengan menggunakan metode berbasis CPT, yang membutuhkan perhitungan dua variabel: permintaan seismik ditempatkan pada lapisan tanah, dinyatakan dalam hal rasio tekanan siklik (CSR), dan kapasitas tanah untuk menahan likuifaksi, dinyatakan dalam rasio resistensi siklik (CRR). Rasio stres siklik (CSR) didefinisikan oleh Seed dan Idriss (1971) sebagai: CSR = 0.65(amax/g)x(ovo/ovo)id Dimana amax merupakan percepatan horizontal puncak pada later interest, g merupakan percepatan gravitasi BBBBBB masing-masing merupakan stress overburden vertical total dan efektif, dan rd merupakan factor reduksi stress. Prosedur yang disederhanakan diusulkan oleh Robertson dan Wride (1998) dipekerjakan untuk menganalisis potensi likuifaksi berdasarkan data CPT. 7,6 (Mw) besarnya diukur untuk gempa Padang, dan puncak rata-rata percepatan tanah horisontal (PHGA) dari 0,40 g diperkirakan dari hubungan atenuasi (Youngs et al. 1997; Atkinson dan Boore, 2003) digunakan untuk semua analisis Potensi likuifaksi suatu lokasi dipengaruhi oleh tingkat keparahan, ketebalan dan kedalaman lapisan yang dicairkan dalam profil tanah. Untuk mengukur keparahan likuifaksi Kota Padang, digunakan indeks potensi likuifaksi dikembangkan oleh Iwasaki et. Al. (1982). Indeks potensi likuifaksi (PL) dihitung dengan persamaan berikut RUMUS di mana w (z) adalah fungsi untuk menghitung likuifaksi tanah sehubungan dengan kedalaman dan z adalah kedalaman (dalam meter). Kedalaman maksimum yang dipertimbangkan dalam analisis ini adalah 20 m. Atas dasar nilai PL, keparahan likuifaksi di lokasi ini diklasifikasikan sebagai berikut (Tabel 1) Hasil Analisis Potensi Likuifaksi Hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode empiris berbasis CPT disajikan dalam bentuk grafis untuk ditampilkan kedalaman dan ketebalan lapisan tanah yang berpotensi likuifaksi untuk penampang NW-SE untuk mewakili wilayah pesisir dan pedalaman (Gambar 8 dan 9). Lapisan yang berpotensi terlukuifaksi ditampilkan dalam garis putus-putus pada bagian ini. Semua zona yang dapat terlikuifaksi
sesuai dengan lapisan pasir lepas hingga pasir berlumpur, dan campuran kerikil dan pasir. Potongan melintang dari lapisan yang berpotensi dicairkan untuk wilayah pantai (Gambar 8) menunjukkan bahwa ketebalan lapisan yang dapat terlikuifaksi cenderung menurun ke arah tenggara, karena adanya lapisan tanah liat sebagai tanah penutup di atas lapisan pasir. Selain itu, kedalaman lapisan yang dapat terlikuifaksi menjadi dangkal. Sementara itu, dibandingkan dengan daerah pantai, lapisan yang dapat terlikuifaksi di daerah pedalaman (Gambar 9) menjadi lebih dalam dan lebih tipis ke arah tenggara karena adanya lapisan tanah berbutir halus dan lapisan pasir yang lebih padat. Dengan demikian, potensi likuifaksi menjadi kurang jelas ke arah bagian tenggara Kota Padang. Mikrozonasi Kerentanan Pencairan Berdasarkan nilai indeks potensi likuifaksi (PL) dan klasifikasi kerentanan likuifaksi yang ditunjukkan pada Tabel 1, dibuat peta kerentanan likuifaksi umum untuk Kota Padang (Gambar 10). Seperti terlihat pada gambar ini, area penelitian dibagi menjadi tiga zona dari kerentanan likuifaksi rendah hingga sangat tinggi. Daerah kerentanan yang sangat tinggi berkonsentrasi di sepanjang garis pantai. Luas wilayah ini lebih besar di bagian barat laut daripada di bagian tenggara kota. Kerentanan likuifaksi juga berkurang ke arah timur laut dari garis pantai. Gambar 10 juga menyajikan plot dari semua lokasi pencairan yang dapat diamati (mis., Penurunan tanah, pendidihan pasir, dan penyebaran lateral) akibat gempa Padang tahun 2009. Jelas bahwa ada kesepakatan yang baik antara zona yang diprediksi dan lokasi yang diamati setelah gempa bumi. Secara khusus, Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara, Padang Timur dan Padang Selatan, di mana pendidihan pasir, penurunan permukaan tanah dan penyebaran lateral diamati, jatuh ke zona kerentanan kerentanan likuifaksi tinggi hingga sangat tinggi. Berdasarkan hasil saat ini, zona potensial likuifaksi, berdasarkan PHGA yang dihitung 0,4 g, termasuk tidak hanya sebagian besar situs yang terlukuifaksi tetapi juga situs yang tidak terlikuifaksi, menunjukkan PHGA lebih rendah pada lapisan tanah lunak di kota, karena efek situs lokal termasuk perilaku tanah non-linear yang kuat. Faktor-faktor seperti stratifikasi tanah dan variasi kekakuan tanah diyakini menghasilkan respons tanah yang tidak linier terhadap gelombang gempa. Berdasarkan penyelidikan bawah permukaan sebelumnya (Tohari et al., 2008), situs-situs yang tidak terlikuifaksi terdiri dari lapisan tanah liat setebal 3 m, seperti tanah atas, yang menutupi lapisan pasir padat. Perbedaan antara fenomena likuifaksi yang diamati dan yang diprediksi juga menunjukkan pentingnya mikrozonasi bahaya seismik untuk menentukan percepatan tanah di setiap lokasi, dengan mempertimbangkan efek lokasi spesifik. Berdasarkan data geoteknik dan informasi yang tersedia dari pengamatan situs setelah gempa Padang 2009, potensi pencairan Kota Padang dievaluasi. Peta potensi likuifaksi yang dibuat dibandingkan dengan area yang terpengaruh likuifaksi. Kesimpulan utama adalah: Likuifaksi di Kota Padang tampaknya telah terjadi terutama di dalam deposit aluvial kuarter pada kedalaman yang dangkal. Wilayah utama likuifaksi dan deformasi tanah terkait terutama terletak di sepanjang garis pantai dan terkait dengan pasir aluvial. Peta mikrozonasi kerentanan likuifaksi untuk Kota Padang disiapkan. Peta kerentanan menunjukkan korelasi yang baik dengan pengamatan lapangan yang dilakukan setelah gempa bumi tahun 2009. Menjelang bagian timur laut kota, kerentanan lapisan tanah terhadap likuifaksi menjadi sangat rendah, karena keberadaan pasir padat untuk pasir kerikil, atau adanya lapisan tebal tanah yang terdegradasi
sebagai tanah penutup. Investigasi bawah permukaan lebih lanjut masih diperlukan untuk mengklarifikasi pengaruh efek lokasi pada kerentanan wilayah Kota Padang terhadap pencairan. Para penulis mengakui dukungan dari Pusat Penelitian Geoteknologi-Institut Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA). Dukungan ini memungkinkan investigasi lapangan terhadap potensi likuifaksi pada 2006 dan 2008, dan pengamatan lapangan terhadap fenomena likuifaksi di Padang setelah gempa 30 September