Pih

  • Uploaded by: zebraq
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pih as PDF for free.

More details

  • Words: 2,288
  • Pages: 11
FILSAFAT HUKUM

Nama NPM Dosen Mata Kuliah

: SUPRIYADI : 08330050115 : Drs. Sudin S, SH,M.Si : Pengantar Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SATYAGAMA JAKARTA 2009

Kata pengantar Assalamu’alaikum Wr.Wb.,

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ FILSAFAT HUKUM ” yang merupakan salah satu syarat untuk menentukan dan memperoleh nilai ujian akhir semester Mata Kuliah PENGANTAR ILMU HUKUM di Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta. Penulis menyadari betul bahwa baik isi maupun penyajian makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran sebagai penyempurnaan makalah ini, sehingga dikemudian hari makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa/i di Universitas Satyagama Jakarta. Seiring dengan itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dosen yang memberikan Mata

kuliah ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa

memberikan kesehatan serta rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Wasalamu’alaikum Wr .Wb.,

Jakarta, Januari 2009

SUPRYADI

PENDAHULUAN

Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, “tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar itu, filsafat hukum bisa dibandingkan dengan dengan ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang sangat berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri. Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apa yang dimaksud dengan hukum?” Filsafat hukum menginginkan kita berfikir secara mendalam dan bertanya pada diri sendiri: “Apa pendapat kita mengenai hukum?” Apakah ilmu hukum positif dapat menjawab dua pertanyaan tersebut? Jawabannya adalah dapat. Namun ilmu hukum tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, karena jawaban yang dihasilkan tidak akan sekomprehensif bila dijawab oleh filsafat hukum. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum saja, yang hanya dapat dilihat dengan pancaindra, yang menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Ilmu hukum positif tidak dapat mengamati kaidah-kaidah hukum yang merupakan pertimbangan nilai-nilai, karena berada jauh di luar pandangannya. Kaidah hukum masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan (penting) mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut. Kaidah-kaidah hukum adalah pertimbangan nilai-nilai, yaitu pertimbangan-pertimbangan tentang sesuatu yang seharusnya kita lakukan atau tidak kita lakukan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kaidah hukum menghendaki diikuti sebagai sebuah otoritas sehingga dengan demikian mempunyai sifat perintah, suruhan dan larangan. Suatu kaidah dapat berubah menjadi kaidah hukum, jika kaidah tersebut dikeluarkan oleh negara berupa peraturan-peraturan yang harus menjadi pedoman bagi

pemerintah dan bagi kekuasaan pengadilan saat melakukan tugasnya serta kaidah hukum mempunyai ciri bahwa ia dipertahankan oleh paksaan pemerintahan atau setidak-tidaknya oleh paksaan yang terorganisir. Jika diamati, maka ketiga pengertian tersebut memiliki persamaan yaitu meletakkan hubungan yang erat antara hukum dan negara (atau penguasa) dan bahwa ketiga pengertian tersebut merupakan hasil dari penelitian secara empiris dalam mencari ciri persekutuan untuk peraturan-peraturan yang biasanya disebut peraturan-peraturan hukum.

PERMASALAHAN I. Apa Hakikat Hukum II. Apa Dasar-Dasar Mengikatnya Hukum III. Mengapa Hukum Berlaku Umum IV. Bagaiman Hubungan Antara Hukum Dengan Kekuasaan,Moral Dan Keadilan

PEMBAHASAN I. APA HAKIKAT HUKUM Filsafat adalah upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan penggambaran manusia di dunia menuju akhirat yang mendasar. Obyeknya adalah materi dan forma. Obyek materi sering disebut segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada. Hal ini berarti filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan sang pencipta. Selanjutnya, objek ini sering disebut realita atau kenyataan. Sedangkan yang disebut obyek forma adalah dari obyek materi tersebut, filsafat ingin mempelajari baik secara fragmental (menurut bagian dan jenisnya) maupun secara integral menurut keterkaitan antara bagian-bagian dan jenis-jenis itu dalam suatu keutuhan secara keseluruhan. Salah satu yang dipelajari dari obyek materi adalah manusia. Manusia memiliki kelebihan-kelebihan di bandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lainnya. Salah satu kelebihannya adalah rasa keingintahuannya yang sangat dalam terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Dan sesuatu yang telah diketahui manusia itu disebut sebagai pengetahuan. Jika dilihat dari sumber perolehannya, maka pengetahuan dapat dibeda-badakan, antara lain: apabila pengetahuan diperoleh melalui indera, maka disebut pengetahuan indera (pengetahuan biasa). Jika diperoleh dengan mengikuti metode dan system tertentu serta bersifat universal, maka disebut sebagai pengetahuan ilmiah. Dan jika pengetahuan diperoleh melalui perenungan yang sedalam-dalamnya (kontemplasi) hingga sampai pada hakikatnya, maka muncul pengetahuan filsafat. Apabila kita kaji kepustakaan mengenai filsafat hukum, maka dapat ditemukan berbagai macam definisi yang berbeda tentang filsafat hukum. Menurut Soetikno,

berfilsafat hukum merupakan kegiatan berfikir yang dilakukan secara mendalam dan terus menerus untuk menemukan dan merumuskan hakekat, sifat dan substansi hukum yang ideal. Filsafat hukum adalah induk dari disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum. Oleh karena itu orang mengatakan juga bahwa filsafat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sedemikian fundamental sehingga bagi manusia tidak terpecahkan, karena masalahmasalah itu akan melampaui kemampuan berfikir manusia. Filsafat Hukum akan merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah

pertanyaan

yang

terhadapnya

hanya dapat

diberikan

jawaban

yang

menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru. Menurut M van Hoecke, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada gejala-gejala hukum (WAT IS RECHTSTEORIE, 1982: 83-87). Dalam filsafat dibahas pertanyaan-pertanyaan terdalam berkenaan makna, landasan, struktur, dan sejenisnya dari kenyataan. Dalam filsafat hukum juga dibedakan berbagai wilayah bagian antara lain: •

Ontologi Hukum: penelitian tentang hakiakt hukum dan hubungan antara hukum dan moral.



Aksiologi

Hukum:

penetapan

isi

nilai-nilai,

seperti

keadilan,

kepatutan,

persamaan, kebebasan, dsb; •

Ideologi Hukum: pengejawantahan wawasan menyeluruh tentang manusia dan masyarakat;



Epistemologi Hukum: penelitian terhadap pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” hukum dimungkinkan;



Teologi Hukum: menentukan makna dan tujuan dari hukum;



Teori-ilmu dari hukum: ini adalah filsafat sebagai meta-teori tentang teori hukum dan sebagai meta-teori dari dogmatika hukum;



Logika Hukum: Penelitian tentang kaidah-kaidah berfikir yuridik dan argumentasi yuridik. Bagian ini sering dipandang sebagai suatu bidang studi tersendiri yang telah melepaskan diri dari filsafat hukum. Penetapan tujuan filsuf hukum adalah murni teoretikal dan juga pemahaman

teoretikal ini penting untuk praktek hukum, karena praktek hukum itu selalu dipengaruhi (turut ditentukan) oleh pemahaman tentang landasan kefilsafatan hukum. Perspektif filsuf hukum adalah internal. Ia dalam diskusi hukum justru ingin membuktikan pandangan-pandangan pribadinya sendiri, berkaitan erat dengan nilai-nilai, yang ada pada landasan kaidah hukum. Akhirnya, tiap filsafat hukum tersusun atas proposisiproposisi normatif dan evaluatif, walaupun proposisi-proposisi informatif juga ada di dalamnya. Manfaat mempelajari filsafat hukum dapat dimaknai karena filsafat hukum memiliki empat sifat yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh. Dengan cara berfikir holistik, maka setiap orang yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar. Yaitu dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak untuk berfikir kritis dan radikal. Ketiga, sifat filsafat yang spekulatif yang mengajak mempelajari filsafat hokum untuk berfikir inovatif, yaitu selalu mencari sesuatu yang baru. Keempat, sifat filsafat yang reflektif kritis yaitu berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hokum secara rasional. II.

DASAR – DASAR MENGUKATNYA HUKUM Apabila di pandang dari sudut asalnya hukum ada tiga macam dasarnya yaitu

sebagai berikut. 1. Hukum buatan Negara atau pemerintah. Sustu Negara juga yang sering di katakan hukum Negara yakni semua peraturan yang di buat oleh Negara atau pemerintah

2. Hukum adat yakni hukum yang bukan di buat oleh Negara atau pemerintah melainkan hukum yang tumbuh dan berkembabg dalam kehidupan masyarakat adat dan berasal dari ( ajaran ) adat istiadat adapt yang bersangkutan 3. Hukum agama yakni hukum yang juga bukan di buat oleh Negara melainkan hukum yang berasal dari kitab sesuai agama atau pirman tuhan dan ajaran ajaran agama yang bersangkutan yang di ajarkan oleh nabi agama itu berdasarkan wahyu dari tuhan. Dasar hukum yang selalu bersipat formal atau yuridis pasti ada bentuknya misalnya berbentuk undang undang atau peraturan pemerintah atau segala bentuk peraturan hukum lainnya, melelui dari undang undang sampai peraturan hukum yang terendah Dasar hukum pasti selalu berasal dari bidang hukum sendiri mengingat wujud dan sifatnya yang pasti formal yuridis. Dasar hukum itu terdiri atau terbentuk dari wujud suatu peraturan hukum tertentu, akibatnya peraturan hukum itu harus ada lebih dahulu sebelum ia menjadi dasar hukum bagi peraturan hukum lainya atau harus ada sebelumnya ia di pakai sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan perkara tertentu. Dasar hukum sudah ada sebagai landasan pokok pengaturan dari pengaturan hukum yang ada pada saat ini Bukti : tidak mungkinlah peraturan hukum dari bidang hukum agrarian menjadi dasar hukum bagi ketentuan hukum tentang perbankan dasar bagi peraturan hukum perbankan hukum perbankan mestilah harus dari hukum perbankan juga. III.

MENGAPA HUKUM BERLAKU UMUM Apakah di Indonesia hukum ditegakkan secara apa adanya atau ada rekayasa.

Kalau kemudian diterangkan kepada masyarakat bahwa memang ada hukum yang ditegakkan, dan siapapun yang melanggar hukum memang harus dikenakan sanksi; saya kira kalau ada siapapun yang terlibat dan terbukti melakukan kesalahan dan dikenakan sanksi hukum, orang Islam juga akan mengerti bahwa hukum memang

berlaku pada siapapun juga, selain dari sisi penegakan hukum, ini juga akan menimbulkan efek jera kepada siapapun yang melakukan perilaku-perilaku yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak dibenarkan oleh agama, hukum itu memuat prinsip tanpa pandang bulu. IV.

ANTARA HUKUM DENGAN KEKUASAAN, MORAL DAN KEADILAN Karena biar bagaimana pun hukum membutuhkan moral, sebagaimana moral

memerlukan hukum, supaya moral tidak hanya mengawang-ngawang saja dan hukum tidak menjadi penghias dinding kosong tanpa makna. Dalam kekaisaran Roma terdapat suatu pepatah, Quid leges sine moribus?'' "Apa artinya undang-undang, jika tidak disertai moralitas?'' Hukum dapat memiliki kekuatan, jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan hampa. Untuk itu, suatu keputusan pengadilan dalam lingkup hukum, karena keadilan merupakan dasar hukumnya, harus benar-benar dipertimbangkan dari sudut moralnya, dalam hal ini rasa keadilan masyarakat. Sebab, sesuatu yang menyangkut hukum dan keadilan memiliki dampak moralitas yang sangat luas bagi masyarakat bangsa. Hukum dibuat untuk menata kehidupan masyarakat. Sebagai contoh kasus Tommy Soeharto yang baru dinyatakan bebas oleh hakim yang sangat kontroversial itu dipertegas dalam tulisan ini sebagai seruan etis moral publik. Apabila suatu keputusan pengadilan dibuat tanpa mempertimbangkan aspek moral, pengadilan tersebut dapat dinyatakan sebagai pengadilan yang terisolasi. Pengadilan yang terisolasi itu juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang tidak lebih tidak kurang. Memang semangat liberal dan legalisme-positivistik yang sangat kuat di masa lampau telah memberikan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan berada. Isolasi tersebut yang oleh Satjipto Rahardjo dinyatakan mengundang asosiasi arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Oleh karena ia memutus perkara semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam

atau

mendengarkan dinamika dan hati nurani masyarakat. Itulah sebabnya secara

sosiologis pengadilan atau sesuatu yang menyangkut keputusan pengadilan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat dan semakin dibenci dan dimusuhi. Keputusan dalam kasus Tommy Soeharto, sebenarnya bukan hanya mengabaikan aspek moral dalam keputusannya, yang kemudian dapat dikatakan - maaf - sebagai keputusan yang tidak bermoral, melainkan juga mengindikasikan kekuatan-kekuasaan, karena "hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa atau kuat,'' kata Trasymachus. Kekuasaan-kekuatan itu dalam arti politik. Dalam politik, kekuatan menjadi penentu yang dominan, sedang moralitas tidak berdaya. Yang menjadi ironis hingga kini adalah kekuatan politik lama-Orde Baru yang melingkupi Tommy dan seluruh kasus yang menyertainya, belum sanggup dilumpuhkan oleh kekuatan kekuasaan

saat.

Pemerintahan

Presiden

KH

Abdurrahman

Wahid

sampai

Kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri masih dikendalikan dan belum berdaya dengan kekuatan lama yang terus menjadi. Padahal, dengan nuansa positivisme hukum yang sangat kental sekarang ini, Thomas Hobbes mengatakan, "Perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong. Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang kuat untuk memaksakan hukum. Hukum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut kewajiban sehingga membiarkan yang kuat terus melindas yang lemah. Bila keadaan itu tetap dibiarkan tanpa ada kekuatan lain yang mengimbangi, di balik kasus Tommy itu berlaku ungkapan Hobbes yang lain yang terkenal, Homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi yang lain dan masing-masing saling membunuh dan menelan. Yang kuat akan terus menelan yang lemah. Bentrokan dan pembinasaan akan tetap merupakan dasar hukum. Padahal, fungsi utama dan pertama dari hukum adalah untuk menjaga agar "serigala" yang satu tidak menerkam "serigala" yang lain. Idealisasi hukum agar sesuatu saat kelak akan hilang unsur kebinatangan dalam diri manusia dan yang berkembang adalah unsur cinta kasih tidak akan pernah terwujud, sebab pada dasarnya hukum merupakan penjelmaan cinta atau seperti dikatakan oleh WA Luijpen: "the several steps in the everincreasing humanization of man's

relationship''. Relasi "aku-engkau" seharusnya menjiwai seluruh masyarakat supaya makin berkembang menuju suatu kesatuan antarpersonal. Karena itu, yang diperlukan saat ini sekaligus menjadi sebuah seruan etis kita adalah perlu adanya political will dan dengan kekuatan-kekuasaan yang ada pada pemerintahan saat ini, meski gunung dan bukit akan rubuh dan langit akan runtuhbendera supremasi hukum harus benar-benar dipancangkan dan keadilan segera diciptakan tanpa kompromi, pertama, segera dihentikan praktek hukum dan pengadilan yang selama ini dijadikan kendaraan untuk kepentingan kekuatan lama. Kedua, perlu segera dilihat kembali secara jernih kasus Tommy Soeharto, dalam kaca mata moral dan etika. Bahwasanya, kemauan untuk menjadikan hukum sebagai pengendali "serigala" sifat kebinatangan dalam diri para pengkhianat hukum seperti Tommy dan lain-lain merupakan suatu kemauan etis dan moralitas pula. Sasaran daripada kemauan etis dan moralitas adalah agar tidak terkoyak lagi rasa keadilan masyarakat dan tercipta sebuah etika masa depan yang berakhlak dan bermoral. Semua hal di atas diambil guna merehabilitasi masa depan negeri ini, agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses hukum yang menjadi semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari. Alangkah baiknya, tanpa pretensi apa pun dari penulis kasus Tommy Soeharto dijadikan pilar dan momentum yang baik untuk itu. Sebab, dalam hal ini, kasus Tommy sebenarnya berlaku pula ungkapan Hakim J Burnett di Inggris pada abad 18, ketika menjatuhkan seorang pidana mati dengan ungkapan "Engkau akan digantung bukan karena engkau mencuri kuda, melainkan agar kuda-kuda tidak akan dicuri lagi''.

Related Documents

Pih
May 2020 15
Pih
June 2020 10
Pih Ana
May 2020 7
Silabus Pih
June 2020 12
Pih - Rangkuman.docx
December 2019 10
5671 Pih
November 2019 21

More Documents from "Michelle Fortes"

Pih
May 2020 15
Phi
May 2020 23
Kasus Dan Analisa
May 2020 22