Pertanyaan Csr.docx

  • Uploaded by: martoyo
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pertanyaan Csr.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,127
  • Pages: 12
Pertanyaan : Program CSR, Benarkah Hanya Sekedar Publisitas? Jawaban : Bapak/Ibu yang saya hormati, pada dasarnya, CSR harus diawali dengan kesungguhan niat yang murni untuk berbagi. lebih fokus lagi, dalam Islam, CSR dapat berarti pengejawantahan dari rasa syukur kita. oleh karena itu, penting kiranya kita menyelaraskan implementasi di lapangan. Tidak ada yang salah dengan publikasi. Tetapi program yang hanya ditujukan untuk frontal publicity, akan mendatangkan masalah. jika di awal program kita sudah niatkan secara sungguh-sungguh untuk berbagi, insya Allah, pada implementasinya keseriusan itu dapat terjaga. planning dan assessment dapat dilakukan dengan baik, sehingga program dapat menjadi tepat sasaran, yang pada akhirnya dapat melahirkan sebuah bantuan yang tulus ke masyarakat, ataupun sebuah tindakan baik yang nyata bagi lingkungan hidup. Namun, lain halnya jika kita hanya meniatkan program kita untuk publisitas semata. contoh nyatanya, misalnya, kamera wartawan pulang, maka para 'pemberi' itu pun ikut pulang dan tak pernah kembali lagi ke daerah bantuan. di titik ini, dalam konteks Islam, tentu akan dekat dengan Riya'. secara logis, program yang hanya diniatkan untuk publisitas semata, tidak menghasilkan implementasi yang serius. pada akhirnya, outcome yang dihasilkan pun menjadi tidak jelas. alhasil, perusahaan hanya "membuang" dananya secara sia-sia, tanpa ada keterlekatan yang konstruktif dengan stakeholder di sekitarnya.

Dari Mana Sebaiknya Pendanaan CSR? Senin 24 Okt 2011 11:31 WIB Red: Slamet Riyanto    

0 0

Program CSR BNI untuk bantuan sarana pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pertanyaan: Bagi perusahaan, dari manakah sebaiknya pendanaan CSR diambil? Apakah, dari pendapatan sebelum pajak (Earnings Before Tax)? Atau dari pendapatan setelah pajak (Earnings After Tax)? Jawab: Bapak/Ibu yang saya hormati, izinkan saya berpendapat bukan sebagai ekonom ataupun akuntan, namun sebagai pembelajar CSR, baik dari sisi akademik maupun praktis. Berbicara mengenai pendanaan CSR memang kerap menimbulkan polemik dan bahkan perdebatan panjang. Di satu sisi, terdapat pandangan yang 'menuntut' agar CSR dimaknai sebagai investasi perusahaan. Oleh karena itu, CSR haruslah dicadangkan dari pendapatan sebelum pajak. Dengan demikian, diharapkan program CSR dapat berimbas pada pendapatan perusahaan dalam jangka panjang. Tak ada yang salah dengan pandangan tersebut. Namun demikian, pandangan ini menyisakan ruang distorsi dalam pelaksanaannya. Ya, perusahaan yang mencadangkan dana CSR dari pendapatan sebelum pajak kerap menjadikan CSR sebagai 'alasan' untuk mengurangi pajak. Hal ini tentulah merupakan sebuah preseden negatif. Perusahaan justru 'menjebak' dirinya sendiri dalam praktek yang tidak etis jika dipandang dari sisi normatif. Dengan demikian, hal ini justru menjauhkan perusahaan dari semangat dasar CSR itu sendiri yang menjunjung tinggi tanggung jawab secara etika. Lebih jauh lagi, perusahaan dapat terjerembab dalam risiko reputasi pada jangka panjang.

Selain itu, hal ini pun mendorong perusahaan untuk memperlakukan CSR sebagai 'promosi'. Karena pengeluaran yang dilakukan untuk CSR berbuntut pada 'tuntutan' pencapaian / penerimaan dalam jangka pendek. Alhasil, CSR tak ubahnya bagaikan program sales perusahaan. Oleh karena itu, saya cenderung berpendapat bahwa pelaksanaan program CSR akan jauh lebih baik dan lebih 'aman' bagi perusahaan jika dicadangkan dari pendapatan setelah pajak. Sehingga penentuannya pun dihitung berdasarkan keuntungan bersih perusahaan, bukan dari asumsi keuntungan yang akan didapat. Hal ini akan lebih menenangkan bagi perusahaan itu sendiri. Karena bagaimanapun, program CSR memerlukan konsistensi dan komitmen yang jelas. Pendanaan yang diambil dari keuntungan setelah pajak, akan lebih memberikan kepastian bagi keberlangsungan program itu sendiri. Karena batasan dana pun telah ditentukan dengan jelas. Sementara, pencadangan dana yang diambil dari asumsi keuntungan sebelum pajak dapat lebih berisiko. Krisis dapat terjadi kapanpun, yang tentu dapat menjungkirbalikkan seluruh asumsi yang telah dibuat. Dalam keadaan seperti ini, CSR justru membebani perusahaan. Padahal program telah terlanjur dijalankan. Alhasil, program akan sangat berpotensi untuk terbengkalai dan jauh dari semangat sustainability. Di titik ini, pelaksanaan CSR justru menjadi bumerang bagi perusahaan, yang menyebabkan perusahaan terpapar risiko reputasi. Publik kini telah cukup cerdas untuk menilai keseriusan perusahaan dalam 'memberi'. Maka, jika boleh saya berpendapat, akan lebih baik jika kita menjalankan program CSR walaupun dengan dana yang sedikit tetapi dari sumber yang relatif jelas, serta dengan penerapan yang konsisten dan berkesinambungan. Ketimbang memaksakan diri mencadangkan dana CSR dalam jumlah besar, namun didasarkan dari asumsi keuntungan yang dapat berubah kapan pun karena hantaman krisis. Apalagi jika dana besar tersebut hanya dipaksakan demi meraih popularitas semata. Berapa pun nominal dananya, jika kita berfokus pada kualitas program, insya Allah jalinan konstruktif dengan publik akan lebih terbangun

Perusahaan Sekelas Apakah yang Berkewajiban Mengeluarkan Dana CSR Rabu 02 Nov 2011 16:24 WIB Red: Slamet Riyanto    

0 0

Menanam Mangrove, program corporate social responsibility (CSR) sebuah perusahaan operator telepon selular Tanya: Bapak Rizky Wisnoentoro yang terhormat, saya ingin tahu tentang kewajiban CSR dari sebuah perusahaan. Pertanyaannya adalah: 1. Perusahaan kelas apa yang berkewajiban mengeluarkan dana csr. 2. Jika ada perusahaan skala menengah bawah tapi mengekploitasi alam besar-besaran bahkan cenderung merusak misal penggalian pasir, penggalian batu kapur dll, apakah juga wajib mengeluarkan dana csr?" Terimakasih (Suratmi - Depok)

Jawab: Assalamu'alaikum, Ibu Suratmi yang budiman. Terima kasih untuk pertanyaannya yang cerdas. Secara umum, menurut hemat saya, perusahaan seperti yang dicontohkan dalam pertanyaan tersebut wajib melakukan CSR. Lebih lanjut lagi, ada beberapa topik penting dari pertanyaan ini yang dapat kita bedah:

1). "Perusahaan berkewajiban melakukan CSR". Ini adalah poin diskusi yang cukup menarik dan tak akan ada habisnya. Di tataran legal, Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74) mewajibkan perusahaan di Indonesia untuk melakukan CSR. Lebih khususlagi, dalam ayat 1 Undang Undang tersebut, disebutkan bahwa perseroanyang menjalankan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengansumberdaya alam, dikenai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan. Dalam pertanyaan dicontohkan perusahaan yang aktivitasnya melakukan penggalian pasir, batu kapur, dll. Menurut Undang-Undang, mereka wajib untuk melakukan CSR. Nah, permasalahannya kemudian adalah, "lalu bagaimana dengan yang lain? Apakah CSR hanya terbatas untuk perusahaan yang terkait sumberdaya alam saja?" Di titik ini, kita tidak dapat hanya bersandar pada undang-undang semata. Marilah kita berpijak pada urgensi dan manfaat dari CSR itu sendiri. Seperti pernah didiskusikan sebelumnya, tanpa harus diwajibkan pun, pada dasarnya perusahaan membutuhkan CSR. Mereka yang telah sadar akan pentingnya reputasi tak akan lagi berpikir untuk menjalankan CSR sebatas untuk memenuhi peraturan. Karena salah satu manfaat utama dari CSR ialah bahwa ia berpotensi untuk menjadi solusi bagi permasalahan yang kerap terjadi dalam hubungan antara perusahaan dengan publiknya: ketidakmampuan untuk saling memahami dan menerima. Permasalahan ini mengakibatkan macetnya relung interaksi antara perusahaan dengan publiknya. Alhasil, terjadi segregasi yang ditandai oleh penolakan publik. Di titik inilah CSR berperan menjadi jembatan antara perusahaan dengan stakeholder di sekitarnya. Penerapan program yang baik akan menimbulkan keterkaitan yang konstruktif antara perusahaan dengan lingkungan. Hal ini dapat menjadi trigger bagi publik untuk memiliki persepsi yang baik terhadap perusahaan. Dengan demikian, emotional appeal dari publik akan mengarah pada pembangunan reputasi yang baik terhadap perusahaan itu sendiri. Sebaliknya, publik pun mendapat bantuan yang 'sincere' atau tulus dari perusahaan. Nah, di sinilah uniknya CSR. Publik kini cukup cerdas untuk menyeleksi program-program artifisial yang hanya mengharap pamrih semata. Ketidakseriusan dalam menggarap program CSR justru akan melahirkan resistensi masyarakat. Apalagi jika perusahaan dinilai tidak transparan, atau justru program tersebut malah merusak tatanan pranata sosial maupun lingkungan yang ada. Alih-alih mendapatkan nama baik, perusahaan justru harus menelan pil pahit dari programnya itu. Alhasil, dana pun terbuang mubazir tanpa membawa manfaat dan maslahat. 2) "Perusahaan dalam kelas apa yang wajib ber CSR?". Ini satu lagi poin cerdas dari pertanyaan ini. Dalam pemahaman saya, tidak ada batasan yang rigid mengenai perusahaan di kelas apakah yang harus ber CSR. Tetapi kalau kita melihat esensi pada poin pertama di atas, seyogianya setiap perusahaan yang telah memiliki laba, menerapkan program CSR. Nah, di titik ini marilah kita sedikit menerawang lebih luas, bahwa program CSR tidak melulu hanya ditujukan pada publik eksternal dari perusahaan. Lingkungan internal pun perlu mendapat perhatian. Pelayanan child care untuk karyawati yang menyusui, misalnya, dapat menjadi sebuah contoh sederhana untuk program CSR secara internal. Program motivasi karyawan untuk bekerja sesuai dengan rambu-rambu etis, dalam konteks tertentu juga dapat dijadikan sebagai

alternatif program CSR. Atau, kampanye 'go green' di dalam lingkungan kantor, dapat pula menjadi alternatif program CSR. Dengan demikian, semestinya tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak ber CSR. Perusahaan dengan laba yang masih terbilang minim, misalnya, dapat memulai dengan program kreatif yang sederhana tetapi serius. Menurut hemat saya, terlepas dari besar kecilnya dana, tantangan yang terpenting adalah komitmen dalam menggarap program itu sendiri. Sehingga, tak tertutup kemungkinan bahwa program dengan dana terbatas pun dapat menghasilkan kualitas lebih baik dibandingkan program dengan kucuran dana besar tetapi tidak dilakukan dengan monitoring yang serius. 3) "Perusahaan yang mengeksploitasi & merusak". Nah, izinkan saya untuk berpendapat bahwa perusahaan yang semacam ini tak hanya wajib melakukan CSR, tetapi justru wajib untuk melakukan introspeksi diri atas praktek bisnis yang mereka lakukan. Karena praktek seperti ini justru menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan untuk terancam oleh berbagai bentuk risiko, termasuk risiko reputasi. Dalam pemahaman saya, perusahaan yang baik boleh jadi mementingkan proses memproduksi barang / jasa, lalu mendapatkan keuntungan dari produksinya itu. Namun perusahaan yang bajik akan melakukan lebih dari itu. Mereka tidak hanya sekedar meraih laba, tetapi juga menunjukkan komitmen yang baik terhadap stakeholder di sekitarnya, internal maupun eksternal, serta lingkungan hidup tempat mereka berdiam. Saya angkat topi terhadap perusahaan seperti ini. Mereka tidak hanya mementingkan profit jangka pendek, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk melanjutkan usahanya di jangka panjang. Perusahaan seperti ini telah menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan bangunan sosial yang ada di daerah tersebut. Dengan memberikan perhatian serius pada lingkungan, maka berarti mereka telah melakukan investasi terpenting bagi keberlangsungan bisnis ke depan. Ketika mereka berbagi pada lingkungan internal, akan tumbuh 'admiration' dari karyawan. Di saat krisis, justru hal ini akan menolong perusahaan. Karyawan yang kagum dan loyal dengan perusahaannya, tentu tak akan sungkan untuk membela nama baik dari tempatnya mencari nafkah hidup. Demikian pula dengan lingkungan sosial di luar perusahaan. Pemberian dan pendampingan yang tulus dari perusahaan merepresentasikan wujud syukur serta rasa terima kasih perusahaan setelah mendapat rejeki. Publik yang menerima program yang tulus tersebut tentu tak akan sungkan untuk menerima kehadiran dari perusahaan tersebut. Bahkan tak jarang, justru mereka membantu kebutuhan perusahaan. Sebaliknya, perusahaan yang dinilai 'arogan', atau bahkan merusak, justru berpotensi untuk menerima penolakan publik. Oleh karena itu, menurut hemat saya, bertanggung jawab secara ekonomi ataupun hukum (legal) tidaklah cukup bagi perusahaan. Dengan kata lain, saat ini kualitas perusahaan tak hanya dinilai dari sekedar kemampuannya menggaji karyawan serta taat hukum semata. Lebih dari itu, kualitas perusahaan akan diuji dari kebajikannya dalam menerapkan praktek bisnis yang etis dan menunjukkan kecintaan pada sesama manusia serta pada lingkungan tempatnya berdiam.

Apa yang dituju dari CSR?



Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (tengah) memberi penghargaan kepada Bupati Wakatobi Hugua (kiri) disaksikan Pendiri La Tofi School of Corporate Social Responsibility (CSR) La Tofi (kanan) dalam Indonesia Green Awards 2011 di Jakarta, Rabu (28/9). Foto: Antara/Rosa Panggabean Pertanyaan : Sebenarnya apa sih yang dituju dari CSR itu? Jawaban : Sebaiknya, dalam program yang berorientasi pada "human", bantuan diberikan dengan tujuan untuk menolong masyarakat sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. oleh karena itu, bantuan yang diberikan bukanlah "ikannya", melainkan "kail"nya. Pada titik tertentu, seyogianya ditentukan sebuah momen terminasi yang jelas, yakni ketika masyarakat yang kita bantu telah dapat berdiri sendiri. Dengan kata lain, tidaklah bijak jika kita membuahkan program yang melahirkan ketergantungan. Hal ini tidak akan berdampak positif bagi masyarakat itu sendiri, maupun bagi perusahaan dalam jangka panjang. Sementara untuk program berwawasan lingkungan, tentunya juga harus memiliki semangat sustainable development, berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan, tidak hanya 'memperbaiki lingkungan' untuk sesaat saja. Kelemahan Pengelolaan Program CSR Super Admin, 27-08-2016 13:13:55 - Rubrik AddThis Sharing Buttons Share to Google Bookmark Share to FacebookShare to TwitterShare to PrintShare to More Oleh karena itu, perlunya setiap entrepeneur berfikiran strategic, (Foto: Istimewa) Kegiatan atau program Corporate Social Responsibility yang sudah sering didengar oleh para entrepeneur menuntut totalitas dalam pengelolannya karena hal ini berhubungan dengan aktivitas bisnis yang relevan denga program ini. tidak ada pengecualian ketika setiap entrepreneur sudah mencanangkan program CSR untuk perusahaan mereka dan harus mencapai tujuannya dengan efektif dan efisien.

Akan tetapi, seringkali terjadi masalah yang ada dalam program ini sehingga tujuan yang sudah direncanakan dan ditargetkan, akan tetapi tidak bisa memberikan value atau benefit bagi setiap entrepeneur itu sendiri. jadi, terkesan bahwa program CSR hanya sebuah kegiatna yang tidak memberikan dampak yang signfikan kepada para entrepeneur dan juga bisnis mereka.

Padahal, kalau bisa dikeloa dengan baik, akan berdampak positif bagi mereka dan akan menjadi bagian dari strategi bisnis para entrepeneur. inilah yang perlu diperhatikan agar bisa memberikan value yang optimal bagi perusahaan saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu, pengelolaan program CSR harus menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk mencapai tujuan ditengah perubahan lingkungan bisnis yang begitu cepat.

Oleh karena itu, perlunya setiap entrepeneur berfikiran strategic, membuat keputusan strategic serta membuat program yang bersifat strategic dalam kerangka bisnis dan program CSR itu sendiri. penting bagi para entrepeneur untuk concern dengan aspek-aspek yang bersifat stratejik tersebut.

Inilah yang menjadi kelemahan para entrepeneur ketika mereka gagal dalam memposisikan program CSR sebagai bagian dari strategi perusahaan mereka dan membuat program tersebut menjadi sia-sia. Tuntutan untuk lebih mempertajam dan mendalami program itu akan menjadi key success factor entrepeneur dalam menjalankan program CSR

Di Indonesia, CSR dalam perusahaan diatur dalam pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Dalam pasal ini diatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun Perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Namun berdasarkan ketentuan tersebut, hanya perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam yang wajib melakukan CSR. Berikut kutipan lengkap pasal 47 UUPT :

1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Munculnya ayat ini menimbulkan perdebatan yang cukup menarik baik diantara para akademisi, pengusaha maupun dari masyarakat. Banyak kalangan yang menilai bahwa pengaturan CSR ini terkesan dipaksakan. Akibatnya banyak pengusaha maupun masyarakat yang belum mengerti mengenai konsep CSR ini, terlebih lagi konsep CSR ini merupakan konsep yang berasal dari negara maju sehingga tentu memerlukan penyesuaian dengan kondisi di Indonesia. Hal lain yang menjadi perdebatan dalam hal CSR ini adalah mengenai stakeholder dari CSR itu sendiri. Dalam UUPT ini stakeholders atau pemangku kepentingan hanya berkofus pada masyarakat lokal dan lingkungan saja. Padahal stakeholder dari CSR tidak hanya masyarakat lokal dan lingkungan, tetapi juga melingkupi konsumen dan karyawan perusahaan itu sendiri. Namun terlepas dari perdebatan tersebut, konsep CSR di Indonesia perlu disyukuri karena sejak diaturnya CSR dalam UUPT ini, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR. Dengan diaturnya CSR dalam UUPT ini, maka CSR itu sendiri bukanlah suatu hal yang merupakan suatu kewajiban moral tetapi sudah menjadi kewajiban hukum, terlebih dengan adanya sanksi bagi perusahaan yang telah diwajibkan untuk melaksanakan CSR namun pada kenyataanya tidak melaksanakan. Lalu bagaimana dengan perusahaan yang tidak diwajibkan untuk melakukan CSR, apa yang dapat menarik perusahaan tersebut untuk tetap melaksanakan CSR meskipun tidak diwajibkan oleh hukum. Salah satu hal yang menjadi tantangan untuk membuat perusahaan yang tidak diwajibkan untuk melakukan CSR untuk melakukan CSR adalah mengenai biaya. Sebuah kegiatan CSR sudah barang tentu memerlukan biaya. Misalkan salah satu bentuk CSR adalah pembangunan jalan, pembangunan sekolah-sekolah, dan lain-lain. Sudah barang tentu pembangunan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terkait dengan tujuan perusahaan yang mencari keuntungan, maka secara logika tidak ada alasan bagi perusahaan-perusahaan selain dari yang diwajibkan oleh UUPT untuk melakukan CSR. Jika perusahaan tersebut belum mencapai keuntungan yang dirasa cukup besar, maka secara logika perusahaan tersebut tidak akan melaksanakan CSR yang akan mengurangi keuntungan mereka. Namun dibalik biaya, ternyata terdapat beberapa hal positif yang bisa didapat secara tidak langsung oleh perusahaan yang melaksanakan CSR. Berikut adalah beberapa keuntungan tersebut : 1.

Pengurangan dalam pajak penghasilan

Dalam pasal 5 ayat 2 Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas (PP No 47/2012) yang merupakan peraturan pelaksana dari UUPT tersebut disebutkan bahwa “realisasi anggaran untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilaksanakan oleh perseroan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan”. Dengan dimasukannya biaya CSR sebagai biaya perseroan, maka beban pajak yang dikenakan terhadap penghasilan perusahaanpun semakin kecil. 2.

Sebagai sarana untuk meredam konflik dengan masyarakat

CSR dapat menjadi salah satu sarana untuk meredam konflik dengan masyarakat. Disadari atau tidak perusahaan yang melakukan CSR memiliki hubungan yang lebih baik dengan penerima manfaat dari CSR tersebut dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan CSR. Dapat dibayangkan apabila sebuah perusahaan membangun sekolah ataupun puskesmas sebagai bentuk CSR nya, maka perusahaan tersebut memiliki hubungan yang lebih baik dengan warga sekitar. Dengan suatu hubungan yang baik, maka kemungkinan terjadinya

konflik antara masyarakat dengan perusahaan dapat diminimalisir. Akan menjadi suatu kerugian yang besar bagi perusahaan itu sendiri apabila perusahaan memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. 3.

Sebagai sarana untuk meredam konflik dengan karyawan perusahaan

CSR yang dilakukan perusahaan juga dapat membuat semakin baiknya hubungan antara perusahaan dengan karyawannya. Misalkan perusahaan membangun puskesmas sebagai bentuk CSR dimana seluruh karyawan termasuk keluarganya dibebaskan dari biaya apabila berobat ke puskesmas tersebut. Dengan adanya kegiatan tersebut maka hubungan antara karyawan dengan perusahaan akan semakin baik, begitu pula dengan meningkatnya tingkat kesehatan dari para karyawan dapat membuat peningkatan efektifitas perusahaan karena semakin sedikitnya karyawan yang tidak masuk akibat sakit. 4.

Mendapat penghargaan dari instansi yang berwenang

Dalam pasal 8 ayat 2 PP No 47/2012 disebutkan bahwa “perseroan yang telah berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghargaan misalnya fasilitas atau bentuk penghargaan lainnya. Memang belum jelas apa yang dimaksud dengan fasilitas tersebut, namun terdapat banyak wacana yang mengusulkan untuk memberikan pengurangan langsung terhadap pajak bagi perusahaan yang malakukan CSR. Hal ini dirasakan akan menjadi suatu ransangan bagi perusahaan-perusahaan lain untuk melaksanakan CSR. 5.

Peningkatan nama baik/ citra perusahaan

CSR dapat menjadi salah satu sarana bagi perusahaan untuk meningkatkan nama baiknya. Sebagai contoh, salah satu perusahaan rokok yang memberikan beasiswa dengan jumlah yang cukup besar bagi siswa-siswi yang berprestasi namun tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan. Dengan adanya CSR tersebut, masyarakat mulai bisa menerima perusahaan tersebut meskipun mereka tetap menyadari bahwa rokok yang diproduksi oleh perusahaan tersebut menimbulkan efek negatif. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa hal ini hanyalah siasat perusahaan untuk menutupi efek negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut namun dibalik hal tersebut efek positif akibat CSR tetap dirasakan oleh para stakeholders. Hal inilah yang menimbulkan meningkatnya citra perusahaan dimata masyarakat. Hal-hal tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan yang tidak diwajibkan melakukan CSR untuk melakukan CSR. Memang diperlukan biaya untuk pelaksanaan CSR, namun terdapat berbagai keuntungan secara tidak langsung yang diperoleh oleh perusahaan.

Related Documents

Pertanyaan Hiv.docx
April 2020 43
Pertanyaan Etik.docx
June 2020 30
Pertanyaan Wawancara.docx
November 2019 45
Pertanyaan Akmen.docx
November 2019 30
Pertanyaan Ham.docx
December 2019 26
Pertanyaan Csr.docx
August 2019 36

More Documents from "martoyo"

Pertanyaan Csr.docx
August 2019 36
Pathway Pnc.docx
October 2019 35