Perspektif Epilepsi Kejang dan Epilepsi bukan merupakan suatu hal yang sama. Kejang epileptikus adalah munculan sementara tanda dan atau gejala diakibatkan aktivitas abnormal neuronal yang bersamaan atau berlebihan di otak. Epilepsi adalah penyakit yang ditandai dengan predisposisi terus menerus kejang epileptikus umum serta oleh penyebab neurobiologis, kognitif, psikologis dan konsekuensi sosial dari kondisi tersebut. Singkatnya, kejang adalah sebuah peristiwa sedangkan epilepsi adalah penyakit yang melibatkan kejang terus menerus tanpa stimulasi. (1)
Dampak psikososial epilepsi telah pernah diteliti, dimana penderita epilepsi menyatakan dampak signifikan dari penyakit serta pengobatan penyakit ini, dengan ditemukannya keluarga yang tidak harmonis, rasa percaya diri yang rendah dan penurunan kesempatan kerja serta peningkatan kadar ansietas dan depresi. Masalah utama dari keadaan tersebut adalah mudahnya pemberian stigma pada penderita epilepsi, dimana stigma negatif serta diskriminasi yang diterima hanya berdasarkan penyakit epilepsi yang diderita. (2) Banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan lingkungan penuh stigma bagi pasien epilepsi serta distress psikologis yang muncul sebagai akibatnya. Konsep stigma itu sendiri digambarkan sebagai “ keadaan yang sangat merendahkan “ dan potensial untuk berujung kepada munculnya psikopatologi pada pasien epilepsi. (2) Walaupun stigma mempunyai konsep yang universal berdasarkan budaya tertentu, stigma sejatinya adalah konsep yang luas dan beragam, tergantung keadaan yang berhubungan serta berkaitan pula dengan sejarah, norma sosial, bahkan bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tersebut. Menurut Desjarlais et al tahun 1995 masih ditemukan adanya kesalahpahaman, diskriminasi, serta stigma sosial yang negatif terhadap penderita epilepsi pada beberapa negara. (3,4) Pada penelitian yang dilakukan Doughty et al tahun 2003 di 10 negara Eropa, didapatkan lebih dari setengah respondens dari Epilepsy Stigma Scale tidak merasa mendapatkan stigma negatif karena menderita penyakit epilepsi dan 17% respondens lainnya merasa telah mendapat stigma negatif. Terdapat perbedaan signifikan mengenai stigma pada penderita epilepsi antar 10 negara tersebut dimana 27% respondens di Belanda dan 31 % respondens Spanyol merasa tidak mendapatkan stigma negatif, sedangkan 56% respondens Polandia dan 62% respondens Perancis merasa memperoleh stigma negatif. (5) Studi lintas budaya di Eropa menunjukan adanya perbedaan signifikan respondens yang merasa mendapat stigma negatif akibat penderita epilepsi di berbagai negara di Eropa. (5)
Telah diperkirakan akan ada perbedaan stigma yang lebih besar antara negara barat dan negara Asia menurut studi cross-cultural. Pada berbagai penelitian stigma sosial atau perilaku publik terhadap penderita epilepsi di Asia, 56-57% koresponden masyarakat terhadap survey epilepsi keberatan anak-anak mereka bermain dengan anak yang menderita epilepsi, 86% korespondensi masyarakat mengira penderita epilepsi tidak dapat bekerja seperti orang yang sehat, dan 71-86% korespondensi masyarakat keberatan anak-anak mereka menikah dengan orang yang terkadang mengalami kejang. (3) Souza et al pada tahun 2018 melakukan penelitian di Brazil mengenai stigma sosial yang dirasakan penderita epilepsy didapatkan hasil 18% dari 50 pasien penderita epilepsi diketahui sudah bekerja, 58% tidak bekerja, dan 32% diberhentikan dari pekerjaannya karena menderita epilepsi. Dari 18% penderita epilepsi yang diketahui sudah bekerja, 38% tidak memberitaukan kondisinya kepada rekan kerjanya akibat merasa malu dan 20 penderita epilepsi dilaporkan mengalami depresi yang membutuhkan pengobatan. (6) Di Indonesia, pada penelitian yang dilakukan Mahalini dan Widodo tahun 2011, Dari 40 orangtua penderita epilepsi yang diniliai mengalami dampak psikopatologis dengan SCL90, sebagian besar mengalami somatisasi, diikuti depresi, kecemasan, obsesif kompulsif, fobia, psikosis, paranoid, dan gangguan interaksi sosial. Gangguan ini lebih banyak terjadi, pada orangtua dari anak yang menderita epilepsi dengan durasi kurang dari tiga bulan. (7) Stigma epilepsi dapat memberikan efek negatif terhadap identitas sosial bagi penderita terutama di negara negara miskin. Teori stigma hampir sama dengan penyakit kronis spesifik. Stigma pada epilepsi terjadi karena pada epilepsi terjadi serangan kejang yang berulang ulang tanpa ada provokasi sehingga sulit ditentukan kapan serangan terjadi, dimana tidak bisa menghindari waktu maupun tempat ketika serangan terjadi. Stigma epilepsi menyebabkan terjadinya peningkatan psikopatologi baik terhadap penderita maupun orang tua dan lingkungan di sekitarnya, sehingga dapat menyebabkan berkurangnya interaksi sosial pada penderita epilepsi dan keluarganya. (7)
1. Fisher SR. 2014. The 2014 Definition of Epilepsy : A perspective for patients and caregivers. International League Against Epilepsy. 2. Baker GA, Brook J, Buck D, Jacoby A. 2000. The stigma of epilepsy: a European prespective. Lipincott Williams & Willkins: Epilepsia, 41(1):98-104.
3. Lim KS, Tan CT. 2014. Epilepsy stigma in Asia: the meaning and impact of stigma. Neurology Asia 2014; 19(1): 1-10 4. Desjarlais R, Eisenberg L, Good B, Kleinman A. 1995. World mental health: Problems and priorities in low-income countries. New York: Oxford university Press, Inc. 5. Doughty J, Baker GA, Jacoby A, Lavaud V. 2003. Cross-cultural differences in levels of knowledge about epilepsy. Lipincott Williams & Willkins: Epilepsia, 44(1):115–123 6. de Souza JL, Faiola AS, Miziara CSMG, de Manreza MLG. 2018. The perceived social stigma of people with epilepsy with regard to the question of employability. Hindawi: Neurological Research International 2018 (10): 1155.
7. Mahalini
DS, Widodo DP. 2011. Stigma epilepsi : dampak psikopatologis pada orangtua dari anak dengan epilepsi. Paediatrica Indonesiana 2011(51): hal 50.