Portofolio Bangsal 1 Catri.docx

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Portofolio Bangsal 1 Catri.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,214
  • Pages: 38
Topik: Melena ec suspek Gastritis Erosif + Gout Arthritis Tanggal (kasus): 20-11-2017

Persenter: dr. Catri Dwi Utari Pramasari

Tangal presentasi:

Pendamping: dr. Vivin J. Susilo

Tempat presentasi: RS HM Rabain Muara Enim □  Keilmuan

□ Keterampilan

□ Penyegaran

□ Tinjauan pustaka

□  Diagnostik

□ Manajemen

□ Masalah

□ Istimewa

□ Anak

□ Dewasa

□ Lansia 

□ Neonatus

□ Bayi

□ Remaja

□ Bumil

□ Deskripsi: Laki-laki, 74 thn, datang ke IGD RS HM Rabain bersama keluarganya dengan keluhan lemas sejak 1 minggu SMRS. Pasien mengeluh lemas dan penglihatan berkunang-kunang yang dirasakan memberat sejak 2 hari SMRS. Lemas sudah dirasakan lama, tetapi tidak menggangu aktivitas pasien. Selain lemas, selama 4 hari SMRS pasien mengatakan BAB berwarna hitam ± 3-4 kali per harinya dengan konsistensi tinja dikatakan lunak kental, tidak disertai darah berwarna merah segar disertai dengan keluhan mual dan nyeri ulu hati, yang terasa perih apabila pasien telat makan. Nafsu makan menurun. Sedangkan muntah isi makanan atau muntah darah disangkal. Riwayat demam lama, sesak napas, perut membuncit disangkal. Riwayat konsumsi obat-obat pegal linu dari warung dan obat-obat penghilang rasa sakit dalam jangka waktu lama dan gemar mengkonsumsi kopi. Riwayat minum alkohol disangkal. □ Tujuan: mengetahui penatalaksanaan Melena ec suspek Gastritis Erosif dengan Anemia + Gout Arthritis Bahan bahasan:

□ Tinjauan pustaka

Cara membahas:

□ Diskusi

Data pasien:

□ Kasus 

□ Riset

□ Presentasi dan diskusi 

Nama: Tn.SK/74 th

□ E-mail

No registrasi:

Data utama untuk bahan diskusi: 1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Melena ec suspek Gastritis Erosif dengan Anemia + Gout Arthritis 2. Riwayat Pengobatan: Mengkonsumsi obat-obatan pegel linu dan penghilang rasa sakit sejak 3 tahun. 3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Belum pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat nyeri ulu hati/penyakit maag (+)

□ Audit □ Pos

Riwayat kencing manis (+) Riwayat darah tinggi (-) Riwayat sakit kuning (-) Riwayat asma (-) Riwayat alergi (-) Riwayat penyakit jantung atau paru (-) Riwayat operasi (-) Riwayat asam urat tinggi (+) 4. Riwayat keluarga: Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal serupa Riwayat kencing manis (-) Riwayat darah tinggi (-) Riwayat asma (-) Riwayat alergi (-) Riwayat penyakit jantung atau paru (-) Riwayat operasi (-) 5. Riwayat sosial ekonomi: Pasien tinggal bersama anaknya. Pasien sekarang tidak bekerja. Pasien menggunakan BPJS Kesehatan. 6. Lain-lain: UGD 20 November 2017 Tanda-tanda Vital Kesadaran

: E4M5V6 = 15

Tekanan darah : 110/60 mmHg Nadi

: 83 x/menit, isi dan tegangan cukup, reguler

Suhu

: 37,8 °C

Pernapasan

: 24 x/menit, reguler

Keadaan umum : Tampak sakit berat, lemah dan pucat

Status Generalis Kepala : Nyeri tekan kepala -, rambut tidak mudah dicabut, alopecia Mata

: Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor, diameter pupil 3 mm/3 mm.

Telinga : Nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-, serumen +/+, sekret -/Hidung : Sekret -/-, deviasi septum -, mukosa hiperemis Mulut

: Higiene buruk, tonsil T1/T1, mukosa hiperemis -

Leher

: Simetris, JVP tidak meningkat, distensi vena jugularis -/-, pembesaran KGB -, pembesaran tiroid -

Thorax : Paru

: I:

Pergerakan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-), pectus excavatum (-), pectus carinatum(-), spider nevi (-), sikatriks (-).

P:

Krepitasi (-), massa (-), Vokal fremitus lapang paru kiri=kanan.

P:

Sonor pada seluruh lapang paru.

A: SN vesikuler +/+, Rbh-/-, Rbk -/-, Wh-/Jantung: I :

Ictus cordis tidak terlihat

P:

Ictus cordis teraba di SIC 5 2jari medial linea midklavikula kiri

P:

Batas jantung kiri di SIC 5 2jari medial linea midklavikula kiri, batas jantung kanan di ICS 5 linea sternalis kanan.

A: S1>S2, regular, gallop (-), murmur (-). Abdomen: I : Abdomen datar, caput medusa -, sikatriks -, venektasi -. A : Bising usus +, 6 kali per menit. P : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-), P : Dinding abdomen suepel, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan McBurney( -), hepar dan lien tidak teraba, ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/H/L: tidak teraba besar Ekstremitas: CRT <2”, tidak ada edema, akral hangat, turgor kulit baik, refleks patologis -/-, kaku kuduk -, tampak tophus warna merah (+) pada sendi-sendi tangan dan kaki bilateral. Daftar Pustaka: 1. Laine L. Gastrointestinal bleeding. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo JL. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012. 2. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus nasional tata laksana perdarahan saluran cerna bagian atas non-variseal. Acta Medica Indonesiana; 2014. 3. Jiwon K. Management and prevention of upper GI bleeding. Journal of gastroenterology and nutrition.2012(7):7-29.

4. National Institute for Health and Excellence (NICE). Acute upper gastrointestinal bleeding in over 16s: management.2012. 5. Barkun AN, etc. International consensus recommendations on the management of patients with nonvariceal upper gastrintestinal bleeding. Ann Intern Med 2010;152(2):101-13. 6. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J Gastroenterol 2012;107:345-60. 7. Cremers I, Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. Ther Adv Gastroenterol 2014.7(5):206-16. Hasil pembelajaran: 1. Diagnosis Suspek Gastritis Erosif 2. Patofisiologi Melena ec Suspek Gastritis Erosif + Anemia + Gout Arthritis 3. Penatalaksanaan Melena ec Suspek Gastritis Erosif + Anemia + Gout Arthritis

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio: 1. Subyektif: Pasien mengeluh lemas, nyeri ulu hati dan BAB berwarna hitam dengan konsistensi lunak kental tanpa disertai darah berwarna merah segar. Keluhan ini sudah jelas merupakan gejala utama melena. Melena disebabkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA). Perdarahan SCBA dapat berupa varises esophagus atau non varises. Nyeri ulu hati, yang terasa perih apabila pasien telat makan, mual, riwayat konsumsi obat-obat pegal linu dari warung dalam jangka waktu lama dan gemar mengkonsumsi kopi menunjukan adanya peradangan di lambung atau gastritis. Riwayat demam lama, sesak napas, perut membuncit disangkal sehingga perdarahan karena varises esophagus dapat disingkirkan. Pasien memiliki riwayat asam urat tinggi (+). Dari anamnesis ini, didapatkan diagnosis bahwa pasien mengalami melena karena gastritis erosif yang kemungkinaan disebabkan oleh pemakaian NSAID untuk mengatasi penyakit gout arthritis dan kebiasaan minum kopi. 2. Objektif: Kesadaran

: E4M5V6 = 15

Tekanan darah : 110/60 mmHg Nadi

: 96 x/menit, isi dan tegangan cukup, reguler

Suhu

: 36,9 °C

Pernapasan

: 24 x/menit, reguler

Keadaan umum : Tampak sakit berat, lemah dan pucat

Status Generalis Kepala : Nyeri tekan kepala -, rambut tidak mudah dicabut, alopecia Mata

: Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor, diameter pupil 3 mm/3 mm.

Telinga : Nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-, serumen +/+, sekret -/Hidung : Sekret -/-, deviasi septum -, mukosa hiperemis Mulut

: Higiene buruk, tonsil T1/T1, mukosa hiperemis -

Leher

: Simetris, JVP tidak meningkat, distensi vena jugularis -/-, pembesaran KGB -, pembesaran tiroid -

Thorax : Paru

: I:

Pergerakan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-), pectus excavatum (-), pectus carinatum(-), spider nevi (-), sikatriks (-).

P:

Krepitasi (-), massa (-), Vokal fremitus lapang paru kiri=kanan.

P:

Sonor pada seluruh lapang paru.

A: SN vesikuler +/+, Rbh-/-, Rbk -/-, Wh-/Jantung: I :

Ictus cordis tidak terlihat

P:

Ictus cordis teraba di SIC 5 2jari medial linea midklavikula kiri

P:

Batas jantung kiri di SIC 5 2jari medial linea midklavikula kiri, batas jantung kanan di ICS 5 linea sternalis kanan.

A: S1>S2, regular, gallop (-), murmur (-). Abdomen: I : Abdomen datar, caput medusa -, sikatriks -, venektasi -. A : Bising usus +, 6 kali per menit. P : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-) P : Dinding abdomen supel, nyeri tekan -, nyeri tekan McBurney -, hepar dan lien tidak teraba, ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/H/L: tidak teraba besar Ekstremitas: CRT <2”, tidak ada edema, akral hangat, turgor kulit baik, refleks patologis -/-, kaku kuduk –, tampak tophus warna merah bengkak (+) pada sendi-sendi kaki dan tangan bilateral.

Laboratorium di UGD Leukosit 9.300 ribu/uL Eritrosit 1,25 juta/uL Hemoglobin 5,0 g/dL Hematokrit 12 % Trombosit 442.000 ribu/uL MCV 89,0 fl MCH 29,6 pg MCHC 30,6 g/dL RDW 18,5 % BSS : 109 mg/dl Asam Urat : 9,2 mg/dl Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, ditegakkan diagnosis: - Melena ec suspek Gastritis Erosif - Anemia Perdarahan - Hiperurisemia 3. ”Assessment”(penalaran klinis): Pada kasus perdarahan saluran cerna, perlu diketahui beberapa kondisi yang dapat terjadi pada pasien, yakni hematemesis, melena, dan hematoskezia. Pada hematemesis terdapat perdarahan yang berasal dari lesi di mukosa saluran cerna yang terletak di atas perbatasan duodenojejunum. Penyebab utama dari hematemesis ada beberapa, yakni ulkus peptikum, gastritis erosif, sindroma Mallory Weiss, dan varises esofagus. Pada 80-90% kasus, satu dari keempat diagnosis tersebut dapat dijumpai pada pasien dengan keluhan utama hematemesis. Diagnosis banding lain untuk hematemesis yang lebih jarang dijumpai meliputi esofagitis, tumor regio gastroduodenum, diatesis hemoragik, hemobilia, hemangioma, penyakit Osler, fistula aortointestinal, oklusi arteri mesenterika, dan pseudoxantoma elastikum. Pada melena didapatkan adanya perdarahan berupa tinja berwarna hitam kental, seperti tar, yang disebabkan oleh etiologi yang sama dengan hematemesis, yakni ulkus peptikum, gastritis erosif, sindroma Mallory Weiss, varises esofagus, atau tumor. Hematemesis yang berlangsung bersama-sama dengan melena mengindikasikan adanya perdarahan yang bersumber proksimal dari jejunum. Walaupun demikian hematemesis dapat tidak dijumpai pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Perlu dipertimbangkan pula perdarahan saluran cerna yang disebabkan oleh terapi NSAID, kondisi stres pascabedah dan luka bakar, dan efek dari terapi antikoagulan.

Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya melena, yakni volume perdarahan yang terjadi (>50 ml), waktu transit usus (>8 jam), serta efek sekresi asam lambung dan flora normal usus terhadap hemoglobin. Lebih lanjut perdarahan per rektal berwarna merah segar (hematoskezia) mengindikasikan perdarahan yang bersumber dari kolon atau usus halus bagian distal (karena tumor, divertikulum, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, dan angiodisplasia). Perdarahan masif dari saluran cerna atas yang disertai dengan pemendekan waktu transit usus juga dapat menyebabkan terjadinya hematoskezia. Sebaliknya pada perdarahan dari kolon proksimal yang disertai pemanjangan waktu transit usus dapat menyebabkan melena. Perlu juga diperhatikan adanya beberapa kondisi yang dapat menyerupai melena, yakni pada pemberian suplementasi besi, preparat arang, dan konsumsi makanan tertentu (bit atau blueberry) dalam jumlah besar. Dalam kasus perdarahan saluran cerna, modalitas endoskopi digunakan untuk menentukan etiologi

sehingga

dapat

dipilih

terapi

definitifnya.

Umumnya

dilakukan

esofagogastroduodenoskopi yang dilanjutkan dengan kolonoskopi jika diperlukan. Angiografi dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan saluran cerna, namun terbatas pada kasus perdarahan terus-menerus dengan volume 0,5-2,0 ml/menit. Lesi di usus halus, terutama lesi tumor, tergolong sulit untuk dideteksi. Pada kasus perdarahan intestinal dengan hasil endoskopi negatif, perlu dipertimbangkan adanya tumor intestinal (schwannoma, leiomioma, limfoma maligna, karsinoma). Modalitas pencitraan lain yang dapat digunakan adalah radiografi dengan foto polos abdomen, CT scan, MRI, atau endoskopi kapsul dan double balloon enteroscopy. Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas ligamentum treitz, yakni dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) penting untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan non-varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis. Cara singkat untuk membedakan perdarahan yang berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA) dan bagian bawah (SCBB) adalah: (1) pada SCBA, manifestasi klinik pada umumnya hematemesis dan/atau melena, pada SCBB terdapat hematokesia; (2) terlihat adanya darah pada aspirasi nasogastrik pada pasien SCBA; (3) Rasio BUN/kreatinin meningkat >35 pada SCBA, dan; (4) ditemukan bising usus yang meningkat pada auskultasi di SCBA. Melena menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas dan dicernanya darah pada usus halus. Warna gelap atau hitam berasal dari konversi Hb menjadi hematin oleh bakteri

setelah 14 jam. Perubahan warna disebabkan oleh HCl lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml baru dijumpai keadaan melena. Pada hematemesis melena yang disebabkan kelainan pada gaster, biasanya didahului oleh gejala mual, muntah dan rasa perih di ulu hati. Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis dan difus atau lokal. Gastritis erosif bila terjadi kerusakan mukosa lambung yang tidak meluas sampai epitel. Gastritis merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan merupakan respon mukosa terhadap berbagai iritan lokal. Endotoksin bakteri (setelah menelan makanan), kafein, alkohol, dan aspirin merupakan pencetus yang lazim. Infeksi Helicobacter pylori lebih sering diangap penyebab gastritis akut. Obat-obatan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS) sulfonamid, steroid juga diketahui menggangu sawar mukosa lambung.

Etiologi dan Patogenesis a. Helicobater pylori Individu sehat dibawah umur 30 tahun mempunyai angka prevalesi koloni H. Pylori pada lambung sekitar 10 %. Kolonisasi meningkat sesuai umur, pada mereka yang berumur lebih dari 60 tahun mempunyai tingkat kolonisasi sesuai umur mereka. H. pylori merupakan basil gram-negatif, spiral dengan flagel multipel lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik. H. Pylori tidak menyerang jaringan, menghuni dalam gel lendir yang melapisi epitel. H. pylori mengeluarkan urease yang memecah urea menjadi amnion dan CO2 sehingga milieu akan menjadi basa dan kuman terlindungi terhadap faktor merusak dari asam lambung. Disamping itu, kuman ini membentuk platelet ectiving faktor yang merupakan pro inflamatory sitokin. Sitokin yang terbentuk mempunyai efek langsung pada sel epitel melalui ATP-ase dan proses transport ion. b. OAINS dan Alkohol OAINS dan alkohol merupakan zat yang dapat merusak mukosa lambung dengan mengubar permeabilitas sawar epitel, sehinga memungkinkan difus balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan jaringan terutama pembuluh darah. Zat ini menyebabkan perubahan kualitatif mukosa lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mukus oleh pepsin. Mukosa menjadi edem, dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak mengakibatkan hemoragi interstisial dan perdarahan. Mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik dibanding fundus sehinga erosif serin terjadi di antrum. Difus balik ion H

akan merangsang histamin untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung. c. Stress ulkus Istilah ulkus stress digunakan untuk menjelaskan erosi lambung yang terjadi akibat stress psikologis atau fisiologis yang berlangsung lama. Bentuk stress dapat bermacam-macam seperti syok hipotensif setelah trauma dan operasi besar, sepsis, hipoksia, luka bakar hebat (ulkus Curling), atau trauma serebral (ulkus Cushing). Gastritis erosif akibat stress memiliki lesi yang dangkal, ireguler, menonjol keluar, multiple. Lesi dapat mengalami perdarahan lambat menyebabkan melena, dan seringkali tanpa gejala. Lesi ini bersifat superficial. Ulkus stress dibagi menjadi 2. Ulkus cushing karena cedera otak ditandai oleh hiperasiditas nyata yang diperantarai oleh rangsang vagus dan ulkus curling an sepsis ditandai oleh hipersekresi asam lambung. Sebagian besar peneliti setuju bila iskemia mukosa lambung adalah faktor etiologi utama yang menyebabkan terjadinya destruksi sawar lambung dan terbentuk ulserasi. Secara umum pasien gastritis erosif mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom/ kumpulan gejala berupa mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang. Secara umum dispepsia dibagi menjadi empat yaitu: dispepsia akibat tukak, dispepsia akibat gangguan motilitas, dispepsia akibat refluks dan dispepsia tidak spesifik. 4. ”Plan”: - Melena ec suspek Gastritis Erosif - Anemia Perdarahan - Hiperurisemia Terapi:  Tirah baring  Diet NB  IVFD RL XX gtt/m (makro)  Ceftriaxone 3 x 1 gr IV  Prosogan 1 x 1 IV  Sukralfat (Ulsafat) 4 x 1 CTH  Ondansentron 2 x 1 IV  Asam Tranexamat 3 x 500 mg IV  Neurosanbe 1 x 1 IV  Asam Folat tablet 1 x 1

 Paracetamol 3 x 500 mg tablet PO  Kolkisin 2 x 1 tablet PO  Transfusi PRC 5 bag @ 500 cc dengan target Hb ≥ 10 gr/dl  Rencana pemeriksaan Endoskopi

Pengobatan: pengobatan dan penatalaksaan yang akan dibahas dalam diskusi kasus ini bertujuan untuk: 1. Mengatasi perdarahan saluran cerna bagian atas 2. Mengurangi beratnya perdarahan, serta berulangnya episode perdarahan dengan mengobati penyebab perdarahan 3. Mencegah komplikasi Pada kasus perdarahan saluran cerna pertama-tama harus dilakukan resusitasi hemodinamik dengan cairan dan darah yang diberikan secara intravena. Akses IV dilakukan dengan pemasangan IV line 18G. Resusitasi dilakukan dengan melakukan penambahan volume intravaskular dengan normosalin atau larutan Ringer laktat, transfusi PRC setelah dilakukan crossmatching hingga dicapai kadar Hb target 10 g/dl pada kasus ruptur varises dan 12 g/dl pada kasus non ruptur varises, serta koreksi koagulopati dengan transfusi fresh frozen plasma atau konsentrat trombosit hingga kadar trombosit >50.000/mm3. Apabila terdapat hematemesis juga dilakukan bilas lambung dengan NGT sembari dilakukan intubasi untuk melindungi jalan napas apabila terjadi syok, hematemesis masif, atau penurunan kesadaran. Setelah terapi akut dilakukan, terapi lanjutan dilakukan sesuai dengan penyebab terjadinya perdarahan saluran cerna. Pada kasus perdarahan saluran cerna atas yang bermanifestasi sebagai melena, perlu diinvestigasi lebih dahulu etiologinya. Secara umum apabila perdarahan disebabkan oleh ruptur varises esofagus, terapi melibatkan penggunaan oktreotida dan antibiotik ditambah dengan endoskopi terapeutik (ligasi varises esofagus). Pada perdarahan yang disebabkan oleh etiologi non ruptur varises, secara umum dapat diberikan sitoprotektor berupa sukralfat atau teprenon, antasida, serta injeksi vitamin K pada pasien dengan penyakit hepar kronik atau sirosis hepar. Secara khusus apabila perdarahan disebabkan oleh penyakit ulkus peptikum, terapi farmakologik dilakukan dengan pemberian inhibitor pompa proton dan endoskopi terapeutik (injeksi epinefrin, kauterisasi, dan penjepitan pembuluh darah). Pada kasus perdarahan yang disebabkan gastritis erosif, terapi dilakukan dengan pemberian inhibitor pompa proton atau antagonis H2. Pada kasus ini pasien mengalami perdarahan saluran cerna yang bermanifestasi sebagai

melena. Secara klinis ditentukan sumber perdarahan diperkirakan berasal dari gastritis erosif. Walaupun demikian masih terdapat kemungkinan ruptur varises esofagus. Maka itu sembari menunggu dilakukannya endoskopi, dilakukan pemberian terapi empirik seperti yang sudah dituliskan di atas. Terapi cairan untuk ekspansi volume intravaskular dilakukan dengan pemberian normosalin NaCl 0,9%. Masing-masing diberikan sebanyak 500 ml tiap 8 jam. NaCl 0,9% merupakan normosalin kristaloid yang ditujukan untuk meningkatkan volume cairan intravaskular. Dalam kaitan dengan pencegahan syok hipovolemik dan kondisi hipervolemia, pada pasien sebaiknya dilakukan juga monitoring tanda-tanda vital, produksi urin (balans cairan), dan pengukuran hematokrit serial apabila memungkinkan. Sembari memberikan terapi cairan inisial dilakukan pula pengukuran kadar Hb. Sesuai dengan perdarahan yang terjadi, kondisi klinis pasien, serta kadar Hb pasien, dilakukan pula transfusi darah hingga dicapai target Hb 10 g/dl pada kasus ruptur varises atau 12 g/dl pada kasus non ruptur varises. Pasca transfusi dilakukan kembali pengukuran kadar Hb untuk menilai apakah perlu transfusi PRC lanjutan atau tidak. Dalam Harrison disebutkan bahwa pemberian PRC dilakukan untuk menjaga hematokrit dalam rentang 25-30%. Pada kasus perdarahan dengan transfusi yang masif dapat terjadi trombositopenia. Jika terjadi kondisi koagulopati tersebut dapat dilakukan pemberian FFP atau TC. Pada pasien dengan sirosis hepar juga perlu ditambahkan vitamin K 10 mg secara SC atau IV. Apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah (akibat transfusi masif darah yang mengandung sitrat sebagai antikoagulan) dapat dilakukan pemberian kalsium IV dengan sediaan kalsium glukonas 10% IV sebanyak 10-20 ml dalam 10-15 menit. Apabila endoskopi belum dilakukan terapi dapat dilakukan secara empirik, walaupun dalam Harrison disebutkan bahwa pemberian antasida, penghambat reseptor H2, dan PPI secara empirik belum terbukti bermanfaat. Algoritma terapi dalam Harrison menyebutkan bahwa endoskopi dilakukan terlebih dahulu sebelum memulai terapi agar terapi definitif dapat dimulai segera. Oleh karena secara klinis masih dipikirkan bahwa perdarahan saluran cerna berasal dari gastritis erosif (penyebab non varises), terapi yang diberikan mencakup Lanzoprazole (penghambat pompa proton), sukralfat (sitoprotektor), dan asam tranexamat. Lanzoprazole tergolong dalam penghambat pompa proton. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet bersalut dan sediaan injeksi IV (dapat diberikan baik secara bolus maupun drip). Lanzoprazole menghambat produksi HCl dengan cara memblokade kerja pompa proton di lambung. Pemberian lanzoprazole diindikasikan pada kasus penyakit ulkus gaster dan peptik, sindroma dispepsia tanpa ulkus, dan untuk pencegahan perdarahan mukosa saluran cerna yang

disebabkan oleh stres. Sukralfat tergolong dalam agen pelindung mukosa saluran cerna. Sukralfat merupakan garam sukrosa yang mengalami reaksi sulfasi dengan aluminium hidroksida. Dalam air atau larutan asam sukralfat akan membentuk lapisan pasta kental yang akan berikatan dengan ulkus selama 6 jam. Sebanyak 3% sukralfat akan mengalami absorbsi oleh saluran cerna dan sisanya akan dibuang melalui tinja. Melalui ikatan antara muatan negatif sukralfat dengan protein bermuatan positif pada ulkus atau erosi, sukralfat akan membentuk sawar fisik yang menghambat jejas kaustik lain dan merangsang sekresi bikarbonat dan prostaglandin mukosa. Sukralfat diberikan dalam dosis 1 g selama 4 kali sehari dalam kondisi perut kosong (1 jam sebelum makan). Efek samping sukralfat tergolong minimal karena absorpsi obat yang rendah, walaupun interaksi dengan obat lain dapat terjadi karena adanya ikatan sukralfat dengan obatobat lain. Asam tranexamat obat golongan antifibrinolitik yang bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada pembekuan darah, hal ini diberikan untuk memberhentikan melena pada pasien tersebut. Sedangkan pemberian kolsikin hanya pada akut saja, kolkisin termasuk golongan antiradang (NSAID) pemberian harus dimulai secepatnya pada awal serangan dan diteruskan sampai gejala hilang atau timbul efek samping yang mengganggu. Gejala penyakit umumnya menghilang 24 – 48 jam setelah pemberian obat. Kolkisin juga berguna untuk profilaktik serangan penyakit pirai atau mengurangi beratnya serangan. Pemasangan NGT dilakukan pada pasien dengan perdarahan yang diduga masih berlangsung dan disertai dengan instabilitas hemodinamik. Tujuan pemasangan NGT adalah mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan mengevaluasi perdarahan pada kasus ini tidak dilakukan pemasangan NGT karena tidak ada indikasi.

TINJAUAN PUSTAKA PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Definisi Perdarahan saluran cerna dapat bermanifestasi klinis sebagai gejala yang ringan seperti perdarahan tersamar, namun dapat juga ditemukan dalam kondisi yang mengancam nyawa. Perdarahan saluran cerna atas adalah kehilangan darah dari saluran cerna atas, dimana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas anatomi di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.1,2 Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi). Melena merupakan feses yang berwarna hitam seperti ter. Akan tetapi, perdarahan saluran cerna bagian atas, terutama yang berasal dari duodenum, dapat pula bermanifestasi dalam bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena juga dapat disebabkan oleh perdarahan usus halus dan proksimal kolon.1

Etiologi dan Epidemiologi Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas adalah ulkus peptikum (31-67%), diikuti oleh varises esofagus (6-39%), robekan Mallory-Weiss (2-8%), erosi gastroduodenal (2-18%), esofagitis erosif (1-13%), neoplasma (2-8%), dan ektasia vaskular (5-14%). Akan tetapi, di Indonesia didapatkan data yang berbeda. Data yang ada menunjukkan bahwa hampir 70% perdarahan saluran cerna bagian atas di Indonesia disebabkan oleh pecah varises esofagus. Meskipun demikian, karena saat ini tata laksana penyakit hati kronik semakin berkembang dan jumlah lansia semakin meningkat, diperkirakan proporsi perdarahan yang disebabkan oleh ulkus juga akan meningkat. Data di RSUP Sanglah menyatakan bahwa penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas adalah ulkus peptikum, diikuti gastritis erosiva. Studi retrospektif pada 4.154 pasien yang menjalani endoskopi di Pusat Endoskopi RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2001-2005 menunjukkan bahwa penyebab tersering perdarahan saluran cerna bagian atas adalah ruptur varises esofagus (280 kasus, 33,4%), diikuti dengan ulkus peptikum (225 kasus, 26,9%) dan gastritis erosif (219 kasus, 26,2%).1,2

Patofisiologi Varises Esofagus Varises esofagus ditemukan pada 50% pasien dengan sirosis hepatis dan perdarahan akibat varises esofagus timbul sebanyak 5-15% per tahunnya bergantung pada keparahan penyakit hati yang dimiliki pasien. Pada pasien dengan sirosis hepatis, varises gastroesofageal timbul karena adanya hipertensi porta sistemik atau segmental akibat sirosis hepatis, yang menyebabkan terjadinya obstruksi aliran vena porta. Varises muncul untuk mendekompresi hipertensi pada vena porta dan mengembalikan darah ke sirkulasi sistemik. Taut gastroesofageal memiliki lapisan jaringan tertipis sehingga menjadi lokasi yang sering untuk perdarahan varises.3 Pasien dengan varises esofagus memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan etiologi perdarahan saluran cerna bagian atas yang lain. Endoskopi terapeutik pada perdarahan akut dan endoskopi terapeutik berulang untuk mengatasi varises esofagus mengurangi angka perdarahan ulang dan mortalitas secara signifikan.Ligasi merupakan terapi endoskopi pilihan untuk varises esofagus karena memiliki angka perdarahan ulang, mortalitas, dan komplikasi lokal yang terendah. Terapi ligasi juga membutuhkan jumlah sesi yang lebih sedikit dibanding skleroterapi.1 Ocreotide (50 µg bolus dan 50 µg/jam infus IV selama 2-5 hari) membantu mengontrol perdarahan akut bila dikombinasikan dengan terapi endoskopi. Agen vasoaktif lainnya seperti somatostatin dan terlipressin juga efektif. Terapi antibiotik, misalnya ceftriaxone, juga dianjurkan pada pasien sirosis hepatis dengan perdarahan saluran cerna bagian atas karena dapat menurunkan infeksi bakteri dan mortalitas. Untuk jangka panjang, terapi dengan beta bloker nonselektif menurunkan angka perdarahan ulang. Terapi jangka panjang menggunakan beta bloker dan terapi ligasi direkomendasikan untuk mencegah perdarahan varises berulang.1 Pada pasien yang mengalami perdarahan berulang walaupun sudah mendapat terapi endoskopi dan terapi medikamentosa, direkomendasikan untuk dilakukan transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Penelitian lama menyatakan bahwa pasien dengan TIPS mengalami stenosis pada shunt-nya dalam 1-2 tahun dan membutuhkan terapi intervensi ulang untuk mempertahankan patensi shunt. Penggunaan coated stent dapat mengurangi angka disfungsi shunt dalam 2 tahun pertama. Suatu studi terandomisasi yang membandingkan TIPS (dengan uncoated shunt) dan shunt splenorenal distal pada pasien sirosis hepatis Child-Pugh A dan B dengan perdarahan varises refrakter menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam angka perdarahan ulang, ensefalopati, maupun survival, namun didapatkan angka reintervensi yang lebih tinggi secara signifikan pada TIPS (82% vs 11%). Oleh karena itu, operasi

dekompresi dapat menjadi pilihan pada pasien dengan sirosis hepatis yang lebih ringan dan ditoleransi dengan baik.1

Ulkus Peptikum Infeksi bakteri Helicobacter pylori merupakan penyebab utama ulkus peptikum, diikuti dengan penggunaan NSAID. Ulkus duodenum lebih sering ditemukan pada pasien dengan infeksi H. pylori dibandingkan ulkus gaster, namun angka kejadian perdarahan sama untuk keduanya. Penelitian lama menunjukkan bahwa angka infeksi H. pylori lebih rendah pada pasien ulkus dengan perdarahan (71%) dibandingkan pasien ulkus tanpa perdarahan (93%). Akan tetapi, studi lebih lanjut menunjukkan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh penurunan sensitivitas biopsi pada pasien dengan perdarahan ulkus akut. Hal ini dapat disebabkan oleh efek alkalinisasi darah yang menetralkan pH lambung sehingga terjadi false-negative pada pemeriksaan.3 Penggunaan NSAID, termasuk aspirin, masih menjadi penyebab yang sering dari perdarahan saluran cerna bagian atas. Walaupun sebagian besar ulkus yang disebabkan oleh penggunaan NSAID bersifat asimtomatik dan tidak mengakibatkan perdarahan, pasien lanjut usia dengan riwayat perdarahan ulkus dan tetap menggunakan NSAID memiliki risiko perdarahan ulang yang meningkat. Suatu studi prospektif jangka panjang menunjukkan bahwa orang berusia 65 tahun ke atas yang mendapatkan terapi NSAID kronik untuk artritis dan terapi aspirin dosis rendah memiliki risiko komplikasi saluran cerna bagian atas, termasuk perdarahan.3 Dosis

aspirin

75-300

mg/hari

menunjukkan

peningkatan

risiko

perdarahan

gastrointestinal sebanyak 2-3 kali. Faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas akibat penggunaan NSAID adalah durasi terapi, dosis NSAID, riwayat gangguan saluran cerna akibat NSAID, riwayat ulkus peptikum akibat infeksi H. pylori, dan penggunaan kortikosteroid, antikoagulan, serta bisfosfonat. Faktor predisposisi genetik berupa polimorfisme sitokrom P450 (CYP) 2C9 dapat menghambat metabolisme NSAID sehingga memperlama efek NSAID yang menyebabkan terjadinya ulkus.3 Selain manifestasi klinis, gambaran endoskopi ulkus peptikum juga menunjukkan prognosis. Sepertiga pasien dengan perdarahan aktif atau ulkus dengan pembuluh darah yang terlihat melalui endoskopi akan mengalami perdarahan di masa datang yang membutuhkan terapi pembedahan bila ditatalaksana menggunakan terapi konservatif. Pasien-pasien ini lebih baik diterapi dengan endoskopi terpeutik dengan elektrokoagulasi bipolar, heater probe, injeksi (alkohol absolut, epinefrin 1:10.000), dan/atau klip dengan penurunan angka perdarahan, lama

rawat di rumah sakit, mortalitas, dan biaya. Sebaliknya, pasien dengan ulkus yang berdasar bersih memiliki angka perdarahan berulang hampir nol sehingga pasien dapat langsung dipulangkan dari rumah sakit pada hari pertama bila tidak ada indikasi rawat lainnya. Pasien dengan ulkus yang tidak berdasar bersih biasanya perlu dirawat selama 3 hari karena kebanyakan perdarahan ulang terjadi dalam waktu tiga hari.1 Studi-studi RCT menunjukkan bahwa infus konstan proton pump inhibitor (PPI) dosis tinggi (misalnya omeprazole bolus 80 mg dan infus 8 mg/jam) dapat mempertahankan pH lambung >6 dan meningkatkan stabilitas bekuan darah sehingga menurunkan risiko perdarahan lebih lanjut dan mortalitas pada pasien dengan ulkus risiko tinggi (perdarahan aktif, dengan pembuluh darah yang terlihat, dan bekuan darah adheren) bila diberikan setelah dilakukan terapi endoskopi. Pemberian terapi PPI sebagai terapi awal pada semua pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas menurunkan karakteristik ulkus risiko tinggi (misalnya perdarahan aktif), namun tidak meningkatkan outcome dalam hal perdarahan lebih lanjut, kebutuhan transfusi, atau mortalitas secara signifikan bila dibandingkan dengan pemberian terapi PPI hanya saat ulkus risiko tinggi sudah teridentifikasi melalui endoskopi.1 Sepertiga pasien dengan ulkus peptikum akan mengalami perdarahan ulang dalam 1-2 tahun bila terapi preventif tidak dilakukan. Pencegahan perdarahan ulang difokuskan pada tiga faktor utama yang mempengaruhi patogenesis ulkus, yaitu infeksi H. pylori, NSAID, dan asam. Eradikasi bakteri H. pylori pada pasien dengan perdarahan pada ulkus peptikum menurunkan risiko perdarahan ulang menjadi kurang dari 5%. Bila perdarahan ulkus terjadi pada pasien yang menggunakan NSAID, penggunaan NSAID harus dihentikan bila memungkinkan. Bila NSAID tetap harus digunakan, harus digunakan NSAID tipe inhibitor COX-2 selektif ditambah PPI.1 Pasien dengan penyakit kardiovaskular yang mengalami perdarahan ulkus peptikum saat mengonsumsi aspirin dosis rendah harus memulai kembali konsumsi aspirin secepat mungkin (≤7 hari). Suatu studi terandomisasi menunjukkan bahwa kegagalan memulai kembali terapi aspirin tidak memberikan perbedaan angka perdarahan ulang yang signifikan (5% vs 10% dalam 30 hari), namun meningkatkan mortalitas secara signifikan dalam 30 hari (9% vs 1%) dan 8 minggu (13% vs 1%), dibandingkan dengan segera memulai kembali terapi aspirin. Pasien dengan ulkus perdarahan yang tidak berkaitan dengan H. pylori maupun NSAID harus terus mendapatkan terapi antisekretorik.1 Gastropati (“Gastritis”) Hemoragik dan Erosif Gastropati hemoragik dan erosif, yang sering juga disebut gastritis, adalah perdarahan dan erosi yang tervisualisasi melalui endoskopi. Kedua gastropati ini merupakan lesi mukosa

sehingga tidak menimbulkan perdarahan mayor. Gastropati hemoragik dan erosif timbul pada berbagai keadaan klinis, terutama pada penggunaan NSAID, konsumsi alkohol, dan stres. Separuh pasien yang menggunakan NSAID dalam jangka panjang memiliki erosi (15-30% di antaranya memiliki ulkus), sementara 20% pasien yang aktif mengonsumsi alkohol dengan gejala perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki erosi atau perdarahan subepitelial.1 Cedera mukosa lambung terkait stres dapat timbul pada kondisi trauma serius, pembedahan mayor, luka bakar yang meliputi sepertiga luas permukaan tubuh atau lebih, penyakit intrakranial mayor, penggunaan ventilasi mekanik selama lebih dari 48 jam, koagulopati (trombosit <50.000/mm3 atau INR >1,5), sepsis, penggunaan antikoagulan, dan kortikosteroid dosis tinggi. Perdarahan yang signifikan mungkin tidak akan terjadi kecuali timbul ulkus. Mortalitas pada pasien-pasien ini cukup tinggi karena penyakit serius yang mendasari. Insidens perdarahan pada cedera atau ulkus mukosa lambung terkait stres telah banyak berkurang pada tahun-tahun terahir ini, terutama karena peningkatan kualitas perawatan pasien sakit kritis. Pengobatan profilaksis perdarahan dapat diberikan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi tersebut. Pengobatan profilaksis dapat menurunkan angka perdarahan, namun tidak mengurangi mortalitas.1

Sindrom Mallory-Weiss Sindrom Mallory-Weiss adalah laserasi mukosa longitudinal yang terjadi pada esofagus distal dan gaster proksimal. Laserasi ini dapat berujung pada perdarahan submukosa. Insidens sindrom Mallory-Weiss adalah 5% di antara pasien-pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas. Laserasi ini dihubungkan dengan peningkatan tekanan intraabdominal secara mendadak sehingga terjadi distensi pada taut gastroesofageal dan timbul robekan. Faktor risiko dari sindrom Mallory-Weiss antara lain muntah, mengejan untuk buang air besar atau mengangkat beban berat, batuk, kejang, cegukan, resusitasi jantung-paru, trauma tumpul abdomen, dan persiapan kolonoskopi menggunakan larutan elektrolit polietilen glikol.Faktor risiko lainnya antara lain konsumsi alkohol, ketoasidosis diabetik, dan hernia hiatal. Sindrom ini biasanya didapatkan pada pasien berusia 30-50 tahun dan lebih sering pada laki-laki. Gejala klasik sindrom Mallory-Weiss adalah muntah atau batuk yang mendahului hematemesis, terutama pada pasien dengan kebiasaan konsumsi alkohol. Perdarahan pada sindrom ini, biasanya terjadi pada bagian gaster dari taut gastroesofageal, berhenti spontan pada 80-90% pasien dan hanya berulang pada 0-7%. Terapi endoskopi diindikasikan pada perdarahan aktif sindrom Mallory-Weiss.1,3

Penyebab Lainnya Penyebab lain yang jarang dari perdarahan saluran cerna atas antara lain duodenitis erosif, neoplasma, fistula aortoenterik, lesi vaskular (telangiektasia hemoragik herediter (OslerWeber-Rendu) dan ektasia vaskular antrum gaster (“watermelon stomach”), lesi Dieulafoy, gastropati prolaps, dan hemobilia atau hemosuccus pancreaticus (perdarahan dari duktus biliaris atau duktus pankreatikus).1

Faal hemostasis pada orang normal Hemostasis adalah pengehentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak. Hemostasis melibatkan tiga langkah utama: 1. Spasme vaskuler Pembuluh darah yang terpotong atau robek akan segera berkonstriksi akibat respons vaskuler inheren terhadap cedera dan vasokonstriksi yang dilindungi oleh rangsang simpatis. Konstriksi ini akan memperlambat aliran darah melalui defek, sehingga pengeluaran darah dapat diperkecil. Karena permukaan endotel (bagian dalam) pembuluh saling menekan satu sama lain akibat spasme muskular awal ini, endotel tersebut menjadi lengketdan melekat satu sama lain, kemudian menutup pembuluh yang rusak. Tindakan fisik ini saja tidak cukup untuk secara total mencegah pengeluaran darah selanjutnya, tetapi untuk memperkecil pengeluaran darah dari pembuluh yang rusak sampai tindakan-tindakan hemostatik lainnya menyumbat defek tersebut.

2. Pembentukan sumbat trombosit Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat ke permukaan endotel pembuluh darah, tetapi apabila lapisan dalam ini rusak akibat cedera pembuluh, trombosit akan melekat ke kolagen yang terpajan. Setelah berkumpul ditempat cedera tersebut, trombosit mengeluarkan adenosin difosfat (ADP) dan tromboksan A2, dimana zat kimia ini menyebabkan permukaan trombosit dalam sirkulasi yang lewat menjadi lengket dan melekat ke lapisan trombosit pertama. Trombosit yang baru melekat ini, akan mengeluarkan lebih banyak ADP, sehingga lebih banyak trombosit yang melekat, sesuai dengan mekanisme umpan balik positif. Proses sumbatan ini diperkuat juga oleh tromoksan A2 yang secara langsung mendorong agregasi trombosit dan secara tidak langsung meningkatkan proses tersebut dengan mencetuskan pengeluaran lebih banyak ADP dari granula trombosit. Trombosit tidak menumpuk di lapisan dalam pembuluh darah normal disekitarnya oleh adanya prostasiklin yang dikeluarkan oleh sel-sel endotelyang melapisi bagian dalam pembuluh.

3. Koagulasi darah Koagulasi darah, atau pembekuan darah, adalah transformasi darah dari cairan menjadi gel padat. Pembentuakan suatu bekuan diatas sumbat trombosit memperkuat dan menunjang sumbat, memperkuat tambalan yang menutupi lubang di pembuluh, sehingga darah tidak lagi dapat mengalir. Jenjang pembekuan dapat dicetuskan oleh jalur intrinsik atau jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik mencetuskan pembekuan intra vaskuler. Jalur ini melibatkan tujuh langkah terpisah, berjalan saat faktor XII diaktifkan karena berkontak dengan kolagen yang terpajan di pembuluh yang cedera, kemudian pengaktifan faktor XI, yang selanjutnya terjadi pengaktifan faktor IX yang melibatkan Ca++ dan faktor IV. Kemudian jalur ekstrinsik, yang memerlukan kontak dengan faktor-faktor jaringan di luar darah mengawali proses pembekuan darah keluar jaringan. Jika mendapat trauma, jaringan mengeluarkan tromboplastin jaringan. Tromboplastin secara langsung mengaktifkan faktor X, sehingga melewatkan semua langkah pendahuluan pada jalur intrinsik. Setelah faktor X aktif, protombin diubah menjadi trombin yang dibantu oleh Ca++, faktor V dan PF3, setelah trombin terbentuk, akan mengaktifkan faktor XII, yang akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang masih dalam bentuk jaringan ikat longgar, fibrian yang masih berupa jaring ikat longgar tersebut diubah menjadi jaring fibrin yang lebih stabil yang dapat menangkap sel-sel darah sehingga terbentuk bekuan darah.

Patofisiologi perdarahan pada Hematemesis dan Melena Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai berikut : 1. Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau adanya anemia defisiensi Fe+) 2. Perdarahan masif dengan renjatan Untuk mencari penyebab perdarahan saluran cerna dapat dikembalikan pada faktorfaktor penyebab perdarahan, yaitu : 1. Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptik, pecahnya varises esophagus 2. Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic Thrombocytopenia Purpura (ITP) 3. Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy) seperti pada hemophilia, sirosis hati, dan lain-lain

Pada sirosis kemungkinan terjadi ketiga hal di atas : vasculopathy (pecahnya varises esophagus); trombopathy (pengurangan trombosit di tekanan perifer akibat hipersplenisme); coagulopathy (kegagalan sel-sel hati). Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori : 1. Teori erosi : pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan kasar (berserat tinggi dan kasar) atau konsumsi NSAID 2. Teori erupsi : karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau peningkatan tekanan intraabdomen yang tiba-tiba karena mengedan, mengangkat barang berat, dan lain-lain

A. MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda, tergantung pada : 1. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus 2. Kecepatan perdarahan 3. Penyakit penyebab perdarahan 4. Keadaan penderita sebelum perdarahan Tanda dan gejala yang paling umum dari perdarahan saluran cerna atas adalah hematemesis dan melena. Tiga puluh persen pasien dengan perdarahan ulkus datang dengan hematemesis, 20% dengan melena, dan 50% dengan keduanya. Pada hematemesis, warna darah yang dimuntahkan tergantung dari asam hidroklorida dalam lambung dan campurannya dengan darah. Jika vomitus terjadi segera setelah perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah dan baru beberapa waktu kemudian penampakannya menjadi merah gelap, coklat atau hitam. Bekuan darah yang mengendap pada muntahan akan tampak seperti ampas kopi yang khas. Hematemesis biasanya menunjukkan perdarahan di sebelah proksimal ligamentum Treitz karena darah yang memasuki traktus gastrointestinal di bawah duodenum jarang masuk ke dalam lambung. Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan hematemesis biasanya mengakibatkan melena, kurang dari separuh pasien melena menderita hematemesis. Melena biasanya menggambarkan perdarahan esophagus, lambung atau duodenum. Namun lesi di jejunum, ileum bahkan kolon ascendens dapat menyebabkan melena jika waktu perjalanan melalui traktus gastrointestinal cukup panjang. Diperkirakan darah dari duodenum dan jejunum akan tertahan di saluran cerna selama ± 6–8 jam untuk merubah warna feses menjadi hitam. Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 48–72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses warna hitam tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah sebanyak ±60 mL cukup untuk menimbulkan satu kali buang air besar dengan tinja warna

hitam. Kehilangan darah akut yang lebih besar dari jumlah tersebut dapat menimbulkan melena lebih dari tujuh hari. Setelah warna tinja kembali normal, hasil tes untuk adanya perdarahan tersamar dapat tetap positif selama 7–10 hari setelah episode perdarahan tunggal. Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl sehingga terbentuk hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter (lengket) dan menimbulkan bau khas. Konsistensi ini berbeda dengan tinja yang berwarna hitam/ gelap yang muncul setelah orang mengkonsumsi zat besi, bismuth atau licorice. Perdarahan gastrointestinal sekalipun hanya terdeteksi dengan tes occult bleeding yang positif, menunjukkan penyakit serius yang harus segera diobservasi. Hematoschezia (darah segar pada feses) biasanya dijumpai pada perdarahan saluran cerna bawah karena darah dari saluran cerna atas akan menjadi berwarna hitam dalam perjalanannya sepanjang saluran cerna atas sehingga manifestasi yang timbul adalah melena. Akan tetapi, sebanyak lima persen pasien dengan perdarahan saluran cerna atas dapat datang dengan gejala hematoschezia, yang menunjukkan adanya perdarahan serius (biasanya lebih dari 1000 ml). Pasien yang datang dengan hematoschezia dan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik seperti sinkop, hipotensi postural, takikardia, dan syok harus dipertimbangkan sebagai perdarahan saluran cerna atas.2 Tanda dan gejala nonspesifik seperti mual, muntah, nyeri epigastrium, fenomena vasovagal, dan sinkop perlu diidentifikasi. Perlu juga dicari komorbiditas yang sering ditemukan seperti diabetes, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit jantung koroner, dan artritis serta riwayat pengobatan pasien. Evaluasi status hemodinamik (tekanan darah, nadi), frekuensi napas, tingkat kesadaran, konjungtiva pucat, peningkatan capillary refill time, dan stigmata sirosis hepatis perlu segera dilakukan.Takikardia saat istirahat dan hipotensi ortostatik menandakan telah terjadi perdarahan dalam jumlah yang cukup banyak. Berkurangnya produksi urin, mukosa bibir kering, dan kolaps vena jugularis merupakan tanda yang penting untuk menentukan dehidrasi. Perlu diingat bahwa pasien yang sedang dalam pengobatan menggunakan beta bloker, biasanya untuk pengobatan sirosis hati atau gagal jantung, mungkin tidak akan mengalami takikardia.2 Pemasangan nasogastric tube (NGT) dan mengevaluasi aspiratnya biasanya bermanfaat dalam evaluasi klinis awal. Bila pada aspirat didapatkan darah merah segar, pasien membutuhkan evaluasi endoskopik segera dan perlu mendapatkan perawatan intensif. Penurunan kadar hemoglobin sebanyak 1 mg/dL dihubungkan dengan kehilangan darah sebanyak 250 mL. Bila didapatkan muntah berwarna hitam seperti kopi, pasien perlu dirawat inap dan mendapatkan evaluasi endoskopik dalam waktu 24 jam. Meskipun demikian, aspirat NGT yang normal tidak menyingkirkan adanya perdarahan saluran cerna.Sekitar 15% pasien

dengan aspirat NGT yang normal mengalami perdarahan saluran cerna aktif dan memiliki risiko tinggi untuk mengalami perdarahan ulang.2 Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda sistemik kecuali perdarahan pada manula atau pasien anemia dengan jumlah kehilangan darah yang sedikit sudah menimbulkan perubahan hemodinamika. Perdarahan yang banyak dan cepat mengakibatkan penurunan venous return ke jantung, penurunan curah jantung (cardiac output) dan peningkatan tahanan perifer akibat refleks vasokonstriksi. Hipotensi ortostatik 10 mmHg (Tilt test) menandakan perdarahan minimal 20% dari volume total darah. Gejala yang sering menyertai : sinkop, kepala terasa ringan, mual, perspirasi (berkeringat), dan haus. Jika darah keluar ±40 % terjadi renjatan (syok) disertai takikardi dan hipotensi. Gejala pucat menonjol dan kulit penderita teraba dingin. Pasien muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna atas singkat dan berulang disertai kolaps hemodinamik dan endoskopi “normal”, dipertimbangkan lesi Dieulafoy (adanya arteri submukosa dekat cardia yang menyebabkan perdarahan saluran cerna intermiten yang banyak).

Stratifikasi Risiko

Gambar 1. Skor Rockall2

Skor Rockall adalah kriteria yang paling sering digunakan untuk memperkirakan risiko perdarahan dan mortalitas pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Skor Rockall didasarkan pada tiga faktor klinis dan dua faktor endoskopis. Rentang skor Rockall adalah 0-11. Skor 0-2 dihubungkan dengan prognosis yang baik. Skor Blatchford juga digunakan untuk memperkirakan prognosis perdarahan saluran cerna atas. Skor Blatchford hanya menggunakan data klinis dan laboratorium sehingga skor ini direkomendasikan oleh konsensus guideline di

Asia Pasifik. Skor Blatchford dapat memperkirakan perlu atau tidaknya dilakukan intervensi seperti endoskopi, pembedahan, dan transfusi darah. Rentang skor Blatchford adalah 0-23 dan skor ≥6 menandakan perlu dilakukan intervensi.Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan prognosis yang buruk pada kasus perdarahan ulkus peptikum antara lain usia >60 tahun, onset perdarahan di rumah sakit, adanya penyakit komorbid, syok atau hipotensi ortostatik, darah segar di NGT, koagulopati, kebutuhan transfusi berulang, ulkus pada bagian atas kurvatura minor (di dekat arteri gastrica sinistra), ulkus di bulbus duodenum posterior, dan ditemukannya perdarahan arteri atau pembuluh darah yang terlihat pada endoskopi. Pasien dengan skor Blatchford pre-endoskopi 0 dapat dipertimbangkan untuk segera dipulangkan.2,4

Gambar 2. Skor Blatchford2

Tata Laksana Awal Evaluasi klinis yang akurat dan resusitasi segera harus dilakukan pada kasus perdarahan saluran cerna atas, terutama pada pasien dengan hematemesis, hematoschezia masif, melena, atau anemia progresif. Selanjutnya dilakukan stratifikasi risiko berdasarkan skor Rockall atau Blatchford. Pasien dengan risiko mortalitas atau perdarahan berulang tinggi perlu dirawat di unit perawatan intensif. Pemasangan NGT dilakukan pada pasien dengan perdarahan yang diduga masih berlangsung dan disertai dengan instabilitas hemodinamik. Tujuan pemasangan NGT adalah mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan mengevaluasi perdarahan. Tindakan

resusitasi meliputi pemberian cairan secara intravena, suplementasi oksigen, koreksi koagulopati serius, dan transfusi darah.2 Keputusan untuk melakukan transfusi darah bergantung pada keadaan umum dan tanda vital pasien. Transfusi biasanya dilakukan pada kadar hemoglobin ≤7.0 g/dL kecuali bila terdapat perdarahan masif, penyakit jantung koroner, instabilitas hemodinamik (hipotensi dan takikardia), dan usia lanjut. Target transfusi adalah kadar hemoglobin ≥7 g/dL.6,7 Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah 8 mg/dL, namun bila akan dilakukan endoskopi terapeutik kadar hemoglobin minimal adalah 10 mg dL dan pasien harus dalam kondisi hemodinamik yang stabil. Transfusi trombosit dilakukan pada pasien yang masih mengalami perdarahan aktif dan kadar trombositnya <50.000/mm3. Transfusi fresh frozen plasma (FFP) diberikan pada pasien dalam keadaan perdarahan aktif dengan PT (atau INR) atau aPTT >1,5 kali normal. Bila kadar fibrinogen pasien tetap <1,5 g/dL setelah pemberian FFP, perlu juga diberikan kriopresipitat. Pada pasien yang menggunakan terapi antikoagulan, koreksi antikoagulan direkomendasikan, namun tidak boleh menyebabkan ditundanya endoskopi.4,5 Terapi PPI preendoskopik dapat dianjurkan pada pasien dengan perdarahan ulkus peptikum. Lingkungan yang bersifat asam dapat mengakibatkan inhibisi agregasi platelet dan koagulasi plasma sehingga dapat terjadi lisis dari bekuan darah yang sudah terbentuk. Pemberian terapi PPI dapat menetralisir asam lambung intraluminal dengan cepat sehingga menstabilkan bekuan darah. Akan tetapi, guideline NICE tidak merekomendasikan pemberian terapi PPI pre-endoskopik bila dicurigai perdarahan non-varises. Dalam jangka panjang, terapi antisekretorik juga dapat membantu penyembuhan mukosa. Obat-obat promotilitas tidak dinjurkan untuk diberikan secara rutin sebelum endoskopi untuk meningkatkan kemampuan diagnostik.5 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi PPI preendoskopik menurunkan stigmata risiko tinggi pada endoskopi yang dilakukan awal secara signifikan (37% vs 46%, OR 0,67; 95% CI 0.54-0.84). Akan tetapi, terapi ini tidak mengurangi angka perdarahan berulang, perdarahan, dan mortalitas. Bila endoskopi harus ditunda atau tidak dapat dilakukan, pemberian PPI direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lebih lanjut. Pasien dapat dipertimbangkan untuk tidak dirawat inap dan tidak dilakukan endoskopi apabila kadar BUN <18,2 mg/dL, Hb ≥13 g/dL pada laki-laki atau ≥12 g/dL pada perempuan, tekanan darah sistolik ≥110 mmHg, frekuensi nadi <100 kali permenit, dan tidak ada melena, sinkop, gagal jantung, dan penyakit liver.4,6

Perdarahan Ulkus Peptikum (Non-Varises)

Endoskopi merupakan tindakan utama dalam diagnosis dan tata laksana perdarahan saluran cerna atas. Endoskopi memungkinkan dilakukannya identifikasi lokasi perdarahan dan tata laksana perdarahan secara bersamaan. Dengan endoskopi, hemostasis awal dapat dilakukan. Akan tetapi, dapat timbul komplikasi berupa aspirasi darah atau penurunan saturasi oksigen pada pasien yang tidak stabil. Selain itu, banyaknya darah dan bekuan darah dapat mengganggu targeted therapy terhadap fokus perdarahan sehingga dapat menyebabkan diperlukannya tindakan endoskopi ulang. Pemberian eritromisin intravena (250 mg, 30 menit sebelum endoskopi) perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan hasil diagnostik.6 Konsensus di negara Asia Pasifik merekomendasikan untuk melakukan endoskopi dalam waktu 24 jam setelah pasien dirawat inap karena terbukti dapat mengurangi lama rawat inap dan meningkatkan outcome klinis. Endoskopi yang dilakukan sangat awal (<12 jam) sejauh ini tidak memberikan efek lebih dalam menurunkan risiko perdarahan berulang, pembedahan, dan mortalitas. Akan tetapi, endoskopi emergensi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan serius. Pada pasien dengan manifestasi klinis yang berisiko tinggi (takikardia, hipotensi, hematemesis atau darah merah terang di NGT), endoskopi dalam 12 jam dapat meningkatkan keluaran klinis.2,6 Klasifikasi Forrest digunakan untuk mengelompokkan temuan pada endoskopi: ulkus dengan perdarahan mengucur (Forrest IA), ulkus dengan perdarahan mengalir (Forrest IB), ulkus dengan pembuluh darah yang terlihat (Forrest IIA), ulkus dengan bekuan darah adheren (Forrest IIB), ulkus dengan flat pigmented spot (Forrest IIC), dan ulkus dengan dasar bersih (Forrest III). Pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami perdarahan ulang tanpa terapi adalah pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif (90%), ulkus dengan pembuluh darah yang terlihat (50%), dan ulkus dengan bekuan darah adheren (30%).2,6

Gambar 3. Klasifikasi Forest

Gambar 4. Algotitma Perdarahan Salurahan Cerna Atas Akut

Endoskopi terapeutik bertujuan untuk menghentikan perdarahan aktif dan mencegah perdarahan berulang. Pilihan jenis terapi yang dilakukan ditentukan berdasarkan fokus perdarahan dan risiko terjadinya perdarahan persisten atau berulang. Pada perdarahan ulkus peptikum, pasien dengan perdarahan aktif atau pembuluh darah yang terlihat pada endoskopi memiliki risiko tertinggi untuk mengalami perdarahan berulang sehingga pasien-pasien ini

membutuhkan terapi hemostatik endoskopi segera. Pasien dengan ulkus berdasar bersih atau ulkus dengan pigmented spot tidak membutuhkan endoskopi terapeutik. Pasien dengan ulkus berdasar bersih dapat diberi diet lunak dan pulang dari rumah sakit bila status hemodinamik stabil, kadar hemoglobin cukup, dan tidak ada masalah medis lainnya.2,6 Pada pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif, perlu diberikan terapi hemostatik kombinasi, misalnya injeksi epinefrin ditambah dengan pemasangan hemoclip, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi. Injeksi epinefrin tidak direkomendasikan sebagai terapi tunggal. Injeksi penggunaan klip direkomendasikan karena dapat menurunkan perdarahan berulang. Terapi termal dengan elektrokoagulasi bipolar atau heater probe dan injeksi sklerosan, misalnya alkohol absolut, direkomendasikan karena dapat menurunkan perdarahan lebih lanjut, pembedahan, dan mortalitas. Pasien dengan stigmata risiko tinggi pada hasil endoskopi biasanya dirawat inap selama tiga hari bila tidak ada perdarahan berulang dan indikasi rawat inap lainnya. Selanjutnya pasien dapat secepatnya diberi diet lunak dan selanjutnya diet disesuaikan secara bertahap. Pasien dengan perdarahan berulang biasanya dapat ditatalaksana menggunakan endoskopi terapeutik. Pembedahan emergensi atau embolisasi angiografik mungkin dibutuhkan pada keadaan tertentu, misalnya pada : 1.

Perdarahan memancar yang tidak dapat diatasi dengan endoskopi terapeutik

2.

Titik perdarahan tidak dapat dilihat akibat adanya perdarahan aktif yang massif

3.

Perdarahan berulang yang terjadi setelah dilakukan endoskopi terapeutik kedua.2,6

Terapi menggunakan PPI lebih superior dibanding menggunakan antagonis reseptor H-2. PPI dapat diberikan secara oral maupun intravena sesuai dengan stigmata perdarahan (klasifikasi Forrest). Data yang ada merekomendasikan pemberian PPI intravena dosis tinggi berkelanjutan pada perdarahan ulkus peptikum dengan stigmata risiko tinggi. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien perlu mendapatkan PPI oral satu kali sehari untuk mengurangi risiko perdarahan berulang. Durasi dan dosis PPI yang diberikan bergantung pada etiologi dan riwayatan pengobatan lainnya. Pada pasien dengan ulkus idiopatik dapat dianjurkan pemberian terapi PPI jangka panjang. Pada pasien dengan perdarahan ulkus yang disebabkan oleh penggunaan aspirin dosis rendah jangka panjang, kebutuhan penggunaan aspirin perlu dipertimbangkan kembali.2,6 Pemeriksaan H. pylori direkomendasikan pada setiap pasien dengan perdarahan ulkus peptikum. Bila hasilnya positif, terapi eradikasi harus segera diberikan. Triple therapy untuk eradikasi infeksi H. pylori memiliki angka keberhasilan 80-90% pada pasien tanpa efek samping

yang signifikan dan tidak mengalami resisensi antibiotik. Setelah eradikasi H. pylori dikonfirmasi, terapi PPI berkelanjutan setelahnya tidak diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAID atau antitrombotik.2,6

Perdarahan Varises Pada perdarahan akibat pecah varises esofagus, obat-obat vasoaktif harus segera diberikan, idealnya sebelum dilakukan endoskopi dan terapi ini harus dilanjutkan selama 5 hari. Terapi dengan obat vasoaktif merupakan salah satu prosedur terpenting dalam mengurangi mortalitas dan hemostasis tercapai dalam 80% kasus. Di Amerika Serikat, satu-satunya obat yang disetujui untuk perdarahan varises adalah ocreotide. Obat-obat vasoaktif menyebabkan terjadinya vasokonstriksi splanknik sehingga menurunkan tekanan porta dan mengurangi atau menghentikan perdarahan varises.7 Terlipressin adalah analog vasopressin sintetik dengan waktu paruh yang lebih panjang dan efek samping yang lebih sedikit. Seperti halnya vasopressin, terlipressin dapat mengakibatkan komplikasi iskemik dan disritmia pada pasien dengan penyakit jantung iskemik atau penyakit vaskular perifer. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terlipressin efektif dalam mengontrol perdarahan dan merupakan satu-satunya obat vasoaktif yang dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan perdarahan varises. Terlipressin diberikan dalam dosis 2 mg secara intravena setiap 4 jam selama 48 jam pertama. Bila perdarahan terkontrol, dosis diturunkan menjadi 1 mg setiap 4 jam selama 3 hari berikutnya.7 Somatostatin menyebabkan vasokonstriksi splanknik dan menghambat peningkatan aliran darah porta dan tekanan porta postprandial. Somatostatin diberikan dalam dosis 250 µg bolus intravena dilanjutkan 250-500 µg/jam infus. Ocreotide adalah analog somatostatin sintetik dengan waktu paruh yang lebih panjang, namun tanpa efek hemodinamik yang lebih panjang. Ocreotide diberikan dalam dosis 50 µg bolus intravena, dilanjutkan infus 50 µg/jam. Suatu review Cochrane yang terdiri dari 21 studi yang melibatkan 2588 pasien menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan angka mortalitas dan risiko perdarahan ulang antara penggunaan somatostatin dan derivatnya. Penelitian terbaru yang membandingkan terlipressin, somatostatin, dan ocreotide dalam mengontrol perdarahan varises esofagus akut menunjukkan bahwa ketiga obat tersebut tidak memiliki perbedaan dalam efikasi hemostatiknya dan tidak ada perbedaan angka mortalitas pada penggunaan kombinasi masing-masing dari ketiga obat tersebut dengan endoskopi terapeutik.7 Pada pasien dengan perdarahan varises, angka infeksi bakteri, perdarahan ulang dini, dan mortalitas berkurang dengan pemberian antibiotik profilaksis. Antibiotik yang

direkomendasikan adalah norfloxacin dengan dosis 400 mg oral dua kali sehari atau ciprofloxacin 200 mg secara intravena bila pemberian secara oral tidak memungkinkan. Pada pasien dengan sirosis tahap lanjut, Child-Pugh B atau C, ceftriaxone terbukti lebih efektif dibandingkan norfloxacin oral. Endoskopi dianjurkan dilakukan dalam 12 jam pertama dan endoskopi terapeutik harus segera dilakukan segera setelah diagnosis perdarahan varises ditegakkan melalui endoskopi. Penggunaan eritromisin dengan dosis 250 µg intravena selama 5 menit sebagai agonis motilin dapat membantu mengosongkan lambung dan memperpendek durasi endoskopi.7 Jenis endoskopi terapeutik yang dianjurkan adalah ligasi varises karena dapat memberikan kontrol perdarahan yang lebih baik dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan skleroterapi. Komplikasi ligasi varises yang paling sering terjadi adalah ulserasi superfisial, striktur esofagus, dan perdarahan. Skleroterapi dilakukan bila ligasi varises secara teknis sulit dilakukan, misalnya bila terlalu banyak darah sehingga mengganggu visualisasi, atau bila ligasi varises tidak tersedia. Terapi kombinasi obat vasoaktif dengan endoskopi terapeutik lebih efektif daripada masing-masing terapi tersebut sebagai terapi tunggal.7 Bila kombinasi terapi dengan obat vasoaktif dan ligasi varises gagal mengontrol perdarahan, pada pasien varises esofagus endoskopi terapeutik yang kedua direkomendasikan bila kondisi pasien stabil. Akan tetapi pada kasus varises gaster, endoskopi terapeutik hanya boleh dilakukan sekali dan bila gagal, harus dilakukan pilihan terapi lain. Obat vasoaktif harus diberikan dalam dosis maksimum. Bila masih gagal, dianjurkan untuk dilakukan transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS). Bila pasien dalam keadaan yang tidak stabil, sementara dapat dilakukan pemasangan balon tamponade (Sengstaken-Blackmore untuk varises esofagus atau Linton untuk varises esofagus dan varises gaster). Balon tamponadehanya dipasang selama 24 jam karena dapat menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain aspirasi, migrasi, nekrosis, dan perforasi esofagus serta akan terjadi perdarahan ulang pada separuh kasus karena deflasi balon.7

2. Definisi Gout Artritis Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit dan potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama, gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri infalamasi satu sendi. Gout adalah bentuk inflamasi arthritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain termasuk kaki,

pergelangan kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa sendi. Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Asam urat merupakan senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme purin baik dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam deoksiribonukleat). (Syukri, 2007). Gout dapat bersifat primer, sekunder, maupun idiopatik. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu sedangkan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologis atau anatomi yang jelas.

Etiologi Gout Artritis 1. Hiperurisemia dan Gout primer

Hiperurisemia primer adalah kelainan molekular yang masih belum jelas diketahui. Berdasarkan data ditemukan bahwa 99% kasus adalah gout dan hiperurisemia primer. Gout primer yang merupakan akibat dari hiperurisemia primer, terdiri dari hiperurisemia karena penurunan ekskresi (80-90%) dan karena Universitas Sumatera Utaraproduksi yang berlebih (10-20%). Hiperurisemia karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya 1% yaitu karena peningkatan aktivitas varian dari enzim phosporibosylpyrophosphatase (PRPP)

synthetase,

dan

kekurangan

sebagian

dari

enzim

hypoxantine

phosporibosyltransferase (HPRT). Hiperurisemia primer karena penurunan ekskresi kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat yang menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia akibat produksi asam urat yang berlebihan diperkirakan terdapat 3 mekanisme: 

pertama, kekurangan enzim menyebabkan kekurangan inosine monopospate (IMP) atau purine nucleotide yang mempunyai efek feedback inhibitionproses biosintesis de novo.



Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan peningkatan jumlah PRPP yang tidak dipergunakan. Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de novo meningkat.



Ketiga, kekurangan enzim HPRT menyebabkan hipoxantine tidak bisa diubah kembali

menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi hipoxantine menjadi asam urat.

2. Hiperurisemia dan Gout sekunder

Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan sekresi menurun. Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim glukosa-6 phosphate pada glycogen storage disease dan kelainan karena kekurangan enzim fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis anaerob. Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat disebabkan karena keadaanyang menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau pemecahan asam nukleat dari dari intisel. Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan berlanjut membentuk IMP atau purine nucleotide dalam metabolisme purin, sedangkan hiperurisemia Universitas Sumatera Utaraakibat penurunan ekskresi dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal, penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clearence dan pemakaian obat-obatan.

3. Hiperurisemia dan Gout idiopatik Hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primernya, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologis dan anatomi yang jelas. Faktor Resiko Gout Artritis Berikut ini yang merupakan faktor resiko dari gout adalah -

Suku bangsa /ras Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku maori di Australia. Prevalensi suku Maori terserang penyakit asam urat tinggi sekali sedangkan Indonesia prevalensi yang paling tinggi pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-Minahasa karena kebiasaan atau pola makan dan konsumsi alkohol.(Wibowo, 2005)

-

Konsumsi alkohol Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.

-

Konsumsi ikan laut

Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi. Konsumsi ikan laut yang tinggi mengakibatkan asam urat. -

Penyakit Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia. Mis. Obesitas, diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi, dislipidemia, dsb. Adipositas tinggi dan berat badan merupakan faktor resiko yang kuat untuk gout pada laki-laki, sedangkan penurunan berat badan adalah faktor pelindung.

-

Obat-obatan Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Mis. Diuretik, antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk memperparah keadaan. Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan oleh pemakaian diuretik dapat "disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh kondisi seperti cedera dan infeksi.hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat. Hipertensi dan penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen untuk gout. Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat, sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik. - Jenis Kelamin Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan perempuan pada semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama pada usia lanjut. Dalam populasi managed care di Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65 tahun, dan 3:1 pada mereka lima puluh persen lebih dari 65 tahun. Pada pasien perempuan yang lebih tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari 80 tahun.

-

Diet tinggi purin

Gambaran Klinis Gout Artritis 1. Hiperurisemia asimptomatik

Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia tanpa adanya manifestasi klinik gout. Fase ini akan berakhir ketika muncul serangan akut gout arthritis, atau urolithiasis dan biasanya setelah 20 tahun keadaan hiperurisemia asimptomatik. Terdapat 10-40% pasien dengan gout mengalami sekali atau lebih serangan kolik renal, sebelum

adanya serangan arthritis. Sebuah serangan gout terjadi ketika asam urat yang tidak dikeluarkan dari tubuh bentuk kristal dalam cairan yang melumasi lapisan sendi, menyebabkan inflamasi dan pembengkakan sendi yang menyakitkan.Jika gout tidak diobati, kristal tersebut dapat membentuk tofi - benjolan di sendi dan jaringan sekitarnya. 3. Gout arthritis, meliputi 3 stadium : a. Gout arthritis stadium akut Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat Universitas Sumatera Utaraberjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering pada MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut, dan siku. Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik dan lain-lain.(Putra, 2009) b. Stadium interkritikal Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak dapat ditemukan tandatanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan masih terus berlanjut, walaupun tanpa keluhan. c. Stadium Gout arthritis menahun Stadium ini umumnya terdapat pada pasien yang mampu mengobati dirinya sendiri (self medication). Sehingga dalam waktu lama tidak mau berobat secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat, kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang paling sering pada aurikula, MTP-1, olekranon, tendon achilles dan distal digiti. Tofi sendiri tidak menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi disekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang progresif pada sendi serta dapat menimbulkan deformitas. Pada tadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun. Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kadar asam urat sama rendah, tetapi pada orang dewasa, pria memiliki tingkat sodium urat lebih tinggi daripada wanita. Jelas bahwa perbedaan ini akibat pengaruh dari sistem endokrin, namun mekanisme yang tepat belum ditetapkan. Setelah menopause, nilai Sodium Urat perempuan naik ke tingkat yang sebanding dengan laki-laki.

Diagnosis Gout Artritis Gold standard dalam menegakkan gout arthritis adalah ditemukannya kristal urat MSU (Monosodium Urat) di cairan sendi atau tofus. Untuk memudahkan diagnosis gout arthritis akut, dapat digunakan kriteria dari ACR (American College Of Rheumatology) tahun 1977 sebagai berikut : A. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau B. Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau C. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis sebagai berikut : a. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut b. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu 1 hari c. Arthritis monoartikuler d. Kemerahan pada sendi e. Bengkak dan nyeri pada MTP-1 f. Arthritis unilateral yang melibatkan MTP-1 g. Arthritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal h. Kecurigaan terhadap adanya tofus

i. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis) j. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis) k. Kultur mikroorganisme negative pada cairan sendi. Yang harus dicatat adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun kadarasam urat normal. Dalam menegakkan diagnosis artritis gout perlu dilakukan puasa untuk menilai kadar asam urat yang aktual. Lalu dilakukan pemeriksaan foto x ray untuk menilai adanya deformitas sturtur tulang pada kasus gout berulang.

Penatalaksanaan Gout Artritis Secara umum, penanganan gout arthritis adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain. Pengobatan gout arthritis akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain: kolkisin, obat antiinflamasi Universitas Sumatera Utaranonsteroid (OAINS), kortikosteroid atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat penurun asam urat seperti alupurinol atau obat urikosurik tidak dapat diberikan pada stadium akut. Namun, pada pasien yang secara rutin telah mengkonsumsi obat penurun asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat alupurinol bersama obat urikosurik yang lain. Penelitian terbaru telah menemukan bahwa konsumsi tinggi dari kopi, susu rendah lemak produk dan vitamin C merupakan faktor pencegah gout.

DAFTAR PUSTAKA

1. Laine L. Gastrointestinal bleeding. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo JL. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012. 2. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus nasional tata laksana perdarahan saluran cerna bagian atas non-variseal. Acta Medica Indonesiana; 2014. 3. Jiwon K. Management and prevention of upper GI bleeding. Journal of gastroenterology and nutrition.2012(7):7-29. 4. National Institute for Health and Excellence (NICE). Acute upper gastrointestinal bleeding in over 16s: management.2012. 5. Barkun AN, etc. International consensus recommendations on the management of patients with nonvariceal upper gastrintestinal bleeding. Ann Intern Med 2010;152(2):101-13. 6. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J Gastroenterol 2012;107:345-60. 7. Cremers I, Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. Ther Adv Gastroenterol 2014.7(5):206-16.

Portofolio

Muara Enim,

Desember 2017

MELENA E.C SUSP GASTRITIS EROSIF + GOUT ARTHRITIS

Disusun oleh : dr. Catri Dwi Utari Pramasari

Pendamping: dr. Vivin J. Susilo

Wahana: RSUD HM RABAIN MUARA ENIM

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA RSUD DR. H. MOHAMMAD RABAIN MUARA ENIM 2018

HALAMAN PENGESAHAN Portofolio

Judul MELENA E.C SUSP GASTRITIS EROSIF + GOUT ARTHRITIS

Oleh: dr. Catri Dwi Utari Pramasari

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di RSUD Dr. H. Mohammad Rabain Muara Enim

Muara Enim,

Januari 2018

dr. Vivin J Susilo

Related Documents