PAPER TERKAIT WAYANG POTEHI, BUDAYA NENEK MOYANG YANG DIPADUKAN DENGAN KEARIFAN LOKAL MATA KULIAH KEBUDAYAAN INDONESIA
Dosen Pengampu : Faizatush Solikhah, M.A Disusun Oleh :
Ananda Putri Sunarto
(18/425889/SV/15031)
Desi Ristiyani
(18/425894/SV/15036)
PROGRAM STUDI D3 KEARSIPAN DEPARTEMEN BAHASA SENI DAN MANAJEMEN BUDAYA SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2018
0
DAFTAR ISI DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..1 BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..2 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………….3 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………………...3 1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………..3 BAB II ISI……………………………………………………………………..........................4 2.1 Pengertian Wayang Potehi……………………....................................................................4 2.2 Awal Masuk Wayang Potehi…………………………………………………….................4 2.3 Perjalanan Wayang Potehi di Indonesia………………………............................................5 2.4 Proses Akulturasi Budaya.....................................................................................................7 2.5 Lakon yang dilakukan Wayang.............................................................................................8 BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………....9 3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………...9 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..11
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu wilayah kepulauan terbesar di dunia, maka, tak heran banyak sekali pulau yang tentu saja memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Kebudayaan antara wilayah satu dengan yang lain berbeda dan memiliki ciri khasnya sendiri yang bisa dijadikan sebagai ikon daerah tersebut, kadang juga bisa dijadikan sebagai daya tarik bagi para wisatawan sehingga pemasukan itu dapat dimasukan sebagai kas daerah. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global (budaya yang lebih luas), yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Misalnya kebudayaan di daerah jawa barat, kita ambil contoh wayang golek yang merupakan budaya paling terkenal dan tokoh dalam wayang tersebut seringkali dijadikan ikon oleh Kota Bandung saat digelar acara kesenian, yakni cepot. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa. Kebudayaan Indonesia juga kadang berakulturasi dengan kebudayaan luar yang menjadikan suatu kebudayaan baru yang unik dan menarik. Hal ini disebabkan oleh wilayah Indonesia yang dulu merupakan pelabuhan dagang internasional, karena itu banyak orang dari berbagai macam belahan dunia datang. Mereka yang singgah, beberapa mulai jatuh cinta dengan orang-orang pribumi dan menyatukan kebudayaan nenek moyang mereka dengan
2
kebudayaan asli Indonesia sehingga menimbulkan suatu kebudayaan yang baru dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Contohnya adalah wayang potehi, budaya tionghoa dan budaya Indonesia ini menjadi acara yang unik dan menarik, selalu dipentaskan ketika tahun baru china di Indonesia dengan cerita-cerita yang menghibur dan selalu dilestarikan generasi demi generasi.
1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian wayang potehi ? 2. Kapan awal masuk wayang potehi ? 3. Bagaimana perjalanan wayang potehi di Indonesia ? 4. Bagaimana proses akulturasi budaya yang terjadi ? 5. Seperti apa lakon yang dilakukan dari masing-masing wayang ?
1.2 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui Pengertian Wayang Potehi 2. Mengetahui Awal Masuk Wayang Potehi 3. Mengetahui Bagaimana Perjalanan Wayang Potehi 4. Mengetahui Bagaimana Proses Akulturasi Budaya yang terjadi 5. Mengetahui Seperti Apa Lakon yang Dilakukan dari masing-masing Wayang
3
BAB II ISI 2.1 Pengertian Wayang Potehi Menurut 1Groenandel (1987) wayang mengandung sejumlah Pengertian pertama ialah gambaran tentang suatu tokoh , boneka, lebih tegas lagi adalah boneka pertunjukkan wayang. Pengertian ini kemudian diperluas sehingga meliputi juga pertunjukkan yang dimainkan dengan boneka-boneka tersebut, demikian pula lebih luas lagi ialah bentuk bentuk seni drama tertentu. Menurut 2Dwi Woro Mastuti (2004) dalam penelitiannya potehi berasal 3 suku kata bahasa mandarin yaitu poo, tay dan hie. Poo berarti kain, tay berarti kantung, hie berarti wayang. Pertama kali pertunjukan wayang potehi yang ditampilkan oleh para encik. Encik adalah sebutan bagi dalang wayang potehi yang asli Tionghoa dan tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia pada waktu itu. Para encik tersebut menggunakan bahasa hokkian yang berasal dari daerah Fujian di dataran Cina. Awal dari pertunjukan wayang potehi menggunakan bahasa Tionghoa sehingga menarik penonton di sekitar klenteng untuk melihat pertunjukan. 3
Maskurin (2014) menyatakan bahwa boneka potehi terbuat dari kayu diukir
berdasarkan tokoh karakter wayang yang berbeda-beda. Wayang yang berbentuk boneka dengan tinggi sekitar 30 cm ini hanya melakukan pertunjukan di klenteng – klenteng tertentu. Pertunjukan tersebut dilakukan sebagai fungsi ritual untuk menghormati arwah leluhur. Pasca orde baru, peraturan tersebut dicabut oleh Pemerintah Indonesia dengan alasan nasionalisme dan kehidupan multikultural. Etnis Tionghoa sebagai subjek yang terbatas karena peraturan tersebut mulai mengembangkan diri dengan memasuki bidang – bidang lainnya seperti politik dan sosial. Berakhirnya masa orde baru menjadi peluang bagi etnis Tionghoa untuk mengurangi stigma negatif masyarakat. Proses sosialisasi dengan masyarakat menjadi lebih mudah sehingga kebudayaan etnis Tionghoa mulai diterima dan dikembangkan. 2.2 Awal Masuk Wayang Potehi Perubahan dinasti abad 13 di Cina membuat sebagian etnis Tionghoa berlayar menuju Indonesia. Pada abad ke 14, orang – orang Tionghoa datang ke Indonesia sejak masa kerajaan.
1
Groenandel (1987) Dwi Woro Mastuti (2004) 3 Maskurin (2014) 2
4
Kedatangan etnis Tionghoa kala itu membuka hal baru dalam bidang perdagangan. Salah satu utusan yang dikirim ke Indonesia yakni Laksmana Cheng Ho melakukan perjalanan dengan menulis catatan perjalanan. Banyak orang terutama yang mengerti sejarah bahwa catatan Laksamana Cheng Ho ini memiliki banyak hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia di masa lampau yang dapat dijadikan sebagai acuan penelitian. Pada catatan perjalanan tersebut tercatat bahwa etnis Tionghoa yang beragama islam terdapat di sepanjang bantaran sungai brantas. Hubungan antara etnis Tionghoa dan Jawa pada masa kerajaan dikatakan cukup baik. Para imigran Tionghoa di Jawa mayoritas berasal dari Provinsi Hokkian, dapat diartikan bahwa imigran Tionghoa di Indonesia menjadi faktor pembawa kesenian wayang potehi ke Indonesia. 2.3 Perjalanan Wayang Potehi di Indonesia Pada masa kolonial, sistem apartheid yang diterapkan Pemerintahan Belanda menyebabkan diskriminasi antara etnis Tionghoa dan warga Negara Indonesia. Pemerintahan Belanda meletakkan derajat etnis Tionghoa di atas warga Negara Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan perubahan pola pikir masyarakat Indonesia kepada etnis Tionghoa. Stigma negatif mulai muncul akibat dari perbedaan hak – hak yang diberikan Pemerintahan Belanda kepada etnis Tionghoa dan warga Negara Indonesia. Stigma tersebut berlangsung cukup lama. Setelah masa kolonial berakhir, paska kemerdekaan Indonesia, kehidupan etnis Tionghoa mengalami keterbatasan. Pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto mengeluarkan peraturan pelarangan adanya perayaan hingga segala atribut yang berhubungan dengan etnis Tionghoa. Peraturan tersebut menimbulkan etnis Tionghoa tidak dapat bergerak secara bebas. Pada masa orde baru larangan akan segala hal berbau Tionghoa membuat etnis Tionghoa melindungi dirinya termasuk budayanya. Hingga saat ini, pagelaran wayang potehi yang berada di Klenteng bersifat sakral karena ditujukan untuk para dewa. 4
Soekisman (1975) menjelaskan bahwa satu hal yang biasanya dipertahankan oleh etnis
Tionghoa adalah hubungan kebudayaannya dengan negeri leluhurnya. Mayoritas orang Tionghoa memelihara dengan baik kebudayaan aslinya sehingga dipelosok-pelosok dunia yang terdapat masyarakat Tionghoa tentu terdapat Pe-Cina-an atau Pecinan atau Cina Town. 5Sugiri Sutedja (2012) dalam jurnal sosioteknologi menambahkan pemusatan komunitas etnis di 4 5
Soekisman (1975) Sugiri Sudteja (2012)
5
Pecinan menimbulkan rasa kebersamaan sesama etnis menjadi lebih solid, solidaritas, dan kesadaran kelompok yang eksklusif. Kondisi konsentrasi kelompok etnis Tionghoa dalam ruang urban serba terbatas menjadikannya hanya memungkinkan kegiatan dalam bidang perdagangan saja. Pertama kali kehadirannya di Indonesia, wayang potehi dimainkan dengan menggunakan bahasa Hokkian. Menurut seorang narasumber yaitu Bapak Sugiyo, dalang Potehi dari grup Fu Ho An asal Jawa Timur, penyebutan Potehi menjadi wayang potehi dikarenakan ketika pertunjukkan ini dipentaskan di kalangan masyarakat Indonesia, mereka merasa bahwa pertunjukan Potehi ini mirip seperti wayang golek, oleh karena itu akhirnya kata wayang ditambahkan di depan Potehi, menjadi wayang Potehi. Mulai dari bagian ini dan seterusnya penulis akan menggunakan penyebutan wayang Potehi untuk Budaixi yang dipertunjukkan di Indonesia. Pada mulanya, wayang Potehi dimainkan oleh orang Cina asli menggunakan dialek Hokkian. Seiring perjalanan waktu, terjadi pernikahan antara dalang wayang Potehi yang merupakan orang Cina asli atau totok dengan masyarakat pribumi mengakibatkan terjadinya proses akulturasi, yang menghasilkan keturunan Cina peranakan. Hal ini berakibat pada kemampuan Bahasa Cina dalang yang berasal dari kaum peranakan ini menjadi tidak sebaik para dalang generasi pertama atau bahkan mereka sudah tidak bisa berbahasa Cina lagi, khususnya dialek Hokkian. Oleh sebab itu maka pertunjukkan Wayang Potehi ini mulai mencoba menggunakan Bahasa Indonesia, namun tidak sepenuhnya terlepas dari
“suluk” nya. Lakon yang disuguhkan pun mulai menyatu dengan budaya
Indonesia. Para dalang peranakan mulai memasukkan cerita yang mereka tulis, membuat lakon wayang Potehi semakin kaya dan berwarna. Di Indonesia, masyarakat Cina tidak hanya bekerja keras untuk mempertahankan budaya Cina sendiri dan membangun sistem budaya, mereka juga mencoba untuk membaur ke dalam sistem budaya lokal, dan membuat produk budaya khusus milik Cina-Indonesia, seperti pengembangan berbagai ukiran, lukisan, musik, tari dan drama 6 (Cai, 2015:70). Salah satu produk budaya Cina yang masuk dan berkembang di Indonesia adalah wayang Potehi. Wayang Potehi mulai masuk dan menyebar ke kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya dan daerah pelabuhan lainnya, lalu perlahan-lahan mulai berpindah ke daerah Gudo, Jombang, Tulung Agung, Kediri, Blitar dan daerah pedalaman lainnya.
6
Cai, 2015:70
6
2.4 Proses Akulturasi Budaya Pada mulanya pertunjukkan wayang Potehi dimainkan oleh dalang yang merupakan warga asli Cina dan disampaikan dengan menggunakan bahasa Hokkian dari awal hingga akhir. Namun seiring dengan perkembangan zaman, adanya pernikahan campur antara warga Cina dan pribumi, serta mulai adanya warga pribumi yang tertarik untuk mempelajari seni mendalang wayang Potehi, maka lambat laun penggunaan dialek Hokkian dalam pertunjukkan semakin berkurang. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah sempat melarang penggunaan bahasa Cina dalam pertunjukkan wayang Potehi, karena takut mengandung makna-makna terselubung berupa propaganda untuk menentang pemerintahan. Pada tahun 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres nomor 14 tahun 1967 yang berisi pelarangan penggunaan bahasa Cina, maupun pertunjukkan seni, serta upacara-upacara tradisi Cina dilakukan di ruang publik. Hal ini juga mengakibatkan berkurangnya orang yang ingin belajar mendalang, sehingga eksistensi wayang Potehi mulai meredup. Hal tersebut terus berlangsung sampai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengeluarkan Keppres nomor 6 tahun 2000. Keppres ini berisi pencabutan Keppres yang dibuat oleh Presiden Soeharto mengenai kebudayaan etnis Cina. Sejak dikeluarkannya Keppers nomor 6 tahun 2000, pertunjukan wayang Potehi pulih secara perlahan, mendapat perhatian, serta mulai berkembang lagi. Sejak tahun 2000 mulai bermunculan lagi orang-orang pribumi yang ingin belajar mendalang, lagipula penerus dalang-dalang wayang Potehi dari generasi sebelumnya masih ada dan mendalang lagi. Namun bobot ilmu mendalang dan kemahiran bahasa Cina masih sangat kurang dibandingkan dengan para pendahulunya, maka dari itu lambat laun pertunjukkan wayang Potehi mulai mencoba menggunakan bahasa Indonesia yang lebih dimengerti oleh masyarakat, tapi tetap tanpa meninggalkan penggunaan “suluk” yang menggunakan bahasa Cina (dalam hal ini menggunakan dialek Hokkian). Di Indonesia, pertunjukkan wayang Potehi awalnya juga menggunakan kisah sastra klasik Cina, namun saat ini lama-kelamaan para dalang memiliki sebuah “tantangan” dan mencoba untuk menyesuaikan dengan tema dan permintaan dari pihak yang mengundang mereka untuk pentas. Akulturasi menunjuk pada perubahan yang dialami oleh seseorang akibat kontak dengan budaya lainnya sekaligus akibat keikutsertaan dalam proses yang
7
memungkinkan budaya dan kelompok etnis menyesuaikan diri dengan budaya lainnya 7
(Usman, A. Rani, 2009:47).
2.5 Lakon yang dilakukan Wayang Dalam pertunjukkan wayang Potehi terdapat tiga komponen yang penting, yakni bahasa, lakon, dan alat musik.Dari segi bahasa, pertunjukkan wayang Potehi mengalami proses akulturasi yang sangat signifikan. Bisa dikatakan demikian, karena seperti yang sudah dijelaskan di sub-bagian sebelumnya, bahwa pertunjukkan wayang Potehi yang awal mulanya dimainkan dengan menggunakan dialek Hokkian, lambat laun berubah, mulai menggunakan Bahasa Indonesia dalam penyampaiannya. Alat musik yang dimainkan pada saat pertunjukkan, tidak banyak mengalami perubahan dan akulturasi. Setiap pertunjukkan wayang Potehi diselenggarakan, masih menggunakan alat musik tradisional Cina yaitu : 鑼(luó ) gembreng/gong, 鑔 (chǎ ) kecer/simbal, 笛仔(dí zǐ ) suling, 月琴 (yuèqín) gitar, 絃仔 (xiánzǐ) rebab, 鼓 (gǔ) drum, dan 噯 仔 (āizǐ)terompet. Dari segi lakon, walaupun sekarang lakon yang dimainkan dalam wayang Potehi mulai disesuaikan dengan permintaan orang yang “mengundang”, dari sini dapat dilihat bahwa proses akulturasi dalam segi lakon wayang Potehi di Indonesia tidak begitu besar, walau bisa dikatakan saat ini lakon yang dipentaskan dapat disesuaikan dengan tema-tema tertentu, sesuai dengan permintaan, tapi tidak secara menyeluruh terlepas kisah-kisah yang berasal dari Cina. Wayang Potehi yang dipentaskan pada acara Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta adalah bukti bahwa lakon wayang potehi tersebut telah tersebar di Indonesia dan sudah mengalami proses yang sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan di Indonesia yang menjadi sebuah ikon untuk masyarakat tionghoa di Indonesia.
7
Usman, A. Rani, 2009:47
8
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Keberadaan masyarakat peranakan Cina telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, termasuk dalam hal kesenian tradisionalnya yang ikut memberi keragaman dalam budaya nusantara. Perpaduan unsur budaya asal daratan Cina dengan karakter budaya nusantara menghadirkan keunikan tersendiri dalam tradisi yang berkembang dalam masyarakat peranakan Cina di Indonesia. Keunikan ini sangat terasa dalam seni pertunjukan tradisional yaitu wayang Potehi. Wayang Potehi berasal dari provinsi Fujian di bagian selatan Cina dan telah berkembang selama kurang lebih 3.000 tahun. Kesenian ini diperkirakan masuk ke nusantara bersama dengan ekspedisi perdagangan sekitar abad ke-16. Masyarakat Cina yang berekspedisi di nusantara, selain untuk berdagang juga mencoba untuk membaur ke dalam sistem budaya lokal, baik itu dalam bidang kesenian, kebudayaan, dan lain-lain, termasuk memperkenalkan kesenian wayang Potehi kepada masyarakat nusantara. Potehi dalam bahasa Mandarin disebut 布袋戏 Bùdàixì yang berarti Bù= kain, dài= kantong, dan xì=pertunjukkan, yang secara harfiah berarti pertunjukkan boneka yang terbuat dari kantong kain. Dalam dialek Hokkian disebut Pootayhie atau Potehi. Wayang Potehi dimainkan oleh seorang dalang dan 3 orang musisi di dalam sebuah panggung berbentuk kotak berukuran sekitar 3×5 meter, yang mirip sebuah panggung boneka. Wayang Potehi ini memiliki keunggulan dalam hal corak dan warna rupanya yang hampir mirip seperti manusia. Keistimewaan lainnya yaitu, sebuah wayang Potehi tidak hanya mewakili satu karakter saja, melainkan bisa menjadi tokoh lain, hal ini dikarenakan busana dan aksesori kepala dari wayang yang bisa dibongkar-pasang, disesuaikan dengan lakon yang akan dipentaskan. Ada tiga komponen yang penting dalam pertunjukkan wayang Potehi, yakni bahasa, lakon, dan alat musik. Dari segi bahasa, pertunjukkan wayang Potehi mengalami proses akulturasi yang sangat signifikan. Pada mulanya, pertunjukan wayang Potehi ini dimainkan dengan menggunakan dialek Hokkian, namun seiring berjalannya waktu, karena sudah tidak ada lagi dalang yang memiliki kemampuan bahasa Cina sebaik generasi sebelumnya, maka pertunjukkan wayang Potehi ini mulai menggunakan bahasa Indonesia. Alat musik yang
9
dimainkan pada saat pertunjukkan juga tidak banyak mengalami perubahan akulturasi. Di setiap pertunjukkan, para pemusik masih menggunakan alat musik tradisional Cina seperti : 鑼 (luó) gembreng/gong, 鑔 (chǎ) kecer/simbal, 笛仔 (dízǐ) suling, 月琴 (yuèqín) gitar, 絃仔 (xiánzǐ) rebab, 鼓 (gǔ) drum, dan 噯 仔 (āizǐ) terompet. Lakon yang sering dimainkan di Indonesia adalah lakon yang berasal dari kisah klasik kesusastraan Cina seperti Perjalanan ke Barat (西游记; Xīyóu jì), Legenda Ular Putih (白蛇 故 事 ; Báishé gùshì), dan lain-lain. Sekarang para dalang sudah mulai mencoba untuk menyesuaikan dengan tema acara dan permintaan dari pihak yang mengundang mereka untuk pentas. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan kembali bahwa dari ketiga komponen penting tersebut, bahasa mendapatkan pengaruh terbesar dari terjadinya proses akulturasi tersebut. Sementara itu, dari segi lakon yang dipentaskan serta alat musik yang dimainkan pada saat pertunjukkan tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Kesenian ini juga sempat mengalami pasang dan surut sepanjang perjalanan sejarahnya di nusantara. Di masa pemerintahan Presiden Soekarno, kehadiran wayang potehi cukup populer di tengah masyarakat, namun pada awal era pemerintahan Orde Baru, seni wayang ini seakan menghilang dari kehidupan masyarakat. Pada masa itu, wayang Potehi hanya dipertunjukkan di kalangan terbatas saja, namun seiring berjalannya waktu serta berakhirnya pemerintahan Orde Baru, wayang Potehi lambat laun mulai muncul lagi dan mencoba mempertahankan eksistensinya di dalam kehidupan masyarakat nusantara.Di dalam setiap pertunjukkan wayang Potehi, seorang dalang memegang peranan yang penting. Seorang dalang bukan hanya bertugas untuk memainkan wayang saja, tetapi juga menyiapkan berbagai keperluan berjalannya pertunjukkan seperti cerita dan lakon apa yang akan dimainkan serta membawakan cerita dengan baik. Meskipun sang dalang bisa menjelaskan proses pertunjukkan wayang Potehi dengan cukup detail dan segala keperluan untuk berjalannya pertunjukkan, namun ia tidak begitu memahami apa makna dibalik ungkapan-ungkapan bahasa Cina yang diucapkan saat pementasan wayang Potehi, dikarenakan kemampuan bahasa Cina yang tidak sebaik dalang-dalang di generasi sebelumnya.
10
Daftar Pustaka
B. Soelarto, S. Ilmi Albiladiyah. 1980. Wayang Cina - Jawa di Yogyakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan Gondomono.1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah; Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara, Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Liem, Yusiu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Penerbit Djambatan bekerja sama dengan Penerbit Pena Klasik Usman, A. Rani. 2009. Etnis Cina Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah PSH. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota Ikapi Ham, Ong Hok. 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Disunting oleh JJ Rizal. Depok: Komunitas Bambu Mastuti, Dwi Woro Retno. 2014. Wayang Potehi Gudo. Jakarta: PT. Sinar Harapan Persada dan PT. Aksara Warta Mandarin (Indonesia Shangbao) 蔡宗德 (Cai Zongde) . 2015. 印度尼西 亚华人布袋戏的历 史、演出形态与音乐 (Sejarah, tampilan bentuk dan musik pertunjukkan boneka Budaixi Cina Indonesia).中央音乐学院学报 2015 年 第 2 期 (Journal of the Central Conservatory of Music)
11