MAKALAH PRAKTIKUM HELMINTES (Fasciola hepatica) Diajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktikum Mikrobiologi dan Parasitologi Dosen Pengampu : drg. Yunita Diah Puspita Santik M.Kes
Oleh : Fattah Nur Anafi’ Sholekhah Elisa Diyah Purwaningrum Lyna Shofiyanah Rombel 02
6411412165 6411412180 6411412185 6411412188
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2015
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya. Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau tinja, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis Fasciola hepatica atau sering disebut juga cacing hati merupakan anggota dari Trematoda (Plathyhelminthes). Hospesnya adalah di dalam usus kambing atau sapi. Kadang-kadang parasit ini ditemukan pada manusia. Penyakit yang ditimbulkan disebut fascioliasis. Diagnosa Fascioliasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis dan diagnosa laboratorium. Berdasarkan latarbelakang tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai prosedur pemeriksaan laboratorium Fasciola hepatica. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat diambil adalah “Bagaimana prosedur pemeriksaan laboratorium Fasciola hepatica?” 1.3. Tujuan Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan laboratorium Fasciola hepatica.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fasciola hepatica 2.1.1. Morfologi Cacing Fasciola sp. berwarna coklat abu-abu dengan bentuk seperti daun, pipih, melebar dan lebih melebar ke anterior dan berakhir dengan tonjolan berbentuk conus. Ukuran tubuh cacing dewasa dapat mencapai panjang 30 mm dan lebarnya 13 mm. Mempunyai batil isap mulut (oral sucker) yang besarnya ± 1 mm dan batil isap perut (ventral sucker) yang besarnya ± 1,6 mm. Secara morfologi , Fasciola sp. terdiri dari pharinx yang letaknya terdapat di bawah oral. Cacing jenis ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. adapun terdapat sebuah pharinx, namun pharinx tersebut tidak berotot. Tegumen atau lapisan kutikula berfungsi memberi perlindungan terhadap pengaruh enzim pencernaan. Tegumen padat endoparasit membantu menyerap glukosa dan asam amino. Selain itu terdapat arterium yang letaknya di bawah penis dan esofagus, uterus, vasikula seminalis, ovarium serta oviduk pada hewan ini (Kaiser, 2012).
(a)
(b)
Gambar 1. Morfologi Fasciola sp. (a) Fasciola sp. Dewasa, (b) Telur Fasciola sp. Purwanta, dkk. (2009) mengemukakan unsur-unsur yang tampak jelas pada telur Fasciola sp.yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 ialah sel-sel kuning telur (yolk) dan sel germinal yang tampak transparan di
daerah operkulum pada salah satu kutubnya. Telur berbentuk lonjong, berukuran panjang 130-150 mikron dan lebar 63-90 mikron
2.1.2. Siklus Hidup Fasciola sp. mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam siklus hidupnya sampai ke saluran empedu. Cacing dewasa memproduksi telur dan keluar bersama tinja. Telur cacing pada kondisi yang sesuai akan menetas dan mengeluarkan mirasidium. Mirasidium memiliki rambut getar dan aktif berenang untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnea yang kemudian akan menembus ke dalam tubuh siput. Mirasidium akan berubah menjadi sporokista dalam waktu 24 jam di dalam tubuh siput, dan 8 hari kemudian akan berkembang menjadi redia. Redia kemudian siap keluar dari siput, menjadi serkaria yang dilengkapi ekor untuk berenang, dan akan menempel pada benda yang terendam air seperti jerami, rumput atau tumbuhan air lainnya. Serkaria kemudian melepaskan ekornya dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola sp. Bila metaserkaria termakan oleh ternak, di dalam usus akan keluar kista menembus dinding usus menuju ke hati. Cacing Fasciola sp. dapat hidup sekitar satu tahun di dalam tubuh ternak. Cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah pada saat masih muda, dan makanan utama setelah dewasa adalah darah (Martindah et al., 2005).
Gambar 2. Siklus hidup Fasciola sp. (Sumber: CDC, 2011)
2.1.3. Epidemiologi Fasciola hepatica Fasciola hepatica merupakan cacing hati yang diduga masuk ke Indonesia bersama-sama dengan sapi-sapi yang didatangkan dari luar negeri. Pada umumnya infeksi Fasciola sp. menyerang sapi, domba dan kambing. Selain itu juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing, rusa, kelinci, marmot, kuda, bahkan infeksinya pernah ditemukan pada manusia di Cuba, Prancis Selatan, Inggris dan Aljazair. Infeksi pada manusia kurang dari 1%. Telur Fasciola juga berhasil ditemukan pada sampel tinja badak Jawa dari Suaka Marga Satwa Ujung Kulon (Pangihutan, 2007). Infeksi pada sapi dan kerbau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kambing dan domba, pada sapi dan kerbau mencapai 25-30% pada domba dan kambing 6-10 % (Anonim 2006). Kejadian infeksi Fasciola sp. berkisar antara 50-80% untuk sapi dan kerbau di pulau Jawa dan dibawah 10% untuk pulau Sumba.
2.2. Fascioliasis 2.2.1. Definisi dan Etiologi Fascioliasis adalah salah satu penyakit kecacingan yang sering menyerang sapi dan kerbau. Fasciolasis disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang biasa menyerang organ hati (liver fluke). Selain itu terdapat cacing dari jenis trematoda lain yang hidup dapat menyebabkan Fascioliasis pada manusia, yaitu Fasciolopsis buski dan cacing ini menyerang usus manusia dan babi, sehingga disebut intestinal fluke Cacing yang hidup di daerah sub tropis dan tropis seperti di India, Jepang, Filipina, Kamboja, dan Indonesia adalah Fasciola gigantica dari kelas trematoda (cacing pipih) dan famili Fasciolidea. Hal ini dikarenakan inang antara yang berperan dalam siklus hidup Fasciola hepatica yaitu Lymnea truncatula tidak ditemukan di Asia, sedangkan inang antara Fasciola gigantic yaitu Lymnea rubiginosa merupakan siput endemik di Indonesia.
2.2.2. Epidemiologi Fascioliasis Fascioliasis di Indonesia hanya disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola gigantica . Prevalensi fasciolasis pada ternak di Jawa Barat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90%, sedangkan prevalensi Fascioliasis pada kerbau di Indonesia sebesar 77%. Secara klinis kecacingan menyebabkan kehilangan cairan tubuh, penurunan daya tahan tubuh, penurunan bobot badan yang mencapai 20% dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerugian baik oleh peternak maupun kerugian bagi produksi daging nasional.
2.2.3. Patogenesis Fascioliasis pada ruminansia dapat berlangsung akut maupun kronis. Kasus yang akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati sangat terganggu serta terjadinya perdarahan ke dalam peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari. Fascioliasis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati.Fascioliasis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa mengisap darah serta hilangnya persediaan zat besi (Subronto, 2007). Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak hampir sama tergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi antara minggu ke 12-15 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang berat dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu (Anonim, 2012).
Pemeriksaan pasca mati penderita Fascioliasis akut menunjukkan terjadinya pembendungan dan pembengkakan hati, bercak-bercak warna merah baik di permukaan sayatan maupun di sayatannya, kantung empedu dan usus mengadung darah. Kondisi kronis di temukan dinding empedu dan saluran empedu menebal, anemia, kurus, hidrotoraks, hiperperikardium, degenarasi lemak dan sirosis hati (Anonim, 2006). Selain itu menurut Purwanta (2006) Pemeriksaan postmortem hati sapi yang mengalami Fascioliasis menunjukkan penebalan dan pengapuran pada saluran empedu. Pada saluran-saluran empedu terdapat gumpalan coklat kotor, berlendir dan berbuih, empedu bercampur kotoran yang berisi cacing Fasciola sp. Pada invasi yang hebat terjadi perubahan jaringan hati menjadi jaringan ikat.
Gambar 3. Hati sapi yang terinfeksi Fasciola sp.
2.2.4. Diagnosis Penentuan diagnosa Fascioliasis seekor hewan atau sekelompok hewan dapat dibuktikan dengan ditemukannya telur fasciola dalam tinja dengan menggunakan metode sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosa juga perlu diperkuat dengan kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan melalui pemeriksaan post-mortem. Telur Fasciola memiliki karakteristik yakni ukuran Telur Fasciola berbentuk ovoid dan memiliki operkulum di salah satu kutubnya. Telur cacing ini memiliki kerabang telur yang tipis hingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium atau metilen biru. Di dalam telur dapat ditemukan blastomer yang memenuhi rongga telur (Ditjennak, 2012).
Diagnosa Fascioliasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis dan diagnosa laboratorium. Diagnosa klinis berdasarkan gejala klinis, namun sulit dilakukan maka sebagai penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Sedangkan diagnosa laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan tinja, biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta western blotting. Kendala yang ditemukan pada pemeriksaan tinja untuk mendeteksi telur cacing adalah durasi infeksi Fasciola sp., karena telur baru dapat ditemukan setelah 15 minggu hewan terinfeksi, sedangkan untuk infeksi Fasciola hepatica, telur baru dapat ditemukan setelah 10 minggu hewan terinfeksi. Telur yang keluar secara intermitten tergantung pada pengosongan kantung empedu. Telur fasciola serupa dengan telur paramphistomum. Telur fasciola berwarna kekuningan, sedangkan telur paramphistomum berwarna keabu-abuan (Anonim, 2012). Pendekatan alternatif untuk diagnosis Fascioliasis adalah dengan uji serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi dalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan sensitivitas 91 % dan spesifisitas 88 % (Estuningsih et al., 2004). Coproantigen dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam tinja menggunakan Sandwich-ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5 sampai minggu ke 9 setelah infeksi dengan sensitivitas 95 % dan spesifisitas 91 % (Estuningsih et al., 2004).
BAB III PEMERIKSAAN 3.1. Pendahuluan Fascioliasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Fasciola sp. Diagnosa Fascioliasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis dan diagnosa laboratorium. Diagnosa klinis dilakukan berdasarkan gejala klinis yang ditunjang dengan pemeriksaan menggunakan USG. Sedangkan penentuan diagnosa laboratorium seekor hewan atau sekompok hewan dapat dibuktikan dengan ditemukannya telur fasciola dalam tinja. Pemeriksaan tinja ini dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu metode naif, metode float dan metode sedimentasi.
3.2. Pemeriksaan Tinja 3.2.1. Tujuan Tujuan dari pemeriksaan tinja yaitu untuk mendeteksi keberadaan telur Fasciola sp.
3.2.2. Pengambilan Sampel Tinja -
Tinja ternak diambil masing-masing ±3 sendok plastik baik di kandang atau tempat ternak digembalakan, segera setelah defekasi (maksimal 3 jam setelah defekasi)
-
Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik, masing-masing sudah diberi label dan disimpan dalam boks berisi es batu untuk menjaga agar telur cacing tidak menetas
-
Sampel dimasukkan dalam frezer hingga dilakukan identifikasi telur dan larva/cacing dewasa
3.2.3. Identifikai Cacing -
Mengambil tinja ± 2-3 gram dalam petridisk, kemudian dilarutkan dengan 5ml air dan diratakan dengan pengaduk
-
Petridisk diletakkan di bawah mikroskop binokuler untuk diamati dan larva atau cacing yang ditemukan dicocokkan dengan gambar pembanding
-
Hasil identifikasi dimasukkan dalam tabel hasil pengamatan
3.2.4. Metode Natif Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit untuk menemukan telur. A. Bahan Bahan yang akan digunakan adalah tinja, air, alkohol 70%. B. Alat Alat yang digunakan dalam pemeriksaan dengan metode natif yaitu ember, mortar, pipet, kaca benda, kaca penutup, mikroskop perbesaran 100x C. Langkah Kerja -
Alat dan bahan serta buku panduan identifikasi dipersiapkan.
-
Sampel tinja beku yang masih terbungkus dikeluarkan dari lemari pendingin dan dicairkan (thawing) agar tidak terkemudian keras saat digerus dengan diletakkan dalam ember berisi air.
-
Kedua telapak tangan disterilisasi dengan menyemprotkan alkohol 70% secara merata.
-
Setelah sampel melunak, satu per satu sampel tinja ditimbang ±3 gram dan diadukk dalam mortar hingga tinja tidak menggumpal sambil ditambahkan air ±25 ml hingga larut.
-
Larutan dipipet dan diteteskan ke permukaan kaca benda 1-2 tetes, kemudian ditutup dengan kaca penutup.
-
Preparat diperiksa di bawah mikroskop yang sudah terpasang micrometer okuler terkalibrasi dengan perbesaran 100x dan dipotret untuk dicocokkan dengan gambar acuan.
-
Telur cacing diamati berdasarkan bentuk dan ukurannya sesuai gambar pembanding
-
Jenis yang teridentifikasi ditulis dalam tabel hasil pengamatan
-
Setelah
selesai
preparat
dibersihkan
dengan
air
mengalir
untuk
mengidentifikasi sampel berikutnya.
3.2.5. Metode Flotasi Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh sebagai alat untuk mengapungkan telur. Metode ini terutama dipakai untuk pemeriksaan tinja yang mengandung sedikit telur. Cara kerja dari metode ini berdasarkan Berat Jenis (BJ) telur-telur digunakan
sehingga
yang
telur-telur
lebih ringan daripada terapung
dipermukaan,
BJ larutan
yang
dan juga
untuk
memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. A. Bahan Bahan yang digunakan yaitu tinja, larutan garam jenuh (Brine) B. Alat Alat-alat yang dipergunakan yaitu tabung, kaca penutup, gelas objek, mikroskop. C. Langkah Kerja -
Sampel tinja ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan dalam tabung.
-
Tabung diisi larutan garam jenuh (Brine) sebanyak 5 ml dan dihomogenkan.
-
Larutan garam jenuh ditambahkan lagi hingga cembung dan didiamkan selama 30 menit.
-
Selanjutnya mulut tabung di tutup dengan kaca penutup.
-
Kaca penutup diangkat dan diletakkan di atas gelas objek.
-
Preparat diamati di bawah mikroskop dan hasilnya diisikan ke dalam table
3.2.6. Metode Sedimentasi Metode ini merupakan metode yang baik untuk memeriksa sampel tinja yang sudah lama. Prinsip dari metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifugal dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur cacing dapat terendapkan.
Metode
sedimentasi
kurang
efisien dibandingkan dengan
metode flotasi dalam mencari kista protozoa dan banyak macam telur cacing.
A. Bahan Bahan yang akan digunakan adalah tinja, kapas, air, methylene blue dan formalin 10%. B. Alat Alat-alat yang digunakan dalam pengambilan tinja yaitu berupa kantong plastik, cool box, lemari pendingin, dan kamera. Alat-alat untuk pemeriksaan laboratoris adalah timbangan yang sudah dikalibrasi, object glass, cover glass, mikroskop (perbesaran 10 x 10), sentrifus, tabung plastik sentrifus bertutup yang mempunyai skala ukuran volume 30 ml, saringan teh, mortar, gelas ukur, sendok pengaduk, kertas saring dan botol pot plastik. C. Langkah Kerja -
Sampel tinja sebanyak 3 gram dimasukkan dalam tabung reaksi.
-
Tabung reaksi diisi akuades sebanyak 30 ml dan diaduk hingga homogen.
-
Filtrat disaring sebanyak dua kali dengan kain kasa dan kapas dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge.
-
Filtrat disentrifuge selama 3 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
-
Supernatan yang terbentuk dibuang dengan hati-hati dengan menyisakan endapan.
-
Endapan diteteskan pada objek gelas dan ditetesi metilen blue kemudian ditutup dengan kaca penutup.
-
Endapan diamati di bawah mikroskop.
-
Hasil yang teramati diisikan dalam tabel pengamatan
3.3. Pemeriksaan Hati 3.3.1. Tujuan Tujuan dari pemeriksaan hati yaitu untuk menemukan cacing hati. 3.3.2. Bahan Bahan yang digunakan adalah hati hewan yang diduga terinfeksi.
3.3.3. Alat Alat yang digunakan adalah nampan yang dassarnya berwarna hitam, pisau pemotong, dan saringan yang berukuran 710 µm 3.3.4. Langkah -
Meletakkan hati sapi diatas nampan
-
Membuka seluruh salurn empedu untuk mengeluarkan semua cacing hati
-
Mengumpulkan cacing ke dalam kontainer yang berisi air
-
Memotong hati tipis-tipis kemudian memeriksanya sambil dipijit
-
Mencuci hati dengan menggunakan saringan yang berukuran 710 µm agar cacing hati yang masih tertinggal dapat dikoleksi
-
Mengihitung seluruh cacing yang ditemukan dan mengukur panjangnya.
(a)
(c)
(b)
(d)
Keterangan : (a) Hati sapi yang mengalami Fascioliasis tampak bengkak, mengeras, warna menjadi lebih pucat dan fibrosis. (b) Hati sapi yang mengalami Fascioliasis terlihat adanya Fasciola sp. di dalam pembuluh empedu. (c) Hati sapi yang mengalami Fascioliasis terlihat adanya Fasciola sp. (d) Terdapat terowongan jalur migrasi cacing.
BAB IV PENUTUP 4.1.
Kesimpulan Fascioliasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Fasciola sp.
Diagnosa Fascioliasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis dan diagnosa laboratorium. Penentuan diagnosa laboratorium seekor hewan atau sekompok hewan dapat dibuktikan dengan ditemukannya telur fasciola dalam tinja. Tujuan dari pemeriksaan tinja yaitu untuk mendeteksi keberadaan telur Fasciola sp. Pemeriksaan tinja ini dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu metode naif, metode float dan metode sedimentasi. Dalam metode naif, bahan yang akan digunakan adalah tinja, air, alkohol 70%. Pada metode float menggunakan tinja dan larutan garam jenuh (Brine). Sedangkan pada metode sedimentasi, bahan yang digunakan adalah tinja, kapas, air, methylene blue dan formalin 10%.
DAFTAR PUSTAKA Anonim.
2006.
Pengendalian
Penyakit
pada
Domba
dan
Kambing.
http://primatani.litbang.Deptan.go.id/index.php?.option=Com content & task = View & item.id = 56. Anonim. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan Estuningsih, S.E., S.Widjajanti dan G. Adiwinata. 2004.Perbandingan antara uji elisa-antibodi dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola gigantica pada sapi.JITV 9(1) : 55-60. Kaiser , Gary E. 2012. The Liver Fluke Fasciola hepatica trematode (http://faculty.ccbcmd.edu/courses/bio141/labmanua/lab20/lfluke.html) diakses pada tanggal 28 April 2015 ). Martindah E., Widjajanti S., Estuningsih S.E., dan Suhardono. 2005. Meningkatkan Fascioliasis
Kesadaran Sebagai
dan
Penyakit
Kepedulian infeksius.
Masyarakat Wartazoa
Terhadap Vol.
15.
http://www.petemakan.litbang.deptan.go.id. Diunduh tanggal 28 April 2015. Nezar, Muhammad Rofiq.2004. Jenis Cacing pada Tinja Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Semarang : UNNES Pangihutan J. 2007. Telur Cacing Trematoda pada Tinja Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Instutut Pertanian Bogor Purwanta, Ismaya dan Burhan. 2006. Penyakit Cacing Hati (Fascioliasis) Pada Sapi Bali Di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Makassar. Jurnal Agrisistem. Vol. 2 No. 2.
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (Mamalia) Manajemen Kesehatan Ternak
Parasitisme
Gastrointestinal
dan
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Penyakit
Metabolisme.