Pondok Pesantren Tremas

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pondok Pesantren Tremas as PDF for free.

More details

  • Words: 1,366
  • Pages: 4
Pondok Pesantren Tremas Bagikan 25 Mei 2009 jam 11:46 Nama pondok pesantren Tremas, Pacitan sudah lama saya kenal, namun baru hari Sabtu sore, tanggal 23 Mei 2009, saya bersilaturrahiem ke sana. Oleh Prof.Dr.Musa Asy’ari, seorang alumni pesantren itu, saya diajak ke pesantren, yang berdiri sejak tahun 1830 an ini. Berawal dari pertemuan di Solo, kami berdua memperbincangkan tentang kehidupan pesantren, dan kemudian berlanjut membicarakan rencana Prof. Musa Asy’ari merintis pendidikan tinggi Islam di pesantren itu. Saya tertarik dalam pembicaraan tersebut, karena beberapa tahun lalu, juga dimintai pertimbangan oleh Menteri Agama terkait pengembangan pesantren tersebut. Selama ini saya mengenal pesantren Tremas dari nama besar sejarahnya. Saya sering mendapatkan informasi bahwa banyak para tokoh Islam, -----pendiri pesantren di tanah air, pernah belajar di pesantren ini. Namanama Kyai besar itu misalnya Kyai Maksum Lasem Rembang, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Muslih Mranggen Demak, Kyai Muhammad Munawwir Krapyak, Kyai Arwani Kudus, Kyai Faqih Gresik, Kyai Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta, Kyai Makhrus Ali Kediri, Kyai Inayat Banten, Kyai Adnan Trenggalek, Kyai Masduki, Cirebon, dan masih banyak lagi para Kyai lainnya. Bahkan juga sederet pejabat pemerintah dan juga kalangan perguruan tinggi pernah belajar di pesantren ini. Seperti misalnya Prof.Dr.Mukti Ali, MA, Jendral Sarbini Jakarta, Jedral Abdul Mannan, Surabaya, termasuk Prof.Dr.Musa Asy’ari, Dr. Yudhian Wahyudi. Selain itu juga disebut-sebut bahwa orang tua Menteri Perumahan Rakyat saat ini, dan juga orang tua Menteri Kesehatan, Dr. Siti Fadhilah Supari pernah ngaji di pesantren Tremas. Selain itu, hal yang sangat dibanggakan oleh keluarga Pondok Pesantren Tremas bahwa orang tua Presiden Susilo Bambang Ydhoyono, Soekotjo pernah menjadi guru di pesantren tremas. Menurut cerita, ayah presiden ini, sekalipun berstatus tentara, ia pernah menjadi guru bahasa Indonesia dan sejarah. Bahkan SBY sendiri juga dilahirkan di lingkungan pondok, hingga rumah tempat kelahiran presiden ini, sekarang dimanfaatkan sebagai musholla, yang sehari-hari dimanfaatkan sebagai tempat sholat bagi warga pondok pesantren Tremas, karena memang musholla dimaksud menyatu dengan lingkungan pondok pesantren. Pesantren tersebut sampai saat ini masih tergolong pesantren besar, tidak kurang dari 2000 an santri sehari-hari belajar di pondok ini. Lokasi pondok tersebut memang tidak terlalu luas, hanya sekitar 1,5 ha, sehingga tampak sedemikian padat. Masjid, rumah kyai dan tempat menginap para santri menyatu pada satu tempat di pesantren itu. Demikian pula beberapa gedung tempat belajar di bangun di kanan kiri masjid. Sekalipun masih tampak sederhana, pesantren ini sudah memiliki laboratorium komputer,

perpustakaan dan juga sarana pendidikan lainnya. Memang terasa aneh, lokasi yang terpencil, hingga tidak mudah dijangkau ini terdapat lembaga pendidikan yang telah melahirkan para tokoh-tokoh besar Islam sedemikian banyak, dan menyebar hampir di seluruh tanah air. Pacitan sebgai daerah kabupaten yang tidak mudah dijangkau, berjarak kurang lebih 70 km dari Ponorogo, dan 135 km dari arah Solo, ternyata memiliki pondok pesantren yang didatangi oleh para santri dari hampir seluruh wilayah negeri ini. Jangan lagi dulu, saat ini saja belum terlalu mudah menjangkau Pacitan, yang daerahnya berupa pegunungan ini. Kata Prof.Musa Asy’ari, dulu sekitar tahun 1960 an, ------ketika ia belajar di pesantren ini, untuk sampai ke Pacitan dari arah Solo atau Ponorogo biasanya menumpang truk. Kendaraan yang pada saat ini biasa digunakan untuk pengangkut barang, pada waktu itu tidak setiap saat ada. Dan biasanya, semua truk hanya nyampai di kota Pacitan. Sedangkan dari kota Pacitan ke pesantren Tremas yang berjarak sekitar 3 km, ditempuh dengan berjalan kaki. Kunjungan bersilaturrakhim yang hanya sekitar 3 sampai 4 jam, di saat menjelang malam hari tersebut, saya berhasil mendapatkan beberapa pelajaran menarik terkait dengan pendidikan pondok pesantren. Hal menarik yang saya maksudkan itu, misalnya tentang keberhasilan pondok dalam membentuk pribadi santri, suasana batin bagi para pengelola pesantren dan juga para santrinya, lingkungan pesantren yang dibentuk dan yang tidak kalah pentingnya adalah jiwa pendidikan yang berhasil dibangun. Keberhasilan pondok dalam membentuk pribadi santri nampak sekali terkait dengan suasana batin yang berhasil dibangun. Kegiatan pesantren selalu diwarnai oleh suasana spiritual. Saya menangkap bahwa kegiatan sehari-hari di pesantren ------sebagai kyai, ustadz dan juga santri, diwarnai oleh semangat beribadah. Mereka melakukan tugas-tugas itu atas panggilan, motivasi dan dorongan batin yang ikhlas. Mereka bekerja dan belajar bukan didorong oleh semangat sederhana, misalnya sekedar memperoleh upah, gaji, sertifikat atau ijazah. Aktivitas mereka juga bukan digerakkan oleh kekuatan eksternal, seperti misalnya memenuhi peraturan atau bahkan undang-undang dari pemerintah. Melainkan, digerakkan oleh kekuatan dari dalam. Kekuatan itu bersumber dari dalam hati, sehingga tidak akan terpuaskan hanya karena telah terpenuhi aspek formalnya. Tampaknya hal ini sederhana, tetapi sesungguhnya amat mendasar. Bandingkan misalnya dengan pendidikan formal yang berjalan selama ini. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan formal,maka dibuat standarisasi, mulai dari standar isi, standar kurikulum, standar sarana dan prasarana, standar guru, hasil dan lain-lain. Semua standar itu dimaksudkan untuk menjamin kualitas hasilnya, harus terpenuhi. Namun pada kenyataannya, hasil yang didapat belum tentu memuaskan. Bahkan berbagai penyimpangan seringkali terjadi. Ujian Nasional saja, masih ditengarai ada yang dimanipulasi. Hal itu terjadi, karena ada satu hal mendasar yang tidak bisa distandarkan, yakni standar niat atau mungkin dalam bahasa lain adalah

motivasi. Aspek yang ada pada bagian terdalam pada diri kehidupan seseorang ini, tidak akan mungkin distandarkan. Padahal jika mengikuti ajaran Rasulullah, justru pada niat inilah sesungguhnya letak penentu hasil usaha setiap orang. Dengan niat yang tepat ini, maka pendidikan pesantren dijalankan oleh semua. Namun juga tidak berarti bahwa semata-mata bermodalkan niat, lalu hal lainnya diabaikan oleh pesantren. Justru dengan niat yang tepat, maka aspek-aspek pendidikan yang dipandang strategis dijalankan sebaik-baiknya. Misalnya, tentang kurikulum atau jenis kitab yang akan dikaji, jadwal belajar, penilaian hasil belajar, dan hal-hal lain, tidak terkecuali terkait dengan akhlak pendidikan, selalu dipelihara sebaik-baiknya. Sebagai bagian dari akhlak pendidikan misalnya, para santri selalu menaruh hormat dan bahkan memuliakan para Kyai. Demikian pula, kyai dalam menunaikan tugas-tugasnya, tidak cukup sebatas mengajar kitab-kitab pilihannya, melainkan juga memohon kepada Dzat Yang Maha Kuasa agar tugas-tugas yang dijalankan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Bagi kyai maupun santri selalu melakukan apa yang disebut dengan proses tazkiyah, atau mensucikan diri. Terkait dengan konsep itu, maka suasana keprihatinan justru dikembangkan di dunia pesantren. Memang logika pesantren dalam hal-hal tertentu berbeda dengan pendidikan formal. Para siswa sekolah umum biasanya, ----dengan maksud agar bisa mengikuti pelajaran secara baik, maka harus selalu menjaga kesehatannya dengan cara makan cukup dan bergizi. Pesantren justru menganjurkan sebaliknya. Bahwa agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, maka harus banyak bertirakat. Misalnya mengurangi makan, minum, tidur dan pemenuhan hal-hal lain yang bersifat jasmaniah. Logika pendidikan umum mengatakan bahwa, kecerdasan akan berhasil dibangun oleh orang yang sehat dan terpenuhi kebutuhan fisiknya. Sedangkan dunia pesantren tidak sepenuhnya berpandangan seperti itu. Bahwa orang yang makan, minum, dan tidur terlalu banyak, justru tidak akan mudah mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Pertanyaannya adalah mana di antara keduanya yang betul, hingga hari ini belum ada penelitian untuk menjawabnya. Tetapi tanpa penelitian ilmiah, pesantren telah memberikan bukti-bukti yang tidak sedikit. Para Kyai besar yang dihasilkan oleh pesantren adalah mereka yang tatkala belajar di lembaga pendidikan Islam tersebut banyak melakukan tazkiyatun nafs atau mensucikan diri, di antaranya dengan cara mengurangi makan, minum dan tidur. Melalui cara itulah kemudian para Kyai, sekeluarnya dari pesantren berhasil membangun lembaga pendidikan, dan didatangi oleh santri-santri dari berbagai tempat. Para Kyai ini tidak saja menjadi anutan bagi para santri, melainnya juga oleh masyarakat pada umumnya. Para kyai yang masih menjaga komitmen jiwa keberagamaannya, selalu didatangi, tidak saja oleh rakyat kecil, tetapi juga oleh para calon dan penguasa, pengusaha dan siapapun yang ingin memperbaiki dirinya. Berbeda dengan itu, para lulusan

sekolah atau bahkan perguruan tinggi, setelah lulus mereka berhasil memasuki posisi-posisi penting dalam pemerintahan, namun tidak sedikit yang lupa -----melakukan penyimpangan hingga banyak merugikan rakyat, kemudian tertangkap dan akhirnya masuk penjara. Akhirnya, pendidikan hanya sebatas mengantarkan lulusannya mendapatkan ijazah, memasuki lapangan kerja, menjadi kaya dan atau berkuasa, tetapi belum tentu memberi manfaat atau bersedia menolong sesamanya. Pendidikan di pesantren, tidak terkecuali di pesantren Tremas, Pacitan, tidak saja menjadikan para santrinya pintar dan cerdas, melainkan yang lebih penting dari itu adalah membangun akhlak mulia terhadap para santri. Dalam mendidik, para Kyai pesantren tidak saja merasa cukup hanya memberi sejumlah mata pelajaran yang harus dimengerti dan dihafal, kemudian diujikan untuk mengetahui seberapa jauh para santri mampu menangkap isi dan memahami pelajarannya itu, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah, bagaimana pelajaran yang diberikan itu mampu mengubah watak, pribadi, kharakter atau akhlak para santri, hingga menjadi manusia yang lebih mulia, baik di hadapan Allah maupun manusia pada umumnya. Wallahu a’lam. (bersambung, besuk).

Related Documents


More Documents from "Pkbm Ronaa"