PERSILANGAN DIHIBRID
Oleh : Nama NIM Rombongan Kelompok Asisten
: Hastya Tri Andini : B1A017081 : IV :B : Dyah Retno Annisa
LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2018
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Table 1. Hasil Perolehan F2 Drosophila Hasil
Rombongan IV
Wild
Taxy
Ebony
Taxy Ebony
0
1
0
0
Tabel 2. Perhitungan Uji Chi Square O (Hasil)
E (Harapan)
(𝑶 − 𝑬)𝟐 𝑬
Wild
0
0.5625
0.5625
Ebony
1
0.1875
3.52083
Taxy
0
0.1875
0.1875
Ebony taxy
0
0.0625
0.0625
Total
1
1
4.33
Kelas Fenotipe
Perhitungan: Nisbah dihibrid F2 → 9:3:3:1 9
Ewild
= 16 𝑥1 = 0.5625
Etaxy
= 16 𝑥1 = 0.1875
Eebony
= 16 𝑥1 = 0.1875
Etaxy ebony
= 16 𝑥1 = 0.0625
3 3 1
Perhitungan Xhit2 : (0−0.5625)2
Wild
=
Taxy
=
Ebony
=
Taxy ebony
=
Xhit2 total
= 0.5625 + 3.52083 + 0.1875 + 0.0625
0.5625 (1−0.1875)2 0.1875 (0−0.1875)2 0.1875 (0−0.0625)2 0.0625
≈ 4.33 db
= n-1
= 0.5625 = 3.52083 = 0.1875 = 0.0625
= 4-1 =3 Xtab
= 7.81
Xhit2 total ≤ Xtab → diterima Keterangan: n = jumlah fenotip
B. Pembahasan Persilangan dihibrid adalah persilangan antara individu untuk 2 gen yang berbeda. Eksperimen Mendel dengan bentuk biji dan warna ercis adalah sebuah contoh dari persilangan dihibrid. Metode Punnett kuadrat menentukan rasio fenotipe dan genotipenya. Metode ini pada dasarnya sama dengan persilangan monohibrid. Perbedaan utamanya ialah masing – masing gamet sekarang memiliki 1 alel dengan 1 atau 2 gen yang berbeda (Johnson, 1983). Hukum Mendel II yaitu pengelompokan gen secara bebas berlaku ketika pembuatan gamet. Gen sealel secara bebas pergi ke masing-masing kutub meiosis. Pembuktian hukum ini dipakai pada dihibrid atau polihibrid, yaitu persilangan dari dua individu yang memiliki dua atau lebih karakter yang berbeda. Hukum ini juga disebut hukum Asortasi. Persilangan dihibrid yaitu persilangan dengan dua sifat beda sangat berhubungan dengan hukum Mendel II yang berbunyi “Independent assortment of genes”. Atau pengelompokan gen secara bebas. Ratio fenotipe klasik yang dihasilkan dari perkawinan dihibrid adalah 9:3:3:1. Ratio ini diperoleh oleh alel-alel pada kedua lokus memperlihatkan hubungan dominan dan resesif. Ratio ini dapat dimodifikasi jika atau kedua lokus mempunyai alel-alel dominan dan alel lethal (Crowder,1999). Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1 disebabkan oleh peristiwa yang dinamakan epistasis, yaitu penutupan ekspresi suatu gen nonalelik. Jadi, dalam hal ini suatu gen bersifat dominan terhadap gen lain yang bukan alelnya. Ada beberapa macam epistasis, masing-masing menghasilkan nisbah fenotip yang berbeda pada generasi F2, yaitu epistasis resesif, epistasis dominan, epistasis resesif ganda, epistasis dominan ganda, dan epistasis dominan resesif (Susanto, 2011). Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif menutupi ekspresi gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini, pada generasi F2 akan diperoleh nisbah fenotipe 9 : 3 : 4. Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu mencit (Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik yang mengatur warna bulu pada mencit, yaitu gen A menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a menyebabkan bulu berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan gen c menyebabkan tidak ada pigmentasi. Persilangan antara mencit berbulu kelabu (AACC) dan albino (aacc) dapat digambarkan seperti pada diagram berikut ini (Susanto, 2011).
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi gen oleh suatu gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe pada generasi F2 dengan adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1. Epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada pewarisan warna buah waluh besar (Cucurbita pepo). Dalam hal ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah berwarna kuning dan alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu, ada gen W yang menghalangi pigmentasi dan w yang tidak menghalangi pigmentasi. Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I, epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis resesif ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada generasi F2 (Crowder, 1999). Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi F2. Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2. Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu ayam ras. Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan interaksi gen (Iskandar, 1987). Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W. Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka mengamati pola pewarisan bentuk jengger ayam. Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam berjengger kacang menghasilkan keturunan dengan bentuk jengger yang sama sekali berbeda dengan bentuk jengger kedua tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki jengger berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh generasi F2 dengan nisbah fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal = 9 : 3 : 3 : 1. Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas fenotipe yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk jengger tunggal. Munculnya fenotipe ini, dan
juga fenotipe walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen nonalelik yang berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe. Kedua pasang gen tersebut masing-masing ditunjukkan oleh fenotipe mawar dan fenotipe kacang (Johnson, 1983). Pada praktikum persilangan dihibrid ini digunakan lalat Drosophila melanogaster tipe ebony dan tipe taxy. Lalat Drosophila karakteristik mata berwarna merah, sayap normal,
ebony memiliki
tubuh berwarna hitam
dikarenakan adanya suatu mutasi pada gen yang terletak pada kromosom ketiga. Secara normal fungsi gen tersebut berfungsi untuk membangun pigmen yang memberi warna pada lalat buah normal. Namun karena mengalami kerusakan maka pigmen hitam menumpuk di seluruh tubuh. Lalat taxy merupakan mutan dengan sayap yang terentang, baik ketika terbang maupun hinggap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 91,0. (Crowder, 1999). Diagram persilangan dihibrid antara lalat tipe ebony dan tipe taxy adalah sebagai berikut: P:
eeTT
x
EEtt
(Eboni) Gamet:
(Taxy)
e,T
E,t
F1:
EeTt
Genotip:
100%
Fenotip:
100% liar
Persilangan antar sesama F1 EeTt
x
EeTt
(Liar)
(Liar)
T , t , E, e F2 :
T , t , E, e
TTEE : TTEe : TTee : TeEE : TtEe : Ttee : ttEE : ttEe : ttee
Genotip:
1
:
Fenotip:
liar 9 :
2
:
1
:
2
:
4
:
2 :
1
:
2
: 1
: taxy : ebony : ebony-taxy 3
:
3
:
1
Dari persilangan yang dilakukan didapatkan F2 sebanyak 1 ekor lalat taxy dimana rasio fenotipnya menjadi 0:1:0:0. Hal tersebut tidak sesuai rasio atau nisbah teoris yang seharusnya adalah 9:3:3:1 maka digunakan uji Chi-Square untuk menetahui apakah hasil persilangan memenuhi syarat atau tidak dengan ketelitian 0,05 didapatkan X2 Hitung yaitu 4,33 sedangkan Xtabel yaitu 7,81 . Xhitung < Xtabel
maka, hasil dari perhitungan uji chi-square diterima. Persilangan memenuhi nisbah mendel. Faktor-faktor yang mempengaruuhi keberhasilan persilangan dihibrid adalah: 1. Suhu Lingkungan Drosophila melanogaster mengalami siklus selama 8-11 hari dalam kondisi ideal. Kondisi ideal yang dimaksud adalah suhu sekitar 25-28°C. Pada suhu ini lalat akan mengalami satu putaran siklus secara optimal. Sedangkan pada suhu rendah atau sekitar 180C, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan siklus hidupnya relatif lebih lama dan lambat yaitu sekitar 18-20 hari. Pada suhu 30°C, lalat dewasa yang tumbuh akan steril. 2. Ketersediaan Media Makanan Jumlah telur Drosophila melanogaster yang dikeluarkan akan menurun apabila kekurangan makanan. Lalat buah dewasa yang kekurangan makanan akan menghasilkan larva berukuran kecil. Larva ini mampu membentuk pupa berukuran kecil, namun sering kali gagal berkembang menjadi individu dewasa. Beberapa dapat menjadi dewasa yang hanya dapat menghasilkan sedikit telur. Viabilitas dari telurtelur ini juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah makanan yang dimakan oleh larva betina (Shorrocks, 1972). 3. Tingkat Kepadatan Botol Pemeliharaan Botol medium sebaiknya diisi dengan medium buah yang cukup dan tidak terlalu padat. Selain itu, lalat buah yang dikembangbiakan di dalam botol pun sebaiknya tidak terlalu banyak, cukup beberapa pasang saja. Pada Drosophila melanogaster dengan kondisi ideal dimana tersedia cukup ruang (tidak terlalu padat) individu dewasa dapat hidup sampai kurang lebih 40 hari. Namun apabila kondisi botol medium terlalu padat akan menyebabkan menurunnya produksi telur dan meningkatnya jumlah kematian pada individu dewasa. 4. Intensitas Cahaya Drosophila melanogaster lebih menyukai cahaya remang-remang dan akan mengalami pertumbuhan yang lambat selama berada di tempat yang gelap. Demikian beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan praktikum kali ini, sehingga menyebabkan kelompok kami tidak bisa melanjutkan praktikum hingga perhitungan chi square, untuk membuktikan tentang perbandingan fenotip 3:1 untuk monohibrid seperti yang di utarakan mendel.
DAFTAR PUSTAKA Crowder, L.V., 2006. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Johnson, L.G. 1983. Genetika. Erlangga, Jakarta. Susanto, A. H., 2011. Buku Teks Genetika. Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman Press.