BAB I Pendahuluan Persepsi dalam Psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat psikologis yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan sesuatu objek yang ada di lingkungannya. Menurut Scheerer persepsi adalah representasi phenomenal tentang objek distal sebagai hasil dari pengorganisasian dari objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan proksinal (Salam; 1994). Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau stimulus yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis). Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat mengalami persepsi (proses psikologis). Psikologi kontemporer menyebutkan persepsi secara umum diperlukan sebagai satu variabel campur tangan (intervening variabel), bergantung pada faktor-faktor motivasional. Artinya suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun oleh faktor-faktor organisme. Dengan alasan sedemikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda, karena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek-aspek situasi tadi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya (Chaplin, J.P; 1999). Proses pemaknaan yang bersifat psikologis sangat dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. Sarwono mengemukakan bahwa persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan cara berpikir serta keadaan perasaan atau minat tiap-tiap orang sehingga persepsi seringkali dipandang bersifat subjektif. Karena itu tidak mengherankan jika seringkali terjadi perbedaan paham yang disebabkan oleh perbedaan persepsi antara 2 orang terhadap 1 objek. Persepsi tidak sekedar pengenalan atau pemahaman tetapi juga evaluasi bahkan persepsi juga bersifat inferensional. Sabri
(1993)
mendefinisikan
persepsi
sebagai
aktivitas
yang
memungkinkan manusia mengendalikan rangsangan-rangsangan yang sampai kepadanya
melalui
alat
inderanya,
menjadikannya
kemampuan
itulah
dimungkinkan individu mengenali milleu (lingkungan pergaulan) hidupnya. Proses persepsi terdiri dari tiga tahap yaitu tahapan pertama terjadi pada pengideraan diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, tahapan ketiga yaitu stimulasi pada penginderaan diinterprestasikan dan dievaluasi. Mar’at (1981) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus menerus dan dipengaruhi oleh informasi baru dari lingkungannya. Riggio (1990) juga mendefinisikan persepsi sebagai proses kognitif baik lewat penginderaan, pandangan, penciuman dan perasaan yang kemudian ditafsirkan. Mar'at (Aryanti, 1995) mengemukakan bahwa persepsi di pengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan terhadap objek psikologis. Rahmat (dalam Aryanti, 1995) mengemukakan bahwa persepsi juga ditentukan juga oleh faktor fungsional dan struktural. Beberapa faktor fungsional atau faktor yang bersifat personal antara kebutuhan individu, pengalaman, usia, masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan lain-lain yang bersifat subyektif. Faktor struktural atau faktor dari luar individu antara lain: lingkungan keluarga, hukumhukum yang berlaku, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari faktor personal dan struktural. Faktor-faktor personal antara lain pengalaman, proses belajar, kebutuhan, motif dan pengetahuan terhadap obyek psikologis. Faktor-faktor struktural meliputi lingkungan keadaan sosial, hukum yang berlaku, nilai-nilai dalam masyarakat.
BAB II Pembahasan 1.
Pengertian persepsi Persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan
menggunakan panca indera (Dreverdalam Sasanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Persepsi sosial menurut David O Sears adalah bagaimana kita membuat kesan pertama, prasangka apa yang mempengaruhi mereka, jenis informasi apa yang kita pakai untuk sampai pada kesan tersebut, dan bagaimana akuratnya kesan itu (David O Sears, et. al, 1994). Menurut Istiqomah dkk, Persepsi sosial mengandung unsur subyektif. Persepsi seseorang bisa keliru atau berbeda dari persepsi orang lain. Kekeliruan atau perbedaan persepsi ini dapat membawa macam-macam akibat dalam hubungan
antar
manusia. Persepsi sosial
menyangkut atau berhubungan dengan adanya rangsangan-rangsangan sosial. Rangsangan-rangsangan sosial ini dapat mencakup banyak hal, dapat terdiri dari (a) orang atau orang-orang berikut ciri-ciri, kualitas, sikap dan perilakunya, (b) persitiwa-peristiwa sosial dalam pengertian peristiwa-peristiwa yang melibatkan orang-orang, secara langsung maupun tidak langsung, norma-norma, dan lain-lain (Istiqomah, dkk, 1988). Penelitian lain menunjukkan bahwa proses persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman belajar dari masa lalu, harapan dan preferensi (Bartol & Bartol, 1994). Terkait dengan persepsi sosial, Istiqomah menyebutkan ada 3 hal yang mempengaruhi, yakni 1) variabel obyek-stimulus, 2) variabel latar atau suasana pengiring keberadaan obyek-stimulus, dan 3) variabel diri preseptor (pengalaman, intelegensia,
kemampuan
menghayati
stimuli,
ingatan,
disposisi
3
kepribadian, sikap, kecemasan, dan pengharapan) (Istiqomah, dkk, 1988). Ada tiga dimensi yang terkait dengan persepsi, menurut Osgood tentang konsep diferensial semantik menjelaskan tiga dimensi dasar yang terkait dengan persepsi, yakni evaluasi (baik-buruk), potensi (kuat-lemah), dan aktivitas (aktif-
pasif). Menurutnya evaluasi merupakan dimensi utama yang mendasari persepsi, disamping potensi dan aktivitas (David O Sears, et. al, 1994). Menurut Brehm dan Kassin (1989), persepsi sosial adalah penilaianpenilaian yang terjadi dalam upaya manusia memahami orang lain. Tentu saja sangat penting, namun bukan tugas yang mudah bagi setiap orang. Tinggi, berat, bentuk tubuh, warna kulit, warna rambut, dan warna lensa mata, adalah beberapa hal yang mempengaruhi persepsi sosial. Contohnya di Amerika Serikat, wanita berambut pirang dinilai sebagai seorang yang hangat dan menyenangkan. Persepsi sosial terdiri atas tiga elemen yang merupakan petunjuk-petunjuk tidak langsung ketika seseorang menilai orang lain. Tiga elemen tersebut bersumber pada: pribadi (person), situasi (situation) dan perilaku (behavior). Proses pembentukan persepsi sosial berdasarkan penilaian pribadi, antara lain yang dilakukan dengan cepat, ketika melihat penampilan fisik seseorang. Termasuk di dalamnya jenis kelamin, usia, ras, latar belakang etnik, dan beberapa aspek demografi lain. Sebagaimana kita percaya manusia terbagi dalam beberapa tipe, demikian pula kita memiliki konsep awal tentang beragam situasi berdasarkan pengalaman terdahulu. Situasi sering dianggap sebagai naskah kehidupan. Semakin banyak pengalaman yang orang miliki dalam satu situasi, maka semakin terperinci isi naskah yang disusunnya mengenai situasi tersebut. Ketika seseorang merasa sangat akrab dengan tipe situasi tertentu, maka peristiwa-peristiwa akan terletak tepat pada tempatnya, bagaikan potonganpotongan puzzle yang tersusun rapi. Hal ini berarti, semakin kaya pengalaman hidup seseorang, semakin bijak persepsi sosial yang dibentuknya dari situasi. Elemen perilaku adalah mengidentifikasi perilaku yang diproduksi oleh aktivitas
seseorang.
Perilaku
membutuhkan
bukti-bukti
yang
dapat
diamati.Ketajaman pengamatan seseorang menentukan persepsi sosial yang dibentuknya berdasarkan gejala-gejala perilaku orang lain. Orang mengandalkan perilaku nonverbal untuk menguatkan penilaiannya, namun sering kali hasilnya kurang akurat. Masalahnya terletak pada terlalu banyak perhatian yang ditujukan pada kata-kata dan ekspresi wajah. Tombol komunikasi sepenuhnya berada di bawah kendali orang yang dinilai, sehingga ia dapat mengatur kata-kata dan
ekspresinya. Namun isyarat bahasa tubuh dan perubahan intonasi suara adalah petunjuk yang sangat berharga dalam proses persepsi sosial bersumber pada elemen perilaku. Penelitian membuktikan persepsi sosial yang kita lakukan dalam upaya membangun relasi interpersonal sering cukup akurat, namun tidak selalu demikian. Dalam hal inilah perlu dilakukan pengasahan mendalam agar kita dapat lebih tajam menilai orang lain. Tak kalah penting untuk dipahami adalah dua perbedaan radikal dalam pembentukan persepsi sosial. Pertama, proses yang cepat dan otomatis. Tanpa terlalu banyak berpikir, menimbang, berhati-hati, dengan cepat orang menilai orang lain berdasarkan penampilan fisik, naskah kehidupan yang telah tersusun sebagai konsep awal situasi, dan hasil pengamatan perilaku yang terjadi seketika. Kedua, proses yang dilalui dengan penuh pertimbangan. Orang mengamati orang lain secara seksama dan menunda penilaian, sampai ia selesai menganalisis orang tersebut berdasarkan ketiga elemen persepsi sosial. Pada dasarnya kedua cara yang berbeda dalam membentuk persepsi sosial sah-sah saja dilakukan. Adakalanya penilaian dibuat seketika. Misalnya pada perjumpaan yang singkat. Namun pada saat lain diperlukan pertimbangan matang dan analisis yang panjang sebelum persepsi dibentuk. Tetap Perlu Berhati-hatikah?Tentu saja kita tetap perlu berhati-hati. Penjelasan di atas memberikan latar belakang yang layak diyakini betapa persepsi sosial sangat penting dalam konteks hubungan antarmanusia. Persepsi sosial yang memproduksi prasangka, berpotensi untuk berlanjut dalam tindakan-tindakan tertentu yang dapat menguatkan keutuhan hubungan atau sebaliknya malah merusak dan memporakporandakan persatuan Bagaimana mungkin muncul tawuran antarpelajar, atau bahkan antarwarga,tanpa diawali persepsi sosial? Sayangnya saat ini orang semakin tidak sadar, bahkan hampir tidak mau tahu, bahwa persepsi sosial negatif atau prasangka buruk yang dibentuknya mengenai orang atau kelompok lain, berkekuatan memicu perpecahan. Citra manusia sejati adalah manusia yang membangun persepsi sosial positif, tidak mudah menilai buku hanya dari sampulnya, namun juga waspada
dalam bertindak. Artinya, tidak berprasangka buruk, namun juga tidak mudah terkecoh oleh penampilan. Orangtua sering terdengar memberi nasihat supaya anak-anaknya berhati-hati dalam pergaulan. Kehati-hatian menilai orang lain sangat penting, karena kancah pergaulan sosial adalah situasi yang kompleks. Nasihat yang baik dapat menjadi lebih efektif apabila disertai contoh perilaku dan cara melakukannya. Jangan hanya mengharapkan anak-anak saja yang berhatihati, sementara orangtua serta orang dewasa lepas kendali dan tanggung jawab mengenai persoalan ini. Berhati-hati berarti waspada, jitu dan bijak membentuk persepsi sosial dalam hubungan antar manusia.
BAB III Penutup Pelaku orang lain dan menarik kesimpulan tentang penyebab perilaku tersebut atribusi dapat terjadi bila:1). Suatu kejadian yang tidak biasa menarik perhatian seseorang, 2). Suatu kejadian memiliki konsekuensi yang bersifat personal, 3). Seseorang ingin mengetahui motif yang melatarbelakangi orang lain (Shaver, 1981; Lestari, 1999). Brems & Kassin (dalam Lestari, 1999) mengatakan bahwa persepsi sosial memiliki beberapa elemen, yaitu: a. Person, yaitu orang yang menilai orang lain. b. Situasional, urutan kejadian yang terbentuk berdasarkan pengalaman orang untuk meniiai sesuatu. c. Behavior, yaitu sesuatu yang di lakukan oleh orang lain. Ada dua pandangan mengenai proses persepsi, yaitu: 1.) Persepsi sosial, berlangsung cepat dan otomatis tanpa banyak pertimbangan orang membuat kesimpulan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan penampilan fisik dan perhatian sekilas. 2.) Persepsi sosial, adalah sebuah proses yang kompleks, orang mengamati perilaku orang lain dengan teliti hingga di peroleh analisis secara lengkap terhadap person, situasional, dan behaviour. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi suatu proses aktif timbulnya kesadaran dengan segera terhadap suatu obyek yang merupakan faktor internal serta eksternal individu meliputi keberadaan objek, kejadian dan orang lain melalui pemberian nilai terhadap objek tersebut. Sejumlah informasi dari luar mungkin tidak disadari, dihilangkan atau disalahartikan. Mekanisme penginderaan manusia yang kurang sempurna merupakan salah satu sumber kesalahan persepsi (Bartol & Bartol, 1994).