Pernikahan.docx

  • Uploaded by: juple
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pernikahan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,025
  • Pages: 13
MAKALAH MENGENAI PERNIKAHAN

Nama : Lilisri Sulis Diawaty. A NIM : P201601058 Kelas : Q2

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA KENDARI 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan karunia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan generasinya. Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. B. Rumusan Masalah 1. Untuk mengetahui definisi nikah 2. Untuk mengetahui hukum-hukum nikah 3. Untuk mengetahui rukun dan syarat nikah 4. Untuk mengetahui hikmah dan tujuan pernikahan 1. 5.Talak,macam-macam talak dan iddah 2. 6.Hal-hal yang terlarang sehubungan dengan pernikahan

BAB II PEMBAHASAN A. HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN 1. Arti Pernikahan Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)

2. Hukum Pernikahan a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah

Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram. b. Nikah yang Hukumnya Sunnah Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah. c. Nikah yang Hukumnya Wajib Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut. Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud) d. Nikah yang Hukumnya Makruh Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya. e. Nikah yang Hukumnya Haram Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits) Firman Allah di dalam Al-Qur’an: Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3) Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui. (QS.An-Nur/24:32) “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S An-Nur/24:32)

B. RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN Rukun pernikahan ada lima: 1. Mempelai laki-laki syaratnya 2. Mempelai perempuan syaratnya-syaratnya 3. Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya. 4. Dua orang saksi 5. Sighat (akad Pernikahan yang Terlarang Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut: a. Nikah Mut’ah Nikah mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. b. Nikah Syigar Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang dengan sabda Rasulullah saw. Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim) c. Nikah Muhallil Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah. d. Kawin dengan pezina Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.

C. HIKMAH PERNIKAHAN Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya. Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan. Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan. 1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.

2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik\ Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya. 3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan agamnya. 4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan terhormat pula. 5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama. D. TUJUAN DAN HIKMAH NIKAH Secara bahasa nikahkumpulan, bersetubuh, akad.sedangkan menurut syar’i nikah adalah dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll . Hukum Nikah Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya : a. Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina. b. Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina. c. Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah. d. Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya. e. Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya. Tujuan Nikah TUJUAN FISIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman. 2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai. 3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya. TUJUAN PSIKOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya. 2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman. 3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya. 4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga. TUJUAN SOSIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga. 2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.

TUJUAN DA’WAH Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i. 2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim. 3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah. 4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan E. PEMINANGAN (KHITBAH) SEBELUM PELAKSANAAN PERNIKAHAN Pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Dasar dan Hukum Pinangan Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi). Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i). Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah. Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu. Hikmah Peminangan Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya: Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi. Macam-Macam Peminangan Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut: 4. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.” 5. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”

Hal-Hal yang Berkaitan dengan Peminangan. 1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan. Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui. 2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang. Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila:  Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.  Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.  Peminang pertama belum membatalkan pinangan. 3. Orang-Orang yang Boleh Dipinang. Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan.  Bukan Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.  Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.  Tidak Dalam Masa ‘Idda 4. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:  Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.  Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.  Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.  Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.  Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang. 5. Waktu dan Syarat Melihat Pinangan Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga. Baik dengan izin atau tidak. Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat. Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat. F, PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH) Akad secara bahasa adalah membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita. Sedangkan menurut secara syar’i akad adalah Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw. b) memperoleh ketenangan jiwa. c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.

Rukun dan syarat sah nikah Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini : 1. Ijab-Qabul Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya. Syarat ijab-qabul adalah : a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir. b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita 2. Adanya mempelai pria. Syarat mempelai pria adalah : a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9. b) Bukan mahrom dari calon isteri. c) Tidak dipaksa. d) Orangnya jelas. e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji. 3. Adanya mempelai wanita. Syarat mempelai wanita adalah : a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5. b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami). c) Tidak dipaksa. d) Orangnya jelas. e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji. 4. Adanya wali. Syarat wali adalah : a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka). b) ‘Adil c) Tidak dipaksa. d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji. Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut: a) Ayah b) Kakek c) Saudara laki-laki sekandung d) Saudara laki-laki seayah e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah g) Paman sekandung h) Paman seayah i) Anak laki-laki dari paman sekandung j) Anak laki-laki dari paman seayah. k) Hakim 5. Adanya saksi (2 orang pria). Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah

a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka). b) ‘Adil c) Dapat mendengar dan melihat. d) Tidak dipaksa. e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul. f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji. 6. Mahar. Beberapa ketentuan tentang mahar : a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4. b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua. c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan. d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan. e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula G. TALAK ‫اْل إ‬ Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata ‫ط اَلق‬ ِ ‫“ إ‬ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan. Sedangkan Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan. Dalil Dibolehkannya Talak Allah Ta’ala berfirman, َّ ٍ‫سان‬ َ ْ‫ٍريحٍٍبِإِح‬ َ ‫َانٍٍفَإ ِ ْم‬ ِ ‫ساكٍٍبِ َم ْع ُروفٍٍأ َ ْوٍٍت َ ْس‬ ِ ‫الط ََل ُقٍٍ َم َّرت‬ “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229) َ َ‫سا َءٍٍف‬ َ ٍ‫َياٍأَي َهاٍال َّن ِبيٍٍ ِإذَا‬ ٍَّ ‫ط ِِّلقُوه َُّنٍٍ ِل ِعدَّ ِت ِه‬ ‫ن‬ َ ‫طلَّ ْقت ُ ُمٍٍال ِِّن‬ “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1) Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ْ ‫ٍث ُ َّمٍٍت‬،ٍٍ‫يض‬ ْ ‫ٍث ُ َّمٍٍ ِليُ ْم ِس ْك َهاٍ َحتَّىٍت‬،ٍ‫اج ْع َها‬ ْ ‫ٍفَت ِْل‬،ٍٍ‫س‬ َ ٍٍ‫ٍٍوإِ ْنٍٍشَا َء‬ ٍٍ‫كٍٍَال ِعدَّةٍٍُالَّتِىٍأ َ َم َر‬ َّ ‫طلَّقٍٍَقَ ْب َلٍٍأ َ ْنٍٍيَ َم‬ َ ‫ٍث ُ َّمٍٍإِ ْنٍٍشَا َءٍٍأ َ ْم‬،ٍٍ‫َط ُه َر‬ َ ِ‫َط ُه َرٍٍث ُ َّمٍٍتٍَح‬ ِ ‫ُم ْرهٍٍُفَ ْلي َُر‬ َ ُ‫سكٍٍَبَ ْعد‬ َّ َ َ َ ُ ِّ ْ َّ ‫سا ٍُء‬ َ ِ‫َللاٍٍُأنٍٍتطلقٍٍَل َهاٍالن‬ “Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.” Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat. Kritik Hadits Adapun hadits yang berbunyi, ّ ّ ‫الطَلاق تاعاالاى‬ ‫َللاِ إِلاى إال احَلا ِل أ ا إبغاض‬ “Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.”Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa

menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilaidho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi, Syaikh Al Albani, dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi. Hukum Talak Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.” Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut: Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk. Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan. Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan). Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan. Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah. 1. Talak Sunni dan Talak Bid’i Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i. Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak hasan dan c. Talak bid’i. Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa suci. Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syaratsyarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni: a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas, b. Suami tidak menjima’nya pada waktu, c. Suami mentalak satu, d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir. Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya. Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah : a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak qhairu bid’I wa lasunni). Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci. Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:

a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah. b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu. Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul. Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122. Pasal 121: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. 2. Talak Raj’i dan Talak Ba’in Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam : a. Talak raj’i, dan b. Talak ba’in. Talak raj’i adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu akad baru selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru. Talak ba’in ada dua macam: a. Ba’in shughraa (ba’in kecil) b. Ba’in kubraa (ba’in besar) Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’. Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga Pengertian Iddah Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci. Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. Macam-Macam Masa Iddah Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).

Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan,”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4). Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantar meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485). Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan pada firmannya Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, ’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta, menyempurnakannya.” (AlAhzaab:49). Sedang wanita yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan hamil maka, masa iddahnya ialah ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT berfirman, ”Dan wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq:4). Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu ’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026). Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah SWT, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”. (Al-Baqarah :228). Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278). Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri kaian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4)

PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pernikahan yaitu ikatan dua orang hamba berbeda jenis dengan suatu ikatan akad 2. Hukum-hukumnya nikah adalah jaiz, sunnat, wajib, makruh, haram. 3. Diantaranya rukun-rukun nikah adalah mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, sighat. 4. Tujuan adanya pernikahanan ternyata sangat banyak ditinjau dari berbagai sisi B. Hikmah 6. Pernikahan yang sah menjadikan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi halal. 7. Pernikahan menjadi sah dengan rukun dan syarat nikah. 8. C. Saran

Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di dalam menyelesaikan makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa serta dosen pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan kita bersama terutama bagi pemakalah. REFERENSI Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan terjemahnya. Toha Putra Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Rasjid, H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo Rifa’I, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra Drs. H. Muh. Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT Karya Toha Putra) Al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama Islam) H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383 http://rumahabi.info, http://id.shvoong.com, http://www.eramuslim.com

Posted By : Muhammad Rezki Rasyak

More Documents from "juple"