KATA PENGANTAR
Puji dan syukur serta terima kasih penulis panjatkan kehadirat Tuhan Ynag Maha Kuasa karena kasih dan sayang-Nya sehingga makalah tentang “MEKANISME IMPEACHMENT AMERIKA SERIKAT DAN FILIPINA DAN ANALISIS TERHADAP PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN INDONESIA” dapat terselesaikan. Adapun materi dari makalah ini merupakan tugas mata kuliah yang diberikan oleh ibu R.A. Rini Anggraeni, S.H., M.H selaku dosen mata kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara maka penulis berusaha menjadikan materi tersebut sebagai makalah Selanjutnya penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna karena adanya keterbatasan pengetahuan, kemampuan, waktu serta sumber kepustakaan. Oleh karena itu, penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk memperbaiki makalah ini.
Jember, 24 Maret 2017
Penyusun
Halaman 1 of 21
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... 1 DAFTAR ISI .................................................................................................. 2 BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 3 A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 3 B. RUMUSAN MASALAH ................................................................... 4 C. DASAR HUKUM ............................................................................... 4 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 5 A. Mekanisme Impeachment Amerika Serikat dan Filipina .............. 5 B. Mekanisme
Pemberhentian
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden dalam Masa Jabatannya Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ............................. 11 BAB III PENUTUP ....................................................................................... 18 A. KESIMPILAN ................................................................................... 18 B. SARAN ............................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20
Halaman 2 of 21
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, negara wajib menjunjung supremasi hukum (supremacy of the law) sebagai salah satu sendi politik bernegara, disamping sendi-sendi demokrasi, sendi keadilan sosial dan lain-lain sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan dalam bukunya “Teori dan Politik Konstitusi” bahwa jika ditinjau dari aspek penegakan hukum (law enforcement), negara hukum menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran. Namun prinsip negara hukum belum sepenuhnya dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum terkadang justru “dikalahkan” oleh kekuatan-kekuatan lain, misalnya kekuatan politik. Padahal seharusnya anasir meta yuridis tersebut tunduk terhadap hukum. Kenyataan ini salah satunya tercermin dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atau dikenal dengan istilah impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai 7B ayat (7) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diawali dengan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah kemudian memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR
Halaman 3 of 21
tersebut. Apabila putusan Mahkamah membenarkan pendapat DPR, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
(MPR).
MPR
kemudian
menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul tersebut, dengan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan. Dari mekanisme sebagaimana diuraikan diatas, terdapat hal yang patut dikritisi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat. Dalam tahapan selanjutnya putusan ini dapat saja “dimentahkan” oleh suara mayoritas di MPR. Dan tidak ada satu pun klausul dalam Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain yang mengatur secara eksplisit kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini. Ditambah lagi dengan masih diberikannya kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna di MPR. Artinya, putusan hukum dapat saja “dibatalkan” oleh putusan politik. Berdasarkan latar belakang diatas, kami melalui tulisan ini hendak menganalisis mekanisme impeachment yang diterapkan di Indonesia sekaligus menggagas mekanisme baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Mekanisme Impeachment Amerika Serikat dan Filipina? 2. Bagaimana Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 C. Dasar Hukum
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
The Constitution of the United States
The Constitution of the Republic of the Philippines
Halaman 4 of 21
BAB II PEMBAHASAN A. Mekanisme Impeachment Amerika Serikat dan Filipina Amerika Serikat Amerika
serikat
adalah
negara
Federal
yang
menganut
sistem
pemerintahan presidensil. Meskipun tidak secara tegas disebutkan dalam konstitusi. Namun beberapa pasal dalam konstitusi negara ini mengandung ciri sistem pemerintahan presidensil. Salah satunya adalah Article II, The executive article, Section. 1: “The executive Power shall be vested in a President of the United States of America. He shall hold his Office during the Term of four Years, and, together with the Vice President, chosen for the same Term, be elected, as follows: … “ Impeachment yang dikembangkan oleh Amerika sebenarnya diadopsi dari Inggris sebagai pelopor konsep ini, yakni berawal dari abad 14 saat Parlemen Inggris
meminta
penasehat-penasehat
pertanggungjawabannya.
Impeachment
Raja
mengemuka
untuk
memberikan
dalam
constitutional
convention yang diadakan di Philadelphia, sebelum kemudian diatur dalam Konstitusi.
Ada
beberapa
anjuran
kala
itu
mengenai
prosedur
impeachment sampai kemudian mengerucut pada tiga klausul utama, yakni: 1. House of Representatives sebagai pemegang The sole power of impeachment; 2. Senate sebagai pemegang The sole power to try all impeachments dan no persons shall be convicted without the concurrence of two-thirds of the member presents; serta
Halaman 5 of 21
3. The constitution indicates that the President is to be removed through the impeachment process. Ketiga klausul di atas (dengan beberapa penambahan) kemudian dimasukkan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat, antara lain: Article II; Section 4: “The President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall be removed from Office on Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high Crimes and Misdemeanors” Article I; section 2, clause 5 menyatakan: “The House of Representative … shall have the sole Power of Impeachment” Article I; Section 3, Clause 6 menyatakan: “The Senate shall have the sole Power to try all Impeachments …
And no Person shall be convicted without the
Concurrence of two thirds of the Members present” Dengan demikian, House of Representative dan Senate memegang kekuasaan yang berbeda dalam proses impeachment. Berkenaan dengan pemisahan kedua Congressional branches ini, Hamilton menyatakan: “The separating the two congressional branches in the impeachment procedure ensured that ‘assigning one the right of accusing, to the other the right of judging … guards against the danger of persecution, from the the prevalency of a factious spirit in either of those branches”. Selanjutnya Article I; Section 3, Clause 6 menyatakan: “ …. When the President of the United States is tried, the Chief Justice shall preside: … “ Hal dengan
inilah
yang
membedakan
impeachment
terhadap
Presiden
pejabat-pejabat publik lainnya. Selain ketentuan-ketentuan tersebut
diatas, terdapat beberapa ketentuan lain dalam Konstitusi Amerika yang berkenaan dengan impeachment, antara lain: Article I; Section 3, Clause 7 yang berbunyi: “Judgment in Cases of Impeachment shall not extend further than to removal from Office, and disqualification to hold and enjoy any Office of honor, Trust or Profit under the United States: but the Party convicted shall nevertheless be liable and subject to Indictment, Trial, Judgment and Punishment, according to Law”
Halaman 6 of 21
Article II; Section 2, Clause 1 yang berbunyi: “The President . . . shall have Power to grant Reprieves and Pardons for Offenses against the United States, except in Cases of Impeachment” Article III; Section 2, Clause 3 yang berbunyi: “The Trial of all Crimes, except in Cases of Impeachment, shall be by Jury; . . .” Prosedur impeachment lebih rinci diatur dalam The Jefferson’s Manual and The Rules and Practice of The House of Representatives, yang diadopsi pada tahun 1837 dan Procedures and Guidelines for Impeachment Trials In The United
States
Senate. T.J. Halstead dalam CRS Report for Congress
mengemukakan dua tahapan impeachment, sebagai berikut: 1. The House of Representatives: “Sole Power of Impeachments”
Initiation
Inisiasi dapat diajukan dengan cara:
a member declaring a charge of impeachment on his or her own initiative;
a member presenting a memorial listing charges under oath; or
a member depositing a resolution in the hopper;
Tapi dapat pula diajukan oleh non anggota, misalnya Judicial Conference of the United States dapat mengusulkan House of Representatives untuk mengimpeach seorang federal judge. Pengajuan tersebut kemudian diserahkan kepada komite yang berwenang yakni; The House Committee on the Judiciary dan The House Committee on Rules.
Investigation
Biasanya investigasi dilakukan oleh Judiciary Committee namun tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh komite yang dipilih ataupun komite khusus lainnya. Tugas utama komite ini adalah menetapkan apakah yang bersangkutan benar-benar
telah
melakukan
perbuatan-perbuatan
sebagaimana
diatur dalam Article II, Section 4. Jika berdasarkan suara mayoritas Judiciary Committee menetapkan bahwa terdapat dasar/alasan yang kuat untuk meng-
Halaman 7 of 21
impeach maka komisi ini kemudian memberikan laporan kepada House of Representatives.
House Action Subsequent to Receipt of Committee Report
Laporan yang diserahkan oleh Judiciary Committee tidak mengikat House of Representatives.
Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan voting.
Apabila suara mayoritas mendukung dilakukannya impeachment, maka seorang Manager yang ditunjuk kemudian menyampaikan hal ini kepada Senate.
Notification by the House and Senate Response
Setelah menerima pemberitahuan dari House of Representatives, maka Senate harus pula memberikan pemberitahuan kepada House of Representatives bahwa
Ia
telah
Manager
yang
menerima ditunjuk
laporan kemudian
yang
diberikan
menghadap
oleh
manager.
Senate
sekaligus
menyampaikan pasal-pasal yang diduga dilanggar oleh pihak yang akan diimpeach. Setelah itu, manager memberikan laporan secara lisan kepada House of Representatives.
2. The Senate: “Sole Power to Try All Impeachments”
Trial Preparation in the Senate
Senate kemudian membuat surat panggilan tertulis (a writ of summons) kepada pihak yang di-impeach (respondent) termasuk memberitahukan tanggal persidangan. Pihak yang bersangkutan dapat menghadap seorang diri atau didampingi oleh pengacara (counsel), atau dapat pula memilih untuk tidak hadir. Yang bersangkutan dapat berargumentasi bahwa Ia tidak termasuk pejabat publik yang dapat di-impeach atau bahwa tidak ada dasar/alasan untuknya diimpeach.
Atau Ia dapat memberikan pembelaan atas tuduhan-tuduhan
terhadapnya.
Trial Procedure in the Senate
Dalam proses ini, Senate menerima bukti-bukti dan kesaksian atau dapat pula meminta Pemimpin sidang untuk menunjuk komite senator untuk menyiapkan
Halaman 8 of 21
bukti-bukti dan kesaksian yang diperlukan. Dan berdasarkan Article I, Section 3, Clause 6, Konstitusi Amerika bahwa dalam hal impeachment dilakukan terhadap Presiden, maka The Chief Justice yang memimpin proses ini.
Judgment of the Senate
Setelah menerima argumentasi dari manager dan pengacara/pihak yang diimpeach, Senate kemudian mengadakan rapat tertutup untuk mempertimbangkan. Jika setidaknya 2/3 anggota Senate mendukung, maka pihak yang bersangkutan dinyatakan diberhentikan dari jabatannya.
Filipina Filipina juga adalah salah satu negara yang menganut sistem presidensil, berbentuk Republik. Meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam Konstitusi, namun beberapa pasal dalam konstitusinya mengandung ciri sistem pemerintahan presidensiil. salah satunya adalah Article VII, Executive Department, Section 1: “The executive power shall be vested in the President of the Philippines” Dengan demikian Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Mengenai impeachment, konstitusi negara ini secara limitatif menyebutkan bahwa hanya Presiden dan/atau wakil Presiden, anggota-anggota (hakim) Mahkamah Agung, anggota komisi konstitusi, dan ombudsman yang dapat diberhentikan dalam masa jabatannya melalui impeachment dan apabila dihukum karena
melakukan
perbuatan-perbuatan
tertentu
sebagaimana
diatur
dalam Article XI, Accountability of Public Officers , section 2 Konstitusi Filipina 1987: “The President, the Vice-President, the Members of the Supreme Court, the Members of the Constitutional Commissions, and the Ombudsman may be removed from office, on impeachment for, and conviction of, … ” Pasal ini selanjutnya menyebutkan hal-hal yang menyebabkan pejabat publik tersebut diatas dapat di-impeach dan dihukum, antara lain: “ … culpable
Halaman 9 of 21
violation of the Constitution, treason, bribery, graft and corruption, other high crimes, or betrayal of public trust … ” Sedangkan pejabat-pejabat publik lainnya dapat pula diberhentikan sebagaimana ketentuan yang berlaku, namun tidak melalui impeachment. “ … All other public officers and employees may be removed from office as provided by law, but not by impeachment” Impeachment diajukan oleh House of Representatives sebagai pemegang the exclusive power to initiate all cases of impeachment dan Senate yang memberikan keputusan sebagai pemegang the sole power to try and decide all cases of impeachment. Pengajuan dapat dilakukan oleh sejumlah anggota House of Representatives atau oleh sejumlah warga negara atas persetujuan sejumlah anggota House of Representatives sebagaimana diatur dalam Article XI,
section 3 (2): “A verified complaint for impeachment may be filed by any
Member of the House of Representatives or by any citizen upon a resolution of endorsement by any Member thereof, which shall be included in the Order of Business within ten session days, and referred to the proper Committee within three session days thereafter … ” Setelah pengaduan diterima oleh Komite, selanjutnya pasal ini menjelaskan: “ … The Committee, after hearing, and by a majority vote of all its Members, shall submit its report to the House within sixty session days from such referral, together with the corresponding resolution. The resolution shall be calendared for consideration by the House within ten session days from receipt thereof” Pengaduan ini harus didukung oleh setidaknya 1/3 dari seluruh anggota House of Representatives. Dalam hal ketentuan minimal dukungan ini terpenuhi, maka Senate harus sesegera mungkin melakukan proses pemeriksaan dan memberikan keputusan atas pengaduan tersebut. Berbeda dengan proses impeachment terhadap pejabat publik lainnya, Dalam hal Presiden yang di-impeach, Section 3 (6) menyatakan: “ … When the President of the Philippines is on trial, the Chief Justice of the Supreme Court shall preside, but shall not vote … “
Halaman 10 of 21
Selanjutnya Pasal ini menyatakan: “ … No person shall be convicted without the concurrence of two-thirds of all the Members of the Senate” Dengan demikian pejabat publik yang di-impeach dan dihukum atas dugaan telah melakukan
perbuatan-perbuatan
sebagaimana
diatur
dalam
Section
2
diberhentikan dari jabatannya jika 2/3 dari seluruh anggota Senat menyatakan demikian. Dan berdasarkan Section 3 (5), seorang pejabat publik tidak dapat di-Impeach lebih dari satu kali dalam masa satu tahun, selengkapnya Pasalini berbunyi: “No impeachment proceedings shall be initiated against the same official more than once within a period of one year” Selanjutnya Section 3 (7) menyatakan: “Judgment in cases of impeachment shall not extend further than removal from office and disqualification to hold any office under the Republic of the Philippines, but the party convicted shall nevertheless be liable and subject to prosecution, trial, and punishment according to law” B. Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Impeachment berbeda-beda di setiap negara. Sesuai dengan sistem ketatanegaraan masing-masing dan dipengaruhi oleh latar belakang sejarah yang menghantarnya pada pilihan konsep yang diterapkan saat ini. Di Amerika misalnya, impeachment dapat diajukan terhadap seluruh pejabat publik. Filipina, konstitusinya secara limitatif menyebutkan bahwa yang dapat di-impeach adalah Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota (Hakim) Mahkamah Agung, anggota Komisi Konstitusi, dan ombudsman. Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa yang dapat di-impeach adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden saja. Selengkapnya Pasal ini berbunyi:
Halaman 11 of 21
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dengan demikian ada beberapa alasan yang menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden Indonesia dapat di-impeach, antara lain:
Terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa; pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.
Melakukaan perbuatan tercela.
Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Berdasarkan Pasal 7A diatas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapatnya. Pendapat DPR ini adalah dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkahah Konstitusi ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Paling lama
sembilan puluh hari setelah permintaan DPR diterima,
Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus permintaan tersebut. Dan apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal7A, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada MPR.
Halaman 12 of 21
Paling lama tiga puluh hari sejak usul DPR diterima, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul tersebut. Keputusan MPR diambil dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, dengan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna tersebut. Analisis Terhadap Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil. Hal ini meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun dapat diidentifikasi dari pasal-pasal dalam UUD yang mengandung ciri sistem pemerintahan presidensil. Mekanisme
pemberhentian
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
(impeahcment) sebagaimana diterapkan saat ini ditujukan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia. Karena melalui impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan mudah diturunkan dari jabatannya oleh Parlemen tanpa dasar/alasan yang konstitusional atau sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan, yakni hanya dapat diberhentikan dengan alasan-alasan hukum. Hal ini berbeda dengan mekanisme pemberhentian sebelumnya (pra perubahan), yakni Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan jika pertanggungjawabannya tidak diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Atau dengan kata lain Presiden dan/atau Wakil Presiden kala itu dapat diberhentikan jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan kebijakan-kebijakannya tidak diterima oleh MPR. Mekanisme semacam ini jelas sangat kontradiktif dengan sistem presidensil yang menghendaki terjaminnya stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, mekanisme impeachment
yang
digulirkan
melalui
perubahan
ketiga
Undang-
Halaman 13 of 21
Undang Dasar merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan bahwa: “Secara
konseptual
penerapan
ketentuan
harus
diakui,
meminta
instrumen-instrumen
pertanggungjawaban
“mempersulit”
atau
melakukan
impeachment terhadap Presiden sebagai sesuatu yang sejalan dengan kehendak UUD 1945 untuk membangun suatu pemerintahan yang stabil”. Melalui perubahan ketiga pula, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, Indonesia wajib menjunjung supremasi hukum (supremacy of the law) sebagai salah satu sendi politik bernegara, disamping sendi-sendi lainya. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa dalam negara hukum, yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaran negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip rule of law, and not of man, yang sejalan dengan pengertian nomocracie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum. Dengan demikian dalam paham negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Prof. Bagir Manan dalam bukunya “Teori dan Politik Konstitusi” menyatakan
bahwa
jika
ditinjau
dari
aspek
penegakan
hukum
(law
enforcement), negara hukum menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran. Namun mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment) sebagaimana diterapkan saat ini belum mewujudkan prinsip negara hukum itu sendiri. Impeachment yang diawali dengan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak lagi
Halaman 14 of 21
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah kemudian memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut. Apabila putusan Mahkamah membenarkan pendapat DPR, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat. Dalam tahapan selanjutnya putusan ini dapat saja “dimentahkan” oleh suara mayoritas di MPR. Tidak ada satu pun klausul dalam Konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lain yang mengatur secara
eksplisit kekuatan putusan Mahkamah dalam hal ini. Ditambah lagi dengan masih diberikannya
kesempatan
kepada
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna di MPR. Artinya, putusan hukum dapat saja “dibatalkan” oleh putusan politik. Prinsip negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran seolah dikesampingkan dalam mekanisme impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai Pasal 7B ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bila kita bandingkan dengan negara lain, misalnya Amerika Serikat dan Filipina. Impeachment menjadi mekanisme pemberhentian pejabat publik yang murni secara politik. Di kedua negara ini, sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya, untuk
bahwa
House
of
Representatives
memegang
kekuasaan
meng-impeach (The sole power of impeachment) dan Senate memegang
kekuasaan untuk mengadili (The sole power to try all impeachments). Pemisahan kekuasaan (kewenangan) yang dimiliki oleh kedua lembaga ini dijelaskan oleh Hamilton dalam The Federalist No. 66, menyatakan: “The separating the two congressional branches in the impeachment procedure ensured that ‘assigning one the right of accusing, to the other the right of judging
Halaman 15 of 21
… guards against the danger of persecution, from the the prevalency of a factious spirit in either of those branches”. Dalam proses impeachment terhadap Presiden, Konstitusi kedua negara ini mengharuskan dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung. Keikutsertaan Ketua Mahkamah Agung adalah untuk menjamin bahwa trial atau dapat disebut “proses hukum” yang dilakukan oleh Senate dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dalam tahapan ini dilakukan proses pemeriksaan bukti-bukti dan saksi (evidance and take testimony). Di Indonesia sendiri, proses pemeriksaan bukti-bukti dan saksi (evidance and take testimony) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka memutus pendapat DPR. Dapat dipahami bahwa mekanisme impeachment di Indonesia tidak didesain sebagaimana di Amerika Serikat dan Filipina yang melibatkan dua cabang kekuasaan legislatif (House of Representative dan Senate). Hal ini berkenaan dengan desain ketatanegaraan Indonesia dalam cabang legislatif tidak menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana House of Representatives dan Senate di kedua negara tersebut. Dengan demikian, agar mekanisme impeachment yang ditujukan untuk memperkuat sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjadi salah satu sendi politik bernegara, maka perlu diadakan perubahan terhadap mekanisme ini. Penulis menggagas dua alternatif perubahan yang dapat dilakukan. Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR mempunyai kekuatan mengikat, dalam hal ini mengikat MPR. Sehingga setelah Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang membenarkan pendapat DPR, dengan kata lain dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah terbukti
secara hukum,
MPR
kemudian
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sidang paripurna tanpa memberikan lagi kesempatan kepada keduanya untuk memberikan penjelasan, karena proses ini seharusnya telah termasuk dalam tahapan pemeriksaan di Halaman 16 of 21
Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, putusan hukum tidak lagi dapat “dibatalkan” oleh putusan politik. Prinsip negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatankekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dapat terwujud. Alternatif pertama ini dapat dilaksanakan walaupun tanpa melakukan amandemen terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi dapat pula dikembangkan melalui praktik ketatanegaraan. Kedua adalah mengadopsi mekanisme Amerika dan Filipina, yakni tahapan trial dalam impeachment dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung. Dalam konteks
Indonesia,
dipimpin
oleh
Ketua
Mahkamah
Konstitusi.
Keikutsertaan Ketua Mahkamah Konstitusi dalam proses ini adalah dalam rangka menjalankan tugas lembaga ini sebagai The Guardian of the Constitution, untuk menjamin
agar proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden
dilaksanakan secara konstitusional. Dan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa desain ketatanegaraan Indonesia tidak menempatkan DPR dan DPD sebagaimana House of Representatives dan Senate di kedua negara ini. Dengan demikian, Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan pendapatnya secara langsung kepada MPR sebagai lembaga yang melaksanakan trial (tahapan ini dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi) dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh 2/3 dari jumlah anggota DPR, tanpa melalui tahapan di Mahkamah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR dapat membentuk komite khusus untuk melakukan pemeriksaan bukti-bukti dan saksi. Kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan dalam sidang paripurna MPR. Keputusan MPR diambil dalam sidang paripurna
yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Alternatif kedua ini
mengharuskan dilakukannya amademen terhadap Undang-Undang Dasar karena berkenaan dengan penghapusan wewenang sebuah lembaga yang diberikan oleh UUD itu sendiri, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi {Pasal 7B ayat (4) jo Pasal Halaman 17 of 21
24C ayat (2)}. Selain itu, sebagai lembaga yang melaksanakan trial, MPR harus memiliki Rules of Procedures
(semacam Procedures and Guidelines for
Impeachment Trials In The United States Senate) mengenai impeachment untuk menjamin agar proses ini dilaksanakan dengan berdasar atas dan/atau memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian impeachment di Indonesia menjadi murni putusan politik, namun dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum itu sendiri
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Mekanisme
pemberhentian
(impeahcment) memperkuat
sebagaimana sistem
Presiden diterapkan
pemerintahan
dan/atau saat
presidensil
Wakil
ini
Presiden
ditujukan
yang
dianut
untuk oleh
Indonesia. Karena melalui impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan mudah diturunkan dari jabatannya oleh Parlemen tanpa dasar/alasan yang konstitusional atau sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan, yakni hanya dapat diberhentikan dengan alasan-alasan
Halaman 18 of 21
hukum. Hal ini berbeda dengan mekanisme pemberhentian sebelumnya (pra perubahan), yakni Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan jika pertanggungjawabannya tidak diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Atau dengan kata lain Presiden dan/atau Wakil Presiden kala itu dapat diberhentikan jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan
kebijakan-kebijakannya
tidak
diterima
oleh
MPR. Mekanisme semacam ini jelas sangat kontradiktif dengan sistem presidensiil yang menghendaki terjaminnya stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, mekanisme impeachment yang digulirkan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil. 2. Prinsip negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran seolah dikesampingkan dalam mekanisme impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai Pasal 7B ayat (7) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mekanisme impeachment, putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat. Dalam tahapan selanjutnya putusan ini dapat saja “dimentahkan” oleh suara mayoritas di MPR. Dan tidak ada satu pun klausul dalam Konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lain
yang mengatur secara eksplisit kekuatan putusan Mahkamah dalam hal ini. Ditambah lagi dengan masih diberikannya kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna di MPR. Artinya, putusan hukum dapat saja “dibatalkan” oleh putusan politik. B. Saran Agar mekanisme impeachment yang ditujukan untuk memperkuat sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjadi salah satu sendi politik bernegara, maka perlu diadakan perubahan terhadap mekanisme ini. Perubahan yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi
Halaman 19 of 21
mempunyai kekuatan mengikat, dalam hal ini mengikat MPR. Dengan demikian MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah dugaaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh keduanya telah terbukti secara hukum. Atau meniadakan proses di Mahkamah Konstitusi. Dan Ketua Mahkamah Konstitusi memimpin proses trial di MPR untuk menjamin proses pemberhentian ini dilaksanakan secara konstitusional. Hal ini dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai The Guardian of The Constitution. Alternatif pertama dapat dikembangkan melalui praktik ketatanegaraan. Namun alternatif kedua mengharuskan dilakukannya amandemen terhadap UUD karena berkenaan dengan penghapusan wewenang sebuah lembaga yang diberikan oleh UUD itu sendiri, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi {Pasal 7B ayat (4) jo Pasal 24C ayat (2)}. Selain itu, sebagai lembaga yang melaksanakan trial, MPR harus memiliki Rules of Procedures mengenai impeachment untuk menjamin agar proses ini dilaksanakan dengan berdasar atas dan/atau memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian impeachment di Indonesia menjadi murni putusan politik, namun dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arend Lijphart,
Parliamentary versus Presidential Government,
Oxford
University Press, 1992. A.V. Dicey, The Introduction to the Study of the Law of The Constitution, Mac Millan and Co. Limited, St. Martin’s street, London, 1962.
Halaman 20 of 21
Bagir Manan , Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta, 1999. Bagir Manan , Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2005. Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH-UII PRESS, Yogyakarta, 2004. Carr, Bernstein, and Morrison, American Democracy in Theory and Practice, Holt, Renehart and Winston, New York, 1959. Djuanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antar DPRD dan Kepala Daerah, PT Alumni, Bandung, 2004. E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar, Jakarta, 1962. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Moh. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Universitas Islam Indonesia Press, Yogyakarta, 1993. Sunarjati Hartono , Apakah The Rule of Law Itu?, Alumni, Bandung, 1976
Halaman 21 of 21