Plato Vs Aristoteles

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Plato Vs Aristoteles as PDF for free.

More details

  • Words: 1,484
  • Pages: 3
Plato Dalam sejarah filsafat, Plato merupakan murid dari Socrates yang paling cemerlang. Tiga buah karya tulis Plato yang banyak kaitannya dengan sejarah pemikiran mengenai negara dan hukum adalah; Politeia (tentang negara), Politikus (tentang abdi negara), Nomoi (tentang undangundang). Dalam kepustakaan filsafat Plato disebut sebagai pencipta ajaran alam cita (ideeenler), sementara aliran filsafat yang dikembangkan sering disebut sebagai Idealisme. Plato terkesan dengan pemikiran kaum Sofis, sehingga pemikirannya banyak dipengaruhinya. Pandangannya tentang asal mula negara, Plato menggarisbawahi bahwa negara itu muncul karena adanya berbagai kebutuhan dan keinginan manusia semata-mata.lebih lanjut ditegaskan, bahwa mengingat kebutuhan dan keinginan manusia yang berbeda-beda dan bahkan bisa bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, mau tidak mau mereka harus bekerjasama agar kebutuhan yang saling berbeda-beda tersebut bisa terwujudkan. Dalam kerjasama tersebut, masing-masing orang bekerjasama sesuai dengan tugas dan fugsinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kalau yang demikian itu dapat berjalan dengan baik diperkirakan semua kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap orang akan bisa terpenuhi secara lebih memuaskan. Adanya kebersamaan dan kesatuan inilah yang nantinya akan membentuk masyarakat atau negara. Masyarakat atau negara muncul karena keinginan dan kesepakatan bersama manusia untuk mempersatukan diri didalam mencapai tujuan bersama. Epicurus Ajaran filsafat yang dikembangkan Epicurus dalam segi tertentu sangat berbeda dengan ajaran Aristoteles. Dan ajaran filsafat tersebut dapat dikatakan bertolak belakang. Karena zaman yang dilalui kedua tokoh ini bertolak belakang. Aristoteles hidup pada zaman Alexander Yang Agung, justru Epicurus hidup pada masa kebalikannya. Zaman dimana Epicurus hidup diwarnai dengan perpecahan yang terjadi di Yunani sebagai akibat meninggalnya Raja Alexander tersebut. Pada zaman Aristoteles, hubungan antara manusia dengan negara demikian harmonis, dimana negara dan masyarakat dianggap sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia. Pada zaman Epicurus sebagai akibat perpecahan tersebut orag mulai bersikap acuh tak acuh terhadap eksistensi negara. Antara manusia sebagai individu dengan negara mulai timbul jurang yang memisahkan secara tegas. Negara tidak lagi dipandang sebagai bagian penting dalam kehidupan, akan tetapi individu yang harus memperhatikan dirinya sendiri. Diarasakan tidak akan ada kemungkinan lagi untuk mendidik para warganegara menjadi pendukung yang setia dan loyal terhadap negara. Berdasarkan sikap terhadap situasi dan kondisi negara semacam itu, Epicurus mengetengahkan ajarannya yang banyak bersifat individualistis. Karena itu Epicurus diidentifikasikan sebagai pencipta ajaran Individualisme yang dalam perkembangan selanjutnya mampu mendesak ajaran Universalisme Aristoteles. Dalam pandangan Individualisme Epicurus, negara dan masyarakat dianggap bukan bagian yang penting dalam kehidupan manusia, tetapi justru manusia itu sendiri yang menempati posisi sentral sebagai anggota negara atau masyarakat. Adanya negara tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan para individu yang tinggal didalamnya. Ajaran Epicurus juga dikenal dengan sebutan atoomisme, karena memandang masyarakat sebagai suatu keadaan yang kompak, sementara individu-individu dipandang sebagai atoom-atoom yang menempati posisi vital. Masyarakat mempunyai dasar-dasar kehidupan yang otonom, dan lebih merupakan realitas dibanding masyarakat yang tidak mempunyai dasar kehidupan sendiri. Karena negara dan masyarakat itu adalah hasil perbuatan manusia sebagai individu-individu, maka negara tidak berbeda dengan benda mati. Negara tidak lebih sebagai suatu mekanisme. Negara tidak lebih dari suatu alat manusia yang dibentuk dengan senjata untuk kepentingan

manusia itu sendiri. Jika negara sudah terbentuk, ia harus mengutamakan individu-individu sebagai dasar bagi kepentingan negara. Cicero Cicero adalah pemikir besar Romawi tentang negara dan hukum. Pemkiran Cicero banyak dipengaruhi oleh karya-karya Plato dan ajaran filsafat kaum Stoa. Pengaruh yang demikian besar ini nampak dalam dua karya Cicero, yaitu De Republica (tentang negara), dan De Legibus (tentang hukum atau undang-undang). Dengan demikian ajaran Cicero tentag asal mula negara tidak berbeda dengan ajaran Plato, yaitu melalui perjanjian masyarakat dan kontrak sosial. Namun demikian Cicero telah memodifikasi pemikiran Plato dengan memasukkan pengaruhpengeruh Stoa didalamnya. Dalam pandangan Cicero, negara adalah suatu kenyataan yangharus ada dalam kehidupan manusia. Negara disusun oleh manusia berdasarkan atas kemampuan rasionya, khususnya rasio murni manusia yang disesuaikan dengan hukum alam kodrat. Kendatipun ajaran Cicero berbeda dengan ajaran Epicurus yang menganggap negara sebagai hasil perbuatan manusia yang berfungsi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan mereka, namun ajaran Cicero ini jelas menunjukkan konsep perjanjian masyarakat tentang asal mula negara. Hugo Grotius Grotius juga dikenal sebagai pemikir besar tentang negara dan hukum. Grotius dikenal sebagai peletak dasar (pelopor) dan bahkan dianggap sebagai pencipta teori Hukum Alam Modern. Ajaran hukum alam yang dikemukakan oleh Grotius bayak dipengaruhi oleh hukum alam Yunani Kuno (Aristoteles), pemikiran Stoa (Zeno), dan juga jalan pemikiran Cicero. Pengaruh ini nampak dalam karyanya; De Jure Belli ac Pacis (Hukum Perang dan Damai) yang ditulis khusus untuk Raja Louis XIII dari Perancis. Ajaran Grotius tentang hukum dan negara ini mencoba mengangkat akal manusia sebagai salah satu dasar yang paling efektif untuk mengatasi berbagai perpecahan yang terjadi dalam bidang keagamaan. Selain itu pemikiran tentang asal mula negara sangat dipengaruhi oleh Aristoteles dimana ia berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu mempunyai hasrat hidup bermasyarakat. Namun demikian Grotius lebih memusatkan analisanya pada akal manusia itu sendiri. Dikatakan bahwa karena manusia itu memiliki akal atau rasio maka kepentingan pribadi atau keuntungan individual tidak akan mengalahkan kepentingan umum. Dalam pandangan Grotius dan juga penganut aliran hukum alam pada umumnya, negara terjadi karena adanya suatu perjanjian, mengingat manusia adalah makhluk sosial yang selalu mempunyai hasrat untuk hidup bermasyarakat. Dan perjanjian itu wajar terjadi karena manusia mampu menggunakan rasionya. Berdasar pada hasrat atau rasio itulah negara terbentuk melalui suatu perjanjian untuk mencapai tujuan bersama, yaitu adanya ketertiban dan keamanan umum. Didalam perjanjian itu juga disepakati pula Raja diserahi tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Masyarakat selalu tunduk pada perjanjian itu karena menurut rasionnya perjanjian itu dianggap benar dan baik. Thomas Hobbes Sebagai pemikir besar tentang negara dan hukum, ia memiliki dua buah karya yang cukup popular, De Cive (tetang warga negara), dan Leviathan (tentang negara). Hobbes dikenal sebagai pengunut setia aliran hukum alam seperti Grotius. Dalam banyak hal ajaran Hobbes berangkat dari keadaan manusia sebelum adanya negara, dimana manusia hidup dalam keadaan bebas tanpa ikatan apapun. Dalam keadaan yang disebut in abstrakto ini manusia saling bermusuhan, berlawanan, curiga-mencurigai, dan mementingkan dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian ini tidak jarang terjadi peperangan antara orang yang satu dengan lainnya, antara seorang dengan semua orang, dan juga antara semua orang melawan semua orang, bellum

omnium contra omnes. Keadaan yang serba tidak teratur ini sebenarnya berpangkal pada sifat-sifat yang melekat pada tiap-tiap manusia dalam keadaan in abstrakto, yaitu pertama, competitio (competition). Dengan adanya sifat ini manusia cenderung berlomba-lomba untuk mengatasi manusia yang lain. Manusia yang satu berusaha mengungguli manusia yang lain, dan dalam persaingan ini mereka cenderung membenarkan segala cara yang akan ditempuhnya. Kedua, defentio (defend). Sesuai dengan sifat yang pertama diatas, manusia yang satu tidak mau dikuasai oleh manusia lainnya. Karena itu timbul sifat yang kedua yaitu kecenderungan untuk membela diri, mempertahankan diri dan mengusahakan jaminan bagi keselamatannya. Dan yang ketiga, adalah sifat Gloria, yaitu sifat ingin selalu dihormati, disegani dan dipuja. Dalam pandangan Hobbes, keinginan atau hasrat yang kuat untuk menciptakan perdamaian antara manusia itu bisa terwujud apabila mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut perjanjian masyarakat. Perjanjian itu tidak saja membentuk masyarakat tetapi berkembang samp[ai akhirnya membentuk suatu negara. Dalam negara itulah keselamatan manusia terjamin, melalui negara itu pula manusia dapat memiliki sesuatu yang diinginkan. Perjanjian masyarakat ini dikatakan bersifat langsung. Ini berarti manusia yang terlibat perjanjian itu secara langsung menyerahkan hak atau kemerdekaanya kepada seorang Raja yang tidak terlibat dalam perjanjian bahkan diluar perjanjian. Raja merupakan pihak yang tidak terkena perjanjian, akan tetap memperoleh kekuasaan dari orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut. Karena pada prinsipnya tidak ikut terlibat dalam perjanjian masyarakat, maka tidak ada kewajiban bagi raja untuk terlibat dalam perjanjian tersebut. Sebenarnya dari kenyataan inilah absolutisme seorang raja memperoleh pembenaran (justifikasi). Raja dapat melaksanakan apa yang diinginkan, dan kalau perlu seorang raja dapat membunuh seseorang demi terciptanya perdamaian sesuai dengan tujuan utama perjanjian masyarakat. John Locke Beliau adalah pemikir besar tentang negara dan hukum dari Inggris. Ia hidup pada masa pemerintahan Raja Willem III yang mengendalikan pemerintahannya melalui suatu bentuk monarkhi terbatas. Oleh karena itu tidak heran jika ajaran-ajaran Locke, khususnya tentang ajaran negara dan hukum merupakan pembenar terhadap monarkhi terbatas Raja Willem III. Sebagai penganut hukum alam, Locke sependapat bahwa hukum alam tetap menjadi landasan rasional perjanjian masyarakat yang timbul dari tuntutan penghargaan terhadap hak-hak manusia dalam keadaan yang masih alamiah. Namun demikian Locke berusaha melepaskan cara berfikir yang logis, deduktif, dan matematis untuk kemudian berganti dengan cara yang baru yang lebih realistis dengan berlandaskan pada praktek ketatanegaraan dan hukum yang lebih aktual. Locke mandasarkan teorinya kepada keadaan alamiah manusia atau keadaan manusia di alam bebas. Sangat berbeda dengan Thomas Hobbes yang melihat keadaan alamiah itu tidak terdapat aturan atau ketentraman, maka Locke mengakui bahwa keadaan alamiah yang mendahului adanya negara itu sebenarnya sudah ada ketentraman dan alam pikiran seperti halnya dalam negara. Bahwa dalam keadaan alamiah itu manusia itu telah mempunyai beberapa hak yang juga bersifat alamiah, seperti hak hidup, hak kebebasan atau kemerdekaan dan hak milik. Dengan demikian sesuai dengan kodratnya manusia itu sejak lahir telah mempunyai hak-hak kodrat atau hak-hak alamiah yang oleh Locke disebut dengan hak-hak dasar atau hak asasi. Karena itu agar pelaksanaan hak-hak asasi bisa berjalan dengan sebaik-baiknya, manusia selalu menyelenggarakan suatu perjanjian masyarakat, untuk mebentuk masyarakat dan selanjutnya negara.

Related Documents

Plato Vs Aristoteles
June 2020 1
Plato
October 2019 61
Plato
October 2019 71
Aristoteles
May 2020 15
Aristoteles
May 2020 16