Politi(k)sasi Islam di Indonesia Oleh Mohammad Subhan Zamzami, Lc.* Pada pemilu pertama tahun 1955, dengan meraup 20, 29 % suara, Masyumi menjadi partai Islam terkuat melebihi perolehan suara partai-partai Islam lainnya seperti NU, Perti, PSII, dan beberapa partai kecil lainnya dari 172 partai peserta pemilu yang ada. Tapi tak lama setelah itu pada tahun 1960, setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Pnps No 7 tahun 1959, Masyumi bubar. Pembubaran Masyumi ini merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam di Indonesia kala itu. Pada pemilu 1971, pemilu pertama setelah orde baru, meski NU dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) berhasil menempati posisi lima besar, tapi perolehan suara partai-partai Islam menurun drastis dibanding pemilu 1955. Kejadian, yang salah satunya disebabkan oleh terkonsilidasinya otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, seperti ini terus berlanjut pada pemilu-pemilu pada masa orde baru selanjutnya yang kian melumpuhkan kekuatan politik Islam di tanah air. Setelah runtuhnya rezim orde baru, tepatnya pada pemilu 1999, partai-partai berbasis Islam bisa meraih simpati masyarakat kembali dengan perolehan 37, 54 % suara. Keaadan seperti ini terulang kembali pada pemilu 2004 dengan kian melonjaknya perolehan suara tujuh partai Islam, yaitu perolehan 38, 33 % suara dari. Tapi bila dibanding pemilu 1955, perolehan suara partai-partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 menurun. Dengan kata lain, telah terjadi perubahan kekuatan partai-partai nasionalis dan Islam dalam pergolakan perpolitikan Indonesia . Persamaan antara pemilu 1955, 1999, dan 2004 yang mana perolehan suara partai-partai Islam cukup siginfikan adalah selalu diiringi oleh ketidakstabilan negara pada masingmasing pemilu. Pada pemilu 1955, misalnya, keamanan negara kurang kondusif karena DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya yang berada di bawah pimpinan Kartosuwiryo menebarkan kekacauan di beberapa daerah di tanah air. Sementara itu, pada pemilu 1999 Indonesia tengah mengalami proses reformasi di berbagai lini kehidupan yang tak menentu dan sebagian efeknya terus berlanjut hingga pemilu 2004. Corak Partai Islam Indonesia Partai-partai Islam di Indonesia tidaklah sama, baik dari segi asas maupun agenda. Dua hal ini, asas dan agenda, sangat menentukan tipologi massa masing-masing partai. Kesamaan di antara partai-partai itu hanya satu, yaitu sama-sama mempunyai kepentingan politis yang sangat berpotensi memecah-belah umat Islam. Dari segi asas, misalnya, di antaranya berasas “murni” Islam dan Islam “semi nasionalis”. Perbedaan semacam ini bisa kita lihat dari masing-masing agenda politis yang mereka perjuangkan. PPP, PBB, dan PKS bisa dikategorikan pada asas pertama yang getol memperjuangkan corak Islam simbolis seperti penerapan syariah Islam, bahkan salah satu partai dari tiga tersebut sering disinyalir mempunyai agenda terselubung mengganti ideologi Pancasila
sebagai dasar negara sebagaimana sebelumnya tokoh-tokoh Masyumi dulu dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sementara itu, PKB, PAN, PMB, PKNU, dan PBR bisa dikategorikan pada asas kedua karena selain tak terobsesi pada corak Islam simbolik dan lebih menekankan corak Islam substantif, keduanya juga menegaskan bahwa ideologi Pancasila adalah dasar negara dan NKRI adalah bentuk final bagi negeri ini. Meski di antara dua kategori partai Islam di atas sama-sama berpeluang mempolitisasi Islam, tapi partai-partai pada kategori kedua terasa lebih memproteksi dan meneguhkan eksistensi Pancasila daripada partai-partai pada kategori pertama. Poin yang harus digarisbawahi di sini adalah meski mengklaim sebagai partai Islam, tapi pada kenyataannya umat Islam tak menunggal pada satu suara, tak berpangku pada satu sikap, malah karena partai-partai itu mereka lebih dekat dengan perselisihan dan semakin menjauh dari kesatuan. Islam dan Politik Islam memang tak bisa sepenuhnya dipisahkan dari politik. Bukti sederhananya yaitu kalau kita cermati secara seksama, niscaya kita akan mendapatkan literatur-literatur sejarah Islam terlalu banyak yang lebih menitikberatkan pada perseteruan-perseteruan politis antara umat Islam dan non-muslim ketika Nabi masih hidup dan perseteruan sesama umat Islam satu sama lain serta non-muslim paska wafatnya beliau hingga dewasa ini. Kita ungkap sedikit tentang itu di bawah ini. Klan-klan politik umat Islam erat kaitannya dengan tata nilai, adat-istiadat, dan corak kehidupan masyarakat Arab Jahiliah. Sistem kabilah merupakan satu kesatuan politis yang dibangun oleh masyarakat Arab pra-Islam yang kemudian disatukan oleh Nabi di bawah panji agama agar menjadi masyarakat Arab yang bersatu, baik secara etnis, agama, bahasa, dan sosial serta tunduk pada seorang pemimpin, yaitu Nabi sendiri. Setelah beliau wafat, muncul tiga klan politik baru yaitu Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim hingga terbunuhnya Utsman bin Affan dan perang antar para sahabat yang lebih disebabkan oleh motif politik. Perkembangan klan-klan politik tersebut mempunyai dua efek sekaligus: positif dan negatif. Positif karena berdasarkan persaingan antara mereka yang mana masing-masing pembela suatu klan bisa mengoptimalkan kemampuan otak dan mengarang karya-karya kebudayaan, agama, dan filsafat untuk meneguhkan bermacam-macam aliran mereka yang merupakan warisan kebudayaan dan pemikiran yang tak akan musnah bagi kita dan generasi-generasi mendatang. Negatif karena bisa melemahkan kekuatan dengan terceraiberai menjadi beberapa aliran plus kerugian-kerugian material, kemanusiaan, dan moral sebagai akibat dari perbedaan nafsu dan pendapat. (Fatimah Jum’ah, al-Ittijâhât alHizbiyah fî al-Islâm: Mundzu ‘Ahd al-Rasûl ila ‘Ashr Banî Umayah, t.t.) Kritik Politi (k) sasi Islam
Bila kita lihat perkembangan partai-partai Islam di Indonesia akhir-akhir ini, efek-efek negatif di atas bukan basa-basi belaka apalagi pemilu 2009 kian dekat. Efek negatif semacam ini akan semakin bertambah bila para politisi semakin sering menggunakan isuisu agama demi kepentingan politis sesaat. Politisasi Islam memang amunisi ampuh guna meraup sebanyak-banyaknya perolehan suara, tapi pada kesempatan yang sama selain sebagai ajang pembodohan masyarakat ia juga salah satu faktor utama perpecahan umat Islam. Maka tak aneh bila kini partai-partai nasionalis ikut-ikutan meniru gaya partaipartai Islam dalam menggunakan isu-isu agama. Kondisi semacam ini baru masuk pada tahap awal politisasi Islam. Tahap selanjutnya adalah peneguhan opini-opini partai yang diiringi dengan klaim doktrin agama yang biasanya diupayakan bisa menjadi sebuah UU yang memiliki kekuatan hukum. Berbeda dengan kalangan awam pada umumnya yang mana cara-cara semacam ini cepat mendapatkan tempat pada pikiran mereka, kalangan terpelajar yang cenderung kritis menanggapi persoalan semacam ini karena mereka sadar akan konsekuensi yang ditimbulkannya; bila opini-opini partai sudah mendapatkan legitimasi hukum, maka sangat sulit mencabutnya kembali bahkan anti kritik. Pada tahap selanjutnya, legitimasi opini-opini tersebut merupakan awal dari diktatorianisme atas nama agama yang mula-mula ditandai dengan kekangan perbedaan pendapat. Di sinilah persoalan kebenaran harus bersinggungan dengan kekuasaan. Sesuatu menjadi benar, yang sebenarnya belum tentu benar bahkan bukan kebenaran yang sebenarnya, karena ia didukung oleh kekuasaan. Biasanya, pada kondisi ini, kalangan oposisi seringkali berada pada pihak yang dirugikan, bahkan bisa dianggap sebagai musuh negara yang gerak-geriknya mesti dikekang sedemikian rupa. Realita seperti ini seringkali terjadi pada masa-masa silam, bahkan terung berlangsung hingga sekarang. Pada akhirnya, “niat baik” politisasi Islam harus terjerembab pada corak Islam simbolikformalistik. Agama acapkali dijadikan alat pengesah ambisi dan kepentingan kelompok Islam tertentu seraya menafikan kelompok lain. Intinya, bila kecenderungan politisasi Islam tak segera direduksi, maka malapetaka kian dekat. Kiranya diktum Cak Nur pada tahun 1972, “Islam Yes, partai Islam No” masih sangat relevan untuk konteks perpolitikan di tanah air saat ini. Dengan demikian, harus ada jarak yang tegas serta terang benderang antara Islam dan kekuasaan. Karena bila tidak maka, salah satunya, tak menutup kemungkinan beraneka ragam kebudayaan Indonesia akan bernasib serupa dengan seni tari jaipongan dan badjidoran di Jawa Barat belum lama ini. [] * Alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir; warga kultural NU tulen.