MODUL FIELD LAB SEMESTER VI EDISI REVISI VII
KIE: PEMBINAAN POSYANDU LANSIA GUNA PELAYANAN KESEHATAN LANSIA
Disusun oleh : TIM FIELD LAB
FIELD LAB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2019 1
TIM REVISI: Ketua : Balgis, dr.,MSc,CM,FM Anggota : Siti Munawaroh, dr.,MMedEd Rizal Gustamy
Ucapan Terima Kasih Kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Puskesmas Gondangrejo Puskesmas Tasikmadu Puskesmas Tawangmangu Puskesmas Kerjo Puskesmas Jaten 2 Puskesmas Wonogiri 1 Puskesmas Nogosari Puskesmas Cepogo Puskesmas Teras Puskesmas Banyudono 2 Puskesmas Sukoharjo Puskesmas Bendosari Puskesmas Mojolaban Puskesmas Wonosari 1 Puskesmas Trucuk 1 Puskesmas Juwiring Puskesmas Plupuh 2 Puskesmas Tanon 2 Puskesmas Mondokan Puskesmas Gesi
ISBN. 978-602-1657-25-6
PENERBIT : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Jln. Ir Sutami No. 36A Kentingan Surakarta Telp. 0271 – 6641178, Fax. 0271 634700
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur Tim Penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya modul Field Lab dengan topik KIE: Pembinaan Posyandu Lansia Guna Pelayanan Kesehatan Lansia. Topik Field Lab ini dikembangkan sebagai tuntutan kebutuhan materi pendidikan kedokteran komunitas yang akhir-akhir muncul fenomena meningkatnya jumlah kelompok Lansia baik yang potensial maupun yang sudah menderita berbagai penyakit.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu bentuk modul
pembelajaran yang mendukung tercapainya kompetensi mahasiswa kedokteran dalam hal penyuluhan kesehatan komunitas khususnya pada penyakit degeneratif pada Lansia. Akhir kata tim revisi modul Field Lab ini menghaturkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah berkenan membantu dalam penyusunan, penyempurnaan dan penerbitan modul ini.
Surakarta,
Tim Penyusun
3
Februari 2019
ETIKA DAN PERATURAN PELAKSANAAN DI PUSKESMAS 1. Mahasiswa wajib mematuhi tata tertib dan peraturan Puskesmas 2. Mahasiswa wajib mematuhi arahan dari Kepala Puskesmas atau Pembimbing Lapangan 3. Hal yang harus diperhatikan dalam berpakaian :
4. 5. 6. 7.
8.
9.
a. Memakai kemeja warna putih dan jas almamater biru. b. Laki-laki memakai celana panjang hitam bahan (non jeans) c. Perempuan memakai celana/rok hitam panjang bahan (non jeans), tidak boleh bercelana ketat. d. Tidak diperkenankan memakai perhiasan dan aksesoris yang mencolok e. Menggunakan sepatu dengan berkaos kaki bukan alas kaki lainnya (sandal, crocs, dll) Mahasiswa sebelum pelaksanaan Field Lab diharuskan berkoordinasi dengan Kepala Puskesmas secara sopan dan memerhatikan waktu Kedatangan kelompok mahasiswa wajib tepat waktu sesuai kesepakatan dengan puskesmas Mahasiswa dilarang atau tidak boleh menawar jumlah kegiatan lapangan, tiga kali lapangan menjadi dua kali lapangan kecuali pihak Puskesmas yang menghendaki. Apabila pihak Puskesmas menghendaki perubahan jumlah kegiatan lapangan seperti pada nomor 6 (enam), wajib ada surat pemberitahuan resmi (ber kop Puskesmas, tanda tangan Ka Puskes & berstempel) ke Unit Field Lab disertai dengan alasannya. Hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan: a. Menjaga tingkah laku dan menggunakan bahasa yang sopan setiap kegiatan di puskesmas atau di masyarakat b. Selalu menghormati staf dan pengunjung puskesmas c. Dilarang mempublikasi foto-foto yang menyangkut privasi pasien di media sosial d. Jadwal pelaksanaan Field Lab bisa berubah dengan permintaan dari pihak puskesmas di luar dari jadwal akademik mahasiswa dan dimohon memberikan surat konfirmasi perpindahan jadwal kepada pihak Field Lab Selalu menjaga nama baik almamater Universitas Sebelas Maret
10. Pelanggaran etika dan peraturan pelaksanaan di Puskesmas akan diberi sanksi
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
3
ETIKA DAN PERATURAN PELAKSANAAN DI PUSKESMAS ...............
4
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
5
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................
6
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................
7
BAB II
STRATEGI PEMBELAJARAN ..............................................................
12
BAB III
METODE & PROSEDUR KERJA ..........................................................
15
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
53
5
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Refleksi akhir kegiatan Fieldlab .....................................................
3
LAMPIRAN 2. Kegiatan Fieldlab Topik KIE Posyandu Lansia..............................
49
6
BAB I PENDAHULUAN
A.
Definisi Field lab merupakan salah satu metode pembelajaran lapangan yang diterapkan oleh
FK UNS dengan tujuan agar mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar dan mentransformasikan teori dengan kegiatan praktik di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Topik kie: pembinaan posyandu lansia Guna pelayanan kesehatan lansia merupakan topik kegiatan lapangan yang kesepuluh dimana mahasiswa yang ada dalam kegiatan ini adalah mahasiswa semester Enam. Topik field lab yang telah dilalui adalah: a. Keterampilan pemantauan status gizi balita dan ibu hamil b. Keterampilan imunisasi c. Program pengendalian penyakit menular: demam berdarah dengue d. Keterampilan Penanggulangan tuberkulosis e. Kesehatan Reproduksi f. Infeksi Menular Seksual g. Pembinaan UKS, kesehatan Jiwa dan NAPZA h. Komunikasi Informasi dan Edukasi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) i. Keterampilan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Pada topik kie: pembinaan posyandu lansia Guna pelayanan kesehatan lansia ini didefinisikan sebagai suatu metode pembelajaran laboratorium lapangan yang melatih mahasiswa untuk Mampu melakukan peran dan fungsi posyandu lansia, mampu melakukan pengisian dan penggunaan KMS lansia, melakukan pembinaan tentang kelainan-kelainan yang sering terjadi pada lansia beserta pencegahan dan pengobatannya, melakukan konsultasi tatalaksana Diet Lansia dan pola hidup sehat Lansia, melakukan penyuluhan kesehatan komunitas tentang manfaat Posyandu Lansia dalam meningkatkan kesehatan Lansia, melakukan pengumpulan dan analisis data tentang program posyandu, prevalensi penyakit yang diderita lansia, serta upaya kuratif dan rehabilitatif ,melakukan penilaian status depresi lansia dengan menggunakan GDS (Geriatric Depression Scale) dan MMSE (Mini Mental State Examination) dan mampu melakukan pengamatan dan penilaian pada posyandu lansia setempat dengan standar program posyandu lansia.
7
B. Latar Belakang Penduduk
usia lanjut (yang kemudian disingkat lansia) merupakan bagian
masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita. Siapapun pasti akan mengalami masa fase lansia tersebut. Menurut
data Pusat Statistik, jumlah lansia di
Indonesia pada tahun 2014 terdapat 26.878.271 jiwa. Dimana usia lanjut yang berisiko (usia lebih dari 70 tahun) berjumlah 7.735.410 jiwa. Hal ini berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat Indonesia khususnya di bidang kesehatan yang ditunjukkan dengan semakin tingginya angka harapan hidup masyarakat Indonesia. Dengan data – data tersebut, maka diperkirakan 10 tahun ke depan struktur penduduk Indonesia akan berada pada struktur usia tua. Isu sentral masalah kependudukan yaitu masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia usia lanjut (LANSIA) yang dipengaruhi langsung oleh beberapa faktor, antara lain konsumsi makanan dan gizi, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan serta pengakuan masyarakat bahwa mereka masih mempunyai kemampuan kerja dan pendapatan dari pensiunan yang masih rendah. Konsumsi makanan dan gizi kurang (malnutrisi) masih dialami oleh beberapa Lansia di Indonesia yang tersebar pada beberapa desa dan daerah pinggiran kota.
Kondisi yang demikian
mengakibatkan masih rendahnya derajat
kesehatan masyarakat Lansia. Dampak lebih jauh dari permasalahan kependudukan adalah bertambahnya penduduk berusia lanjut dengan kriteria :
rendahnya kualitas kesehatan Lansia yang disebabkan oleh rendahnya pendapatan, disamping pendapatan itu sendiri belum merata diterima setiap Lansia.
adanya tuntutan persediaan pangan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan kalori yang makin berkualitas bagi Lansia. Permasalahan penduduk Lansia perlu ditangani dengan strategi antara lain melalui
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bersama-sama dengan peningkatan prasarana dan pelayanan kesehatan yang di pusatkan pada Posyandu. Strategi peningkatan kesehatan Lansia ini ditempuh melalui penurunan angka kesakitan dan jumlah jenis keluhan Lansia. Penurunan Angka Kesakitan Lansia (AKL) tidak hanya merupakan tanggung jawab sektor kesehatan tetapi merupakan tanggung jawab semua sektor terkait. Agar program penurunan AKL dapat dicapai secara efektif dan efisien perlu didukung adanya data. POSYANDU LANSIA merupakan sarana pelayanan kesehatan dasar untuk meningkatkan kesehatan para Lansia.
8
Gerakan Sadar Pangan dan Gizi
(GSPG) juga merupakan wadah lintas sektoral untuk melaksanakan keterpaduan unsur terkait dalam rangka mendukung kesehatan para Lansia. Berbagai kemitraan antara Pemda Kabupaten sebagai pelaksana pembangunan daerah dengan pihak swasta maupun universitas telah ikut berpartisipasi secara aktif dan bekerja sama dalam gerakan sadar pangan dan gizi yang di khususkan bagi Lansia. Citacita pembangunan untuk Lansia supaya tetap sehat, aktif dan produktif dapat terwujud di setiap wilayah baik desa maupun kota. Untuk itu perlu keterlibatan mahasiswa FK dalam upaya menyusun strategi pemberdayaan kaum Lansia khususnya pada tingkat pelayanan kesehatan dasar berbasis masyarakat.
Oleh karena itu modul ini dimaksudkan untuk
mengantarkan mahasiswa di lapangan khususnya di Posyandu Lansia agar gambaran pemberdayaan kaum Lansia yang tepat guna menjamin kelangsungan hidup sehat, aktif dan produktif di masyarakat dapat terpenuhi.
9
C.
Peta Kurikulum
Semester Topik Field Lab Keterampilan pemantauan status gizi I balita dan ibu hamil
Keterampilan Imunisasi
II
Program Pengendalian Penyakit Menular: Demam Berdarah Dengue Keterampilan Penanggulangan tuberkulosis
III
Kesehatan Reproduksi
IV
Penyakit Menular Seksual
Pembinaan UKS, kesehatan Jiwa dan NAPZA Koimunikasi Informasi dan Edukasi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) Keterampilan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
V
VI
VII
D.
Kegiatan Blok/Skills Lab Blok Metabolisme, Nutrisi, dan Obat Skills lab Komunikasi Skills lab Dasar pemeriksaan fisik Skills lab Antropometri Blok Imunologi Skills Lab Anamnesis Skills lab teknik asepti dan sterilisasi Blok Penyakit Infeksi Menular Blok Sistem Respirasi Skills lab Pemeriksaan Siprometri Skills lab Pemeriksaan sputum BTA dan Gram Skills lab Pemeriksaan respirasi Blok Sistem Reproduksi Skills lab Pemeriksaan Ginekologi dan Obstetri Pemeriksaan Puerperium dan Kontrasepsi Blok Sistem Urogenital Skills lab pemeriksaan perianal dan genital pria Blok Psikiatri Skills lab pemeriksaan psikitari Blok Sistem Kulit Blok Psikiatri
Blok Pediatri Skills lab heteroanamnesis dan pemeriksaan fisik anak KIE: Pembinaan posyandu lansia guna Blok Geriatri pelayanan kesehatan lansia Keterampilan kedokteran keluarga: Blok Ilmu kedokteran komunitas Kunjungan pasien di rumah (home visit) Tujuan Pembelajaran Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan diharapkan mahasiswa dapat
memiliki kemampuan: a. Mampu melakukan peran dan fungsi posyandu lansia. b. Mampu melakukan pengisian dan penggunaan KMS lansia. c. Melakukan pembinaan tentang kelainan-kelainan yang sering terjadi pada lansia beserta pencegahan dan pengobatannya. 10
d. Melakukan konsultasi tatalaksana Diet Lansia dan pola hidup sehat Lansia. e. Melakukan penyuluhan kesehatan komunitas tentang manfaat Posyandu Lansia dalam meningkatkan kesehatan Lansia. f. Melakukan pengumpulan dan analisis data tentang program posyandu, prevalensi penyakit yang diderita lansia, serta upaya kuratif dan rehabilitatif. g. Melakukan penilaian status depresi lansia dengan menggunakan GDS (Geriatric Depression Scale) dan MMSE (Mini Mental State Examination). h. Mampu melakukan pengamatan dan penilaian pada posyandu lansia setempat dengan standar program posyandu lansia. E.
Matriks Pembelajaran Learning Objective
a. Mampu melakukan peran dan fungsi posyandu lansia. b. Mampu melakukan pengisian dan penggunaan KMS lansia c. Melakukan pembinaan tentang kelainan-kelainan yang sering terjadi pada lansia beserta pencegahan dan pengobatannya. d. Melakukan konsultasi tatalaksana Diet Lansia dan pola hidup sehat Lansia e. Melakukan penyuluhan kesehatan komunitas tentang manfaat Posyandu Lansia dalam meningkatkan kesehatan Lansia. f. Melakukan pengumpulan dan analisis data tentang program posyandu, prevalensi penyakit yang diderita lansia, serta upaya kuratif dan rehabilitatif g. Melakukan penilaian status depresi lansia dengan menggunakan GDS (Geriatric Depression Scale) dan MMSE (Mini Mental State Examination). h. Mampu melakukan pengamatan dan penilaian pada posyandu lansia setempat dengan standar program posyandu lansia
Metode Kuliah Pengantar Belajar mandiri Diskusi dengan Dosen Pembimbing Lapangan Observasi lapangan Observasi lapangan Penyuluhan lansia
Waktu
penyuluhan lansia
observasi lapangan
penyuluhan lansia
Observasi lapangan
-observasi lapangan
Observasi lapangan
11
Minggu 1-4
BAB II STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Tahap Persiapan a. Kegiatan laboratorium lapangan dilakukan dalam kelompok yang terdiri dari 10-13 mahasiswa b. Tiap kelompok dipandu oleh 1 instruktur lapangan (dokter puskesmas) c. Lokasi: 6 DKK yang mempunyai kerjasama dengan FK UNS (Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Boyolali) d. Pembagian kelompok dilakukan oleh pengelola Field lab, dengan konfirmasi jadwal kelompok kepada DKK dan Puskesmas terkait e. Pembekalan materi diberikan pada kuliah pengantar field lab, sesuai jadwal dari pengelola KBK FK UNS f. Pada saat kuliah pengantar dilakukan pretes untuk mahasiswa. g. Sebelum pelaksanaann diharapkan mahasiswa konfirmasi terlebih dahulu dengan instruktur lapangan (nomor telepon instruktur lapangan tersedia di kantor Field lab) h. Tiap mahasiswa wajib membuat lembar cara kerja, yang diserahkan kepada instruktur lapangan pada pagi hari sebelum pelaksanaan. Lembar cara kerja berisi:
Tujuan Pembelajaran
Alat/Bahan yang diperlukan
Cara Kerja (singkat)
2. Tahap Pelaksanaan a. Pelaksanaan di lapangan 3 (tiga) hari, sesuai jadwal yang telah disusun tim pengelola Field lab dan tim pengelola KBK FK UNS. Hari I
: Perencanaan dan persiapan bersama instruktur mengenai kegiatan Field lab yang akan dilaksanakan.
Hari II : Pelaksanaan, pencatatan, dan pelaporan kegiatan. Hari III : Pengumpulan laporan dan evaluasi. b. Peraturan yang harus ditaati mahasiswa : 1)
Mahasiswa harus memakai almamater di lapangan, dikancing rapi.
2)
Mahasiswa datang sesuai dengan jam buka Puskesmas, kemudian menemui instruktur.
12
3)
Mengikuti kegiatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan (Perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pencatatan, Pelaporan).
4)
Mahasiswa diperkenankan melakukan konseling pada pasien/sasaran dengan pendampingan dari pembimbing atau instruktur (tenaga kesehatan) di Puskesmas.
5)
Apabila hari tersebut tidak ada jadwal penyuluhan di Puskesmas yang bersangkutan, mahasiswa mengikuti demonstrasi pelayanan penyuluhan di Puskesmas.
6)
Kelompok diperbolehkan mengganti hari, mengikuti jadwal kegiatan Puskesmas (mengikuti jadwal Posyandu). Dengan catatan tidak mengganggu kegiatan pembelajaran lain di FK dan lapor pada pengelola Field lab/dosen pendamping lapangan.
3. Tahap Pembuatan Laporan a. Laporan kelompok, dibuat secara berkelompok sebanyak dua eksemplar: -
satu eksemplar untuk Puskesmas
-
satu eksemplar untuk bagian Field lab
(menyesuaikan kebijakan Puskesmas) b. Format Laporan 1) Halaman Cover 2) Lembar Pengesahan 3) Daftar Isi 4) Bab I : Pendahuluan dan Tujuan Pembelajaran Uraikan secara singkat tentang topik Field lab dan tujuan pembelajaran dari topik tersebut. 5) Bab II : Kegiatan yang Dilakukan 6) Bab III : Pembahasan Berikan penjelasan lebih lanjut mengenai pokok-pokok dari kegiatan yang dilaksanakan serta uraikan pula kendala serta solusi dari kegiatan yang telah dilaksanakan. 7) Bab IV : Penutup Beri simpulan dan saran dari kegiatan yang telah dilaksanakan. 8) Daftar Pustaka
13
c. Laporan diketik komputer, ±10 halaman, hari ketiga pelaksanaan harus diserahkan instruktur lapangan untuk disetujui/disahkan. Ditunjukkan dengan lembar tanda tangan persetujuan instruktur lapangan. d. Satu eksemplar laporan diserahkan pada instruktur lapangan, satu laporan diserahkan pada pengelola Field lab
setelah disahkan instruktur lapangan
(paling lambat 1 minggu sesudah pelaksanaan). e. Apabila mahasiswa membuat laporan persis dengan laporan milik temannya, maka akan dikembalikan. f. Setiap kelompok mengumpulkan CD yang berisi soft file laporan kelompok dan soft file laporan individu, soft file power point (ppt) serta dokumentasi kegiatan lapangan berupa foto dan video. g. Dokumentasi video di gabung menjadi satu file dengan durasi waktu minimal 3 menit dan maksimal 10 menit. Suara video harus jelas dan ada keikutsertaan Kapuskes dalam video tersebut.
14
BAB III METODE DAN PROSEDUR KERJA
A. Prosedur Kerja •
Menghubungi pihak Puskesmas masing-masing untuk melakukan kesepakatan pelaksanaan tugas Field Lab per topik dengan dokter Puskesmas / Instruktur yang ditunjuk.
•
Menghitung jumlah sasaran Posyandu Lansia dan menentukan target cakupan pelaksanaan KIE Posyandu Lansia. Target cakupan pelaksanaan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Target Cakupan = jumlah sasaran yang ikut posyandu x 100% Jumlah sasaran lansia Jumlah sasaran lansia adalah jumlah lansia yang berada pada wilayah kerja posyandu lansia tersebut. Target cakupan 80 - 100 % menunjukkan targetcakupan yang baik.
•
Menyiapkan kebutuhan peralatan peraga KIE Posyandu Lansia untuk menyusun model pemberdayaan Lansia setempat.
•
Model Pemberdayaan Lansia yang dimaksud adalah meningkatkan kemampuan deteksi dini penyakit pada Lansia di setiap Posyandu Lansia.
SELAMAT MELAKSANAKAN KIE: POSYANDU LANSIA NAMA PUSKESMAS: ................................................. NAMA DESA : ................................................. NAMA POSYANDU LANSIA: ................................... JUMLAH TARGET : .....................................Orang Lansia/Posyandu Jumlah Lansia sehat : ..................................... Orang Jumlah Lansia sakit : ..................................... Orang
15
B. Tata Cara Penilaian 1. Instruktur memberi penilaian kepada mahasiswa sesuai dengan cek list yang ditetapkan dalam buku panduan. 2. Pretes dan Postes dilaksanakan di Fakultas Kedokteran sesuai jadwal yang ditetapkan pengelola Field lab. 3. Apabila mahasiswa tidak mengikuti salah satu dari kegiatan Field lab (Pretes, Lapangan, Postes), maka dinyatakan tidak memenuhi syarat dan nilai akhir tidak dapat diolah. 4. Pretes dan postes susulan dapat diberikan pada: Mahasiswa yang tidak dapat mengikuti karena sakit, ditunjukkan dengan bukti surat keterangan sakit dari dokter atau rumah sakit. Mahasiswa yang menjadi delegasi Fakultas atau yang mendapat tugas dari Fakultas dengan menunjukan surat tugas dan surat rekomendasi ijin dari Kepala Program Studi. Berhalangan karena keluarga inti meninggal atau menikah dengan menunjukan bukti yang valid (KK, surat kematian, undangan) dan surat rekomendasi ijin dari Kepala Program Studi. 5. Dosen Pendamping Lapangan dari Fakultas memberi nilai bimbingan 1 dan bimbingan 2 dengan proporsi = 4xEtika + 4xKedisiplinan+ 2xKeaktifan 10 6. Nilai bimbingan = rata-rata dari bimbingan 1 dan bimbingan 2 7. Mahasiswa yang tidak mengikuti bimbingan 1 dan bimbingan 2 tidak mendapat nilai bimbingan . 8. Nilai Akhir Mahasiswa : = 1xPretes + 1xBimbingan+ 3xLapangan + 1xPostes 6 9. Batas nilai yang dinyatakan lulus adalah 70 10. Bila ada mahasiswa yang mendapat nilai kurang dari 70 akan dilakukan remidi yang akan dijadwalkan pengelola Field lab. Bila remidi tidak lulus maka mengulang semester depan. 11. Nilai akhir (NA) mahasiswa yang mengikuti remidi maksimal 70 (B) 12. Nilai akhir (NA) mahasiswa yang mengikuti ujian susulan bisa mendapat nilai akhir A tetapi ditinjau alasan atau ijinnya terlebih dahulu. Apabila alasan tidak bisa diterima maka nilai maksimal tetap 70 (B) 13. Tidak mengikuti pretes, postes, remidi dan ujian susulan tanpa keterangan, dengan alasan yang tidak jelas contoh: terlambat, bangun kesiangan, tidak mendapat jarkom, lupa jadwal, salah membaca jadwal, dalam perjalanan, berlibur, kena razia, ban kempis. dsb, akan dikenakan sanksi tidak lulus. 14. Apabila mahasiswa hanya mengikuti 2 (dua) kali lapangan tanpa tugas pengganti, maka nilai lapangan akan dikalikan 2 (dua) dengan pembagi tetap 6 (enam).
16
C. Form Penilaian No. 1.
2.
3.
4.
Keterangan
0
1
2
3
4
Persiapan Membuat rencana kerja KIE Mengikuti kegiatan bimbingan dari instruktur di Puskesmas Sikap dan tingkah laku Menunjukkan kedisplinan (datang tepat waktu) Menunjukkan kesiapan dan sikap bersungguh-sungguh dalam mengikuti setiap kegiatan Menunjukkan penampilan rapi dan sikap sopan kepada staf Puskesmas dan masyarakat Pelaksanaan Menghitung jumlah sasaran dan target cakupan posyandu lansia sesuai rumus pada prosedur kerja Menyiapkan materi penyuluhan dan kegiatan posyandu Presentasi KIE Lansia Memberi penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan peserta posyandu Mengikuti kegiatan pemeriksaan tekanan darah dan berat badan Melengkapi pengisian Geriatric Depression Scale dan MMSE Mengikuti kegiatan: senam lansia Mengikuti konsultasi dan pemberian obat pada lansia Laporan Hasil laporan kegiatan Menganalisis kesesuaian program posyandu lansia di puskesma setempat JUMLAH NILAI
Keterangan Tatacara penilaian dengan grading 0-4 0 : tidak melakukan 1 : melakukan kurang dari 40% NILAI : Jumlah Nilai X 100 % = .................% 60 2 : melakukan 40-60 % 3 : melakukan 60-80 % 4 : melakukan dengan sempurna 80-100%
Kepala PUSKESMAS ________________
……………………….
17
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi lanjut usia Lanjut usia merupakan periode akhir dari rentang kehidupan manusia dan proses itu terjadi pada seseorang yang berumur 60 tahun keatas.1 Undang-Undang No.13 Tahun 1998 mengenai kesejahteraan usia lanjut pada BAB I Pasal 1 ayat 2 juga menyebutkan bahwa seseorang dikatakan telah lansia apabila sudah berumur 60 tahun keatas.2 B. Istilah istilah Penting
Gerontologi, ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6).
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
Psikogeriatri, merupakan cabang dari ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
C. Klasifikasi Lansia Sedangkan menurut organisasi kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa ahli batasan umur lansia dapat dibagi menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) /Pra Lansia yaitu kelompok usia 45 – 59 tahun lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia 60 - 74 tahun lanjut usia tua (old) yaitu kelompok usia 75 – 90 tahun sangat tua (very old) yaitu kelompok usia diatas 90 tahun. D. Etiologi Proses menua (aging) adalah suatu fenomena fisiologis alami. yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia kronologis
ditandai dengan penurunan
cadangan fisiologis tubuh sehingga terjadi penurunan dan kemunduran fungsi pada
18
semua organ tubuh baik secara fisik, kognitif, psikologis, sosial waktu serta meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit. Proses penuaan sebetulnya sudah berlangsung sejak lahir dengan ditandai adanya
penurunan jumlah sel jaringan dan laju metabolisme tubuh serta
peningkatan kejadian penyakit. Proses Penuaan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genetik, kesehatan, diet, stress, olahraga, merokok, dan adanya radiasi sinar ultraviolet. Hal tersebut berpotensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.
E. Perubahan yang terjadi akibat proses penuaan 1. Penurunan Kondisi Fisik
Sistem Saraf pusat. Otak mengkerut (atropi) terutama didaerah hippocampus dan lobus frontalis , aliran darah, reflek, berkurangnya proprioseptik yang berdampak menjadi
mudah lupa, kemampuan melakukan pekerjaan multi
tasking menjadi lebih lama apabila dibandingkan dengan orang yang lebih muda,
Perubahan pada Sistem Saraf Sensoris. Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling berhubungan dengan orang lain, memrespon bahaya, dan menginterpretasikan masukan sensoris sebagai dampaknya lansia akan menimbulkan keengganan untuk bersosialisasi karena terjadinya kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki
Perubahan pada Penglihatan penurunan kemampuan akomodasi, lensa kehilangan elastisitas dan mengalami kekeruhan serta menurunnya produksi air mata. Implikasinya yang ditimbulkan adalah kesulitan dalam membaca hurufhuruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat, katarak, serta sindrom mata kering.
Perubahan pada Pendengaran. Terjadi penurunan pendengaran secara bertahap. Produksi serumen meningkat sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara.
Perubahan pada Pengecapan. Sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang, karena proses penuaan menyebabkan adanya penurunan jumlah dan kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa lidah.
19
Perubahan pada Penciuman. Penuaan dan usia lanjut berdampak pada penurunan atau kehilangan sensasi penciuman.
Perubahan pada Kulit. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan luka lebih lama, kulit lebih kasar dan kering, enurunan termoregulasi, penurunan respon inflamasi, kantung dan pengeriputan disekitar mata, turgor kulit menghilang, kulit tampak lebih pucat dan kurang mampu malakukan termoregulasi.
Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler. Jantung kehilangan kemampuan untuk mengembang dan berkontraksi, irama jantung tidak teratur (disritmia), mudah terjadi pembengkakan (oedem) pada kaki.
Perubahan pada Sistem Pulmonal. Terjadi penurunan pertukaran
gas dan
peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia 60 tahun, penurunan kemampuan mengembang paru dan dinding dada dan pernapasan perut, mudah mengalami sesak nafas (dispnea) saat aktivitas, risiko infeksi meningkat, kelenjar mukus kurang produktif sehingga sekret kental dan sulit dikeluarkan.
Perubahan pada Sistem Urinaria. Menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan volume residu (N: 50 mL), dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia.
Perubahan Pada Sistem Pencernaan. Penurunan produksi air liur, atropi lambung, usus halus dan usus besar, yang dampaknya adalah peningkatan risiko tersedak (aspirasi), dan sulit BAB (konstipasi), penurunan gerakan lambung dan usus serta penurunan penyerapan obat-obatan serta vitamin, penurunan produksi asam lambung yang dampaknya menimbulkan anemia megaoblastik.
Perubahan Hormonal. Menyebabkan penurunan
hormon tiroid, toleransi
terhadap glukosa terganggu, penurunan hormon testosteron,
esterogen,
produksi vitamin D kulit dan Peningkatan PTH, dampaknya adalah kehilangan unsur-unsur tulang yang berdampak pada pengeroposan tulang.
Sistem MuskoloSkeletal. Terjadi penurunan tinggi badan karena adanya penyempitan diskus intervertebral dan penekanan kolumna vertebralis. Implikasinya postur tubuh menjadi lebih bungkuk, penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular akibat terjadinya
peningkatan risiko fraktur,
perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan kurang aktif, kekakuan ligamen dan sendi, sehingga meningkatkan risiko cedera. 20
Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia banyak mengalami penurunan fungsi organ. Pada umumnya lansia mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis ganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh. Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Untuk dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, seperti keseimbangan makan, tidur, istirahat dan bekerja. 2. Perubahan Kejiwaan Selain masalah kesehatan fisik, masalah kesehatan jiwa lansia juga merupakan
salah
satu
problem
kesehatan
yang
sangat
penting
dalam
penatalaksanaan geriatri dan psikogeriatri. Geriatri adalah istilah untuk orang usia lanjut yang disertai dengan berbagai masalah penyakit kronik dan biasanya disertai juga dengan berbagai masalah psikososial. Sehigga tidak semua orang usia lanjut bisa digolongkan sebagai pasien geriatri. Ciri Pasien geriatri adalah :
Memiliki tiga atau lebih penyakit kronis
Gejala penyakit yang tidak khas
Menurunnya beberapa fungsi organ tubuh
Tingkat kemandiriannya berkurang
Sering disertai adanya masalah nutrisi.
Sementara itu ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu:
Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia.
Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a) Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain), 21
b) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan/kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dsb. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis. Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa
lansia, yang hendaknya disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Beberapa faktor yang dihadapi para lansia dan sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah:
Penurunan kondisi fisik
Penurunan fungsi dan potensi seksual
Perubahan aspek psikososial
Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan
Perubahan dalam peran sosial di masyarakat
3. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
Gangguan jantung
Gangguan metabolisme, misal diabetes millitus
Vaginitis
Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
22
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain : Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia, sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya, kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya, pasangan hidup telah meninggal
4. Perubahan Aspek Psikososial Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak
23
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
5. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari tipe kepribadiannya. Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya mempunyai dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiunyang benar-benar diisi dengan kegiatankegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua,
24
sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.
6. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil. Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia disamping sebagai long stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lain.
F. Data karakteristik sosio demografi Lansia Karakteristik Lansia merupakan data yang diperoleh melalui wawancara, yang meliputi keterangan sosio-ekonomi dan pendidikan Lansia pada saat mahasiswa melakukan Field Lab. Tingkat pendapatan Lansia merupakan pendapatan keluarga dimana Lansia/responden bertempat tinggal. Jika mempunyai 25
pendapatan dari pensiunan, maka siapa saja yang memanfaatkan uang pensiunan tersebut kemudian dikurangi untuk hal tersebut, baru dihitung sebagai pendapatan Lansia.
G. Data Status Gizi Merupakan hasil pengukuran antropometri: berat badan (kg) tinggi badan kuadrat (m) Ada lima kategori status gizi lansia, yaitu: Buruk, Kurang, Cukup, Baik, Lebih Status kesehatan lansia merupakan hasil pemantauan medical record lansia yang ada pada buku kesehatan lansia di Posyandu. Susunan menu makanan Lansia merupakan susunan hidangan yang terdiri dari olahan berbagai macam resep masakan yang dipadukan dan disajikan dalam waktu tertentu. Menu dapat terdiri dari dua macam hidangan atau lebih misalnya makanan selingan beserta minumannya, makanan lengkap (pagi, siang, malam), ataupun sebagai hidangan makanan sehari-hari secara keseluruhan (Depkes, 1992). Pola konsumsi pangan Lansia merupakan kebiasaan tentang makan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibu Lansia sebagai refleksi dari keadaan lingkungan sosial dan budaya setempat. Materi penyuluhan Pembinaan Posyandu Lansia sampai saat ini masih sedikit apalagi sekarang pembinaan harus bervariasi dan dapat menjawab masalah yang dihadapi khalayak sasaran, serta masyarakat mampu menerapkan informasi yang diterima.
Hal ini ada kaitannya dengan yang diungkapkan oleh Burger
tentang mitos pemusatan.
Mitos pemusatan adalah kecenderungan untuk
merencanakan segala sesuatu dari atas karena menganggap orang atas adalah orang terdidik, dan karena pendidikannya dapat lebih tepat menilai kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. Akibatnya paket penyuluhan Pembinaan Posyandu Lansia menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat. Masyarakat lalu enggan menerapkan inovasi-inovasi penyuluhan karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka (Hanim, 2004). Penanganan lansia bisa dibedakan menjadi institusional dan non institusional
yang terdiri atas home care dan community care. Pada tataran
institusional peran pemerintah daerah sangat penting khususnya pada pembuatan peraturan daerah dan kebijakan lain yang mendukung peningkatan kesejahteraan lansia. 26
Salah satu propinsi yang sangat tanggap terhadap kesejahteraan lansia adalah propinsi Jawa Timur yang sudah membuat Perda No. 5 Tahun 2007 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Perda ini kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi ke berbagai kabupaten/ kota di Jawa Timur. Selain itu, dilakukan pendukungan anggaran dengan beberapa kegiatan antara lain dengan pertama melakukan uji petik home care yakni pelayanan lansia dalam keluarga sendiri. Kedua, jaminan sosial Lansia berupa bantuan tunai bagi Lansia yang tidak produktif dan terlantar. Ketiga, pendampingan Lansia. Keempat, sosialisasi Perda. Kelima, membentuk puskesmas santun Lansia yakni dengan memberikan kemudahan bagi pasien Lansia. Salah satu peran pentiung lain adalah penyediaan fasilitasi umum yang ramah lansia, misalnya dengan tangga yang lump sum sehingga memudahkan lansia yang dengan bantuan tongkat atau kursi roda untuk berjalan, pegangan pada setiap sisi atau sudut tembok, trotoar khusus dan sebagainya. Dukungan pemerintah daerah semacam ini akan memberikan angin segar bagi penanganan lansia khususnya yang terlantar. Peran masyarakat dalam penanganan lansia saat ini sangat penting, terlebih karena struktur usia yang menua, menyebabkan jumlah lansia yang tinggal dalam suatu komunitas meningkat dengan cepat, mencapai hampir 11%. Peran masyarakat yang terpenting adalah dalam pelayanan dan pendampingan terhadap lansia baik yang produktif maupun non produktif khususnya yang tinggal di luar panti. Namun saat ini, dengan semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat akan perlunya memberikan perhatian bagi lansia yang terlantar, banyak kelompok– kelompok atau yayasan–yayasan tertentu yang mengkhususkan diri untuk bergerak memberikan penyantunan bagi lansia yang terlantar. Salah satunya adalah dengan mendirikan panti – panti penyantun lansia. Banyak panti yang memang bersifat sosial dan nir laba, hanya dengan mengandalkan harapan pada donatur, namun tidak sedikit pula panti yang lebih mirip dengan penitipan lansia dengan fasilitas yang sangat ideal.
27
LANSIA
P E M E R I N T A H
LANSIA POTENSIAL
Penguatan Usaha Ekonomi Produktif
Pelayanan Kesehatan M A S Y A R A K A T
LANSIA TDK POTENSIAL
Pelibatan dalam masyarakat
Di dala m Panti
P E M E R I N T A H
Jaminan Kebutuh an dasar
Jami nan sosial
Jaminan Kesehata n
Jamina n Kesehat an
Posyandu Lansia
Di luar Panti
Masyarak at Keluarga
Pelayan an & pendam pingan
H. Kebutuhan Hidup Minimal Penduduk Lanjut Usia Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam ratio ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut..
Pada masa Pra lansia, secara fisik mereka masih aktif melakukan
pekerjaan, namun dari waktu ke waktu kondisi fisik dan psikisnya mulai menurun. Sedangkan pada masa eldery mereka sudah mulai memasuki masa pensiun dan secara psikis mulai merasakan kesepian karena semakin berkurangnya kegiatan – kegiatan yang bisa dia lakukan. Masa ini sangat berpengaruh terhadap harapan 28
hidup yang dimiliki oleh seorang lansia. Namun pada masa eldery ini seorang lansia masih bisa secara mandiri melakukan kegiatan – kegiatan sehari – harinya. Sedangkan pada masa old dan very old, seorang lansia akan menjadi sangat tergantung pada orang lain khususnya keluarga intinya. Secara lebih detail, kebutuhan lansia terbagi atas :
Kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan.
Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan mendapatkan perhatian lebih dari sekelilingnya.
Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Kebutuhan ekonomi, secara ekonomi, meskipun tidak potensial lansia juga mempunyai kebutuhan secara ekonomi sehingga harus terdapat beberapa sumber pendanaan dati luar, sementara untuk lansia yang potensial membutuhkan adanya tambahan ketrampilan, UEP (Usaha Ekonomi Produktif), bantuan modal dan penguatan kelembagaan.
Kebutuhan spiritual Selain itu, lansia mempunyai tipe kepribadian yang sangat khas yang
memberikan pengaruh terhadap perlakuan atau pelayanan seperti apa yang seharusnya diberikan kepada lansia
I. Pencegahan Penyakit Degeneratif Pada Lansia Pemahaman terhadap jenis kondisi psikis Lansia akan membantu menentukan bagaimana pelayanan yang dilakukan baik oleh keluarga, masyarakat, maupun panti.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dengan semakin
lanjutnya usia maka mengalami berbagai penurunan baik secara fisik maupun psikis, mulai dari semakin lemahnya badan, semakin berkurangnya fungsi – fungsi panca indera. Secara psikis dengan semkin lanjutnya usia maka sifat kekanakan dan ingin diperhatikan juga mulai muncul sehingga apabila tidak dilayani dengan sabar dan telaten, maka akan sering menimbulkan konflik antara lansia dengan sekelilingnya, baik dari masyarakat dan keluarga. Sehingga menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui bagaimana keinginan dan harapan yang ingin diperoleh lansia.
29
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Gati Setiti ( 2006 ) terhadap lansia di lima wilayah di Indonesia, menunjukkan beberapa harapan yang ingin diperoleh lansia antara lain :
Harapan Lansia terhadap Kerabat/keluarganya, pelayanan terhadap lansia harus dilakukan dengan ikhlas dan wajar. Kerabat mau mendengarkan dan menerima keinginan lansia dan menyikapinya dengan baik, bila terdapat perbedaan maka harus menyikapinya dengan cara yang tidak menyinggung perasaan.
Harapan Lansia terhadap masyarakat, lansia tetap menjadi bagian dari masyarakat dan dilibatkan dalam setiap kegiatan termasuk memberikan pengalaman serta ilmu yang dimilikinya. Perasaan dihargai menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga kondisi psikis seorang lansia
Harapan Lansia terhadap pemerintah, agar mengembangkan program ekonomi bagi lanjut usia potensial, memberi jaminan hidup bagi lansia tidak potensial yang berasal dari keluarga tidak mampu, jaminan kesehatan bagi lansia yang murah / gratis. Menyediakan fasilitasi umum bagi lansia, membentuk wadah untuk bersosialisasi bagi lansia misalnya dengan Posyandu Lansia, menyediakan panti – panti yang layak bagi lansia yang terlantar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lansia masih mempunyai
harapan yang sangat besar untuk aktualisasi diri. J. Kajian Ilmiah ‘ Kesehatan Lansia’ Konsep Map
MASALAH KESEHATAN LANSIA (Diagnosis Penyakit Degeneratif)
DATA (Buku)
DOKTE R
DATA (Internet)
DATA Hasil Lab
30
Bukti
KEPUTUSAN MEDIS
K. Permasalahan Kesehatan Lansia Permasalahan yang sering timbul pada usia lanjut. Salah satunya adalah depresi yang merupakan perasaan terasing (ter-isolasi atau kesepian) adalah perasaan tersisihkan, terpencil dari orang lain, karena merasa berbeda dengan orang lain. Yang dapat disebabkan karena: Tersisih dari kelompoknya,Tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, Terisolasi dari lingkungan, Tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman, Seseorang harus sendiri tanpa ada pilihan. Hal-hal tersebut menimbulkan perasaan tidak berdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lansia miskin, post power syndrome, perasaan tersiksa, perasaan kehilangan, mati rasa dan sebagainya. Seseorang yang menyatakan dirinya kesepian cenderung menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga, tidak diperhatikan dan tidak dicintai (Rasa kesepian akan semakin dirasakan oleh lansia yang sebelumnya adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan orang banyak. Hilangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial yang terkait dengan hilangnya kedudukan atau perannya dapat menimbulkan konflik atau keguncangan. Masalah ini terkait dengan sikap masyarakat sebagai orang Timur yang menghormati lansia sebagai sesepuh sehingga kurang bisa menerima bila seorang lansia masih aktif dalam berbagai kegiatan produktif), lebih jauh dinyatakan bahwa penyebab menurunnya kontak sosial pada lanjut usia:
Ditinggalkan oleh semua anaknya karena masing-masing sudah membentuk keluarga dan tinggal di rumah atau kota yang terpisah.
Berhenti dari pekerjaan (pensiun sehingga kontak dengan teman sekerja terputus atau berkurang).
Mundurnya dari berbagai kegiatan (akibatnya jarang bertemu dengan banyak orang).
Kurang dilibatkannya lanjut usia dalam berbagai kegiatan.
Ditinggalkan oleh orang yang dicintai: pasangan hidup, anak, saudara, sahabat, dll. Kesepian akan sangat dirasakan oleh lanjut usia yang hidup sendirian, tanpa
anak, kondisi kesehatannya rendah, tingkat pendidikannya rendah, introvert, rasa percaya diri rendah, kondisi sosial ekonomi sebagai akibat pensiun menimbulkan
31
perasaan kehilangan prestise, hubungan sosial, kewibawaan dsb. Jika lebih parah dapat berlanjut menjadi depresi. Penelitian sosiologis pada tahun 2002 yang mengungkapkan bahwa sebagian besar lansia mengaku merasa minder dan tidak pantas lagi untuk aktif di masyarakat. Dalam hal ini, sebagai anggota masyarakat lansia telah bertingkah laku sesuai dengan tuntutan dan opini masyarakat yang mengalinasi mereka, walaupun konsekuensinya merasa kesepian dan depresi. Depresi adalah suatu bentuk gangguan emosi yang menunjukkan perasaan tertekan, sedih, tidak bahagia, tidak berharga, tidak berarti, serta tidak mempunyai semangat dan pesimis menghadapi masa depan. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (afektif, mood) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna dan putus asa. Untuk menduga seseorang depresi adalah menanyakan “adakah perubahan perasaan, perubahan tingkahlaku dan keluhan yang bersifat fisik ? Misalnya adakah: perasaan sedih atau putus harapan; pesimis; tingkat aktivitas rendah; kesulitan yang bersifat motivasi; kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain; tidak puas dalam berhubungan dengan orang lain; kecemasan sosial; tidak terlibat dalam keluarga atau teman ; seperti biasanya; kesepian; merasa berdosa; kehilangan kontrol – kemampuan kontrol rendah; kelelahan fisik; gangguan tidur; gangguan nafsu makan; gangguan konsentrasi, gangguan membuat keputusan; keluhan fisik lainnya seperti: insomnia, kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, dan sakit kepala. Depresi merupakan kondisi yang mudah membuat lanjut usia putus asa, kenyataan yang menyedihkan karena kehidupan kelihatan suram dan diliputi banyak tantangan. Lansia dengan depresi biasanya lebih menunjukkan keluhan fisik daripada keluhan emosi. Keluhan fisik sebagai akibat depresi kurang mudah untuk dikenali, yang sering menyebabkan keterlambatan dalam penanganannya. Sepertiga (33%) dari para janda/duda akan mengalami depresi pada bulan pertama sepeninggal pasangannya, dan separo dari mereka tetap depresi sesudah satu tahun. Janda/duda memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi daripada mereka yang masih berpasangan. Banyak ahli dan peneliti yang menyatakan bahwa orang yang menderita kesepian lebih sering mendatangi layanan gawat darurat 60% lebih banyak bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menderitanya, dua kali lebih banyak 32
membutuhkan perawatan di rumah, resiko terserang influensa sebanyak dua kali, berisiko empat kali mengalami serangan jantung
dan
mengalami
kematian
akibat serangan jantung tersebut, juga berisiko meningkatkan mortalitas dan kejadian stroke dibanding yang tidak kesepian. Kriteria penilaian yang digunakan dalam menilai status depresi lansia adalah GDS (Geriatric Depression Scale) dan MMSE (Mini Mental State Examination). Bila hasil skor lebih dari 5 dinyatakan depresi. Tabel 1 Depression Scale dalam menilai depresi
Tabel 2. Penilaian MMSE (Mini Mental State Examination)
1. 2. 3. 4.
DAFTAR PERTANYAAN Tanggal berapakah hari ini? (bulan, tahun) Hari apakah hari ini? Apakah nama tempat ini? Berapa nomor telepon Bapak/Ibu? (bila tidak ada telepon, dijalan apakah rumah Bapak/Ibu?)
33
PENILAIAN 0 – 2 kesalahan = baik 3 – 4 kesalahan = gangguan intelek ringan 5 – 7 kesalahan = gangguan intelek sedang 8 – 10 kesalahan = gangguan intelek berat Bila penderita tak pernah
5. Berapa umur Bapak/Ibu? 6. Kapan Bapak/Ibu lahir? (tanggal, bulan, tahun) 7. Siapakah nama Gubernur kita? (Walikota/lurah/camat) 8. Siapakah nama gubernur sebelum ini? (Walikota/lurah/camat) 9. Siapakah nama gadis Ibu anda? 10. Hitung mundur 3-3, mulai dari 20! Dari: Folstein and Folstein, 1990
sekolah , nilai kesalahan diperbolehkan + 1 dari nilai di atas Bila penderita sekolah lebih dari SMA, kesalahan yang diperbolehkan – 1 dari atas
Post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana ‘penderita’ hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau karirnya, kecerdasannya, kepemimpinannya atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Dalam mailing list konseling, sebetulnya, secara umum syndrome ini bisa sebagai masa krisis perkembangan. Gejala post power syndrome khususnya adalah krisis yang menyangkut satu jabatan atau kekuasaan, terutama akan terjadi pada orang yang mendasarkan harga dirinya pada kekuasaan. Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang berat semakin besar. Permasalahan lain adalah ada beberapa penyakit yang sering muncul pada usia lanjut, yang disebut Geriatric Giant, yang terdiri dari:
Imobilisasi
Instabilitas dan jatuh
Inkontinensia urin dan alvi
Gangguan Intelektual (demensia)
Infeksi
Gangguan penglihatan & pendengaran
Impaksi (konstipasi)
Isolasi (depresi) 34
Inanisi (malnutrisi)
Impecunity (kemiskinan)
Latrogenesis (sering karena terlalu banyak obat)
Insomnia
Defisiensi imunitas
Impotensi
L. Perkembangan Penduduk Lansia dan Penyakit Degeneratif Jumlah penduduk lanjut usia (usia 60 tahun keatas) di Indonesia terus menerus meningkat. Pada tahun 1970 jumlah penduduk yang mencapai umur 60 tahun ke atas (lansia) berjumlah sekitar 5,31 juta orang atau 4,48% dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 1990 jumlah tersebut meningkat hampir dua kali lipat yaitu menjadi 9,9 juta jiwa. Pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan meningkat sekitar tiga kali lipat dari jumlah lansia pada tahun 1990. Kantor Menteri Kependudukan/BKKBN, 1999 menyatakan bahwa pada tahun 1995 beberapa propinsi di Indonesia proporsi lansianya jauh berada diatas patokan penduduk berstruktur tua (yakni 7 %), yaitu antara lain : Daerah Istimewa Yogyakarta (12,5%), Jawa Timur (9,46%), Bali (8,93%), Jawa Tengah (8,8%) dan Sumatera Barat (7,98%). Data statistik menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia Indonesia pada awal abad ke 21 ini diperkirakan adalah sekitar 15 juta orang dan pada tahun 2020 jumlah lanjut usia tersebut akan meningkat sekitar 30 - 40 juta orang. Lansia rentan memiliki penyakit-penyakit degeneratif karena penurunan fungsi tubuh. Penyakit-penyakit tersebut antara lain: 1. Diabetes Mellitus Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang tidak asing lagi di dunia. DM adalah penyakit metabolik dengan karakteristik terjadinya hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Prince and Wilson, 2006). Secara umum, ada dua tipe DM, yaitu DM tipe 1, merupakan penyakit autoimun yang dipengaruhi oleh faktor genetik yang seringkali terjadi pada anak-anak, dan DM tipe 2, biasanya timbul pada penderita dengan usia di atas 40 tahun akibat resistensi insulin (Prince and Wilson, 2006; Guyton and Hall, 2008). Dari 35
kedua tipe DM tersebut, DM tipe 2 adalah jenis DM yang paling banyak diderita oleh masyarakat saat ini (Barret et al., 2010; Barbora et al., 2012). Populasi penderita DM tipe 2 di dunia semakin hari semakin bertambah, terutama di negara maju (Mohan et al., 2007). Bahkan, prevalensi penderita DM tipe 2 di tahun 2010 mencapai 285.000.000 jiwa di seluruh dunia (Anderson et al., 2011; Power et al., 2012). Menurut World HealthOrganization (2008), penderita DM tipe 2 di Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000, menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan faktor risiko yaitu obesitas, kurang aktivitas fisik, merokok, dan hiperkolesterol (Barret et al., 2010). Perkembangan DM tipe 2 diawali dengan gangguan sekresi insulin pada sel β pankreas fase pertama akibat kegagalan dalam mengkompensasi resistensi insulin. Apabila kondisi tersebut tidak segera ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya (DM tipe 2 kronis) akan terjadi kerusakan sel-sel β pankreas secara progresif yang akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Padahal, kebanyakan penderita DM tipe 2 baru terdiagnosis setelah munculnya manifestasi klinis yang mengindikasikan bahwa DM tipe 2 yang diderita sudah kronis (Masharani and German, 2011). Oleh karena DM tipe 2 bersifat kronis dan progresif, maka seringkali menimbulkan komplikasi pada berbagai organ sehingga penatalaksanaannya pun tidaklah mudah. Penatalaksanaan DM tipe 2 yang ada saat ini adalah berupa perubahan gaya hidup dan intervensi farmakologis yang memerlukan tingkat kepatuhan tinggi (Anderson et al., 2011; Power et al., 2012).
2. Hipertensi Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolik) meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Sekitar usia 60 tahun dua pertiga pasien dengan hipertensi 36
mempunyai hipertensi sistolik terisolasi (HST), sedangkan di atas 75 tahun tiga perempat dari seluruh pasien mempunyai hipertensi sistolik (Suhardjono, 2009). Definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur yaitu tekanan darah sistolik (TDS) > 140 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik (TDD) > 90 mmHg. The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Bloodpressure (JNCVI) dan WHO / lnternational Society of Hypertension Guidelines Subcommittees setuju bahwa TDS
& keduanya
digunakan untuk klasifikasi
hipertensi
(Kuswardani, 2006). Hipertensi sistolodiastolik didiagnosis bila TDS 140 mmHg dan TDD 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi (HST) adalah bila TDS 140 mmHg dengan TDD < 90 mmHg. Definisi hipertensi menurutWHO dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Definisi dan klasifikasi tingkat tekanan darah (mmHg). Kategori Sistolik Diastolik Optimal <120 <80 Normal <130 <85 Normal-tinggi 130-139 85-89 Hipertensi derajat 1 140-159 90-99 (ringan) Subkelompok : 140-149 90-94 borderline Hipertensi derajat 2 160-179 100-109 (sedang) Hipertensi derajat 3 180 110 (berat) Hipertensi sistolik 140 <90 terisolasi Subkelompok : 140-149 <90 borderline Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda kategori, dipakai kategori yang lebih tinggi. Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. TDS meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD meningkat sampai umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya kekakuan pembuluh darah`dan penurunan 37
kelenturan (compliance) arteri dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur. Seperti diketahui, tekanan nadi merupakan predictor terbaik dari adanya perubahan struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas. Efek utama dari penuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh darah besar dan mengakibatkan peningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur. Perubahan
mekanisme
refleks
baroreseptor
mungkin
dapat
menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus. Penurunan sensitivitas baroreseptor juga menyebabkan kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik. Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik dan vasokonstriksi adrenergik-a akan menyebabkan
kecenderungan
vasokonstriksi
dan
selanjutnya
mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Resistensi Na akibat peningkatan asupan dan penurunan sekresi juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin plasma dan respons renin terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia. Perubahan-perubahan di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung
(cardiac
penurunan
output),
denyut
jantung,
penurunan
kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan disfungsi diastolik. Ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus (Kuswardani, 2006). Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang dalam keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, atau merokok. Namun demikian, salah diagnosis lebih sering terjadi pada lanjut usia, terutama perempuan, akibat beberapa faktor seperti berikut. Panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk atau berlebihan atau orang terlalu
kurus.
Penurunan
sensitivitas 38
refleks
baroreseptor
sering
menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural. Fluktuasi akibat ketegangan (hipertensi jas putih = white coathypertension) & latihan fisik juga lebih sering pada lanjut usia. Arteri yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan darah terukur lebih tinggi. Kesulitan pengukuran tekanan darah dapat diatasi dengan cara pengukuran ambulatory. Sebelum menegakkan diagnosis hipertensi pada lanjut usia, hendaknya palingsedikit dilakukan pemeriksaan di klinik sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda dalam beberapa minggu. Gejala yang sering adalah nyeri sendi tangan (35% pada perempuan, 22% pada laki-laki), berdebar (33% pada perempuan, 17% pada laki-laki), mata kering (16% pada perempuan, 6% pada laki-laki), penglihatan kabur (35% pada perempuan, 23% pada laki-laki), kram pada tungkai (43% pada perempuan, 31% pada laki-laki), nyeri tenggorok (15% pada perempuan, 7% pada laki-laki), Nokturia merupakan gejala tersering pada kedua jenis kelamin yaitu sebanyak 68% (Kuswardani, 2006).
3. Osteoarthritis Osteoartritis merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago tulang. Lokasi yang sering terkena adalah vertebra, pinggul, lutus dan pergelangan kaki. Di Indonesia, prevalensi OA cukup tinggi, pada pria mencapai 15,5% dan pada wanita 12,7% (Soeroso et al., 2006). OA dibagi menjadi dua macam, yakni OA primer dan sekunder. OA primer masih belum diketahui kausanya dan tidak ada hubungannya dengan perubahan lokal pada sendi. Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari oleh kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro juga akibat imobilisasi yang terlalu lama(Soeroso et al., 2006; Lozada, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan pakar, diketahui bahwa OA merupakan
penyakit
yang
diakibatkan
oleh
terganggunya
sistem
homeostasis pada metabolisme kartilago dengan kerusakan proteoglikan kartilago. Kerusakan pada sinovia sendi ini terjadi dengan multifaktor yakni usia, stres, penggunaan sendi berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudayaan.Osteoatritis ditandai dengan fase hipertrofi 39
kartilago yang berhubungan dengan peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosis. Osteoatritis terjadi sebagai hasil kombinasi degradasi rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi(Soeroso et al., 2006). Faktor resiko yang dapat memperbesar resiko terjadinya penyakit osteoarttitis adalah : Usia, Jenis Kelamin, Suku Bangsa, Genetik, Kegemukan dan penyakit metabolik, Cedera sendi, pekerjaan dan olah raga, Kelainan pertumbuhan(Soeroso et al., 2006; Lozada, 2013). Terdapat predileksi OA pada sendi – sendi tertentu, diketahui pada carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal tulang belakang, lutut dan paha(Soeroso et al., 2006). Pasien OA umumnya mengeluhkan gejala yang berlangsung lama dan berkembang secara perlahan – lahan. Keluhan pasien OA berupa nyeri sendi, hambatan gerak sendi, kaku pada pagi hari, krepitasi, deformitas sendi, perubahan gaya berjalan(Soeroso et al., 2006). Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain:
Hambatan gerak Pada OA yang masih dini sudah dapat ditemukan hambatan gerak. Tanda ini semakin memberat seiring bertambah beratnya penyakit.
Krepitasi Pada awalnya pasien akan mengeluhkan ada sesuatu yang patah pada tulang. Gejala ini semakin terdengar sampai jarak tertentu setelah bertambah beratnya penyakit. Krepitasi ditemukan pada OA lutut.
Pembengkakan sendi asimetris Pembengkakan sendi terjadi karena efusi pada sendi yang tidak banyak (<100 cc)
Tanda – tanda peradangan Berupa nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat merata dan warna kemerahan. Tanda ini diakibatkan oleh adanya sinovitis.
Deformitas sendi permanen Kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi menyebabkan tanda tersebut.
Perubahan gaya berjalan Hal ini diakibatkan nyeri akibat penumpuan berat badan. Perubahan gaya berjalan ditemukan pada
40
pasien dengan OA lutut, sendi paha, dan tulang belakang (Soeroso et al., 2006; Lozada, 2013). Diagnosis OA ditegakkan dengan gambaran klinis dan radiografis. Pada
pemeriksaan
radiografis,
gambaran
yang
ditemukan
berupa
penyempitan celah sendi yang asimetris, peningkatan densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi(Soeroso et al., 2006). Penatalaksanaan OA didasarkan pada distribusi dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya berupa :
Terapi non farmakologis (Edukasi, terapi fisik, rehabilitasi dan penurunan berat badan)
Terapi
farmakologis
(Analgesik
oral,
topikal,
OAINS,
Kondroprotektif, steroid intra artikuler)
Terapi bedah (Arthroscopic debridement, Osteotomi, artroplasti sendi total) (Soeroso et al., 2006). Pembangunan telah meningkatkan usia harapan hidup penduduk
Indonesia, yang diiringi dengan meningkatnya jumlah dan persentase penduduk Lanjut Usia. Hal ini sebagai prestasi sekaligus tantangan/beban. Berbagai kebijakan dan pelayanan dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Baik melalui sistem panti. maupun sistem non panti atau berbasis masyarakat. Seperti PUSAKA (Pusat Santunan Keluarga), Day Care Service maupun Day Care Centre. Sebagian pelayanan cukup memadai, mulai kebutuhan dasar sampai penguburan. Walau demikian masih banyak yang hanya memberi pelayanan pemakanan dan kerohanian. disamping kendala dana dan petugas (Sri Gati Setiti , 2006) Kondisi lanjut usia mengalami berbagai penurunan atau kemunduran baik fungsi biologis maupun psikis, yang anantinya dapat mempengaruhi mobilitas dan juga kontak sosial, salah satunya adalah ISOLATION atau rasa kesepian (loneliness), atau terkucil atau merasa tidak diperhatikan lagi atau yang lebih serius adalah depresi. Bersamaan dengan peningkatan jumlah penduduk lanjut usia terjadi peningkatan hampir mencapai 50% dari penduduk lanjut usia yang mengalami kesepian/ loneliness. Syukurlah kini perhatian masyarakat dan pemerintah sudah lebih baik untuk mengusahakan bagaimana agar lansia tetap mandiri dan berguna (Probosuseno. 2007). 41
M. Bentuk Strategi Pembinaan Posyandu Lansia Dewasa ini Lanjut Usia yang tertangani melaui sistem panti hanya 15.000, sistem non panti 20.000. Secara keseluruhan yang tertangani hanya 2 % dari 2,3 juta Lanjut Usia. Gambaran diatas menegaskan bahwa pelayanan belum maksimal. Mereka mengalami keterlantaran, ada yang menjadi mengemis. Diantaranya terkena tindak kekerasan, oleh orang lain maupun oleh kerabat sendiri. Tuntunan agama dan nilai luhur menempatkan Lanjut Usia dihormati, dihargai dan dibahagiakan dalam kehidupan keluarga. Dalam berbagai budaya yang kita miliki, penanganan lanjut usia juga masalah lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat. Penanganan masalah sosial merupakan bagian dari dan berakar pada nilai tolong menolong yang dikenal hampir semua suku bangsa di Indonesia. Peran kerabat dalam masyarakat di seluruh Indonesia mempunyai keterikatan yang sangat kuat, sekaligus merupakan potensi masyarakat yang luar biasa, sebagai sumber kesetiakawanan sosial yang mampu memecahkan permasalahan sosial yang ada didaerahnya. Hal inilah yang perlu diangkat dan dikembangkan. Pada tataran home care, peran keluarga sangat penting. Home care pada dasarnya adalah bagaimana peranan keluarga dalam melakukan perawatan dan pendampingan terhadap lansia. Indonesia sebagai Negara dengan budaya timur yang kental memberikan perhatian dan penghargaan lebih kepada orag tua yang sudah lanjut usia, dengan tetap mengajak mereka tinggal di rumah keluarga sehingga dalam pemikiran timur bangsa kita, sebenarnya anak merupakan bentuk asuransi
non formal dari
orang tua. Dengan melakukan ‘investasi’
berupa
pengasuhan dan pendidikan, orang tua berharap akan bisa mendapat imbal balik ‘pengasuhan’ ketika sudah memasuki usia tua. Bahkan sekarang ini masyarakat Eropa justru ingin mencontoh Indonesia yang sangat memperhatikan para orangtuanya, sehingga pola panti sudah mulai ditinggalkan dan membiarkan orangtuanya tinggal di rumah sang anak. Home care ini mempunyai kelebihan dari sisi psikis di mana orang tua akan merasa lebih nyaman dan enak tinggal dalam rumah yang ditunggui oleh anak cucunya. Perasaan dihargai dan masih dibutuhkan ini membuat usia harapan hidup meningkat secara signifikan. Pola pelayanan home care ini juga mulai diterapkan oleh berbagai rumah sakit, khususnya bagi pasien lansia yang sudah pada stadium lanjut sehingga sulit untuk disembuhkan. Model pelayanan home care ini akan meringankan pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh keluarga namun kondisi kesehatan lansia tetap bisa dikontrol dengan baik. 42
Menurut Sri Gati Setiti (2006) dalam penelitiannya mengenai peran kerabat dalam pelayanan lansia, diperoleh salat satu kesimpulan bahwa Pelayanan Lanjut Usia oleh kekerabatan memiliki nilai budaya sebagai berikut:
Lanjut usia sebaiknya dirawat oleh anaknya/keluarga/kerabat, hal ini pula yang ada dalam berbagai agama yaitu Birrul Walidain (Berbakti pada orang tua), karena pada dasarnya apa yang kita lakukan pada orang tua kita, maka itulah yang akan kita terima dari anak – anak kita.
Lanjut Usia yang tidak punya anak, sebaiknya dirawat oleh kerabat: adik kandung/sepupu, keponakan, cucu, dan lain lain;
Bilamana tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawat tetangga.
Bilamana tetangga tidak ada yang merawatnya, alternatif terakhir dirawat di Panti Sosial Lanjut Usia Hasil penelitian tersebut menunjukkan memang pelayanan terbaik yang
diberikan kepada lansia adalah pada keluarga dan kerabatnya. Namun yang menjadi masalah/ kendala utama di sini adalah apabila anak / keluarga lansia tersebut termasuk dalam keluarga kurang mampu, yang bahkan untuk menghidupi dirinya sendiri saja tidak sanggup. Pada tataran ini yang lah maka diperlukan adanya jaminan sosial bagi lansia. Dalam kegiatan Posyandu lansia dibagi menjadi 10 tahap pelayanan, yaitu: 1. Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari / activity of daily living, meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan / minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur dan buang air. 2. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit. 3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik indek massa tubuh. 4. Pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit. 5. Pemeriksaan hemoglobin. 6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adannya penyakit gula. 7. Pemeriksaan adanya zat putih telur / protein dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal.
43
8. Pelaksaan rujukan ke puskemas bila mana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan pada nomor 1 hingga 7. 9. Penyuluhan bisa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi oleh individu dan atau kelompok usia lanjut. 10. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut yang tidak datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
Pada saat pelaksanaan kegiatan Posyandu Lansia sering dilakukan kegiatan senam lansia. Senam lansia terdiri dari beberapa tahapan yaitu: 1. Persiapan Sebelum Senam
Pastikan keadaan tubuh sehat dengan berjalan secepat-cepatnya 5 menit dan istirahat 10 menit.
Periksa denyut nadi (jika lebih dari 100 jangan lanjutkan aktivitas fisik).
Intensitas senam diukur dengan denyut nadi, lamanya senam ± 2030 menit, dan frekuensi senam ± 3-4 kali dalam seminggu.
2. Tahapan Senam
Tahap Pemanasan: Pengaturan napas 2 x 8 (bermanfaat untuk memperbaiki sistem kerja jantung)
Tahap Inti: Jalan di tempat (angkat kaki secara aktif) 2 x 8 Lebarkan kaki sejajar (diam di tempat) Bertepuk tangan (lengan sejajar bahu) 2 x 8 Tepuk jari tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2 x 8 Silangkan antar jari tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2x8 Silangkan jempol tangan kanan (rentangkan tangan sejajar bahu1 x 8 Silangkan jempol tangan kiri (rentangkan tangan sejajar bahu)1 x 8 Tepuk antar jari kelingking tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2 x 8
44
Tepuk antar jari telunjuk tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2 x 8 Ketok pergelangan tangan kanan (lengan tangan sejajar bahu) 1 x 8 Ketok pergelangan tangan kiri (lengan tangan sejajar bahu) 1 x8 Ketok nadi tangan kanan (lengan tangan sejajar bahu) 1 x 8 Ketok nadi tangan kiri (lengan tangan sejajar bahu) 1 x 8 Tekan antar telapak tangan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8 Tekan putar telapak tangan (atas ke bawah sejajar dada) 1 x 8 Buka dan remas jari tangan 2 x 8 Tepuk punggung tangan kanan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8 Tepuk punggung tangan kiri (tangan sejajar dada atas) 1 x 8 Tepuk punggung lengan kanan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8 Tepuk punggung bahu kanan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8 Tepuk punggung lengan kiri (tangan sejajar dada atas) 1 x 8 Tepuk punggung bahu kiri (tangan sejajar dada atas) 1 x 8 Tepuk pinggang (bungkuk badan 45 derajat) 2 x 8 Tepuk paha samping (gerakan menggenjot lutut naik turun) 2x8 Tepuk betis kaki (bungkuk badan sejajar 90 derajat) 2 x 8 Peregangan otot lengan, bahu, punggung, lutut, betis 2 x 8 Tepuk perut bagian bawah (samping kanan-kiri) 2 x 8 Sikap tegak tangan simpul ke perut (tutup kaki, diam di tempat) Jinjit kaki (kaki lurus, diam di tempat)
Tahap Pendinginan: Tarik dan tahan napas (kedua tangan naik ke atas kepala) 1 x 8 Hembuskan napas (kedua tangan turun ke depan dada) 1 x 8 Tarik dan tahan napas (kedua tangan naik ke atas kepala) 1 x 8 45
Hembuskan napas (kedua tangan turun ke samping) 1 x 8 Tarik dan tahan napas (tangan kanan naik ke atas kepala) 1 x 8 Hembuskan napas (tangan kanan turun ke samping) 1 x 8 Tarik dan tahan napas (tangan kiri naik ke atas kepala) 1 x 8 Hembuskan napas (tangan kiri turun ke samping) 1 x 8 Tarik, tahan, dan hembuskan napas
(angkat kedua tangan dan
turunkan perlahan) 2 x 4
Pada saat pelaksanaan kegiatan Posyandu lansia, sering digunakan sistem 5 meja, yaitu :
Meja 1: Pendaftaran Mendaftarkan lansia, kader mencatat lansia tersebut, kemudian peserta yang sudah terdaftar di buku register langsung menuju meja selanjutnya.
Meja 2 : Pengukuran tinggi, berat dan tekanan darah Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah.
Meja 3 : Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat) Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi: Indeks Massa Tubuh, tekanan darah, berat badan, tinggi badan.
Meja 4 : Penyuluhan Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dan pemberian makanan tambahan.
Meja 5: Pelayanan medis Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas dari Puskesmas/kesehatan meliputi kegiatan: pemeriksaan dan pengobatan ringan.
46
Ini adalah skema sistem 5 meja di Posyandu lansia:
Bentuk KMS Lansia
47
48
49
50
51
52
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2015.Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Depsos RI. 2009. DukunganKelembagaan Dalam Kerangka Peningkatan Kesejahteraan Lansia.Kantor Urusan Pemberdayaan Lansia, Depsos. RI. Jakarta.www.depsos.go.id. Folstein, M.F., Folstein, S.E., and McHugh, P.R. 1975. “Mini Mental State”: A practical method for grading the cognitive state of patient for the clinician. J. Of Psychiatris Research, 12: 189-198. Hanim, D. 2004. Pemberdayaan Perempuan Lansia Untuk Peningkatan Status Gizi. Laporan Penelitian. Surakarta: LPPM UNS. Probosuseno.2007. Mengatasi ”Isolation” pada Lanjut www.Geriatric&InternalMedicineConsultation.Medicalzone .
Usia.
Sri Gati Setiti. 2006. Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan( Studi Kasus Pada Lima Wilayah Di Indonesia). www.depsos.go.id.
.
53
LAMPIRAN 1. REFLEKSI PEMBELAJARAN FIELD LAB
1. Apa yang Anda harapkan dari pembelajaran Field Lab Topik ini?
2. Aspek kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) apa saja yang udah Anda dapatkan dalam mencapai tujuan pembelajaran field lab? a. Aspek pengetahuan
b.
Aspek keterampilan
c.
Aspek sikap
3. Apakah yang belum atau tidak Anda lakukan dengan baik untuk mencapai apa yang Anda harapkan dan tujuan pembelajaran field lab?
4.
Jika pembelajaran field lab ini akan Anda alami di waktu yang akan datang, apakah yang Anda lakukan untuk memperbaiki performa?
5. Bagaimanakah hubungan topik field lab ini dengan profesi Anda ketika sudah lulus nanti?
54
LAMPIRAN 2. Kegiatan Fieldlab Topik KIE Posyandu Lansia
Pengarahan dari instruktur
Memberi penyuluhan kepada warga
Peserta penyuluhan
Instruktur dari Puskesmas
55