Pokok Bahasan : Perkandangan Acara Praktikum/Praktek : Pengenalan Perkandangan Tempat : Unggas adalah jenis hewan ternak kelompok burung yang dimanfaatkan untuk daging dan telur atau bulunya. Umumnya merupakan bagian dari ordo Galliformes (seperti ayam dan kalkun), dan Anseriformes (seperti bebek). Kata unggas juga umumnya digunakan untuk burung pedaging seperti di atas. Lebih luasnya, kata ini juga dapat digunakan untuk daging burung jenis lain seperti merpati. Bagian paling berdaging dari burung adalah otot terbang pada dada, serta otot jalan pada segmen pertama dan kedua pada kakinya.
Peternakan Kamis, 23 November 2017
Laporan Praktikum Produksi Ternak Unggas BAB I PENDAHULUAN Ternak unggas adalah ternak yang memiliki garis keturunan dari bangsa spesies burung (aves). Jenis unggas yang umum dipelihara adalah ayam, itik, puyuh, dan burungmerpati. Unggas air memilki perbedaan yang spesifik dengan unggas darat dari luarnyayang menunjukan perbedaan habitat,
makanan, cara pertahanan diri dan
kebiasaannya.Ransum merupakan pakan yang siap diberikan kepada ternak terdiri dari campuran bahan – bahan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak selama 24 jam. Formulasi ransum berguna untuk meminimalisir biaya yang dikeluarkan untuk pakan tetapi dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak tersebut. Ransum yang baik membutuhkan beberapa data seperti bahan pakan yang meliputi kandungan gizi serta adanya zat anti nutrisi atau zat berbahaya yang terkandung di dalamnya. Sistem kandang merupakan pembentukan suatu kandang sesuai dengan tujuannya hingga membuat ternak merasa nyaman untuk menghasilkan produksi yang tinggi. Tujuan dari praktikum Produksi Ternak Unggas adalah mengenali jenis unggas, perbedaannya, anatomi ternak unggas, jenis penyakit unggas, cara menyusun ransum, mengetahui sistem perkandangan yang baik. Manfaat dari praktikum Produksi Ternak Unggas
adalah mengetahui perbedaan antara unggas air dengan unggas darat, jantan dan betina, teknik maupun cara dalam penyusunan ransum, faktor faktor yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produksi ternak dalam suatu perkandangan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pengenalan Jenis dan Klasifikasi Ternak Unggas Unggas adalah jenis hewan ternak kelompok aves yang dimanfaatkan untuk daging
atau telurnya (Rohajawati dan Supriyati, 2010). Ternak yang termasuk unggas adalah ayam, merpati, itik dan puyuh. Ciri - ciri unggas secara umum adalah berkaki dua, bersayap, mempunyai paruh, menghasilkan telur dan mempunyai sifat mengeram (Blakely dan Blade, 1994). Klasifikasi unggas dapat dibedakan berdasarkan asal usulnya yang dibedakan menjadi dua yaitu berdasarkan taksonomi dan The american standart of perfection dan juga dibedakan berdasarkan dari tujuan pemeliharaan dan habitat yang mempengaruhi bentuk tubuhnya (Rahayu dkk., 2011).
2.1.1.
Klasifikasi secara internasional Klasifikasi secara internasional yaitu pengelompokkan unggas khususnya ayam yang
didasarkan pada buku “The American Standard of Perfection”. Berdasarkan buku tersebut ayam dikelompokkan atas kelas, bangsa, varietas dan strain. Kelas digunakan untuk membedakan tempat ayam tersebut dikembangkan secara luas, bangsa digunakan untuk kelompok dalam suatu kelas yang memiliki kesamaan bentuk anatomi, morfologi dan fisiologi serta berifat turun temurun (Rahayu dkk., 2011). Berdasarkan buku “The American Standard of Perfection” dibagi menjadi 12 kelas. Hanya ada 4 kelas terpenting yang ada meliputi kelas Amerika, Mediterania, Inggris, Asia (Suprijatna dkk., 2008).Varietas dan strain merupakan pembeda dalam klasifikasi internasional. Varietas merupakan kelompok unggas dari suatu bangsa dan mempunyai perbedaan sifat maupun tubuhnya, dilihat berdasarkan warna bulu dan jengger, sedangkan strain dilihat berdasarkan tujuannya (Sudrajat, 2014).
2.1.2.
Klasifikasi berdasarkan tujuan pemeliharaan
Unggas berdasarkan tujuan pemeliharaannya terbagi dalam beberapa golongan yaitu tipe unggas pembibit, tipe pedaging, tipe petelur, tipe dwiguna dan tipe fancy atau kesenangan (Rahayu dkk., 2013). Jenis unggas menurut fungsinya terbagi dalam lima kelompok yaitu ayam pedaging yang dimanfaatkan untuk diambil dagingnya, ayam petelur (layer) yang dimanfaatkan adalah telur, ayam dwiguna (pedaging dan petelur) yakni diambil keuntungannya dari daging dan telurnya, ayam hias atau ayam timangan yang dipelihara karena kecantikan penampilan ataupun suaranya dan ayam sabung yang dipelihara untuk dijadikan permainan sabung ayam (tradisi) (Suryana, 2013). Unggas tipe pedaging merupakan jenis unggas yang pemeliharaannya efektif untuk menghasilkan daging (Muharlien dkk., 2011). Ayam broiler merupakan tipe unggas yang menghasilkan daging dan sering diternakkan karena memiliki masa panen yang relatif pendek dan mudah untuk sistem pemasarannya (Dahlan dan Haqiqi, 2012). Unggas tipe pedaging memiliki ciri - ciri tubuh yang relatif besar, padat, kompak, berdaging penuh, menghasilkan telur sedikit, sifatnya tenang, pergerakannya lambat dan beberapa jenis ayam pedaging memiliki bulu pada shank atau kakinya serta gemar mengeram (Rahayu dkk., 2012). Unggas petelur merupakan unggas yang dimanfaatkan untuk diambil telurnya sebagai hasil dari produksi unggas betina yang mana dalam proses produksinya menghasilkan telur yang fertil atau menghasilkan keturunan (DOC/DOD) atau telur yang infertil yaitu untuk konsumsi (Nurcholis dkk., 2009). Ciri - ciri unggas petelur antara lain berbadan relatif kurus (langsing) dan tegap, dapat menghasilkan telur sekitar 200 – 300 butir telur setiap tahunnya, memiliki masa rontok bulu (molting) pada peremajaan sel - sel dalam tubuhnya dan mudah stress (Rahayu dkk., 2012). Jenis unggas yang diternakkan untuk diambil dua keuntungan sekaligus disebut unggas dwiguna dalam hal ini keuntungannya adalah daging dan telur (Nataamijaya, 2010). Tipe ayam dwiguna memiliki ciri - ciri yakni berbadan sedang (tidak terlalu kecil maupun besar), menghasilkan telur yang lumayan banyak dan ukurannya relatif besar berkerabang coklat atau bercampur hitam, beberapa kelompok memiliki sifat suka mengeram (Rahayu dkk., 2012). Unggas tipe fancy dipelihara untuk beberapa tujuan antara lain keindahan betuk tubuhnya, kekuatannya dan juga keindahan atau kemerduan suaranya (Rahayu dkk., 2012).
2.1.3.
Unggas Darat
Unggas darat merupakan unggas yang lebih sering berada di darat. Unggas darat memiliki tubuh yang lebih mengembang dibandingkan dengan unggas air, memiliki paruh yang runcing karena memakan biji - bijian, memiliki leher yang pendek disertai dengan jengger dan memiliki warna bulu yang bervariasi. Unggas darat memiliki cakar yang berbentuk jari - jari terpisah dan tidak memiliki selaput seperti pada unggas air (Siwi dkk., 2014). Unggas darat merupakan jenis yang paling populer di kalangan masyarakat, khususnya ayam yang digunakan sebagai penghasil daging (Villa dkk., 2014). Contoh unggas darat yang lain adalah puyuh dan merpati. Unggas darat yang sangat sensitif terhadap cekaman lingkungan panas baik lingkungan luar tubuh maupun dalam tubuh adalah ayam petelur (Jayani dkk., 2015)
2.1.3.1. Ayam Ayam adalah vertebrata berdarah panas yang memiliki tingkat metabolisme tinggi (Suprijatna dkk., 2008). Ayam termasuk dalam filum Chordata, subfilumVertebrata, kelas Aves,
subkelas Neornithes,
ordo Galliformes,
genus Gallus,
spesiesGallus
domesticus (Yuwanta, 2004). Ayam mempunyai ciri - ciri umum, yaitu jengger, pial, cuping dan jalu atau taji pada kakinya (Rahayu dkk., 2011). Perbedaan ayam jantan dan betina yaitu pada ayam jantan memiliki badan besar, jengger besar dan nampak bergerigi, mata besar dan bercahaya, kaki besar, bulu ekor cepat panjang, sedangkan pada ayam betina badan kecil, mata kecil dan lemah, jengger tumbuh pendek dan tipis, kaki pendek dan kecil, bulu badan tumbuh merata (Sujionohadi dan Setiawan, 2016).
2.1.3.2. Puyuh Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan salah satu komoditas unggas yang mempunyai peran dan prospek yang cukup cerah sebagai penghasil telur. Puyuh termasuk dalam
golongan
unggas
darat.
Menurut
klasifikasinya
puyuh
termasuk
dalam
kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Aves, ordo Galliformes, famili Phasianidae, genus Coturnix, spesies Coturnix coturnix japonica. Puyuh dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe petelur dan tipe pedaging. Puyuh juga memberi keuntungan dari daging sebagai salah satu alternatif yang mendukung ketersediaan protein hewani dengan harga murah dan mudah
didapat, di samping itu bulu dan bahkan kotoran puyuh dapat dimanfaatkan
(Widyastuti,
2014). Faktor yang terpenting dalam pemeliharaan puyuh adalah pakan, sebab 80% biaya yang dikeluarkan peternak digunakan untuk pembelian pakan. Zat - zat gizi yang dibutuhkan harus terdapat dalam pakan, kekurangan salah satu zat gizi yang diperlukan akan memberikan dampak buruk bagi unggas
(Listyowati dan Kinanti, 2005).
2.1.3.3. Merpati Merpati merupakan jenis unggas darat yang memilki karakteristik jambul yang ada di kepala, meiliki kaki berbulu dan ada yang tidak berbulu, mempunyai bentuk paruh yang khas (Darwati, 2012). Bentuk paruh pada merpati kecil dan sedikit runcing memudahkan merpati dalam mengambil pakan biji - bijian serta pakan dalam kondisi keras (Muzani dkk., 2005). Merpati
tergolong
dalam
famili Columbidae memiliki
289
spesies
mulai
dari
merpati diamond dengan ukuran 12 cm sampai merpati crowned yang memiliki ukuran sebesar kalkun betina (Soesono, 2003). Merpati memiliki kingdomanimalia, filum chordata, kelas aves,ordo columbiformes,
famili columbidae,
genuscolumba dan
spesies Columba
domestic.
2.1.4.
Unggas Air Unggas air merupakan unggas yang menyukai air dan bisa bertahan hidup di air.
Unggas air banyak macamnya, mulai dari unggas air liar sampai unggas air yang sudah diternakkan (Rasyaf, 2011). Ciri - ciri unggas air yaitu jari - jari kaki pada unggas air memiliki selaput renang, paruh pada unggas air ditutupi selaput halus yang sensitif, bulu - bulu pada unggas air berbentuk cekung, tebal dan menghadap ke tubuh, bulu - bulu pada unggas air berminyak yang berfungsi untuk menghalangi masuknya air ke dalam tubuh (Suharno dan Setiawan, 2012).
2.1.4.1. Itik Itik
termasuk
ordoanseriformes,
dalam
termasuk
kingdom animalia,
famili anatidae,
filum chordata,
genus anas atau calrina,
kelas aves, spesies Anas
platyrhynchos (Garnida, 2012). Daging itik tergolong dalam daging gelap suram (dark meat) (Suharno dan Setiawan, 2012). Itik termasuk dalam unggas air dengan ciri morfologi yang khas
dan itik tidak mudah kedinginan karena terdapat lapisan lemak di bawah kulitnya (Garnida, 2012). Ciri khas itik yaitu memiliki paruh yang lebar dan sedikit panjang, kaki berselaput dan tubuh yang anti basah karena pada bulunya dilapisi oleh zat minyak (Mito dan Johan, 2011). Itik memiliki ciri - ciri tubuh yang ramping, berdiri hampir tegak seperti botol dan lincah (Rasyaf, 2011).
2.2.
Anatomi dan Identifikasi Ternak Unggas. Anatomi ternak unggas dapat digolongkan berdasarkan tubuh bagian luar dan tubuh
bagian dalam, tubuh bagian dalam terdiri dari sistem pernapasan, sistem reproduksi dan sistem pencernaan (Rahayu dkk., 2011). Ciri - ciri eksterior unggas adalah berkaki dua, bersayap, mempunyai paruh, menghasilkan telur dan mempunyai sifat mengeram (Blakely dan Blade, 1994).
2.2.1.
Sistem Pencernaan Sistem pencernaan pada unggas terdiri dua bagian yaitu saluran pencernaan dan organ
aksesoris, bagian dari saluran pencernaan adalah mulut, esophagus, tembolok, proventrikulus, ventrikulus, usus halus, usus besar, seka dan kloaka, sedangkan organ aksesoris yaitu pankreas dan hati (Suprijatna, 2008). Sistem pencernaan unggas tidak dapat mencerna serat kasar karena unggas tidak mempunyai mikroorganisme yang dapat memproduksi enzim selulolitik dalam saluran pencernaannya (Suprapti dkk. 2008). Fungsi utama dari sistem pencernaan yaitu untuk menyerap nutrien yang berasal dari bahan pakan yang nantinya akan digunakan untuk metabolisme (Suthama dan Ardiningsasi, 2006). Pakan yang masuk dari paruh akan disalurkan oleh esophagus menuju tembolok yang terjadi proses pencernaan secara fermentasi dan penampungan pakan sementara. Pakan dari tembolok akan menuju proventrikulus yang akan mencerna pakan secara enzimatis dan akan menuju ventrikulus untuk dicerna secara mekanik. Pakan dari ventrikulus, selanjutnya akan diserap nutriennya di usus halus. Sisa pakan yang tidak diserap akan menuju ke usus besar untuk absorbsi air dan mineral. Selanjutnya sisa pakan akan menuju seka yang terjadi proses pencernaan secara fermentasi. Sisa pakanyang dihasilkan akan menuju kloaka yang merupakan tempat bermuaranya saluran pencernaan, urinary dan reproduksi. (Yuwanta,2004).
2.2.2.
Sistem Pernapasan Pernapasan merupakan suatu proses pengambilan oksigen dari udara bebas dan
pengeluaran karbondioksida ke udara bebas (Yuwanta, 2004). Sistem pernapasan pada unggas terbagi atas lubang hidung, saluran pernapasan, dan paru - paru (Fadilah, 2010). Bagian system pernapasan yaitu nasal cavities, larynx, trachea, syrinx, bronchi sebagai saluran menuju paru - paru, sedangkan paru - paru sebagai tempat pertukaran oksigen (Suprijatna dkk., 2008). Sistem pernapasan unggas terbang terdapat terdapat perbedaan kantong udara lebih besar yang memiliki fungsi sebagai pembantu pernapasan, meringankan tubuh dan melancarkan peredaran darah (Muslim, 1993). Ciri - ciri ayam yang bebas dari penyakit pernapasan meliputi mata bening, lubang hidung dan mulut bersih dari lender, muka tidak pucat, lincah dan aktif (Fadilah dan Polana, 2011).
2.2.3.
Sistem Reproduksi Jantan Sistem reproduksi unggas jantan merupakan alat yang digunakan dalam fertilisasi
yang dapat menghasilkan sperma dan sebagai jalan keluarnya ekskreta melalui kloaka (Sujionohadi dan Setiawan, 2007). Unggas jantan memiliki sistem reproduksi yang terdiri dari tiga organ yaitu testis yang berfungsi sebagai penghasil sperma, vas deferens memiliki fungsi sebagai saluran jalannya sperma serta tempat pemasakan dan penyimpanan sperma sebelum ejakulasi dan kloaka berfungsi sebagai jalan keluarnya ekskreta dan sperma (Scanes, 2015). Ukuran dari sistem organ reproduksi jantan berbeda - beda, ukuran testis, vas deferens dan kloaka pada unggas darat lebih besar dari testis unggas yang di udara,hal ini dapat dilihat langsung dari ukuran tubuh ternak (Hardjosubroto, 2001). Unggas yang sehat dan bebas dari penyakit sistem reproduksi memiliki ciri - ciri mampu bertelur dengan jangka waktu normal dan mengeluarkan sisa metabolisme lanacar dengan mengeluarkan ekskreta yang normal (Biyatmiko, 2005).
2.2.4.
Sistem Reproduksi Betina
Sistem reproduksi betina pada unggas memiliki perbedaan sistem reproduksi betina pada umumnya. Sistem reproduksi unggas betina dibagi menjadi dua bagian yaitu ovarium dan oviduk (Yuwanta, 2004). Ovarium yang memiliki fungsi sebagai tempat pematangan sel telur dan oviduk yang terdiri dari infundibulum sebagai tempat menangkap sel telur yang telah matang dari ovarium, magnum sebagai tempat pelapisan albumen pada telur, isthmus sebagai tempat pelapisan kulit tipis telur, uterus sebagai tempat pembuatan cangkang telur, vagina untuk ovoposisi telur dan kloaka sebagai saluran keluarnya sel telur dari tubuh unggas. Unggas memiliki sepasang oviduk, tetapi hanya oviduk bagian kiri yang dapat berfungsi dan berkembang, sedangkan yang sebelah kanan bersifat rudimeter (Afiati dkk., 2013). Terdapat berbagai macam penyakit yang dapat menyerang organ reproduksi betina unggas. Unggas carrier memiliki ova dengan bentuk yang tidak teratur serta mengalami perubahan berbentuk cyst, selain itu juga terdapat peritonitis dan perikarditis berupa ova yang mengandung material menyerupai minyak (Tabbu, 2000). Penyakit yang timbul pada unggas dapat menurunkan tingkat produksi unggas hingga kematian. Pembentukan telur juga akan terganggu apabila unggas terserang penyakit (Fadillah dan Polana, 2011).
2.2.5.
Sistem Urinari Komponen yang dominan dari sistem urinari pada unggas antara lain ginjal, ureter dan
kloaka (Gillespie dan Flanders, 2009). Organ - organ dari sistem urinari memiliki peran yang berbeda - beda (Yuwanta, 2004). Sistem urinari pada unggas terdiri atas dua buah ginjal yang letaknya berdekatan dengan paru - paru unggas (Fadilah, 2006). Ginjal pada komponen penyusunannya terdiri atas banyak tubulus kecil(neuphron) yang merupakan unit fungsional utama yakni sebagai filtrasi (Suprijatna dkk., 2004). Ureter adalah suatu saluran berbentuk tabung yang menghubungkan antara ginjal dengan kloaka (Suprijatna dkk., 2005). Unggas tidak memiliki uretra atau bladderakan tetapi unggas memiliki ureter yang bermuara menuju kloaka dimana urin akan bercampur bersama feses (Flanders dan Gellispie, 2010). Ureter merupakan saluran muskular yang berfungsi untuk mengalirkan urin dari ginjal menuju ke kloaka yang dinamakan ekskreta yakni urin yang bercampur dengan feses (Yuwanta, 2004). Kloaka merupakan lubang dari tabung yang menyambungkan antara saluran urin (uredeum atau
urinasi),
saluran
reproduksi (coprodeum) dan
saluran
pencernaan(proctodeum atau defekasi) (Sudarmono, 2003). Urin pada unggas berwarana putih kehijauan seperti pasta karena tersusun atas asam urat yang bercampur dengan feses (Sujionohadi dan Setiawan, 2007).
2.2.6.
Sistem Kekebalan Tubuh Sistem kekebalan tubuh unggas terdapat 3 macam yakni bursa fabrisius, thymusdan
limpa.
Bursa
fabrisius
yang
terletak
di
dekat
kloaka
menghasilkan
B
sel
dan thymusmenghasilkan T sel yang terletak diantara saraf vagus dan vena jugularis pada leher (Murtidjo, 1992). T sel tidak menghasilkan antibodi melainkan menghasilkan sel defektor yang berfungsi sebagai penghancur sel - sel asing yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan B sel menghasilkan banyak antibodi yang memiliki fungsi sebagai pertahanan tubuh pada ayam dari infeksi penyakit (Fadilah dan Polana, 2011). Limpa merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat produksi sistem kekebalan tubuh pada setiap ternak, apabila limpa terganggu maka ketahanan unggas terhadap penyakit akan berkurang dan mudah terserang penyakit (Wina dkk., 2010). Limpa terletak di sebelah kanan abdomen yang terletak di antara proventrikulus dengan ventrikulus yang berfungsi sebagai penyaring darah dan menyimpan zat besi untuk dimanfaatkan saat sintesis hemoglobin (Ihsan, 2006). Penyakit yang biasa menyerang sistem kekebalan adalah Newcastle Disease(ND). ND biasanya disebabkan oleh pendarahan pada limpa, thymus dan bursa fabrisius (Hewajuli dan Dharmayanti, 2015). Penyakit lain yang menyerang kekebalan adalah gumboro. Gumboro adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang bursa fabrisius dan thymus yang menyebabkan ayam tidak memiliki kekebalan tubuhnya lagi (Murtidjo, 1992).
2.3.
Formulasi Ransum Ternak Unggas Ransum adalah campuran bahan pakan yang sudah dipilih yang mengandung semua
gizi dibutuhkan oleh unggas untuk berproduksi sesuai umur dan ukuran tubuhnya (Rasyaf, 2011). Prinsip penyusunan ransum adalah menyamakan kandungan nutrisi bahan pakan terpilih dengan kebutuhan ayam yang dipelihara (Rasyaf, 2008). Ayam broiler fase finisher membutuhkan protein kasar 18 – 20% dan energi metabolis 3000 – 3200 kkal/kg (Yuwanta, 2004). Keseimbangan protein dan energi dalam penyusunan ransum perlu diperhatikan. Protein dijadikan sebagai patokan karena kualitas suatu bahan dan harga pakan ditentukan oleh kadar
protein tersebut (Rukmana, 2007). Teknik pencampuran ransum yaitu pertama tama, bahan pakan disusun berlapis secara vertikal yang jumlahnya paling besar diletakkan pada lapisan paling bawah dan bagian kecil diletakkan semakin keatas kemudian semua bahan pakan tersebut dicampurkan sampai merata (Sudarmono, 2003). 2.3.1.
Cara pencampuran ransum Penyusunan ransum merupakan suatu metode atau cara mencampurkan beberapa
bahan pakan yang diberikan pada ternak sesuai dengan kebutuhan ternak untuk memenuhi kebutuhannya selama 24 jam dan sebagai pertumbuhan dan produksinya dengan berbagai pertimbangan yakni dengan beberapa metode antara lain metode trial and error method (coba -
coba), person
square
method (metode
bujur sangkar)dan sistem
komputer
(Suprijatna dkk., 2005). Metode formulasi ransum yang mudah untuk mendapatkan ransum yang murah dan berkualitas diperlukan yang betujuan untuk digunakan, lebih cepat dan akurat dalam penentuan komposisi bahan (perhitungan) dan yang paling utama adalah mendapatkan biaya serendah mungkin dalam perhitungannya yakni ada beberapa cara pencampurannya atau formulasinya antara lain linear programming, trial and error, equation dan pearson’s square (Hidayat dan Mukhlash, 2015). Pemilihan bahan pakan sebaiknya memiliki kandungan gizi yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan ternak, mudah dicerna agar efisiensi pakan, bahan pakan tidak mengandung racun yang dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian, mudah diperoleh dan harganya murah (Devani dan Basriati, 2015). Standar kebutuhan akan energi metabolis pada ayam periode starter adalah 2800 -3200 kkal/kg dan pada unggasfase finisher energi metabolisme sebesar 2800 -3300 kkal/kg, standar protein kasar untuk periode starter adalah 18 - 23 % dan periode finisher adalah 18 - 22% (Rasyaf, 1995). Serat kasar dalam ransum ayam hanya 5% (Siregar, 1970). Total kebutuhan unggas broiler finisher PK sebesar 20%, LK sebsar 3 - 4%, SK sbesar 3 - 5%, Ca 0,9%, Phospor 0,4%, EM 3200 KKal/kg, Lisin 1,0% dan Metionin 0,38% (NRC, 1984). 2.3.2.
Cara penyajian ransum Beberapa bentuk pakan yang diberikan pada ternak khususnya unggas ada bermacam
macam antara lain crumble yang merupakan tipe ransum yang dihasilkan dari campuran bahan pakan, pellet yang
merupakan
bahan
pakan
yang
dipadatkan
menggunakan
mesin pellet dan mash (Jahan dkk., 2006). Pemberian pakan dapat dilakukan dengan cara adlibitum atau secara terus - menerus (Manurung, 2011). Pemberian pakan sesuai interval yaitu dengan mengatur jarak waktu antara pemberian ransum setiap harinya (Syahwani, 2004). Metode pemberian pakan secara force feedingyaitu dengan mempuasakan ayam terlebih dahulu dan kemudian ayam dipaksa untuk memakan pakan (Hidayati, 2006).
2.4.
Sistem Kandang Kandang merupakan kebutuhan primer awal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu
sebagai tempat untuk ternak hidup setiap harinya dan berproduksi (Haryoto, 1999). Evaluasi perkandangan dilihat dari aspek layout perkandangan dan konstruksi bentuk kandang serta daya tampung seberapa banyak jumlah ayam dalam suatu kandang (Nadzir dkk., 2015). Kondisi kandang yang baik merupakan kandang yang berada jauh dari pusat keramaian (Muslim, 2006). Syarat kandang dikatakan baik juga harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi unggas sehingga produksi yang dihasilkan maksimal (Martawijaya dkk., 2004). 2.4.1.
Layout kandang Kandang ideal yang baik dan sehat memiliki ciri - ciri antara lain kandang menghadap
timur dengan ventilasi yang baik (Ustomo, 2016). Jarak kandang dari pemukiman yang baik minimal 500 m dari pemukiman supaya tidak terjadi pencemaran udara, air dan kotoran disekitar kandang (Yuwanta, 2004). Kandang baterai yang baik di letakkan dengan ketinggian minimal 40 cm dari permukaan lantai untuk memberikan ruang gerak udara (Sudarmono, 2003). Standar jarak antar kandang ayam yang baik adalah 10 m (Artianingsih, 2011).
2.4.2.
Konstruksi kandang Bagian konstruksi kandang yang perlu di perhatikan meliputi dinding kandang, atap
kandang, lantai kandang, dan sistem kandang (Marconah, 2012). Tipe atap kandang ayam petelur dibagi menjadi beberapa jenis meliputi tipe atap miring, tipe A, tipe monitor, dan semi monitor
(Udjianto,
2016).
Berdasarkan
tipe
dinding
kandang
ayam
di
bagi
menjadi dua yaitu kandang terbuka dan kandang tertutup (Rahayu dkk., 2011). Tipe alas yang baik terbuat dari semen yang ditutup dengan sekam, pasir kering dan kapur, dan ukuran mencukupi kebutuhan gerak ayam (Ustomo, 2016).
2.4.3.
Kapasitas dan daya dukung kandang Kapasitas kandang merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat
pertumbuhan unggas, populasi yang terlalu padat dapat mengakibatkan stress pada ayam (Tamalludin, 2014). Temperatur lingkungan, tipe kandang, ukuran ayam, dan umur ayam merupakan
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
tingkat
kepadatan
kandang
(Suprijantadkk., 2005). Daya dukung kandang juga berpengaruh berpengaruh terhadap pertumbuhan unggas, karena daya dukung kandang dapat menjaga kondisi lingkungan unggas aga tidak muda stress, daya dukung kandang meliputi tempat makan, tempat minum, alat pemanas, alat penerang dan alat sanitasi. (Rasyaf, 2011).
BAB III MATERI DAN METODE Praktikum Produksi Ternak Unggas dengan materi Pengenalan Jenis, Klasifikasi Ternak Unggas, Anatomi dan Identifikasi Ternak Unggas dilakukan pada hari Selasa, 13 Maret 2017 pukul 12.15 – 14.40 dan materi Formulasi Ransum Ternak Unggas dan Perkandangan dilaksanakan pada hari Selasa, 21 Maret 2017 pukul 12.15 – 14.40 di Laboratorium Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1.
Materi Materi yang di gunakan dalam praktikum pegenalan jenis, klasifikasi, anatomi,
identifikasi penyakit ternak unggas meliputi gambar penjelas, alat tulis, 1 ekor itik jantan, 1 ekor itik betina, 1 ekor merpati jantan, 1ekor merpati betina, 1 ekor ayam jantan, 1 ekor ayam betina, 1ekor puyuh jantan, 1 ekor puyuh betina, pisau, gunting, pita ukur, timbangan dan diktat. Materi yang digunakan dalam praktikum Formulasi Ransum Unggas adalah laptop untuk metode penyusunan ransum, 7 bahan pakan yaitu jagung, bungkil kedelai, bekatul, CPO, tepung ikan, bungkil kedelai, MBM dan premix. Alat -alat yang digunakan dalam praktikum pengenalan jenis, klasifikasi, anatomi dan identifikasi penyakit ternak unggas adalah pisau
untuk membedah unggas, wadah untukmenaruh organ unggas, dan timbangan untuk menimbang bobot organ. Alat yang digunakan dalam praktikum formulasi ransum dan perkandangan adalah laptop untuk menghitung formulasi ransum dengan aplikasi Ms. Excel, timbangan untuk menimbangbahan pakan yang akan dicampurkan, nampan untuk tempat mencampur ransum dan meteran untuk mengukur kandang. 3.2.
Metode Metode yang di gunakan dalam praktikum pengenalan jenis dan klasifikasi ternak unggas adalah dengan menyebutkan, menulis perbedaan dan menggambar karakteristik eksterior unggas darat dan air. Metode yang di gunakan dalam praktikum anatomi, fisiologi dan identifikasi penyakit unggas adalah dengan menyembelih terlebih dahulu di awali dengan menimbang bobot hidup, menghitung waktu bleeding dan menimbang bobot mati unggas. Sebelum menyayat, menyemprotkan desinfektan danmenyayatan 2 – 3 cm di atas kloaka dengan posisi horizontal otot perut dekat tulang rusuk hingga pertautan antara tulang sayap dan dada. Memotong persendian antara sayap dan dada, memisahkan sistem pencernaan, pernafasan, reproduksi, dan urinari.Mengukur dan menimbang masing-masing bagian saluran organ. Metode yang dilakukan dalam praktikum materi formulasi ransum unggas adalah melakukan uji organoleptik bahan pakan. Menyusun ransum dengan metode coba - coba untuk kebutuhan nutrisi unggas yang telah ditentukan. Menimbang bahan pakan yang akan dicampurkan sesuai dengan hasil yang didapatkan. Mencampurkan bahan pakan yang telah ditimbang.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Pengenalan Jenis dan Klasifikasi Ternak Unggas Klasifikasi Ternak Unggas dibedakan menjadi 4 yaitu berdasarkan taksonomi,The
american standart of perfection, tujuan pemeliharaan dan habitat. Menurut pendapat Rahayu dkk. (2011) yang menyatakan bahwa klasifikasi unggas dapat dibedakan berdasarkan asal usulnya yang dibedakan menjadi dua yaitu berdasarkan taksonomi dan The american standart
of perfection dan juga dibedakan berdasarkan dari tujuan pemeliharaan dan habitat yang mempengaruhi bentuk tubuhnya. Jenis ternak unggas pada umumnya terdiri dari ayam, itik, puyuh dan merpati. Hal ini sesuai dengan pendapat Susilorini dkk. (2008) yang menyatakan bahwa itik, putuh, ayam, merpati dan kalkun merupakan jenis ternak unggas. Ayam yang ada di Indonesia terdiri dari ayam buras dan ayam ras. Hal ini sesuai dengan pendapat Horhoruw dan Rajab (2015) yang menyatakan bahwa terdapat 2 macam ayam di Indonesia yakni ayam buras dan ayam ras. Menurut Sartika dan Iskandar (2007) ayam lokal atau ayam buras telah diidentifikasi anatara lain ayam pelung, ayam wareng, ayam sentul, ayam arab, ayam kedu dan ayam cemani.
4.1.1.
Ayam Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut : Ayam Betina Ayam Jantan
Ilustrasi 1. Ayam Berdasarkan unggas yang digunakan saat praktikum dapat disimpulkan bahwa ayam tersebut
termasuk
dalam
filum Chordata,
subfilum Vertebrata,
kelas Aves,
subkelas Neornithes, ordo Galliformes, genus Gallus, spesies Gallus domesticus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suprijatna dkk. (2005) yang menyatakan bahwa taksonomi ayam terdiri
dari
filum Chordata,
subfilum Vertebrata,
kelas Aves, subkelas Neornithes,
ordo Galliformes, genus Gallus dan spesies umunya adalah spesie Gallus domesticus.Ayam pada gambar diatas adalah ayam broiler yang termasuk dalam ayam Ras. Menurut Rasyaf
(1989) ayam ras adalah ayam yang sudah didomestikasi atau ayam komersial dan yang termasuk ayam ras yaitu ayam petelur dan ayam broiler. Ayam memiliki ciri - ciri umum yaitu jengger, pial, cuping dan jalu atau taji pada kakinya. Menurut Rahayu dkk. (2011) ciri umum pada ayam meliputi jengger, pial, cuping, dan taji pada kakinya. Perbedaan dari ayam jantan dan betina yaitu meliputi badan, jengger, mata, kaki dan bulu. Ayam jantan memiliki badan dan tinggi yang lebih besar disbanding dengan ukuran pada ayam betina, mata ayam lebih besar dan bercahaya, jengger lebih besar dan nampak bergerigi, kaki besar dan kuat, bulu ekortumbuh panjang dengan lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sujionohadi dan Setiawan (2016) yang menyatakan bahwa perbedaan ayam jantan dan betina yaitu pada ayam jantan memiliki badan besar, jengger besar dan nampak bergerigi, mata besar dan bercahaya, kaki besar, bulu ekor cepat panjang, sedangkan pada ayam betina badan kecil, mata kecil dan lemah, jengger tumbuh pendek dan tipis, kaki pendek dan kecil, bulu badan tumbuh merata.
4.1.2.
Itik Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh gambar sebagai berikut : Itik Jantan Itik Betina
Ilustrasi 2. Itik Berdasarkan data hasil praktikum dapat diketahui bahwa menurut klasifikasi unggas, itik termasuk dalam filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Aves, ordoAnseriformes, famili Anatidae, genus Anas, species Anas platyhyncos. Hali ini sesuai dengan pendapat Simanjuntak (2002) menyatakan bahwa itik memiliki taksonomi meliputi filum Chordata,
subfilum Vertebrata, kelas
Aves,
ordo Anseriformes,
familiAnatidae,
genus Anas,
spesies Anas platyhyncos. Itik dilihat dari kegunaannya terdapat berbagai macam jenis antara lain itik pedaging, itik petelur dan itik dwiguna. Itik termasuk dalam jenis unggas air. Menurut Prasetyo (2006) bulu itik umumnya berwarna coklat (merah tua), atau bervariasi bertotol - totol coklat, putih bersih, putih kekuningan, abu - abu hitam, atau campuran lainnya. Unggas air memiliki karakteristik yang berbeda dengan unggas darat. Bentuk paruh pada unggas air cenderung lebih panjang dan tumpul. Menurut Martawijaya dkk.(2004) menyatakan bahwa bangsa itik merupakan unggas yang memiliki sifat akuatik yaitu menyukai air. Sifat itik lainya adalah omnivora, yaitu hewan pemakan segala biji - bijian, rumput rumputan, umbi - umbian, hewan -hewan kecil seperti keong dan ikan. Menurut Supriyadi (2009) menyatakan bahwa bulu itik umumnya berwarna merah tua (coklat) atau bervariasi bertotol - totol coklat (rebuin/ blorok), putih bersih, putih kekuning - kuningan, abu - abu hitam atau campuran dan lainnya, tubuhnya langsing, leher pendek dan tidak terlalu tegak. Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan hasil bahwa organ eksterior pada itik yaitu paruh, mata, lubang hidung, leher, dada, punggung, ekor dan kaki. Bagian eksterior terdiri dari kepala, mata sebagai indera penglihat, leher yang panjang berfungsi untuk melumuri badan dengan minyak dengan paruh dari kelenjar minyak, paruh yang berbentuk tumpul memanjang yang berguna untuk mengambil makanan yang bertekstur lembek, karena pengaruh pakan yang lembek maka tembolok tidak berkembang, badan berbentuk oval membulat, ekornya pendek, kaki yang relatif pendek untuk memudahkan saat berjalan di air, kaki berselaput memiliki fungsi sebagai alat bantu renang. Bulu yang berminyak berfungsi
agar
tubuhnya
tidak
basah
ketika
sedang
berada
di
air.
Menurut
pendapat Susilorini dkk (2008) yang menyatakan bahwa ciri - ciri unggas air yaitu kaki relatif pendek dibanding dengan tubuhnya, jari - jari kaki satu sama lain dihubungkan oleh selaput renang, paruh melebar dan dilapisi oleh selaput halus yang peka, tubuh ditutup oleh bulu. Menurut Brahmantiyo (2003) perbedaan itik jantan dan betina yang jelas yaitu pada warna bulu dan paruh dimana itik jantan lebih memiliki warna yang cenderung gelap dibanding itik betina.
4.1.3.
Puyuh
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh gambar sebagai berikut : Puyuh Jantan Puyuh Betina
Ilustrasi 3. Puyuh Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa puyuh termasuk dalam kelas aves. Hal ini sesuai dengan pendapat Anwar (2012) yang menyatakan bahwa puyuh termasuk dalam kingdom animalia, phylum Chordata, kelasAves, ordo Galiformes, famili Phasianidae, genus Coturnix dan spesies Coturnix coturnix japanica. Menurut Subagyo (2008) klasifikasi unggas berdasarkan habitat atau tempat hidupnya burung puyuh, burung perkutut, merpati, ayam dan itik termasuk dalam unggas darat. Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa puyuh betina memiliki bulu leher dan dada bagian atas warnanya lebih terang serta terdapat totol - totol cokelat tua dari bagian leher sampai dada, sedangkan puyuh jantan warnanya polos berwarna cokelat muda. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiyanto (2005) yang menyatakan bahwa perbedaan burung puyuh terlihat jelas pada bulu yang terdapat pada leher.Menurut Yuwanta (2008) yang menyatakan bahwa puyuh tergolong unggas darat yang mana tidak memiliki kelenjar keringat.
4.1.4.
Merpati Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil sebagai berikut: Merpati Betina Merpati Jantan
Ilustrasi 4. Merpati Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil bahwa merpati merupakan unggas darat. Taksonomi merpati
yaitu
filum chordata, subfillum vertebrata,
kelas aves,
ordo columbidae, genus columba dan spesies Columba Livia, C. domestica.Karakteristik merpati yaitu memiliki jambul dan bentuk paruh yang khas. Hal ini sesuai dengan pendapat Suparman (2005) yang menyatakan bahwa merpati merupakan unggas darat yang termasuk dalam filum chordata, subfillum vertebrata, kelas aves, ordocolumbidae, genus columba dan spesies Columba Livia, C. domestica. Menurut Darwati (2012) menyatakan bahwa merpati merupakan unggas darat yang memiliki karakteristik jambul di kepala, mempunyai bentuk paruh yang khas, memiliki kaki berbulu dan ada yang tidak berbulu. Bagian eksterior merpati meliputi kepala, leher, tubuh dan anggota tubuh. Merpati jantan memiliki tingkah laku yang lincah, tubuh, kepala dan lehernya besar. Merpati betina memiliki tingkah laku yang lebih lamban, tubuh, kepala dan lehernya relatif kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Suparman (2005) yang menyatakan bahwa bagian luar tubuh merpati dibedakan menjadi kepala, leher, tubuh dan anggota tubuh yang terdiri dari sayap, bulu, kaki, kuku dan paruh yang terdapat tonjolan disebut sora. Bagian tubuh yang sangat penting pada merpati adalah paruh, mata, lubang hidung dan lubang telinga. Susilorini dkk. (2008) menyatakan bahwa biasanya merpati jantan lebih besar dibandingkan merpati betina. Merpati jantan memiliki karakteristik atau tingkah laku yang lincah dan kasar, bagian tubuh, kepala dan lehernya besar, bulu lehernya mengkilap, mampu mengeluarkan suara besar dan jika bercumbu membuat gerakan melingkar, memekarkan bulu ekor serta merebahkan bulu sayapnya. Merpati betina memiliki karakteristik atau tingkah laku yang lebih lamban dan tidak terlalu ribut sewaktu kawin.
4.1.5.
Perbedaan Unggas Darat dan Unggas Air Berdasarkan praktikum dengan materi pengenalan karakteristik unggas darat dan
unggas air diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan unggas darat dan air No Karakteristik Unggas darat 1. Jengger Ada 2. Paruh Lancip 3. Leher Pendek 4. Punggung Melengkung 5. Warna bulu Lebih terang dan Bervariasi 6. Minyak pada bulu Sedikit 7. Pakan Biji/kering 8. Kaki Tidak berselaput 9. Taji Ada 10. Ukuran Mengembang
Unggas air Tidak ada Pipih Panjang Lurus Lebih gelap dan Monoton Banyak Basah/cair Berselaput Tidak ada Lebih ramping
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Unggas, 2017. Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui bahwa unggasmenurut habitatnya dapat dibagi menjadi dua yaitu unggas darat dan unggas air. Unggas darat memiliki ciri - ciri yaitu terdapat jengger dan punggung yang melengkung. Hal ini sesuai dengan Gondang dan Sitanggang (2016) yang menyatakan bahwa ayam memiliki jengger yang tegak dan bentuk leher melengkung yang terdapat bulu pendek. Bentuk paruh unggas darat dan air juga berbeda, unggas darat memiliki paruh yang lancip karena pakannya berupa biji - bijian, sedangkan paruh unggas laut berbentuk pipih karena pakannya biasa memiliki tekstur yang lembut. Hal ini sesuai dengan pendapatRasyaf (2006) yang menyatakan bahwa ayam memiliki bentuk paruh lancip yang menyebabkan pakan yang dikonsumsi berupa biji - bijian sedangkan bebek memiliki bentuk paruh yang pipih sehingga mudah memakan makanan yang berair atau berbentuk bubur. Unggas darat dan unggas air juga memiliki perbedaan pada warna bulu, unggas darat memiliki warna bulu yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rukmana (2007) yang menyatakan bahwa bulu ayam pelung memiliki pola warna yang khas, umumnya kuning campur merah, hitam dan jalak (hitam bintik - bintik). Kaki pada unggas darat dan unggas air memiliki perbedaan, unggas air kakinya diselimuti oleh selaput yang berguna untuk berenang di air. Hal ini sesuai dengan pendapat Manurung (2016) yang menyatakan bahwa unggas air memiliki selaput disekitar kakinya yang berguna untuk berenang. Ukuran badan unggas darat dan unggas air juga berbeda, unggas air memiliki badan yang relative lebih ramping dibandingkan unggas darat. Hal ini sesuai dengan Rasyaf (2011) yang menyatakan bahwa itik merupakan salah satu unggas air yang memiliki badan ramping dan lincah serta bebek adalah salah satu unggas air yang memiliki badan besar dan gerak yang lamban.
4.2.
Anatomi dan Identifikasi Penyakit Ternak Unggas
Fisiologi dan anatomi ternak unggas merupakan ilmu yang mempelajari tentang struktur dan bentuk tubuh pada ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2011) fisiologi ternak merupakan ilmu yang mempelajari fungsi tubuh ternak lengkap. Identifikasi penyakit ternak unggas dapat diketahui dari ciri - ciri fisiologis ternak sehingga dapat diketahui secara langsung ternak yang sakit ataupun sehat.
4.2.1.
Sistem pencernaan Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil sebagai berikut: b
a
d
c
Ilustrasi 5. Sistem Pencernaan a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati Keterangan : 1. Mulut
2. Esophagus 3. Tembolok 4. Proventrikulus 5. Ventrikulus 6. Usus Halus 7. Ceca 8. Usus Besar 9. Kloaka Berdasarkan hasil dari pengamatan praktikum bahwa sistem pencernaan dari unggas terdiri dari paruh, esophagus, tembolok, proventrikulus, ventrikulus, usus halus,ceca, usus besar, rectum, dan kloaka. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2011) yang menyatakan bahwa sistem pencernaan unggas terdiri dari mulut yaitu paruh, kerongkongan, tembolok, proventrikulus, gizzard, usus kecil, ceca, usus besar dan kloaka. Hasil dari praktikum di peroleh bahwa ukuran dan bentuk paruh unggas air lebih besar dari unggas darat. Perbedaan dari segi ukuran yaitu di akibatkan perbedaan pakan yang di konsumsi oleh unggas. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna dkk. (2008)yang menyatakan bentuk paruh pada unggas yang berbeda menggambarkan perbedaan dari masing - masing pakan yang di konsumsi oleh setiap unggas. Berdasarkan hasil dari praktikum pada Lampiran 1. di peroleh bahwa ukuran esofagus itik lebih panjang dari yang lain. Perbedaan dari segi ukuran dan berat masing - masing jenis unggas berbeda. Menurut Rizal (2006) ayam broiler memiliki ukuran standar panjang esophagus 14 cm dan itik dewasa memiliki ukuran 31 cm. Perbedaan ukuran panjang esophagus di karenakan konsumsi pakan itik cenderung lebih halus dibandingkan ayam sehingga bagian tembolok ayam lebih bias berkembang. Menurut Yuwanta (2004) ukuran esophagus itik lebih pendek dari ayam di karenakan tembolok itik kurang bias berkembang di bandingkan ayam. Esophagus merupakan organ penghubung dari mulut hingga tembolok. Menurut Fadilah dan Polana (2011) fungsi dari esophagus adalah sebagai organ penyalur pakan dari mulut hingga menuju tembolok. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) dengan adanya berakan peristaltik esophagus dapat membawa pakan dari mulut hingga tembolok. Berdasarkan hasil dari praktikum pada Lampiran 1. diperoleh bahwa ukuran dan berat tembolok pada ayam cenderung paling besar dari semua unggas. Ayam dan itik memiliki perbedaan tembolok, dikarenakan pada ayam dapat berkembang karena pakan yang di konsumsi lebih keras. Hal ini didukung oleh Yuwanta (2004) bahwa terdapat adannya perbedaan pada tembolok ayam dan itik yaitu tembolok itik tidak bisa berkembang seperti pada
ayam. Tembolok merupakan organ pencernaan yang memiliki fungsi sebagai penampung pakan sementara pada unggas. Menurut Fadilah dan Polana (2011) tembolok adalah organ pencernaan unggas yang berfungsi sebagai penampung sementara pakan sebelum menuju proses selanjutnya. Menurut Suprijatna dkk. (2008) bahwa tembolok merupakan penampung sementara pakan unggas yang akan dicerna kemudian. Hasil pengamatan praktikum menunjukkan bahwa lambung unggas terdiri dari proventrikulus dan ventrikulus. Menurut Rizal (2006) standar ukuran panjang dari proventrikulus dan ventrikulus ayam broiler dan itik adalah 10,1 cm dan 13 cm. Hasil pengukuran panjang dan berat proventrikulus itik lebih panjang dan berat dari keseluruhan jenis unggas. Proventrikulus berfungsi sebagai organ penghasil enzim atau lambung sejati seperti enzim pepsin dan sekresi HCl. Menurut Fadilah dan Polana (2011) proventrikulus merupakan lambung sejati pada unggas sebagai penghasil getah lambung dan pepsin. Hasil pengukuran panjang dan berat ventrikulus itik memiliki ukuran paling besar dari semua jenis unggas. Semakin besar jumlah dan ukuran pakan maka semakin besar ukuran ventrikulus untuk mencerna pakan. Ventrikulus atau gizzardberfungsi sebagai organ pencernaan dengan cara memecah pakan dengan menggerus menggunkan otot yang tebal dan kuat. Menurut Suprijatna dkk. (2008) gizzard memiliki otot kuat dan tebal sebagai penghancur pakan yang di dalamnya terdapat grit. Berdasarkan data Lampiran 1. usus halus pada itik paling panjang dari jenis tenak lainnya. Menurut Rizal (2006) standar ukuran panjang usus halus itik adalah 211 cm. Ayam broiler memiliki ukuran sedikit lebih pendek dari itik yaitu 145 cm. Menurut Suprijatna dkk. (2008) ayam dewasa memiliki panjang usus halus sekitar 1,5 m. Usus halus di terdiri atas 3 bagian meliputi duodenum, jejunum, dan ileum. Menurut Yuwanta (2004) usus halus dapat di sebut sebagai intestinum tenue yang terbagi menjadiduodenum, jejunum, dan ileum. Dalam usus halus terdapat proses pencernaan oleh enzim pankreatik dan penyerapan sari pakan. Menurut Fadilah dan Polana (2011) selain adanya proses penyerapan sari pakan dalam usus halus terdapat pencernaan enzimatis oleh trpsin, amilase, dan lipase. Hasil
pengamatan
praktikum
menunjukkan
bahwa
unggas
memiliki
dua
buahceca sebagai tempat penyerapan karbohidrat dan protein dalam jumlah sedikit dengan ukuran panjang ceca merpati memiliki ukuran paling panjang dari semua unggas. Menurut Suprijatna dkk. (2008) unggas memiliki dua buah ceca dengan ukuran normal pada unggas
sekitar 15 cm berfungsi sebagai tempat penyerapan sedikit protein dan karbohidrat oleh bantuan bakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2004) selain terjai digesti serat kasar, dalam ceca terdapat menyerapan sedikit protein dan karbohidrat. Berdasarkan hasil pengukuran pada Lampiran 1. panjang dan berat usus besar di peroleh panjang usus besar itik lebih panjang dibandingkan ayam dan semua jenis unggas. Menurut Rizal (2006) standar ukuran usus besar itik memiliki panjang 9 cm. Dalam usus besar terjadi proses reabsorbsi air untuk menjaga keseimbangan air pada tubuh unggas. Menurut Fadilah dan Polana (2011) fungsi dari usus besar adalah untuk menambah kandungan air dalam sel tubuh sehingga dapat menjaga keseimbangan air dalam tubuh unggas. Berdasarkan hasil data Lampiran pengukuran panjang dan berat kloaka setiap jenis unggas menyesuaikan dengan ukuran tubuh dan kapasitas kecernaan. Menurut Suprijatna dkk. (2008) ayam dewasa memiliki panjang kloaka sekitar 10 cm. Kloaka adalah tempat bermuaranya sisa pencernaan. Menurut Fadilah dan Polana (2011) kloaka merupakan lubang dari pengeluara sisa pencernaan. Berdasarkan hasil pengamatan praktikum keseluruhan unggas terbebas dari penyakit terutama pencernaan. Unggas yang sehat memiliki ciri - ciri aktif, mata cerah, lincah, bulu cerah penuh dan tidak kusam, dan bagian anus bersih dari kotoran. Menurut Fadilah dkk. (2004) karakteristik unggas yang sehat meliputi mata cerah, aktif, bulu cerah, tubuh normal, bobot badan menyesuaikan strain dan bagian anus bersih dari kotoran. Hal ini didukung oleh Fadilah dan Polana (2011) bahwa ciri - ciri unggas yang terbebas dari penyakit pencernaan meliputi mata bening, muka cerah, mulut bersih, bulu cerah, sayap kuat, kaki tegak dan kuat. 4.2.2. Sistem pernapasan Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil sebagai berikut: d
c
a
b
Ilustrasi 6.
Sistem
Pernapasan a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati Keterangan : 1. Laring 2. Trakea 3. Bronkus 4. Paru - paru Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa sistem pernapasan unggas terdiri dari rongga hidung, laring, syrinx, trakea, pundi - pundi dan paru -paru. Menurut Fadilah dan Polana (2004) sistem pernapasan unggas terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakea (batang tenggorokan), bronkus (cabang tenggorokan) dan paru - paru. Hasil dari pengamatan praktikum diperoleh bahwa ukuran pada sistem pernapasan unggas darat lebih panjang daripada unggas air. Perbedaaan ukuran ini dapat diketahui dari bentuk tubuh unggas dan kemampuan unggas dalam respirasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu dkk. (2011) yang menyatakan bahwa sistem pernapasan pada ayam, itik, dan puyuh memiliki ukuran yang lebih besar dari unggas lainnya, hal ini diakibatkan dari kemampuan unggas yang dapat terbang di udara. Semua jenis unggas pada umumnya memiliki organ tambahan berupa kantung udara. Berdasarkan hasil pengamatan praktikum kantung udara yang dimiliki unggas darat lebih kecil dari unggas darat yang memiliki kemampuan lebih untuk terbang di udara. Hal ini sesuai dengan pendapat Muslim (1993) yang menyatakan bahwa sistem pernapasan unggas terbang terdapat perbedaan kantong udara lebih besar yang memiliki fungsi sebagai pembantu pernapasan, meringankan tubuh dan melancarkan peredaran darah. Berdasarkan hasil pengamatan praktikum sesuai dengan Lampiran 1 menunjukkan bahwa panjang dan berat trakea lebih besar pada unggas air dibanding dengan unggas darat. Perbedaan ukuran ini dapat dilihat dari bentuk tubuh kedua ternak yang mana unggas air
berukuran lebih besar dari unggas darat. Menurut Suprijatna (2005) yang menyatakan bahwa panjang trakea kisaran 3,5 - 4,5 yang tersusun dari cicin tulang rawan terbuka. bagian trakea yang berkembang menjadi syrinx atau rongga suara yang berfungsi untuk menghasilkan suara tertentu
pada
unggas.
Hal
ini
sesuai
dengan
pendapat
Yuwanta
(2008)
bahwa syrinx merupakan nama lain dari rongga suara.Pengukuran panjang trakhea diukur dari pangkal sampai bifurcatio trakhealis(percabangan trakhea) yaitu bronkus. Menurut Febriani (2015) bronkus merupakan percabangan dari trakea. Berdasarkan hasil pengamatan praktikum dapat diketahi bahwa panjang bronkus pada unggas darat berukuran lebih panjang dari jenis unggas air. Menurut MacKinnon (1990) menyatakan bahwa perbedaan ukuran percabangan sistem pernapasan disebabkan lingkungan ternak tinggal dan porposional ukuran tubuh yang relatif kecil daripada unggas air. Percabangan pada sistem pernapasan berfungsi untuk meneruskan udara yang masuk dari rongga hidung ke paru - paru. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu dkk. (2011) yang menyatakan bahwa udara yang dihirup masuk ke rongga hidung, akan melewati trakea kemudian melalui bronkus menuju kantung udara dan paru - paru. Hasil pengamatan praktikum dapat diketahui hasil sesuai dengan Lampiran 1. bahwa ukuran paru - paru pada unggas air memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari unggas darat. Menurut Suprijatna dkk. (2008) menyatakan bahwa ukuran paru-paru pada ayam relatif lebih kecil dari itik karena secara porposional dapat dilihat dari ukuran tubuhnya. Paru - paru dalam tubuh unggas memiliki fungsi yang berbeda dari ternak mamalia yaitu sebagai pendingin bagi tubuh ternak saat terjadi kelembapan yang dikeluarkan melalui pernapasan dalam bentuk uap air. Hal ini sesuai dengan pendapatSuprijatna dkk. (2008) yang menyatakan bahwa paru - paru merupakan organ yang berfungsi dalam membantu proses respirasi yang mana pada paru - paru terjadi mekanisme pendinginan yang dapat mempertahankan suhu tubuh ayam. Penyakit yang terdapat pada ternak unggas hasil praktikum adalah dapat diketahui pada ayam yang terkena penyakit infeksi bronkitis pada saluran pernapasan. Penyakit infeksi bronkitis pada unggas dapat terjadi akibat mikroorganisme dari luar yang masuk dalam tubuh terna k seperti virus dan bakteri. Menurut Roni dan Agustin (2004) mikroorganisme yang terdapat pada ternak mampu menyebabkan ternak terserang infeksi yang bersifat patogen yang
menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun yang dapat menyerang bagian tubuh yang lain sehingga ternak terkena penyakit hingga menyebabkan kematian.
4.2.3.
Sistem reproduksi jantan c d b
a
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh gambar sebagai berikut
:
Ilustrasi 7. Sistem reproduksi
jantan a. Ayam b. Puyuh c. Itik Keterangan :
d. Merpati
1. Testis 2. Vas deferens 3. Kloaka
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa sistem reproduksi unggas jantan terdiri atas testis, epididimis dan vas deferens. Testis merupakan tempat produksi spermatozoa, terletak pada rongga perut. Epididimis merupakan tempat
pematangan sel spermatozoa, sedangkan vas deferens merupakan saluran yang berfungsi sebagai jalannya sperma ke organ kopulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Yaman (2012) bahwa organ reproduksi unggas jantan terdiri atas sepasang testis dan alat kopulasi yang berbeda dengan mamalia yang disebut phallus. Menurut Afiati dkk. (2013) Testis pada unggas jantan berjumlah sepasang tanpa dilindungi oleh skrotum yang terletak di bagian belakang dekat
dengan
tulang
belakang dan
memiliki
fungsi sebagai
penghasil
hormon
androgen, epididimis pada bagian sebelah dorsal testis yang juga berfungsi sebagai penghasil cairan, serta sepasang duktus deferens yang tampak berkelok saat usia unggas semakin tua. Menurut Scanes dkk. (2004) testis unggas jantan berbeda dengan testis pada hewan atau ternak lainnya, karena tidak terdapat skrotum dan terletak di dekat tulang belakang dekat bagian anterior. Testis memiliki fungsi dalam proses spermatogenesis. Spermatogenesis merupakan pembuatan sel kelamin jantan atau sel sperma. Yuwanta (2004) menyatakan bahwa suhu pada testis berkisar antara 41 – 43 oC karena digunakan sebagai spermatogenesis (pembuatan sel kelamin jantan). Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakaan sesuai dengan Lampiran 1.organ reproduksi jantan pada masing-masing unggas terdapat perbedaan dari segi panjang dan bobotnya. Sesuai Lampiran 1, itik memiliki ukuran panjang dan bobot organ reprosuksi (testis, epididimis, vas deferens, kloaka dan alat kopulasi) yang lebih besar dibandingkan dengan unggas lain yakni dalam hal ini adalah ayam, merpati dan puyuh karena ukuran tubuh lebih besar dibandingkan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Muslim (1993) bahwa semakin besar bentuk ukuran tubuh maka semakin besar pula organ – organ didalamnya. Menurut Yuwanta (2004) alat kopulasi itik berbentuk spiral dengan panjang 12 – 18 cm. Berdasarkan hasil praktikum pada pengamatan sistem reproduksi jantan unggas tidak ditemukan penyakit atau gejala adanya penyakit. Hal tersebut membuktikan bahwa unggas dalam keadaan sehat. Ciri – ciri unggas tersebut dalam keadaan sehat yaitu tidak ditemukannya gejala – gejala yang nampak pada organ unggas seperti bercak darah maupun kelainan pada organ reproduksi jantannya seperti jumlah testis yang tidak sepasang. Menurut Rahayu dkk. (2011) bahwa jumlah testis pada ayam adalah sepasang dengan bagian testis kiri lebih besar dengan kandungan air mani lebih banyak daripada testis bagian kanan. Organ ayam juga tidak nampak ciri – ciri adanya infeksi pada reproduksi jantan. Menurut Tabbu (2000) bahwa sering
ditemukannya infeksi lokal pada testis dan vas deferens yang ditandai dengan keadaan testis yang mengkerut.
4.2.4.
Sistem reproduksi betina Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh gambar sebagai berikut
: c d a
b
Ilustrasi 8. Sistem reproduksi betina a. Ayam b. Puyuh c. Itik d. Merpati Keterangan : 1. Ovarium 2. Infundibulum 3. Magnum 4. Isthmus 5. Uterus
6. Vagina 7. Kloaka Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa secara umum sistem reproduksi betina pada terdri dari ovarium dan oviduk. Oviduk terdiri dari beberapa bagian diantaranya infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan kloaka serta terdapat oviduk kanan rudimenter. Hal ini sesuai dengan pendapat Afiati dkk. (2013) yang menyatakan bahwa oviduk merupakan saluran penghubung antara ovarium dan uterus, dimana oviduk memiliki 5 bagian yakni infundibulum, magnum, isthmus, uterus kloaka serta terdapat oviduk kanan yang rudimenter. Ovarium berfungsi sebagai penghasil hormon betina, perkembangan serta pemasakan sel ovum. Menurut Fadilah dan Polana (2011) infundibulum akan menangkap kuning telur yang matang, kemudian akan dilapisi oleh albumen di bagian magnum, setelah dilapisi oleh albumen akan dilapisi oleh membran telur di isthmus, kemudian telur akan mengalami proses pembentukan cangkang dan pewarnaaan cangkang telur pada bagian uterus, sebelum telur dikeluarkan akan terbentuk pori - pori cangkang di bagian vagina. Telur yang sudah dilapisi cangkang akan keluar melalui kloaka. Perbedaan yang paling terlihat dari keempat organ reproduksi unggas yang diamati terletak pada ukurannya. Ukuran yang cenderung paling besar sesuai dengan Lampiran 1 adalah itik. Ukuran organ reproduksi pada unggas sangat dipengaruhi oleh pakan. Pakan yang mengandung protein tinggi dan vitamin akan menyebabkan ukuran dari masing-masing organ semakin panjang dan berat. Hal ini sesuai dengan pendapat Horhoruw (2012) yang menyatakan bahwa panjang dan berat organ reproduksi unggas dipengaruhi oleh adanya hormon dan hormon dipengaruhi pakan yang mengandung protein, vitamin dan mineral serta adanya faktor pencahayaan. Sistem reproduksi betina yang diamati tidak tedapat penyakit, yang menandakan ternak dalam kondisi normal. Organ reproduksi betina yang normal ditandai dengan berfungsinya semua organ dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Horhoruw (2012) yang menyatakan bahwa organ reproduksi betina yang normal dapat menjalankan fungsinya dengan baik yakni ovarium berkembang dan menghasilkan yolkkemudian akan ditangkap infundibulum yang akan mengalami penambahan albumen di magnum dan penambahan membran di isthmus serta pembuatan cangkang di uterus yang nantinya akan dikeluarkan
melalui kloaka. Menurut Fadilah dan Polana (2011) saluran reproduksi yang sehat akan memiliki keseluruhan organ yang lengkap dan berkembang ukurannya secara normal.
4.2.5.
Sistem urinari Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh gambar sebagai berikut : c d b a
Ilustrasi 9. Sistem urinari a. Ayam Keterangan : 1. Ginjal 2. Ureter 3. Uretra
b. Puyuh c. Itik
d. Merpati
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa sistem urinari dimulai dari ginjal kemudian ureter dan kloaka. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna dkk. (2005) yang menyatakan bahwa sistem urinari pada unggas terdiri dari ginjal, ureter dan kloaka. Unggas memiliki sistem urinari untuk mengeluarkan sisa metabolisme yang ada di dalam tubuh unggas. Masing - masing organ mempunyai peran yang berbeda - beda. Ginjal terletak dibagian kanan dan kiri berjumlah dua buah yang mempunyai fungsi untuk filtrasi. Menurut Yuwanta (2014) ginjal secara selektif akan menyerap kembali air dan unsur - unsur berguna yang kembali dari filtrat yang akhirnya akan mengeluarkan kelebihan dari produk
tersebut buangan plasma. Ureter merupakan saluran yang menghubungkan antara ginjal dengan kloaka. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2014) yang menyatakan bahwa ureter adalah saluran muscular yang mengalirkan urin dari dinding ginjal menuju ke kloaka yang akan bercampur dengan feses. Urin dengan kandungan asam urat yang sudah melewati ureter kemudian menuju ke kloaka untuk dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sujionohadi dan Setiawan (2005) urin unggas tersusun dari asam urat yang bercampur dengan feses pada kloaka dan keluar sebagai kotoran yang berwarna putih seperti pasta. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan seusai dengan Lampiran 1. dapat diketahui bahwa sistem urinari pada ayam, itik, merpati dan puyuh dalam keadaan normal tidak terserang penyakit apapun. Ginjal, ureter dan kloaka dalam kondisi standar. Menurut Annisa (2013) menyatakan bahwa ginjal pada unggas dalam keadaan standar memiliki ukuran yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Ginjal pada itik mempunyai ukuran yang lebih besar, sedangkan ginjal pada puyuh memiliki ukuran yang paling kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson dkk. (2013) yang menyatakan bahwa ginjal itik memiliki ukuran yang relatif besar dibandingkan dengan unggas lain. Ureter paling panjang terdapat pada itik dan kloaka paling besar juga terdapat pada itik. 4.2.6. Sistem kekebalan tubuh Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil sebagai berikut: d
c
a
b
Ilustrasi 10. Sistem kekebalan tubuh a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati Keterangan : 1. Thymus 2. Limfa 3. Bursa Fabrisius Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil bahwa. unggas memiliki sistem kekebalan berupa limpa, bursa fabricius dan thymus yang bertanggung jawab terhadap pertahanan tubuh unggas tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2011) yang
menyatakan
terdapat
dua
organ
limpa
didalam
tubuh
ayam
yaitu bursa
fabricius dan thymus yang memiliki tanggung jawab terhadap dua sistem kekebalan yaitu Tsystem (Thymus system) dan B-system (Bursal system). Fungsi dari thymussistem yaitu memproduksi sel limfosit T dan bursa fabricius berfungsi untuk memproduksi sel limfosit B. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2011) yang menyatakan bahwa organ thymus berperan untuk memproduksi sel limfosit T yang bertanggung jawab untuk menjaga atau mengatur dari reaksi kekebalan, sedangkanbursa of fabricius berperan untuk memproduksi sel limfosit B yang bertanggung jawab untuk memproduksi antibodi pada ayam muda. Thymus pada unggas terletak pada bagian trakea unggas, bentuknya tidak teratur dan memiliki jumlah 3 - 8 lobi pada masing-masing leher. Hal ini sesuai dengan pendapat Febriana (2008) yang menyatakan bahwa tymus pada unggas biasanya terletak pada bagian kanan dan kiri trakea, warna tymus yaitu kuning kemerah-merahan, memiliki bentuk tidak teratur dan berjumlah 3 - 8 lobi pada masing - masing leher.Bursa fabricius pada unggas
terletak berdekatan di atas bagian kloaka dan memiliki bentuk seperti kantong. Hal ini sesuai dengan pendapat Solihat (2010) yang menyatakan bahwa bursa fabricius merupakan organ yang memiliki bentuk seperti kantong dan terletak pada bagian dorsal kloaka.
4.3.
Formulasi Ransum Berdasarkan praktikum diketahui bahwa formulasi ransum dimulai dengan pemilihan
bahan pakan, pencampuran ransum dan penyajian ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyono dkk. (2013) yang menyatakan bahwa ada beberapa tahapan dalam penyusunan ransum yaitu memilih bahan pakan yang tersedia beserta data komposisi nutrisi dan harga bahan baku, menentukan standar kebutuhan nutrient untuk spesifik ternak tertentu (umur, jenis kelamin, bobot badan dan jenis produksi), memperhatikan keterbatasan penggunaan bahan pakan terkait dengan adanya senyawa anti nutrisi. Bahan pakan yang digunakan harus bersifat tidak toksik, mudah didapatkan, ekonomis dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Menurut Sutarto (2003) syarat - syarat yang digunakan dalam pemilihan bahan pakan antara lain mudah didapat, harganya murah, palatabilitas tinggi, bermutu baik, mempunyai zat makan yang cukup dan dapat saling menutupi kekurangan setiap bahan pakan.
4.3.1.
Cara pencampuran ransum Berdasarkan formulasi ransum pada ternak unggas ayam broiler fase finisher dapat
diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 2. Formulasi ransum ayam broiler fase finisher No Bahan Komposisi Protein Energi Pakan Kasar Metabolisme (%) ( kkal/kg) 1 Jagung 56 5,37 1584,24 2 Bekatul 16 2,22 520,48 3 Bungkil 13 6,68 417,69 Kedelai 4 Crude 4 0,00 324,00 Palm Oil 5 Tepung 6 2,71 176,05 Ikan 6 MBM 4 2,09 110,76 7 Premix 1 0,00 0,00
Harga (Rp/kg) 268,00 464,00 975,00 560,00
468,00 352,00 90,00
Total
19,07
3133,22
5597,00
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Unggas, 2017. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan cara pencampuran ransum seharusnya memerhatikan beberapa komponen agar menghasilkan ransum yang sesuai kebutuhan ternak dan efisien. Pemilhan bahan pakan sebaiknya memiliki kandungan gizi yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan ternak, harga bahan pakan, ketersediaan bahan pakan dan kualitas bahan pakan. Menurut Suci (2013) pemilhan bahan pakan ternak harus memperhatikan beberapa faktor yaitu, ketersediaan bahan pakan, harga bahan pakan, dan kualitas bahan pakan. Pemilihan bahan pakan harus tidak mengandung racun dan mudah dicerna oleh ternak agar ternak tidak terserang penyakit bahkan kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1995) yang menyatakan bahwa bahan pakan ternak harus tidak mengandung racun yang dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian bagi ternak. Berdasarkan praktikum yang telah dilkakukan metode penyusunan ransum mengunakan metode trial and error (coba - coba). Metode trial and error adalah metode yang digunakan untuk menghasilkan pakan komplit yang menggunakan campuran berbagai macam bahan pakan dengan beberapa nutrien sebagai pembatas. Menurut Tamalludin (2014) cara yang digunakan dalam metode trial and error adalah dengan menentukan kebutuhan nutrisi bagi ayam broiler, kemudian menentukan bahan yang akan digunakan disertai dengan kandungan nutrisinya, kemudian
kemudian melakukan percobaan perhitungan dengan jumlah
keseluruhan 100% sesuai dengan kebutuhan yang ada. Kelebihan dari metode trial and error yaitu mudah karena hanya melibatkan operasional matematis, sedangkan kelemahannya yaitu harus teliti dalam perhitungan menyusun ransum. Menurut Rasyaf (2008) metode trial and error adalah metode penyusunan ransum yang mudah karena hanya melibatkan operasional matematis dasar dan bagi para pemula pekerjaan ini bisa menjadi sulit sekali. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil standar kebutuhan pakan ternak ayam broiler fase finisher PK 19, 07 % dan EM 3133, 22 kkl/kg. Menurut Siregar (1970) energi metabolisme ayam broiler fase finisher 2800 – 3300 kkl/kg dan protein kasar 18 – 22 %. Pernyataan ini diperkuat oleh NRC (1984) yang menyatakan bahwa total kebutuhan ayam broiler finisher PK sebesar 20 %, LK sebesar 3 – 4 %, SK sebesar 3 – 5 %, Ca 0,9 %, Phospor 0,4 %, EM 3200 KKal/kg, Lisin 1 % dan Metionin 0, 38 %.
4.3.2. Cara penyajian ransum Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa bentuk ransum yang diberikan kepada ayam broiler fase finisher yang dibuat adalah all mash. Ransum all mash adalah pemberian pakan yang berbentuk tepung. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1992) yang menyatakan penyajian ransum berdasarkan bentuknya pakan ada yang dibentuk menjadi pellet atau crumble, ada yang disajikan dalam bentuk kering dan ada yang sengaja dibuat bubur kental, serta ransum dapat dibuat all mash, dimana all mash adalah pemberian pakan dalam bentuk tepung yang langsung diberikan baik untuk ayam fase starter maupun pada fase finisher. Menurut Gamida (2012) pada fase finisher sebaiknya berbentuk pellet atau tepung. Ransum yang berbentuk tepung konsumsinya mencapai 4,5 – 5 kg/ekor sedangkan yang berbentuk crumble atau pelletkonsumsinya mencapai 2,5 – 3 kg/ekor. Metode pemberian pakan terdiri dari ad libitum, frekuensi dan force feeding. Menurut Manurung (2011) pemberian pakan yang diberikan secara terus menerus disebut ad libitum. Pemberian pakan ayam secara paksa ke disebut sebagai force feeding. Hal ini sesuai dengan pendapat Syahwani (2004) yang menyatakan bahwa pemberian pakan force feeding adalah pemberian pakan dengan mempuasakan ayam terlebih dahulu dan kemudian ayam dipaksa untuk memakan pakan.
4.4.
Sistem Kandang Sistem kandang merupakan sistem yang digunakan untuk merancang perkandangan
yang nyaman untuk keberlangsungan hidup ternak yang dapat mendukung hasil dari produksi ternak. Hal ini sesuai dengan Nadzir dkk. (2015) menyatakan bahwa kondisi kandang yang baik merupakan kandang yang berada jauh dari pusat keramaian. Menurut Muslim (2006) yang menyatakan bahwa persyaratan lokasi kandang yang baik letak yang jauh dari pusat keramaian daerah dan tidak berada pada tanah yang sering terkena bencana alam.
4.4.1. Layout kandang
Tampak depan
Tampak samping
Tampak belakang
Ilustrasi 11. Kandang Ayam Layer Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan seperti gambar di atas merupakan perkandangan nampak depan, samping dan belakang yang dapat diketahui kandang ayam layer menghadap ke timur dengan tata letak di daerah dataran rendah. Pentingnya memeperhatikan arah dan tata letak kandang berpengaruh pada perkembangbiakkan ternak serta produksi yang akan dihasilkan. Arah kandangmenghadap ke barat dan timur memudahkan cahaya masuk ke dalam kendang. Hal ini sesuai dengan pendapat Nuroso (2010) yang menyatakan bahwa arah kandang yang baik adalah yang sejalan dengan arah peredaran sinar matahari yaitu membujur dari arah barat ke timur. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso dan Tri (2004) yang menyatakan bahwa jarak antar kandang tidak terlalu rapat, dengan jarak minimal antar kandang selebar satu kandang, saluran - saluran air atau pembuangan di sekitar kandang harus lancer, lantai kandang harus miring ke satu atau dua arah untuk mempercepat proses pembersihan dan mencegah menggenangnya air di dalam kandang dan arah kandang harus pada lokasi yang mendapatkan sinar matahari secara cukup dengan menghadap ke timur dimana matahari terbit untuk menunjang hasil produksi.
4.4.2. Konstruksi kandang
Atap
Dinding
Ilustrasi 12. Konstruksi Kandang Ayam Petelur
Lantai
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa atap kandang memiliki tipe “A”, terbuat dari seng. Tipe atap kandang sangat berpengaruh dalam pengaturan temperatur dan kelembaban udara. Menurut Muslim (1993) tipe kendang sangat berpengaruh dalam mengatur masuknya udara dan cahaya dalam kandang. Dinding kandang memakai sistem kandang terbuka dan dinding dibatasi dengan jaring kawat yang memudahkan udara untuk masuk ke dalam kandang. Lantai kandang berupa litteryang terbuat dari semen dan dilapisi dengan tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarmono (2003) yang menyatakan bahwa alas lantai litter atau membuat lantai berlubang dapat menjaga lantai kandang tetap kering dan bersih.
4.4.3. Kapasitas dan daya dukung kandang
Gambar dalam kandang
Alat pendukung kandang
Ilustrasi 13. Daya Dukung Kandang Ayam Petelur Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dalam penggunaan kandang sebaiknya disesuaikan dengan kapasitasnya. Kapasitas kandang ayam petelur dapat menampung sebanyak 539 ekor ayam. Menurut Yuwanta (2004) menyatakan bahwa kapasitas kandang ayam dapat diukur dengan memperkirakan ukuran kandang dan jenis ayam. Dengan mengetahui ukuran kandang dan jenis ayam maka dapat diketahui dan dihitung kapasitas kandangnya. Dengan memperkirakan kapasitas kandang maka dapat dengan mudah untuk mengelola ayam lebih efisien. Apabila populasi terlalu padat akan menyebabkan ternak menjadi stress sehingga produktivitasnya terganggu. Daya dukung kandang dapat dilihat dari
faktor kapasitas serta jumlah peralatan yang sesuai. Menurut pendapat Rasyaf (2004) menyatakan bahwa kapasitas standar untuk ayam petelur per m2 adalah 25 kg. Ketersediaan peralatan dalam kandang juga sangat berpengaruh dalam daya dukung kandang. Berdasarkan hasil pengamatan peralatan yang ada dalam kandang meliputi tempat pakan, tempat minum dan lampu penerangan. Selain itu lokasi kendang dan aspek lingkungan, struktur, dan kondisi tanah juga berpengaruh dalam daya dukung kendang ayam petelur. Menurut pendapat Suprijatna (2008) menyatakan bahwa hal - hal yang mempengaruhi daya dukung kendang antara lain faktor lokasi, konstruksi, aspek lingkungan serta struktur dan kondisi tanah.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum dapat di simpulkan bahwa unggas terdapat dua jenis
yaitu unggas air dan unggas darat. Unggas jantan umumnya memiliki tampilan yang cenderung menarik untuk sebagai penarik perhatian betina. Saluran respirasi unggas terbang cenderung memiliki pundi - pundi udara yang besar utuk meringankan saat terbang. Bentuk paruh dan organ pencernaan lain pada unggas di sesuaikan dengan bentuk pakan yang di kosumsi. Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan suatu formulasi ransum dibutuhkan ketelitian dalam perhitungan agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisi suatu ternak. Selain memenuhi kebutuhan nutrisi suatu ternak juga dapat mencari bahan – bahan campuran dengan harga termurah untuk meminimalisir pengeluaran biaya produksi. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum sistem kandang yaitu dapat mengetahui keadaan kandang yang diatur untuk membuat ternak menjadi nyaman dengan konstruksikakandang yang dapat diatur dengan bahan maupun bentuk yang sesuai.
5.2. Saran
Saran untuk praktikum sebaiknya dilakukan dengan lebih teliti, hati-hati, tertib dan tepat waktu agar memperoleh hasil yang maksimal. Sebaiknya standar kandungan nutrisi yang digunakan dalam praktikum telah sesuai dengan standar. DAFTAR PUSTAKA Afiati, F., Herdis dan S. Said. 2013. Pembibitan Ternak dengan Inseminasi Buatan. Penebar Swadaya, Jakarta. Andrecesar, A. Rembet, F. S. Oley, A. Makalew, E. K. M. Endoh. 2013. Analisis impas usaha ternak ayam ras petelur “dharma gunawan” di kelurahan paniki bawah kecamatan mapanget kota manado. J. Zootek. 1 (3) : 11 – 20. Anwar, A. A. 2012. Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan PeternakanBurung Puyuh di Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi) Artianingsih, S. 2011. 28 Hari Panen Ayam Broiler. Agromedia Pustaka, Jakarta. Biyatmoko D. 2005. Petunjuk Teknis dan Saran Pengembangan Itik Alabio. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjar Baru. Blakely, J. Dan D. H. Blade. 1994. The Science of Animal Husbandry. Printice Hall Inc, New Jersey. Brahmantiyo B., I. H. Prasetyo, A. R. Setiyoko dan R. H. Mulyono. 2003. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda galur itik (Alabio, Bali, Khaki, Campbell, Mojosari dan Pegangan) melalui analisis morfometrik. JITV 8 (1) : 1-7. Dahlan, M. dan S. Haqiqi. 2012. Pengaruh tepung bawang putih (allium sativum) terhadap kematian (mortalitas) dan berat badan ayam pedaging (broiler). J. Ternak. 3 (2) : 3 – 9. Darwati, S. 2012. Produktivitas dan pendugaan parameter genetik burung merpati lokal (Columba livia) sebagai merpati balap dan penghasil daging. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor. (Skripsi). Devani, V. dan S. Basriati. 2015. Optimasi kandungan nutrisi pakan ikan buatan dengan menggunakan multi objective (goal) programming model. J. Sains Teknologi dan Industri. 12 (2) : 225 – 261. Dwiyanto, M. 2005. Beternak Burung Puyuh. Musi Perkasa Utama, Bandung. Fadilah, R. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agro Media, Jakarta. Fadilah, R. 2010. Panduan Pengelolaan Peternakan Ayam Broiler Komersial. Agro Media, Jakarta. Fadilah, R. dan A. Polana. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agro Media, Jakarta. Febriana, E. 2008. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius dan Timus pada Ayam Broiler yang Terinfeksi Marek dan Pengaruh Pemberian Bawang Putih, Kunyit dan Zink. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
Febriani, A. F. 2015. Gambaran Patologi Trakea pada Ayam Petelur yang Terserang Coryza setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn). Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi). Flanders, F. B. dan J. R. Gillespie. 2016. Modern Livestok anf Poultry Production 9thEdition. Cengange, USA. Garnida, D. 2012. Itik Potensi Bisnis dan Kisah Sukses Praktisi. 2012. Penebar Swadaya, Jakarta, Gillespie, J. R. dan F. B. Flanders. 2009. Modern Livestok anf Poultry Production 8thEdition. Delmar, Kanada. Gondang dan M. Sitanggang. 2016. Ayam Pakhoe Si Petarung Paling Unggul. AgroMedia, Jakarta. Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Haryoto. 1999. Beternak Ayam Kate Emas. Kanisius, Yogyakarta. Hewajuli, D. A. dan N. L. P. I. Dharmayanti. 2015. Peran sistem kekebalan non-spesifik dab spesifik pada unggas terhadap Newcastle Disease. J Wartazoa. 25 (3) : 135 – 146. Hidayat, S. dan I. Mukhlash. 2015. Rancang Bangun dan Implementasi Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Web untuk Menentukan Formulasi Ransum Pakan Ternak. J. Sains dan seni its. 4 (2) : 2337 - 3520. Hidayati, A. 2006. Penggunaan tepung buah mengkudu (Morinda untuk meningkatkan kualitas pakan ayam ras. J. Gamma. 2 (1) : 17 – 24.
citrifolia)
Horhoruw, W. M. 2012. Ukuran saluran reproduksi ayam petelur fase pullet yang diberi pakan dengan campuran rumput laut (Gracilarria edulis). J. Ilmu Ternak dan Tanaman. 2 (2) : 75 – 80. Horhoruw, W. M dan Rajab. 2015. Identifikasi jenis kelamin anak ayam burat berdasarkan bobot dan indeks telur tetas berbeda. J. Agrinimal. 5 (1) : 6 – 10. Ihsan, F. N. 2006. Presentase Bobot Karkas, Lemak Abdomen dan Organ Dalam Ayam Broiler dengan Pemberian Silase Ransum Komersial. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. (Skripsi Sarjana Peternakan) Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius, Yogyakarta. Jahan, M. S., M. Asaduzzaman, and A. K. Sarkar. 2006. Performance of broiler feed on mash, pellet and crumble. Int. J. Poultry Science. 5 (3) : 265 – 270. Jayani, R. A., K. A. Kamil dan A. Mushawwir. 2015. Profil urea dan asam urat darah ayam petelur fase layer pada temperature humidity index yang berbeda.J. E-students. 4 (1) : 1 – 6. Listiyowati, E. dan Kinanti, R., 2005. Puyuh : Tata Laksana Budi Daya Secara Komersial. Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta. MacKinnon,J. 1990. Burung-burung di Jawa, dan Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Manurung, E. J. 2011. Performa Ayam Broiler pada Frekuensi Dan Waktu Pemberian Pakan Yang Berbeda. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi) Manurung, J.P. 2016. Pengaruh Pemberian Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria sp.) dengan Aditif Multienzim dalam Ransum terhadap Produksi Itik Tegal. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang (Skripsi) Marconah. 2012. Beternak Ayam Petelur. PT Balai Pustaka, Jakarta. Martawijaya, E. I. Martantoe dan N. Tinaprilla. 2004. Panduan Beternak Itik Petelur Secara Intensif. Agro Media, Jakarta. Mito dan Johan. 2011. Usaha Penetasan telur Itik. Agro Media, Jakarta. Muharlien, Achmanu dan R. Rachmawati. 2011. Meningkatkan produksi ayam pedaging melalui pengaturan proporsi sekam, pasir dan kapur sebagai litter. J. Ternak Tropika. 12 (1) : 38 - 45. Murtidjo, B. A. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Muslim, D. A. 1993. Budidaya Ayam Bangkok. Kanisius, Yogyakarta. Muzani, A., B. Brahmantiyo, C. Sumatri dan A. Tapyadi. 2005. Pendugaan jarak genetik itik Cihateup, Cirebon dan Mojosari. J. Media Peternakan. 28 (3) : 109 – 116. Nadzir, A. Tusi, A. Haryanto. 2015. Evaluasi desain kandang ayam broiler di desa rejo binangun, kecamatan raman utara, kabupaten lampung timur. J. Teknik Pertanian Lampung. 4 (4) : 255266. Nataamijaya, A. G. 2010. Pengembangan potensiayam lokal untuk menunjang peningkatan kesejahteraan petani. J. Litbang Pertanian. 29 (4) : 131138. NRC. 1984. Nutrient Requirements of Poultry Eighth Revised Edition. National Academy Press, Washingthon DC. Nurcholis, D. Hastuti dan B. Sutiono. 2009. Tatalaksana pemeliharaan ayam ras petelur periode layer di Populer Farm Desa Kuncen Kecamatan Mijen Kota Semarang. J. Mediagro. 5 (2) : 38 – 49. Nuroso. 2010. Pembesaran Ayam Kampung Pedaging Hari Per Hari. Penebar Swadaya,Jakarta. Prasetyo, L. H. 2006. Strategi dan Peluang Pengembangan Pembibitan Ternak Itik. J.Wartazoa 16 (3) : 109 - 115 Rahayu, I., T. Sudaryani dan H. Santosa. 2011. Panduan Lengkap Ayam. Penebar Swadaya, Jakarta. Rasyaf, A. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta. Rasyaf, M. 1989. Memelihara Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta. Rasyaf, M. 2006. Seputar Makanan Ayam Kampung. Kanisius, Yogyakarta. Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rasyaf, M. 2011. Beternak Itik Komersial. Kanisius, Yogyakarta. Rohajawati, S. dan R. Supriyati. 2010. Sistem pakar: diagnosis penyakir unggas dengan metode certaintify factor. J. CommIT. 4 (1) : 41 – 46. Roni,
F. dan P. Agustina. 2004. Aneka Mengatasinya. Agro Media, Jakarta.
Penyakit
Pada
Ayam
Dan
Cara
Rukmana, H. R. 2007. Ayam Buras Intensifikasi dan Kiat Pengembangan. Kanisius, Yogyakarta. Sartika, T. dan S. Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan Pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak Pulitbangnak, Bogor. Scanes, C. G. 2015. Sturkie’s Avian Physiology. Elsevier Inc., New York. Setyono, D. J., M. Ulfah dan S. Suharti. 2013. Sukses Meningkatkan Produksi Ayam Petelur. Penebar Swadaya, Jakarta. Simanjuntak, L. 2002. Mengenal lebih dekat tiktok unggas pedaging hasil persilangan itik dan entok. Agro Media, Jakarta. Siregar, A. P. dan M. Sabrani. 1970. Teknik Modern Beternak Ayam. Yasaguna, Jakarta. Siwi, N., T. H. Wahyuni dan Hamdan. 2014. Identifikasi morfologi dan morfometri organ pencernaan serta sifat kualitatif warna bulu Belibis Kembang (Dendrocygna arcuata) dan Belibis Batu (Dendrocygna javanica). J. Peternakan Integratif. 2 (2) : 193 – 208. Soesono, A. 2003. Memelihara dan Beternak Burung Dara. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Solihat, S.R. 2010. Gambaran Darah, Bursa Fabricius, Timus dan Populasi Mikroba Sekum Ayam Broiler yang Diberi Prebiotik (Xilooligosakarida) Dari Tongkol Jagung.. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi) Subagyo, A. 2008. Studi Kelayakan. Gramedia, Jakarta. Sudarmono, A. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Kanisius, Yogyakarta. Sudrajat, M. S. 2014. Budidaya Ternak Unggas. Universitas Terbuka, Jakarta. Suharno, B dan T. Setiawan. 2012. Beternak Itik Petelur di Kandang Baterai. Penebar Swadaya, Jakarta. Sujionohadi, K. dan A. I. Setiawan. 2016. Beternak Ayam Kampung Petelur. Penebar Swadaya, Jakarta. Suparman. 2005. Cara Beternak Merpati. JP Books, Surabaya. Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta. Suprapti,S.W.H., J. Wahju, D. Sugandi dan D.J. Samosir. 2008. Implementasi dedak padi terfermentasi oleh Aspergillus ficuum dan pengaruhnya terhadap kualitas ransum serta performans produksi ayam petelur. J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33(4) : 255 – 261.
Supriyadi. 2009. Panen Itik Pedaging dalam 6 Minggu. Penebar Swadaya, Jakarta. Suryana, D. 2013. Ternak Ayam: Cara Berternak Ayam. Dayat Suryana Book, Bogor. Susilorini, T. E., M. E. Sawitri dan Muharlien. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta. Sutarto, T. N. 2003. Beternak Ayam Pelung. Musi Perkasa Utama, Jakarta. Suthama, N. dan Ardiningsasi, S.M. 2006. Perkembangan fungsi fisiologis pencernaan Ayam Kedu periode starter. M. Ilmiah Peternakan. 20 (6) : 52 – 57. Syahwani, R. 2004. Pengaruh cara pemberian pakan dan penambahan probiotik pada pakan terhadap konsumsi dan kecernaan serat kasar pada domba. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Thesis). Tamalludin, F. 2014. Panduan Lengkap Ayam Broiler. Penebar Swadaya, Jakarta. Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius, Yogyakarta. Ustomo, E. 2016. 99% Gagal Baternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya, Jakarta. Villa, V. Y., I. D. Sartika dan A. N. Al-Baarri. 2014. Analisis sifat-sifat organoleptik burger yang berbahan dasar daging tiktok dan daging ayam. J. Aplikasi Teknologi Pangan. 3 (2) : 7 – 11. Widyastuti, W. S., Muflichatun dan T. R., Saraswati. 2014. Pertumbuhan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Setelah Pemberian Tepung Kunyit (Curcuma longa L.) pada Pakan. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang. Wina, E., B. Tangendjaja, T. Pasaribu dan T. Purwadaria. 2010. Ayam pedaging yang diberi bungkil biji jarak (Jatropha curcas) didetoksifikasi dengan perlakuan fermentasi, fisik dan kimia. J. Ilmu Ternak Veteriner. 15 (3) : 174 – 181. Yaman, A. 2012. Ayam Kampung. Agriflo, Depok. Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.