Pola Konsumsi Masyarakat Miskin di Jawa Barat Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pemasaran
Dosen : Dr. H. Agus Alamsyah Prawiranegara S.T.,M.T
Disusun oleh: Andito Aji Nugroho 1168020024 Iis 1168020118 Maryani 1168020158 M. Reza Wahyudi 1168020167
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2018
Bab I Pendahuluan 1.
Latar belakang Kesejahteraan kemiskinan
yang
masyarakat dipengaruhi
diantaranya oleh
ditentukan
tingkat
oleh
pendapatan
tingkat
dan
pola
penggunaannya, yang berhubungan dengan tingkat pedapatan pola konsumsi pangan dan non-pangan (Arifin dan Simatupang, 1988). Masyarakat berpendapatan rendah akan mengalokasikan pendapatannya sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dibandingkan bahan non-pangan, semakin tinggi pengeluaran non-makanan mengindikasikan adanya perbaikan kesejahteraan penduduk (Hardjana, 1994), yang berpendapatan rendah akan terlihat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli pangan (Sukirno 2000). Konsumsi merupakan kegiatan membelanjakan pendapatan untuk berbagai macam barang dan jasa guna memenuhi segala kebutuhan manusia, baik itu kebutuhan jasmani maupun rohani seperti makan, minum, pendidikan, kesehatan, hiburan dan kebutuhan lain. Pengeluaran rumah tangga konsumsi sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejaheraa masyarakat. Angka kemiskinan dan pola konsumsi menjadi pembahasan yang sangat penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Berdasarakan uraian di atas, maka struktur pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga, Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kabupaten/kota yang berada pada berbagai strata kesejahtreraan dibanding dengan jumlah penduduk.Jumlah penduduk yang besar ini membawa persoalan bagi pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya, serta berimplikasi yang luas terhadap lingkungan, sektor pembangunan, dan ketahanan pangan, terutama dalam mengendalikan kemiskinan.
2.
Rumusan masalah Berdasarkan
pemikiran
tersebut
maka
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1) Berapa jumlah penduduk miskin Jawa Barat? 2) Berapa pendapatan dan pengeluaran rumah tangga Jawa Barat? 3) Bagaimana pola konsumsi masyarakat miskin Jawa Barat?
3.
Tujuan Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini, yaitu : 1) Mengetahui jumlah penduduk dan angka kemiskinan Jawa Barat 2) Mengetahui pendapatan,pengeluaran rumah tangga,dan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga
4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penilitian ini adalah : 1) Bagi pembaca, hasil makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau penelitian-penelitian sejenis. 2) Bagi peneliti, makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta memenuhi salah satu konsumen
Bab II Pembahasan 2.1
Pengertian konsumsi
tugas
matakuliah prilaku
Dalam ilmu ekonomi, pengertian konsumsi lebih luas dari pada pengertian konsumsi dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan seharihari konsumsi hanya dimaksudkan sebagai hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Dalam ilmu ekonomi, semua barang dan jasa yang digunakan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhannya disebut pengeluaran konsumsi. Dikonsumsi artinya digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan. Manusia sebagai makhluk individu dan sosial mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas, baik dalam jumlah maupun jenisnya. Untuk memperoleh berbagai kebutuhan tersebut seseorang memerlukan pengeluaran untuk konsumsi. Dari semua pengeluaran yang dilakukan tersebut sekurangkurangnya dapat memenuhi tingkat kebutuhan minimum yang diperlukan. Samuelson (1999:101) menyebutkan salah satu tujuan ekonomi adalah untuk menjelaskan dasar-dasar prilaku konsumen. Pendalaman tentang hukum permintaan dan mengetahui bahwa orang cenderung membeli lebih banyak barang, apabila harga barang itu rendah, begitu sebaliknya. Dasar pemikirannya tentang prilaku konsumen bahwa orang cenderung memilih barang dan jasa yang nilai kegunaannya paling tinggi. Konsumen akan memilih barang kebutuhan pokok untuk dikonsumsikan, dengan mempertimbangkan nilai guna dari barang tersebut. Keterbatasan anggaran pendapatan yang diterima oleh masyarakat menyebabkan masyarakat harus menunda untuk mengkonsumsi barang-barang yang mempunyai nilai guna tinggi. Nurhadi (2000:22) konsumsi adalah kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah barang atau jasa dapat mencerminkan kemakmuran konsumen tersebut. Semakin tinggi mutu dan semakin banyak jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin tinggi pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan sebaliknya semakin rendah mutu kualitas dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin rendah pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan. Masih menurut Nurhadi (2000:23) tujuan
konsumsi adalah untuk mencapai kepuasan maksimum dari kombinasi barang atau jasa yang digunakan. Salvatore (1994:67) berpendapat bahwa individu meminta suatu komoditi tertentu karena kepuasan yang diterima dari mengkonsumsi suatu barang. Sampai pada titik tertentu, semakin banyak unit komoditi yang dikonsumsi individu tersebut per unit waktu, akan semakin besar utiliti total yang akan diterima. Dari sisi lain Samuelson (1999:107) menyebutkan bahwa apabila harga meningkat dan pendapatan nominal tetap, maka pendapatan riil akan menurun, maka konsumen akan mengurangi pembelian hampir semua jenis barang. Menurut Rosydi (1996:148), konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Selanjutnya Sukirno (2000:337) mendefinisikan konsumsi sebagai pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga atas barang-barang dan jasa-jasa akhir dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan setelah pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak untuk ditabung (Mankiw, 2003:51).
2.2
Teori konsumsi menurut para ahli Menurut Soeharno (2007:6), konsumsi adalah kegiatan memanfaatkan
barang-barang atau jasa dalam memenuhi kebutuhan hidup. Barang-barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini tergantung dari pendapatan yang diperoleh.
Menurut Pujoalwanto (2014:151) konsumsi merupakan kegiatan seseorang atau kelompok dalam menggunakan, memakai, atau menghabiskan barang dan jasa dengan maksud memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Soediyono (2000:145), yang dimaksud dengan pengeluaran konsumsi di sini terbatas kepada pengeluaran konsumsi rumah tangga keluarga, yang meliputi semua pengeluaran rumah-rumah tangga keluarga dan perseorangan serta lembaga-lembaaga swasta bukan perusahaan untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa.
Menurut Sukirno (2000:92), pola pengeluaran konsumsi seseorang atau rumah tangga pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu konsumsi pangan (makanan) dan konsumsi non pangan (bukan makanan) penggunaan pendapatan untuk konsumsi tersebut menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin besar bagian pendapatan yang digunakan untuk membeli makanan menunjukan konsumsi pangan dan non pangan (bukan makanan), semakin rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan sebaliknya semakin kecil bagian pendapatan yang digunakan untuk membeli bahan makanan menunjukkan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat tersebut.Faktor terpenting yang menentukan tingkat pengeluaran rumah tangga (secara seunit kecil atau dalam keseluruhan ekonomi) adalah pendapatan rumah tangga.
Sedangkan menurut Said (2000:49), pola konsumsi yang konstan (stabil) yang memberikan tingkat utilitas tertinggi, dimana untuk melakukan konsumsi maka rumah tangga dapat diperoleh selama bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Sukirno (2000:108), pandangan Keynes semakin besar penghasilan seseorang, semakin besar bagian penghasilan yang bisa disisihkan untuk ditabung tanpa ia harus menderita kekurangan makanan/pakaian dan sebagainya. Persentase penghasilan yang ditabung disuatu masyarakat menunjukkan prilaku sektor rumah tangga secara keseluruhan dalam mengalokasikan penghasilan mereka.Persentase inilah yang dikenal dengan istilah propensity to save (kecendrungan untuk menabung) dari masyarakat
tersebut, sedangkan persentase dari penghasilan yang dibelanjakan disebut propensity to save (kecendrungan untuk menabung) disebut propensity to consume (kecendrungan untuk mengkonsumsi).Semakin tinggi penghasilan kecenderungan konsumsi rendah dan kecenderungan menabung tinggi, sebaliknya semakin rendahnya penghasilan kecenderungan konsumsi tinggi dan kecenderungan menabung rendah. Pendapatan memainkan peranan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat menentukan tingkat konsumsi. Selain pendapatan, konsumsi ditentukan juga oleh faktor-faktor lain menurut Suparmoko (2001:79) adalah : a. Selerah b. Faktor sosial ekonomi c. Kekayaan d. Keuntungan/kerugian capital e. Tingkat bunga f. Tingkat harga
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga diklarifikasikan menjadi tiga, yaitu : a. Faktor-faktor Ekonomi Empat faktor ekonomi yang menentukan tingkat konsumsi adalah : 1) Pendapatan rumah tangga (household income). Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik (tinggi) tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar.
2) Kekayaan rumah tangga (household wealth). Tercakup dalam pengertian kekayaan rumah tangga adalah kekayaan ril (misalnya tanah, rumah, mobil dan lain-lain) dan finansial (deposito berjangka, saham dan surat-surat berharga).
Kekayaan-kekayaan tersebut akan dapat meningkatkan konsumsi karena menambah pendapatan disposable.
3) Tingkat bunga (interest rate). Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi atau mengerti keinginan konsumsi baik dari segi keluarga yang memiliki kelebihan uang maupun yang kekurangan uang. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka nilai ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal.
4) Perkiraan masa depan (household expectation abaout the future). Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, mereka akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi. Karena pengeluaran konsumsi cendrung meningkat jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin jelek, merekapun mengambil ancang-ancang dengan menekan pengeluaran konsumsi.
b. Faktor Demografi Yang tercakup dalam faktor demografi atau faktor-faktor kependidikan adalah jumalah dan komposisi penduduk. 1) Jumlah penduduk. Jumlah penduduk akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatife rendah misalnya tingkat konsumsi rata-rata penduduk di Indonesia rendah daripada penduduk singapura.
2) Komposisi penduduk. Komposisi penduduk suatu Negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi diantaranya usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah, tinggi) dan wilayah tinggal (perkotaan dan pedesaan).
c. Faktor-faktor Non Ekonomi
Faktor-faktor non ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat.Misalnya berubahnya kebiasaan makan. Ada empat teori konsumsi yang perlu dipelajari agar dapat mengikuti teori-teori mutakhir.Salah satu diantaranya adalah teori yang diajukan oleh John Maynard Keynes, untuk melanjutkan teori konsumsi disebut dengan teori Keynes tentang konsumsi.
a. Hubungan pendapatan Disposabel dan konsumsi. Keynes menjelaskan bahwa konsumsi saat ini (current consumption) sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposibel saat ini (current disposible income). Menurut Keynes, ada batas konsumsi minimal yang tidak tergantung tingkat pendapatan. Artinya tingkat konsumsi tersebut harus diketahui walaupun tingkat pendapatan sama dengan nol. Itulah yang disebut dengan konsumsi otonoms (autonomous consumption). Jika pendapatan disposibel meningkat maka konsumsi juga akan meningkat. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposabel.
b. Model Konsumsi Siklus Hidup (Life Cycle Hyphotesis of Consumption). Model konsumsi ini dikembangkan oleh Franco Modigliani, Albert Ando dan Richard Brumberg. Model ini berpendapat bahawa kegiatan konsumsi adalah kegiatan seumur hidup.
c. Hubungan Antara Pendapatan dan Konsumsi Konsumsi dan pendapatan terdapat hubungan yang positif. Artinya apabila pendapatan naik, maka konsumsi pun akan meningkat pula, sebaliknya apabila pendapatan turun, maka konsumsipun akan merosot pula. Hubungan yang erat antara konsumsi dan pendapatan seperti ini disebut propensity to consume (hasrat untuk mengkonsumsi). (Suherman, 2004:148).
Sedangkan menurut Sukirno (2000:105), pandangan Keynes yang berpendapat tingkat konsumsi dan tabungan terutama ditentukan oleh tingkat pendapatan rumah tangga, dan Keynes juga mengansumsikan bahwa konsumsi adalah fungsi pendapatan, dengan rumus sebagai berikut: Ci= a + bY
Keterangan: Ci = Pengeluaran untuk konsumsi a = Menunjukan besarnya konsumsi pada saat pendapatan nol b =Menunjukkan besarnya tambahan konsumsi yang disebabkan adanya peningkatan pendapatan atau MPC Y = Besarnya pendapatan
Selanjutnya Sukirno juga mengatakan untuk mengetahui seberapa besar perubahan konsumsi yang diakibatkan oleh kenaikan pendapatan dapat ditunjukkan oleh besarnya Marginal Propensity to Consume (MPC) yaitu perbandingan antara besarnya perubahan konsumsi dengan besarnya perubahan pendapatan disposibel yang mengakibatkan adanya perubahan pola konsumsi.Angka MPC ini pada umumnya lebih kecil dari pada satu, akan tetapi lebih besar dari pada stengah. Angka MPC > 1 menunjukkan bahwa tambahan pendapatan yang diterimah seseorang tidak seluruhnya dibelanjakan untuk konsumsi, melainkan sebagian dari tambahan pendapatan yang mereka peroleh disisihkan untuk saving. MPC > 1 menunjukkan bahwa penggunaan tambahan pendapatan sebagian besar untuk menambah besarnya konsumsi sisanya sebagian kecil untuk tambahan saving.
2.3
Konsumsi Pangan dan Non Pangan Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang
dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk pangan ke pengeluran non pangan.Pada umumnya semakin sejahtera penduduk, maka semakin kecil persentase pendapatan yang digunakan atau yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan. Dalam kondisi pendapatan yang terbatas, sebagian besar pendapatan tersebut akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok.
a. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, serta pembuatan makan atau minum.(Hanafie:2010)
Pola konsumsi pangan sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah tangga seperti tingkat pendapatan, harga pangan dan non pangan, selerah dan kebiasaan makan.Dalam analisa pola konsumsi, faktor sosial budaya didekati dengan menganalisa data golongan pendapatan rumah tangga.Sedangkan letak geografis didekati dengan lokasi desa-kota dari rumah tangga yang bersangkutan.
b. Konsumsi Non Pangan Konsumsi non pangan adalah sejumlah pengeluaran yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam bentuk barang dan jasa selain makanan. Adapun contoh konsumsi non pangan ini adalah : Pendidikan, Transportasi, Hiburan, Perumahan,Keagamaan dll.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah pengeluaran untuk pembelian barang-barang dan jasa akhir guna mendapatkan kepuasan ataupun kebutuhannya.
c. Peran Sektor Pertanian dan Perkebunan karet Peran sektor pertanian diindonesia tidak diragukan lagi, pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan c. pangan dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha (Soekartawi, 2005).
Menurut Jhingan (2007) sumbangan atau jasa sektor pertanian pada pembangunan ekonomi terletak dalam hal : a. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat pesat. b. Meningkatkan permintaan akan produk industri, dengan demikian mendorong diperluasnya sektor skunder dan tersier. c. Menyediakan tambahan hasil devisa untuk impor barang-barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian terus menerus. d. Meningkatkan pendapatan desa. e. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Menurut Nurmala (2012), sektor pertanian di negara-negara yang sedang berkembang peranannya sangat besar sekali karena merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduknya. Peranan sektor pertanian dalam perekonomian suatu negara dapat dilihat dari besarnya persentase Produk Domestik Bruto (PDB).Oleh karena itu sektor pertanian harus ditunjang dengan sektor industri agar tercipta suatu inovasi yang membangun dan maju berkembang, serta harus mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
2.4
Ciri" barang konsumsi Konsumsi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, barang-barang
konsumsi adalah barang-barang yang diperlukan untuk pemenuhan kehidupan agar mencapai tingkat kepuasan yang diinginkan. Untuk
mengkategorisasikan barang-barang kebutuhan yang termasuk ke dalam barang-barang konsumsi, berikut akan dijelaskan bagaimana ciri-cirinya. Hal-hal tersebut perlu untuk diketahui agar Anda dapat mengklasifikasikan daftar kebutuhan dan konsumsi Anda secara tepat. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah : 1. Benda-benda yang dikonsumsi adalah benda ekonomi atau benda yang untuk memperolehnya diperlukan pengorbanan. Yaitu misalnya seperti kegiatan menghirup udara, berjemur pada sinar matahari pagi, dan mandi di sungai, bukanlah termasuk kegiatan konsumsi karena benda itu didapat secara gratis.
2. Benda yang dikonsumsi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penggunaan gergaji, cangkul, mesin-mesin, dan barang-barang modal lainnya yang bertujuan menambah faedah benda, tidak dikategorikan ke dalam kegiatan konsumsi. Namun kegiatan tersebut termasuk ke dalam kegiatan produksi.
Manfaat, nilai, ataupun volume benda-benda yang digunakan tersebut akan habis sekaligus atau berangsur-angsur.
2.5 Tujuan Konsumsi
Seseorang melakukan kegiatan konsumsi biasanya memiliki beberapa tujuan berikut : a. Mengurangi nilai guna suatu barang dan jasa secara bertahap.
Hal-hal yang termasuk ke dalam klasifikasi mengurangi nilai guna suatu barang dan jasa secara bertahap adalah misalnya penggunaan barang yang tidak habis dalam jangka waktu singkat. Yaitu seperti mobil, motor, pakaian, furniture rumah tangga seperti meja, kursi, lemari, dan sebagainya. Untuk mengurangi nilai guna barang-barang tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dan bertahap.
b. Menghabiskan atau mengurangi nilai guna suatu barang sekaligus.
Hal-hal yang termasuk ke dalam klasifikasi mengurangi nilai guna suatu barang dan jasa secara sekaligus adalah barang-barang yang habis pakai atau tidak barang-brang yang tidak dapat bertahan lama. Yaitu seperti makanan dan minuman. Karena jika tidak dihabiskan dalam waktu sekaligus, maka bahan-bahan tersebut akan rusak, basi, dan kadaluwarsa sehingga tidak memiliki nilai guna lagi.
c. Memuaskan kebutuhan jasmani dan rohani
Hal-hal yang termasuk ke dalam konsumsi ini adalah seperti contohnya perjalanan haji dan umroh bagi umat muslim ke Negara Arab Saudi. Hal seperti ini akan menimbulkan kepuasan batin dan rohani bagi seseorang yang ingin melakukannya. Tentu saja untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan biaya perjalanan, biaya pendaftaran, dan lain sebagainya. Namun jika seseorang telah memiliki niat kuat, maka hal tersebut tidak akan menjadi suatu masalah yang besar.
2.6
Pola Konsumsi Pola konsumsi merupakan suatu susunan akan kebutuhan seseorang
terhadap barang dan jasa yang akan dikonsumsi dan tergantung berdasarkan pendapatan dalam jangka waktu tertentu. Perlu diketahui bahwa pola konsumsi seseorang berbeda dengan orang yang lainnya. Hal ini tergantung dari besarnya pendapatan seseorang tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Seseorang juga akan menyusun kebutuhan konsumsinya berdasarkan prioritas yang pokok kemudian sekunder. Seperti misalnya kebutuhan pokok adalah kebutuhan untuk makan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan yang termasuk ke dalam kebutuhan sekunder adalah hiburan dan rekreasi. Sehingga ketika pendapatan seseorang tersebut mengalami penurunan, maka orang tersebut akan memangkas kebutuhan sekunder nya kemudian memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi pokok terlebih dahulu. Hal ini akan menekan kebiasaan melakukan pola konsumsi yang berlebihan. Karena pada dasarnya perilaku konsumtif akan menimbulkan efek negatif yang tidak baik bagi tingkat perekonomian seseorang. Maka dari itu, seseorang harus menerapkan pola konsumsi yang rasional dalam pemenuhan kebutuhannya. Selain I’tu, besar kecilnya konsumsi yang dilakukan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor berikut ini : 1. Pendapatan
2. Perkiraan harga di masa mendatang
3. Harga barang yang bersangkutan
4. Barang substitusi dan komplementer
5. Iklan
6. Ketersediaan barang dan jasa
7. Selera
8. Mode
9. Jumlah keluarga
10. Lingkungan sosial budaya
2.7 Jumlah Penduduk dan Angka Kemiskinan Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat dengan luas 35.377,76 Km2 menurut Data SIAK Provinsi Jawa Barat didiami penduduk sebanyak 46.497.175 Juta Jiwa. Penduduk ini tersebar di 26 Kabupaten/Kota, 625 Kecamatan dan 5.899 Desa/Kelurahan. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Bogor sebanyak 4.966.621 Jiwa (11,03 %), sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kota Banjar yaitu sebanyak 192.903 Jiwa (0,43 %). Jika diperhatikan menurut jenis kelamin, terlihat bahwa penduduk lakilaki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Gambaran ini terlihat dihampir seluruh Kabupaten/Kota, terkecuali Kabupaten Indramayu (Laki-laki 49,78 %, perempuan 50,22%). Jumlah penduduk di daerah penyangga Ibukota, yaitu di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kota Depok sebanyak 11.930.991 Jiwa atau 26% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Dengan begitu dapat disimpulkan seperempat penduduk Jawa Barat tinggal di daerah penyangga Ibu Kota. Sedangkan jumlah penduduk yang tinggal di Bandung Raya (Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi) sebanyak 8.670.501 Jiwa atau 18% dari total penduduk Jawa Barat, artinya hampir seperlima penduduk Jawa Barat tinggal di Bandung Raya/Ibu Kota Provinsi. Kalau di jumlahkan penduduk yang tinggal di penyangga Ibu Kota dan Bandung Raya, maka didapat jumlah penduduk di kedua daerah tersebut sebanyak 20.601.492 Jiwa atau 44% dari total jumlah penduduk Jawa Barat. Terlihat bahwa hampir separuh penduduk Jawa Barat tinggal di kedua daerah.
Pada Juli 2018, Badan Pusat Statistik kembali merilis tingkat kemiskinan Jawa Barat Maret 2018 sebesar 7,45 persen, turun 0,38 persen bila dibandingkan September 2017. Sayangnya, ketimpangan pendapatan (gini ratio) masyarakat Jabar pada umumnya belum sejalan dengan penurunan tingkat kemiskinan yang cukup signifikan. Nilai gini ratio Jabar mengalami kenaikan yakni dari 0,393 menjadi 0,407. Dikutip dari Berita Resmi Statistik No. 38/07/32/Th.XX, 16 Juli 2018, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat Maret 2018 mencapai 3.615,79 ribu jiwa (7,45 persen). Angka ini mengalami penurunan sekitar 159 ribu jiwa atau 0,38 persen bila dibandingkan September 2017.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2018 jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan maupun di perdesaan umumnya mengalami penurunan baik dari jumlah maupun persentasenya. Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan mencapai 2.327,87 ribu jiwa (6,47 persen) atau turun sebesar 63,36 ribu jiwa (0,29 persen) dibandingkan September 2017. Sedangkan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan mencapai 1.287,92 ribu jiwa (10,25 persen) atau turun sebesar 95,26 ribu jiwa (0,52 persen). Siapa sebetulnya yang disebut penduduk miskin? Dalam melakukan pengukuran pemenuhan
indikator
kemiskinan,
kebutuhan
BPS
menggunakan
dasar. Kemiskinan
dipandang
pendekatan sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan begitu, yang dimaksud penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata–rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Selama September 2017–Maret 2018, GK mengalami kenaikan sebesar Rp13.076 (3,69 persen) dari Rp354.679 per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp367.755 per kapita per bulan pada Maret 2018. Berdasarkan tipologi daerah, GK perkotaan dan perdesaan masing–masing mengalami kenaikan sebesar 3,89 persen dan 3,13 persen, sehingga GK perkotaan menjadi Rp368.680 per kapita per bulan, sedangkan GK perdesaan menjadi Rp364.151. Dalam penghitungannya, GK terbagi menjadi dua, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Secara total pada bulan Maret 2018, GKM di Jabar sebesar Rp266.531 per kapita per bulan, sedangkan GKNM sebesar Rp101.223 per kapita per bulan. Lebih lanjut, bila dilihat berdasarkan tipologi daerah, GKM di perdesaan nilainya lebih tinggi bila dibandingkan dengan perkotaan, yaitu GKM
perdesaan sebesar Rp274.016 per kapita per bulan sedangkan GKM perkotaan sebesar Rp263.583. Kondisi ini berbanding terbalik dengan nilai GKNM, GKNM di perkotaan nilainya lebih tinggi dibandingkan perdesaan, yaitu GKNM perkotaan sebesar Rp105.097 per kapita per bulan sedangkan di perdesaan sebesar Rp90.136 per kapita per bulan. Perananan komoditas makanan terhadap GK sangat dominan bila dibandingkan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Hal ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih didominasi oleh pengeluaran untuk kebutuhan makanan dibanginkan kebutuhan bukan makanan. Secara total peranan komoditi makanan terhadap GK pada bulan Maret 2018 yaitu sebesar 72,48 persen (71,49 persen di perkotaan dan 75,25 persen di perdesaan).Pada bulan Maret 2018, BPS mencatat komoditas yang memberikan sumbangan terbesar terhadap GK, baik di perkotaan maupun di perdesaan umumnya adalah komoditas beras. Beras memberi sumbangan sebesar 31,70 persen di perkotaan dan 23,82 persen di perdesaan. Selain itu, komoditas kedua terbesar yang memberi sumbangan terhadap GK adalah rokok (12,38 persen di perkotaan dan 8,20 persen di perdesaan). Komoditas lain yang sumbangannya cukup besar di antaranya telur ayam (4,38 persen di perkotaan dan 3,76 persen di perdesaan) dan daging ayam (4,07 persen di perkotaan dan 3,24 persen di perdesaan). Jika melihat data kemiskinan Jawa Barat tahun 2017, dipandang dari sisi pendidikan, persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas masih didominasi oleh penduduk dengan tingkat pendidikan tamat SD/SMP, angkanya mencapai 67,02 persen. Sementara itu, 21,12 persen tidak tamat SD dan 11,86 persen tamat SLTA ke atas. Lebih lanjut bila melihat angka partisipasi sekolah penduduk miskin usia sekolah, tidak semua penduduk miskin mengenyam bangku pendidikan, baru 99,47 persen usia 7–12 tahun penduduk miskin masih bersekolah, sedangkan usia 13–15 tahun yang masih
bersekolah sebesar 87,89 persen. Hal ini masih menjadi PR di kala pemerintah masih gencar mendorong program wajib belajar 12 tahun, terlebih untuk penduduk miskin. Selain itu, dari sisi ketenagakerjaan, penduduk yang tidak bekerja masih mendominasi kemiskinan di Jawa Barat. Sebanyak 49,62 persen penduduk miskin Jabar ternyata tidak bekerja. Sementara itu, penduduk miskin yang bekerja jumlahnya mencapai 50,38 persen yang terbagi dalam sektor formal (17,42 persen) dan sektor informal (32,96 persen). Lebih jauh, bila dianalisis dari lapangan usaha, penduduk miskin yang bekerja pada sektor pertanian angkanya mencapai 15,68 persen, sedangkan 34,70 persen bekerja di luar sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja pada sektor pertanian masih identik dengan lingkaran kemiskinan, padahal sektor pertanian termasuk ke dalam tiga lapangan usaha yang mendominasi struktur ekonomi di Jawa Barat selain industri dan perdagangan.
2.8 Pola konsumsi masyarakat miskin jawa barat Konsumsi merupakan kegiatan membelanjakan pendapatan untuk berbagai macam barang dan jasa guna memenuhi segala kebutuhan manusia, baik itu kebutuhan jasmani maupun rohani seperti makan, minum, pendidikan, kesehatan, hiburan dan kebutuhan lain. Pola konsumsi rumah tangga terbagi atas 2 (dua) yaitu pengeluaran untuk makanan dan non makanan. Pola konsumsi makanan merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesehatan dan produktivitas rumah tangga sementara pola konsumsi rumah tangga non makanan menggambarkan tingkat kesejahteraan dan kehidupan sosial rumah tangga di mata masyarakat. Pengeluaran untuk makanan dan non makanan saling terkait satu sama lain. Dalam kondisi pendapatan terbatas, pemenuhan kebutuhan makanan pasti akan menjadi pengeluaran utama di rumah tangga sehingga kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan membelanjakan sebagian besar
pendapatannya
ditujukan
untuk
membeli
makanan.
Meningkatnya
pendapatan secara umum akan menjadikan pergeseran pola pengeluaran, dimana pengeluaran untuk makanan akan menurun dan terjadi peningkatan pada porsi pengeluaran untuk non makanan. Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dari status miskin atau tidak miskin suatu rumah tangga yang ditentukan dari rata-rata pengeluaran per kapita per bulan suatu rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pengeluaran untuk membiayai komoditi makanan dan pengeluaran untuk membiayai komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sebagian besar pengeluaran per kapita per bulan pada rumah tangga miskin adalah untuk membiayai komoditi makanan. Pengeluaran per kapita per bulan untuk makanan pada Maret 2017 untuk rumah tangga miskin di Jawa Barat sebesar 69,48 persen. Tercatat Pengeluaran per kapita per bulan untuk makanan pada rumah tangga miskin tahun 2017 paling kecil di Kabupaten Sumedang sebesar 61,91 persen, sedangkan yang terbesar di Kota Tasikmalaya (75,42 persen).
Persentase Penggunaan Pengeluaran per Kapita Rumah Tangga Miskin, Tahun 2017 0% Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis
20%
40% 68, 86 69,1 4 70,2 2 75, 05 68,8 9 74,7 75, 29
60%
100 %
80% 31,14 30,86 29,78 24,95 31,11 25,3 24,71
Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kab. Pangandaran Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Pengeluaran Makanan
72,2 6 68, 52 72,1 8
27,74 31,48 27,82
61,91 71,2 9 68, 24 70,4 5 64,06 66,3 70,8 1 71,4 4 66,9 3 67, 2 64,34 68,9 2 64,35 65,9 8 69,8 6 75, 42 65,0 6
38,09 28,71 31,76 29,55 35,94 33,7 29,19 28,56 33,07 32,8 35,66 31,08 35,65 34,02 30,14 24,58 34,94 Pengeluaran Makanan
Non
Berdasarkan tipe daerah perkotaan dan pedesaan, ada perbedaan dalam pengeluaran konsumsi yang dilakukan rumah tangga di masing-masing tipe daerah. Untuk daerah perkotaan, baik tahun 2016 ataupun tahun 2017,
persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan lebih kecil daripada bukan makanan, dan di tahun 2017, porsi pengeluaran untuk kelompok m k nan di daerah perkotaan, sedikit meningkat dibandingkan dengan 2016.
Berbeda dengan daerah perkotaan, untuk tipe daerah pedesaan, pengeluaran untuk makanan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga. Persentase pengeluaran makanan untuk rumah tangga di pedesaan untuk tahun 2016 dan 2017 naik dari 57,02 persen menjadi 60,02 persen dari total pengeluaran. Besarnya persentase pengeluaran untuk konsumsi bukan makanan di perkotaan bila dibandingkan dengan pedesaan menandakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada penduduk pedesaan.
BAB III Studi Kasus 3.1 Pemaparan Potret Kemiskinan Jawa Barat Pada Juli 2018, Badan Pusat Statistik kembali merilis tingkat kemiskinan Jawa Barat Maret 2018 sebesar 7,45 persen, turun 0,38 persen bila dibandingkan September 2017. Sayangnya, ketimpangan pendapatan (gini ratio) masyarakat Jabar pada umumnya belum sejalan dengan penurunan tingkat kemiskinan yang cukup signifikan. Nilai gini ratio Jabar mengalami kenaikan yakni dari 0,393 menjadi 0,407. Dikutip dari Berita Resmi Statistik No. 38/07/32/Th.XX, 16 Juli 2018, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat Maret 2018 mencapai 3.615,79 ribu jiwa (7,45 persen). Angka ini mengalami penurunan sekitar 159 ribu jiwa atau 0,38 persen bila dibandingkan September 2017. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2018 jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan maupun di perdesaan umumnya mengalami penurunan baik dari jumlah maupun persentasenya. Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan mencapai 2.327,87 ribu jiwa (6,47 persen) atau turun sebesar 63,36 ribu jiwa (0,29 persen) dibandingkan September 2017. Sedangkan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan mencapai 1.287,92 ribu jiwa (10,25 persen) atau turun sebesar 95,26 ribu jiwa (0,52 persen). Siapa sebetulnya yang disebut penduduk miskin? Dalam melakukan pengukuran indikator kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Dengan begitu, yang dimaksud penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata–rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Selama September 2017–Maret 2018, GK mengalami kenaikan sebesar Rp13.076 (3,69 persen) dari Rp354.679 per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp367.755 per kapita per bulan pada Maret 2018. Berdasarkan tipologi daerah, GK perkotaan dan perdesaan masing–masing mengalami kenaikan sebesar 3,89 persen dan 3,13 persen, sehingga GK perkotaan menjadi Rp368.680 per kapita per bulan, sedangkan GK perdesaan menjadi Rp364.151. Dalam penghitungannya, GK terbagi menjadi dua, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Secara total pada bulan Maret 2018, GKM di Jabar sebesar Rp266.531 per kapita per bulan, sedangkan GKNM sebesar Rp101.223 per kapita per bulan. Lebih lanjut, bila dilihat berdasarkan tipologi daerah, GKM di perdesaan nilainya lebih tinggi bila dibandingkan dengan perkotaan, yaitu GKM perdesaan sebesar Rp274.016 per kapita per bulan sedangkan GKM perkotaan sebesar Rp263.583. Kondisi ini berbanding terbalik dengan nilai GKNM, GKNM di perkotaan nilainya lebih tinggi dibandingkan perdesaan, yaitu GKNM perkotaan sebesar Rp105.097 per kapita per bulan sedangkan di perdesaan sebesar Rp90.136 per kapita per bulan. Perananan komoditas makanan terhadap GK sangat dominan bila dibandingkan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Hal ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih didominasi oleh pengeluaran untuk kebutuhan makanan dibanginkan kebutuhan bukan makanan. Secara total peranan komoditi makanan terhadap GK pada bulan Maret 2018 yaitu sebesar 72,48 persen (71,49 persen di perkotaan dan 75,25 persen di perdesaan).
Pada bulan Maret 2018, BPS mencatat komoditas yang memberikan sumbangan terbesar terhadap GK, baik di perkotaan maupun di perdesaan umumnya adalah komoditas beras. Beras memberi sumbangan sebesar 31,70 persen di perkotaan dan 23,82 persen di perdesaan. Selain itu, komoditas kedua terbesar yang memberi sumbangan terhadap GK adalah rokok (12,38 persen di perkotaan dan 8,20 persen di perdesaan). Komoditas lain yang sumbangannya cukup besar di antaranya telur ayam (4,38 persen di perkotaan dan 3,76 persen di perdesaan) dan daging ayam (4,07 persen di perkotaan dan 3,24 persen di perdesaan).
3.2
Analisis Dalam studi kasus diatas yang dibahas adalah tingkat kemiskinan di jawa
barat baik itu dari segi Garis Kemiskinan makanan (GKM) maupun Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Tingkat kemiskinan di jawa barat mengalami penunuran dari tahun 2017 hingga 2018. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat Maret 2018 mencapai 3.615,79 ribu jiwa (7,45 persen). Angka ini mengalami penurunan sekitar 159 ribu jiwa atau 0,38 persen bila dibandingkan September 2017. Tetapi penurunan itu tidak dibarengi dengan ketimpangan pendapatan masyarakat jawa barat. Pada bulan Maret 2018, GKM di Jabar sebesar Rp266.531 per kapita per bulan, sedangkan GKNM sebesar Rp101.223 per kapita per bulan. Yang paling mempengaruhi kemiskinan adalah GKM kenapa? Karena ada dua konsumsi mayarakat yang mendominasi di jawa barat yaitu konsumsi beras dan rokok. Komoditas Beras memberi sumbangan sebesar 31,70 persen di perkotaan dan 23,82 persen di perdesaan. Selain itu, komoditas kedua terbesar yang memberi sumbangan terhadap GK adalah rokok (12,38 persen di perkotaan dan
8,20 persen di perdesaan). Kenapa beras bisa mempengaruhi kemiskinan, karena beras merupakan komoditas utama dari sektor pangan masyarakat jawa barat, sehingga ketika harga beras naik itu akan mempengaruhi pada pengeluaran masyarakat oleh karena itu pemerintah harus bisa menjaga kestabilan harga beras atau dengan mencari alternatif lain pengganti beras yang dapat diterima oleh masyarakat banyak. Kemudian ada rokok yang turut mempengaruhi kemiskinan, walaupun harga rokok sedikit mahal tetapi harga rokok tidak selalu mengalami kenaikan, jadi apa yang menyebebakan rokok mempengaruhi kemiskinan itu karena sebenarnya bukan bahan makanan pokok namun tingkat konsumsinya tinggi terutama di kalangan masyarakat miskin. Oleh karena itu seharus pemerintah lebih menaikan cukai rokok, dengan demikian harga rokok akan menjadi semakin mahal dan masyarakat yang taraf hidupnya rendah akan berpikir dua kali untuk membeli rokok. Jika tidak mau rokok itu dihilangkan dari pasaran. Karena pemasukan pajak dari rokok tidak sebanding dengan pengeluaran pemerintah untuk korban dari rokok tersebut.
Daftar Pustaka
https://jabar.bps.go.id/publication/2018/03/29/dbd87bea9078e7d751f0e361/po la-konsumsi-penduduk-provinsi-jawa-barat-2017.html https://cpps.ugm.ac.id/en/empat-strategi-penanggulangan-kemiskinandikembangkan-2/ http://khairilanwarsemsi.blogspot.com/2011/12/pengertian-konsumsi.html?m=1 https://cakrawala82.blogspot.com/2018/02/teori-konsumsi-menurutahli.html?m=1 http://ciputrauceo.net/blog/2015/7/13/pengertian-konsumsi-menurut-para-ahliekonomi-makro https://www.ayobandung.com/read/2018/11/28/41074/potret-kemiskinan-di-jawabarat