Pidia Bunting 7 Bulan.doc

  • Uploaded by: Rukiyahdly
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pidia Bunting 7 Bulan.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 2,015
  • Pages: 20
A. Monumenten Ordonnantie 1931 (Stbl. No. 238 Tahun 1931) Teori Kolonial di Indonesia secara umum sebenarnya telah menjelaskan bahwa semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian, bagian yang berasal dari penduduk/budaya lokal & bagian yang merupakan hasil dari cipta karya/budaya pendatang/ orang asing, karena proses dari imposisi kota yang mereka hasilkan. Oposisi antara belahan campuran dan asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial yang menekan dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda. Di Indonesia kondisi kota-kota kolonial justru jauh lebih kompleks selain karena bagian lokal yang bergaya barat, terdapat juga bagian asing yang bergaya oriental, terutama Cina. Oleh karena itu, kota-kota di Indonesia pada era kolonial bisa dikarakterisasikan sebagai kota tiga bagian dengan muatan arsitektur lokal berupa Kraton & Kampung, bagian cina yang terdiri dari ruko-ruko, dan satu bagian yang bergaya Barat yang tersusun atas benteng dan gudang-gudang kolonial. Lehmann telah menjabarkan tiga elemen dari penyusun kota; Kraton, Ruko, & Benteng yang mengatur sebuah konfigurasi yang bisa dianggap umum bagi kota-kota kolonial di Indonesia. Apabila kita lebih teliti menelusuri perkembangan pengelolaan warisan budaya di Indonesia, akan jelaslah bahwa minat terhadap warisan budaya di Indonesia dan upaya pelestariaannya muncul dan berkembang dalam alam lingkungan kolonial, terutama atas usaha komunitas Eropa pecinta barang seni dan barang-barang antik. Ketika Sir Thomas Raffles berkuasa di Indonesia (1811-1816), penelitian terhadap warisan budaya Indonesia meningkat. Sebagaian hasilnya diungkapkan dalam buku The History of Java . Setelah Belanda berkuasa kembali di Indonesia, benda warisan budaya Indonesia dianggap akan dapat meningkatkan citra mereka di luar negeri. Pada tahun 1822, Belanda kemudian membentuk komisi khusus yang dinamakan Commisie in Nederlandsche-Indie voor Oudheidkundige Orderzoek op Java en Madura yang bertugas menangani tentang warisan budaya Indonesia. Meskipun kerja komisi itu belum maksimal namun dapat dikatakan bahwa upaya tersebut merupakan langkah awal pengelolaan warisan budaya yang untuk pertama kalinya menjadi urusan pemerintahan. Meskipun kurang berjalan secara efektif, komisi ini tetap

menjalankan upaya pengelolaan warisan budaya Indonesia secara konsisten dan hasilnya terlihat pada tahun 1900, benda-benda warisan budaya Indonesia dipamerkan dalam Pameran Kolonial Internasional di Paris dan mendapat perhatian yang luar biasa dari khalayak Eropa. Pada tahun 1910, N.J Krom yang pada saat itu menjadi Ketua Komisi Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia melakukan sebuah manuver dengan mengusulkan kepada Pemerintah Pusat Negeri Belanda untuk mengubah komisi pengelolaan warisan budaya Indonesia ini menjadi jawatan atau dinas pengelolaan warisan budaya Indonesia yang diperkuat dengan oleh peneliti arkeologi dan sejarah yang handal. Atas desakan N.J Krom ini, Pemerintah Pusat Belanda membentuk Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie ( Jawatan atau Dinas Purbakala di Hindia-Belanda ) pada 14 Juni 1913. Sejak saat itu, semua urusan yang berkaitan dengan warisan budaya Indonesia berada di bawah wewenang Dinas ini. Peran Negara ( Belanda ) menjadi semakin kuat dengan ditetapkannya Monumenten Ordonnantie 1931 (Stbl. No. 238 Tahun 1931). Hal yang berhubungan dengan warisan budaya Indonesia dari mulai upaya mengumpulkan, mendaftar, meneliti, melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya Indonesia harus berjalan sesuai dengan undang-undang ini. Monumenten Ordonnantie 1931 (Stbl. No. 238 Tahun 1931) kemudian diperbaiki pada tahun 1934, ini dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memperkuat penguasaan negara atas warisan budaya. Dengan dibentuknya Undang-Undang ini, Pemerintah Belanda secara otomatis telah melakukan sebuah reaksi disiplin terhadap pengelolaan benda warisan budaya. Dapat dilihat pada kondisonal bangunan pada masa itu yang cenderung lebih terawat. Pemerintah Belanda terlihat lebih dominan dalam pengelolaan benda warisan budaya pada masa itu, ini timbul karena kesadaran mereka sebagai penguasa kolonial harus berfungsi aktif sebagai fasilitator yang menjamin akses terhadap warisan budaya. Masyarakat Belanda yang berada di Indonesia saat itu membentuk kota Semarang menjadi sedemikian rupa juga sebagai upaya romantisme terhadap negerinya, mereka membuat konsep perkotaan senyaman mungkin sehingga masyarakat Belanda pada umumnya merasakan tinggal di Semarang seperti halnya mereka tinggal di negaranya Belanda.

Melihat dari hal tersebut, Konsep Penanganan Kota Semarang sebenarnya telah dilakukan sebelum Thomas Karsten tiba di Semarang pada tahun 1903, terutama adalah aktivitas lokal dalam bidang perencanaan kota. Kondisi kota Semarang di bawah kolonialisme Belanda memang cukup pesat perkembangannya dengan dibangunnya berbagai bangunan untuk kepentingan Belanda. Misalnya sarana dan prasarana perkotaan seperti jalan, transportasi kereta api, pasar-pasar dan sebagainya. Bahkan dalam sejarahnya tanggal 16 Juni 1864 dibangun jalan kereta api (rel) pertama di Indonesia. Dimulai dari Semarang menuju kota Solo dan Kedungjati, Surabaya dan ke Magelang serta Yogyakarta. Aktivitas tersebut merupakan wujud dari pelaksanaan politik desentralisasi yang memberikan otoritas kepada daerah dalam pengembangannya. Pada tahun 1903 setibanya Thomas Karsten di Semarang, dia diangkat menjadi penasehat otoritas lokal untuk perencanaan kota Semarang, bekerja sama dengan jawatan pekerjaan umum. Sebagai penasehat kota, Karsten juga menyusun paket lengkap kota, yang berisi : a) Town-plan ( perencanaan kota) ; b) Detail plan (rencana detail kota) ; b) Building Regulation dan peraturan bangunan untuk sejumlah kota di Jawa. Kota Semarang mulai dibenahi dengan sistem administrasi pembangunan. Kontrol serta pemeliharaan elemen-elemen kota yang dibangun telah dilakukan dengan baik. Arah pembangunannya tertuju untuk membangun permukiman Belanda yang dilengkapi dengan fasilitas dan utilitas kota antara lain Stadion olah raga, lapangan menembak, taman-taman kota, jaringan jalan baru, drainase di Banjarkanal Timur dan Barat, Siranda Kanal dan CBZ Kanal. Pembangunan sarana-sarana pelabuhan, stasiun kereta api, kantor-kantor dagang dan lain-lain juga terus dilaksanakan. Fungsi kota menjadi meluas di samping sektor perdagangan, militer, pemerintahan, juga di sektor pendidikan dan pariwisata. Monumenten Ordonnantie 1931 (Stbl. No. 238 Tahun 1931) pada masa itu menjadi dasar hukum yang yang bersifat yuridis. Mengatur segala aspek tentang tata kota kolonial sesuai dengan fungsi bangunan masing-masing. Kota Semarang yang pada masa itu menjadi salah satu kota pusat pemerintahan kolonial yang dituntut untuk terus berkembang, sehingga implementasi kebijakan tentang Monumenten Ordonnantie 1931 dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan penuh konsistensi tinggi.

B. UU NO.5 TAHUN 1992 TENTANG CAGAR BUDAYA Menimbang: a. bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional; b. bahwa untuk menjaga kelestarian benda cagar budayadiperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan bendacagar budaya; c. bahwa pengaturan benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515) dewasa ini sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya; dan oleh karena itu dipandang perlu menetapkan pengaturan benda cagar budaya dengan Undang-undang; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20ayat (1), dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427); Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA.

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Benda cagar budaya adalah: a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yangberupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yangberumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yangkhas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, sertadianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dankebudayaan; b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagisejarah, ilmu pengetahuan , dan kebudayaan. 2. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mongandungbenda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.

Pasal 2 cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan danmemanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pasal 3

Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi benda cagar budaya, bendayang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya,dan situs.

BAB III PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENEMUAN, DAN PENCARIAN

Bagian Pertama Penguasaan dan Pemilikan

Pasal 4

(1)

(2)

Semua benda cagar budayadikuasai oleh Negara.

Penguasaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) meliputi benda

cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum RepublikIndonesia.

(3)

Pengembalian benda cagar budaya yang pada saat berlakunyaUndang-undang ini berada

di luar wilayah hukum Republik Indonesia, dalam rangkapenguasaan oleh Negara, dilaksanakan Pemerintah sesuai dengan konvensiinternasional.

Pasal 5

(1)

Dalam rangka penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,benda cagar budaya

yang karena nilai, sifat, jumlah, dan jenisnya serta demikepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perlu dilestarikan,dinyatakan milik Negara.

(2)

Ketentuan mengenai penentuan benda cagar budaya sebagaimanadimaksud dalam ayat

(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. C. UU NO.11 TAHUN 2010 TENTANG VAGAR BUDAYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2010

TENTANG

CAGAR BUDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya

bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku

kehidupan manusia yang penting artinya bagi

pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu

pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga

perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui

upaya pelindungan, pengembangan, dan

pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan

nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat;

b. bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara

bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan,

pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;

c. bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan,

struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh

pemerintah dan pemerintah daerah dengan

meningkatkan peran serta masyarakat untuk

melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan

cagar budaya;

d. bahwa dengan adanya perubahan paradigma

pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan

aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis

guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;

e. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang

Benda Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan

perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum

dalam masyarakat sehingga perlu diganti;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,

dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang

tentang Cagar Budaya;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG CAGAR BUDAYA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat

kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan

Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar

Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat

dan/atau di air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi

sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau

benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak

bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau

bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki

hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah

perkembangan manusia.

3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan

yang terbuat dari benda alam atau benda buatan

manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang

berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang

terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan

manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan

yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana

untuk menampung kebutuhan manusia.

5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di

darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur

Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau

bukti kejadian pada masa lalu.

6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang

geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau

lebih yang letaknya berdekatan dan/atau

memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

7. Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh

terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan

fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

8. Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik

kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap

orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap

memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk

melestarikannya. D. Perbedaan antara 3 undang undang tersebut masa kolonial UU NO 11 Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya

 Produk Kolonial.

 Ruang lingkup terbatas

pada sejarah dan seni.

 BCB Bawah Air belum ada.

(-)

 Sangsi Pidana Ringan

 Tidak ada PP

 Perkembangan

 Produk Bangsa Indonesia

 Ruang lingkup sejarah dan

kebudayaan.

 BCB Bawah Air (+)

 Sangsi kurang memadai

 Bersifat sentralisasi

 Pemerintah dominan dalam

pelestarian

 Pemerintah sebagai pengelola

utama dalam pemanfaatan

 Pemanfaatan untuk

kepentingan akademik

 Pelestarian bersifat statik

 Produk Bangsa Indonesia

 Ruang lingkup sejarah dan

kebudayaan.

 BCB Bawah Air (+)

 Sangsi memadai

 Bersifat desentralisasi

 Pelestarian bersifat

pemanfaatan

 Kemitraan dalam pengelolaan

pemanfaatan

 Pemanfaatan untuk

kesejahteraan masyarakat

 Pelestarian bersifat dinamik

berdasarkan prinsip

perlindungan, pengembangan,

pemanfaatan

UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya

01

Related Documents

Pidia Bunting 7 Bulan.doc
December 2019 0
Blue Canary Bunting
June 2020 7
7-7-7
November 2019 103
7-7
May 2020 63
7
October 2019 35
7
April 2020 16

More Documents from "Eli Priyatna"

Pidia Bunting 7 Bulan.doc
December 2019 0