PAPER MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA
PERKEMBANGAN EMOSI REMAJA
KELAS E Muhammad Rahmat Muhammad Firman Jaya Muhammad Nurjaiz B Muhammad Ayyub Mas'ud Nur Fadhil Bawazir Muhammad Ma'shum Sam Muhammad Ridwan
(1771041084) (1771042066) (1771042068) (1771041017) (1771041068) (1771042086) (1771042115)
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2018
A. PENGERTIAN PERKEMBANGAN EMOSI Setiap individu selalu mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam hidupnya. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh tiap-tiap individu akan berbeda satu dengan yang lainnya dan tingkat perkembangan ini akan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan umur dari tiap individu. Dengan bertambahnya usia individu, manusia senantiasa tumbuh dan berkembang yang akan membawa individu menuju pada suatu kematangan fisik dan psikis. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua hal yang berbeda. Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat pada waktu yang normal. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah) yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Jadi, pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis. Sedangkan perkembangan menunjuk pada perubahan-perubahan dalam bentuk bagian tubuh dan integrasi pelbagai bagiannya ke dalam satu kesatuan fungsional bila pertumbuhan itu berlangsung. Intinya bahwa pertumbuhan dapat diukur sedangkan perkembangan hanya dapat dilihat gejalagejalanya. Perkembangan dipersyarati adanya pertumbuhan. Masa remaja atau masa adolensia merupakan masa peralihan atau masa transisi antara masa anak ke masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami perkembangan yang pesat mencapai kematangan fisik, sosial, dan emosi. Salah satu perkembangan yang dialami oleh remaja adalah perkembangan emosi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa emosi adalah suatu keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi dapat juga diartikan sebagai suatu reaksi psikologis yang ditampilkan dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani, takut, marah, haru dan sejenisnya. Biasanya emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan, dan surut dalam waktu yang singkat. Hathersall (1985), merumuskan pengertian emosi sebagai
situasi psikologis yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Menurut James & Lange, bahwa emosi itu timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan individu. Misalnya menangis itu karena sedih, tertawa itu karena gembira. Sedangkan menurut Lindsley bahwa emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami frustasi, susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan otak, maka hal itu menimbulkan emosi. Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling): misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut, bahagia, sedih dan jijik. Emosi juga sering berhubungan dengan ekspresi tingkah laku dan respon-respon fidiologis.
Berdasarkan sebab dan reaksi yang ditimbulkan, emosi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Emosi yang berkaitan dengan perasaan (syaraf-syaraf jasmaniah), misalnya perasaan dingin, panas, hangat, sejuk dan sebagainya. Munculnya emosi seperti ini lebih banyak dirasakan karena faktor fisik diluar individu, misalnya cuaca, kondisi ruangan dan tempat dimana individu itu berada. b. Emosi yang berkaitan dengan kondisi fisiologis, misalnya sakit, meriang dan sebagainya. Munculnya emosi sepertinini lebih banyak dirasakan karena faktor kesehatan.
c. Emosi yang berkaitan dengan kondisi psikologis, misalnya cinta, rindu, sayang, benci dan sejenisnya. Munculnya emosi seperti ini lebih banyak dirasakan karena faktor hubungan dengan orang lain.
B. KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN EMOSI REMAJA Masa remaja atau masa adolensia merupakan masa peralihan atau masa transisi antara masa anak ke masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami perkembangan yang pesat mencapai kematangan fisik, sosial, dan emosi. Pada masa ini dipercaya merupakan masa yang sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga dan lingkungannya.
Menurut Biehler (1972) dalam membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun. 1. Ciri-ciri emosional usia 12-15 tahun a) Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka b) Bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri c) Kemarahan biasa terjadi d) Cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan ingin selalu menang sendiri e) Mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif 2. Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun a) “Pemberontakan” remaja merupakan ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak menuju dewasa b) Banyak remaja mengalami konflik dengan orang tua mereka c) Sering kali melamun, memikirkan masa depan mereka
Tugas utama perkembangan emosi remaja adalah membentuk rasa identitas yang realistis dan koheren (Erikson, dalam Dumitrescu, 2015), meskipun sekarang secara luas diakui bahwa pembentukan identitas tidak dimulai di masa remaja dan berakhir selama masa remaja. Namun periode kehidupan ini adalah yang pertama, di mana orang memiliki kapasitas kognitif untuk secara sadar memilah siapa mereka dan apa yang membuat mereka unik (Kroger, dalam Dumitrescu 2015).
Identitas terdiri dari dua konsep: 1. Konsep diri: kumpulan keyakinan yang dimiliki seseorang tentang diri sendiri, tentang atribut seseorang (misalnya, tinggi, cerdas), peran dan tujuan (misalnya, karir yang diinginkan), minat, nilai, dan keyakinan (misalnya, agama, politik). 2. Harga diri atau mengevaluasi bagaimana perasaan seseorang tentang konsep diri seseorang. Di sini kita perlu membuat perbedaan antara harga diri "global", bagaimana perasaan kita tentang diri kita sebagai keseluruhan, dan harga diri "spesifik", atau seberapa kita menyukai bagian tertentu dari diri kita sendiri (misalnya, penampilan kita).
Harga diri berkembang dengan cara yang unik untuk setiap remaja dan dapat mengambil lintasan yang berbeda dalam waktu - itu mungkin tampak relatif stabil selama masa remaja atau mungkin terus menurun atau membaik, menunjukkan perlunya pendekatan yang berbeda (Zimmerman, Copeland, Shope, & Dielman dalam Dumitrescu, 2015). Ada banyak faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk perubahan spesifik yang terjadi di area perkembangan lainnya, kognitif dan fisik. Beberapa remaja sangat rentan terhadap pengaruh yang datang dari orang tua dan teman sebaya, langsung memasukkan penilaian mereka ke dalam identitas dan perasaan mereka sendiri tentang diri mereka sendiri (Robinson, dalam Dumitrescu, 2015).
Untuk mengembangkan rasa identitas yang realistis, remaja juga perlu mencoba dan bereksperimen dengan berbagai gambar dan perilaku, nilai-nilai dan sikap. Mereka memiliki banyak pertanyaan untuk ditanyakan dan banyak jawaban untuk ditemukan, dan memiliki orang dewasa yang ada di sekitar untuk mendiskusikan masalah identitas dapat membantu mereka mengembangkan keterampilan penalaran abstrak baru mereka dan kemampuan penalaran moral (APA, dalam Dumitrescu, 2015). Remaja perlu belajar keterampilan emosional yang diperlukan untuk mengelola stres dan peka dan efektif dalam berhubungan dengan orang lain, keterampilan dikelompokkan berdasarkan istilah "kecerdasan emosional" (Goleman, dalam Dumitrescu, 2015). Ini melibatkan keterampilan intra dan interpersonal, dari kesadaran diri dan manajemen diri untuk keterampilan hubungan - bergaul dengan orang lain dan berteman. Analisis Goleman menggarisbawahi dampak luar biasa dari kecerdasan emosional pada kehidupan dewasa yang sukses, baik pribadi maupun profesional.
Menurut Daniel Goleman (dalam Dumitrescu, 2015), lima komponen kecerdasan emosi adalah sebagai berikut: Kesadaran diri: Kemampuan untuk secara akurat menilai perasaan, minat, nilai, dan kekuatan seseorang, dan untuk mempertahankan rasa percaya diri yang beralasan. Manajemen mandiri: Kemampuan untuk mengatur emosi seseorang untuk menangani stres, mengendalikan impuls, dan bertahan dalam mengatasi rintangan; untuk mengatur dan memantau kemajuan menuju tujuan pribadi dan akademik dan untuk mengekspresikan emosi dengan tepat. Empati dan kesadaran sosial: Kemampuan untuk mengambil perspektif dan berempati dengan orang lain dari beragam latar belakang dan budaya; untuk memahami norma-norma sosial dan etika untuk perilaku dan untuk mengenali keluarga, sekolah, dan sumber daya dan dukungan masyarakat.
Keterampilan hubungan: Kemampuan membangun hubungan yang kuat dengan beragam individu dan kelompok - berkomunikasi dengan jelas, mendengarkan secara aktif, bekerja sama, melawan tekanan sosial yang tidak pantas, merundingkan konflik secara konstruktif, dan mencari dan menawarkan bantuan bila diperlukan. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab: Kemampuan untuk membuat pilihan yang konstruktif dan menghormati tentang perilaku pribadi - dengan mempertimbangkan standar etika, masalah keamanan, norma sosial, evaluasi yang realistis atas konsekuensi dari berbagai tindakan, dan kesejahteraan diri sendiri dan orang lain.
Remaja harus belajar untuk memperhatikan secara sadar perasaan mereka, belajar melampaui label sederhana seperti "baik-baik saja" atau "oke". Dengan mampu mengenali perasaan cemas sebelum ujian atau merasa sedih dan kehilangan teman baik, mereka dapat lebih memahami sumber mereka dan mungkin menemukan lebih banyak pilihan, seperti meminta bantuan dalam belajar untuk ujian atau berbicara tentang perasaan mereka dengan seorang teman (Goleman, dalam Dumitrescu, 2015). Seperti yang dilaporkan oleh Rosenblum & Lewis (Adams, dalam Dumitrescu, 2015), beberapa penelitian yang menggunakan "metode sampling pengalaman" atau ESM menunjukkan bahwa pengalaman emosional remaja berbeda dalam intensitas, frekuensi, dan ketekunan dari individu yang lebih tua dan lebih muda. Dibandingkan dengan orang tua mereka, remaja mengalami emosi yang lebih ekstrem, dengan rentang yang lebih luas antara suasana hati yang lebih tinggi dan lebih rendah, yang terutama berlaku untuk emosi negatif (Larson, & Richards, dalam Dumitrescu, 2015). Remaja juga dilaporkan mengalami mood negatif lebih sering daripada orang dewasa (Arnett, dalam Dumitrescu, 2015; Eccles, Midgley, Wigfield, Buchanan, Reuman, Flanagan, & Mac Iver, dalam Dumitrescu, 2015).
C. KEADAAN EMOSI SELAMA MASA REMAJA Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa di mana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pertumbuhan pada tahun-tahun masa pubertas terus berlangsung tetapi berjalan agak lambat. Adapun meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Tidak semua remaja mengalami masa “badai dan tekanan”. Namun sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Misalnya, masalah yang berhubungan dengan percintaan merupakan masalah yang pelik pada periode ini. Bila kisah cinta berjalan lancar, remaja merasa bahagia, tetapi mereka menjadi sedih bilamana percintaan kurang lancar. Demikian pula menjelang berakhirnya masa sekolah, para remaja mulai mengkhawatirkan masa depan mereka. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan tampaknya irasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi penyesuaian perilaku emosional. Menurut Gesell dan kawan-kawan, remaja 14 tahun seringkali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung “meledak”, tidak berusaha mengendalikan perasaanya. Sebaliknya, remaja 16 tahun mengatakan bahwa mereka “tidak punya keprihatinan”. Jadi adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.
Pola Emosi pada Masa Remaja Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Perbedaannya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan khususnya pada proses pengendalian individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara meluapkan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan bersuara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah. Remaja juga iri hati terhadap orang yang memiliki benda lebih banyak. Ia tidak mengelu dan menyesali diri sendiri seperti yang dilakukan anak-anak. Remaja suka bekerja sambilan agar dapat memperoleh uang untuk membeli barang yang diinginkan atau bila perlu berenti sekolah untuk mendapatkannya. Kematangan Emosi Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Ciri kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bertindak secara emosional, tidak lagi bertindak tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang secara emosi. Dengan demikian, remaja lebih sering berusaha mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya dapat menimbulkan ledakan emosi. Akhirnya remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan berbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan, dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” (yaitu orang yang dipercaya remaja sehingga mau mengutarakan berbagai kesulitannya, dan tingkat penerimaan orang sasaran itu).
Bila remaja ingin mencapai kematangan emosi, ia juga harus belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis. Emosi dan Hubungan Sosial Meskipun mereka dapat memperoleh manfaat dari memahami dan mengelola emosi sendiri, penting bagi remaja untuk juga mengenali dan mempertimbangkan perasaan orang lain (Allen, & Land, dalam Dumitrescu, 2015). Ada berbagai kemungkinan untuk mengajarkan empati dan kerja sama, misalnya dengan mengajak siswa terlibat melalui metode jigsaw dan membantu mereka mendapatkan perspektif emosional dari kelompok lain. Metode ini mengharuskan siswa untuk saling bergantung satu sama lain untuk mempelajari subjek apa pun, mengurangi persaingan di antara mereka dan mempromosikan posisi yang lebih setara untuk semua siswa. Hal ini dicapai dengan membuat setiap siswa bagian dari kelompok ahli kecil, membagi kelas dalam teka-teki informasi yang kemudian harus dirangkai untuk memahami subjek sepenuhnya. Pendekatan ini telah berhasil tidak hanya dalam membantu remaja belajar bagaimana bekerja secara kooperatif menuju tujuan kelompok, tetapi juga dalam meningkatkan kinerja akademik mereka (Aronson & Patnoe, dalam Dumitrescu, 2015). Sebuah penelitian longitudinal yang diterbitkan pada tahun 1996 telah menunjukkan bahwa, khususnya pada masa remaja awal, perasaan harga diri cenderung menurun sedikit dengan anak perempuan, dan beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak laki-laki cenderung memiliki harga diri global yang lebih tinggi daripada anak perempuan (Bolognini, Plancherel, Bettschart , & Halfon, dalam Dumitrescu, 2015). Karena ada perbedaan dalam bagaimana anak laki-laki dan perempuan dibesarkan di masyarakat kita, mereka mungkin juga berbeda dalam kebutuhan khusus mereka untuk mempromosikan pembentukan identitas: beberapa gadis remaja mungkin perlu belajar untuk menjadi lebih tegas atau dalam mengekspresikan kemarahan, sementara beberapa remaja laki-laki
mungkin perlu didorong untuk lebih banyak kerja sama dan ekspresi emosi (Goleman, dalam Dumitrescu, 2015). Dasar di mana remaja mengembangkan dan melatih semua keterampilan emosional dan sosial ini diciptakan oleh jaringan hubungan mereka (Muuss, Velder, & Porton, dalam Dumitrescu, 2015). Di sini, salah satu merek dagang remaja adalah pergeseran fokus dan kepentingan dari lingkungan keluarga ke kelompok sebaya. Namun, penting untuk menggarisbawahi bahwa kedekatan dan keterikatan keluarga telah dikukuhkan sebagai faktor terpenting yang terkait dengan tidak merokok, lebih sedikit penggunaan alkohol dan obat-obatan lain, kemudian memulai hubungan seksual, dan lebih sedikit upaya bunuh diri di kalangan remaja (Resnick, Bearman, Blum, Bauman, Harris, Jones, & Ireland, dalam Dumitrescu, 2015). Dengan demikian, peningkatan kontak teman sebaya hanyalah tahap dalam pengembangan dan tidak berarti bahwa orang tua kurang penting bagi mereka. Pada saat yang sama, memiliki hubungan teman sebaya yang positif di masa remaja telah dikaitkan dengan penyesuaian psikososial positif, seperti memiliki citra diri yang lebih baik selama masa remaja dan kinerja sekolah yang lebih baik (Hansen, Giacoletti, & Nangle, dalam Dumitrescu, 2015). Di sisi lain, tampak bahwa memiliki masalah interpersonal selama masa remaja menempatkan orang dewasa kemudian pada risiko yang jauh lebih besar untuk kesulitan psikososial (Campbell, Hansen, & Nangle, dalam Dumitrescu, 2015). Hubungan keluarga yang positif, rasa kedekatan dan keterikatan dengan keluarga telah diketahui terkait dengan perkembangan emosi yang lebih baik, kinerja sekolah yang lebih baik, dan keterlibatan dalam kegiatan berisiko tinggi yang lebih sedikit, seperti penggunaan narkoba (Resnick, Bearman, Blum, Bauman, Harris , Jones, ... & Ireland, dalam Dumitrescu, 2015; Hamilton, Hamilton, & Pittman, dalam Dumitrescu, 2015). Di antara karakteristik pengasuhan anak remaja yang efektif, penelitian menunjukkan bahwa orang tua harus bersikap hangat dan terlibat, untuk memberikan batasan tegas dan
menjelaskan aturan, untuk menggunakan penalaran dan persuasi, untuk memiliki harapan yang sesuai, untuk mendiskusikan masalah, mendengarkan dengan hormat dan mendorong remaja untuk mengembangkan pendapatnya sendiri (Nicolson, & Ayers, dalam Dumitrescu, 2015). Gaya pengasuhan ini cenderung mendorong remaja dengan prestasi akademik yang lebih baik, kurang depresi dan kecemasan (Kirkcaldy, Shephard, & Siefen, dalam Dumitrescu, 2015), kemandirian dan harga diri yang lebih tinggi, dan kurang cenderung terlibat dalam perilaku nakal dan penyalahgunaan narkoba (Steinberg, dalam Dumitrescu, 2015). Perkembangan Emosional Remaja Penelitian dengan anak-anak yang lebih muda menunjukkan bahwa pada permulaan tahun-tahun remaja, kebanyakan remaja telah mengumpulkan pengetahuan dan kompetensi emosi yang relatif besar. Mereka memiliki kosakata istilah emosi yang luas dan mengembangkan keterampilan untuk memahami hubungan antara emosi dan situasi yang mendatangkannya. Mereka menunjukkan kemampuan untuk menyimpulkan emosi orang lain dan mempertimbangkan skrip subkultur dalam penilaian emosional; mereka menjadi lebih mampu mengubah ekspresi emosi mereka dalam menanggapi tuntutan situasional dan menyusun strategi untuk pengendalian diri emosional (Harris, dalam Dumitrescu, 2015; Pernikahan & Cummins, dalam Dumitrescu, 2015; Nannis & Cowan, dalam Dumitrescu, 2015; Saarni et al., dalam Dumitrescu, 2015). Masa remaja dianggap membawa potensi baru untuk pengetahuan emosional dan keterampilan manajemen. Ciri utama pengetahuan baru remaja diyakini sebagai kapasitas untuk memahami emosi dalam hubungan dengan sistem interaksi kompleks (Fischer et al., dalam Dumitrescu, 2015). Ini termasuk berinteraksi sistem interpersonal (diri sendiri, yang lain, kelompok sosial), sistem budaya, dan sistem biopsiko internal. Kemampuan remaja untuk berpikir tentang sistem yang berbeda ini berpotensi memungkinkan mereka, misalnya, untuk membedakan emosi sesaat orang dari kepribadian mereka, untuk memahami
kondisi budaya seputar emosi interpersonal yang kompleks (misalnya, kebanggaan, malu, malu), dan untuk menilai lebih baik penyebabnya dan efek emosi (Fischer et al., dalam Dumitrescu, 2015; Rosenblum & Lewis, dalam Dumitrescu, 2015; Saarni, dalam Dumitrescu, 2015; Zeman, Cassano, PerryParrish, & Stegall, dalam Dumitrescu, 2015). Dalam hubungannya dengan pengetahuan yang lebih besar ini, diyakini bahwa remaja mengembangkan kontrol yang lebih eksekutif dalam pengelolaan emosi dalam diri dan sistem interpersonal (Keating, dalam Dumitrescu, 2015; Zeidner et al., dalam Dumitrescu, 2015), perubahan perkembangan yang mungkin sebagian diberikan oleh perkembangan otak. (Kesek, Zelazo, & Lewis, di tekan). Remaja dianggap memiliki potensi yang lebih besar untuk memperoleh strategi metakognitif untuk pengaturan emosi negatif dan peningkatan emosi positif. Dengan demikian, misalnya, mereka dapat menjadi lebih mampu beradaptasi ekspresi emosi mereka untuk mempengaruhi orang lain, untuk menegosiasikan hubungan pribadi di hadapan emosi yang kuat, dan menyebarkan respons penanggulangan yang lebih beragam dan fleksibel (Compas, Connor-Smith, Saltzman, Thomsen, & Wadsworth, dalam Dumitrescu, 2015; Fischer et al., dalam Dumitrescu, 2015; Saarni, dalam Dumitrescu, 2015). Ide-ide ini kuat secara heuristik, tetapi bukti di baliknya terbatas. Meskipun didalilkan bahwa perkembangan emosional remaja melibatkan peningkatan pemahaman sadar dan perolehan keterampilan "verbal-deklaratif" (Zeidner et al., dalam Dumitrescu, 2015), kita memiliki pengetahuan yang terbatas tentang apa yang sebenarnya dipelajari remaja dan bagaimana mereka belajar saya t. Untuk melakukan ini, kami pikir itu membantu, jika tidak penting, untuk fokus pada pengalaman emosional mereka dalam pengaturan interaksi tertentu. Pengembangan Emosional dalam Konteks Pentingnya pengaturan untuk perkembangan emosional ditunjukkan dengan pengetahuan kita tentang hubungan anak-orang tua sebagai arena di mana disposisi emosional anak-anak dibentuk. Penelitian sebagian besar memaparkan
tesis teori relasi objek dan teori keterikatan bahwa pengalaman emosi anak-anak dan
pengaturannya
(atau
disregulasi)
dalam
interaksi
pengasuh
anak
mempengaruhi disposisi emosional dan keterampilan manajemen mereka selanjutnya. Interaksi anak-anak dengan pengasuh mereka memberikan matriks pengalaman afektif yang membentuk perkembangan emosional awal mereka, terutama dalam konteks hubungan dekat (Cassidy, dalam Dumitrescu, 2015; Magai, dalam Dumitrescu, 2015; Zeidner et al., dalam Dumitrescu, 2015). Ketika anak-anak bertambah tua, jumlah waktu yang dihabiskan bersama keluarga menurun, dan pengaturan lainnya menjadi semakin menonjol dan merupakan situs potensial untuk perkembangan emosi. Pengaturan ini dapat memberikan peluang untuk jenis-jenis baru pembelajaran emosional yang mengantisipasi tuntutan pengaturan orang dewasa dan membangun potensi yang muncul dari remaja untuk pemikiran sistem dan pengaturan diri yang sadar. Program pemuda yang terorganisir, kami berteori, adalah pengaturan penting untuk memahami perkembangan emosi, pertama, karena mereka biasanya konteks aktivitas instrumental yang diarahkan pada tujuan dan dengan demikian dapat membantu mempersiapkan remaja untuk dinamika emosional pengaturan kerja orang dewasa. Heath (dalam Dumitrescu, 2015) dan McLaughlin (dalam Dumitrescu, 2015) menemukan bahwa remaja dalam program remaja berkualitas tinggi terlibat dalam '‘busur kerja’ yang memuncak dalam produk akhir atau peristiwa yang tunduk pada evaluasi otentik. Kegiatan instrumental seperti itu dapat diharapkan untuk menimbulkan emosi yang terkait dengan pencapaian dan tidak mencapai tujuan jangka panjang (misalnya, kegembiraan, frustrasi, kemarahan; Salovey, Bedell, Detweiler, & Mayer, dalam Dumitrescu, 2015) dan dengan demikian memberikan pemuda kesempatan untuk belajar. tentang penyebab dan hasil dari jenis episode emosional ini. Penelitian dalam pengaturan kerja orang dewasa menunjukkan bahwa emosi positif dan negatif dapat memiliki efek fasilitatif atau mengganggu pada pekerjaan (Grawitch & Munz, dalam Dumitrescu, 2015). Kami berspekulasi bahwa kegiatan yang diarahkan pada
tujuan program pemuda dapat memberikan kesempatan bagi orang muda untuk belajar tentang proses emosional ini. dalam konteks kerja. Memang, mencapai tujuan dalam pengaturan ini dapat menuntut agar anak muda belajar memahami dan mengelola proses-proses ini. Fitur penting kedua dari program pemuda adalah bahwa pekerjaan ini sering dilakukan dalam kolaborasi dengan teman sebaya, yang menciptakan tuntutan bagi kaum muda untuk memahami dinamika emosi dalam kelompok. Belajar untuk menavigasi emosi dalam hubungan teman sebaya adalah tugas remaja yang menantang dalam dirinya sendiri (Furman, McDunn, & Young, dalam pers; Larson & Asmussen, dalam Dumitrescu, 2015). Bekerja secara kolaboratif menuju tujuan menambah tingkat permintaan lain untuk pengetahuan dan keterampilan emosional, sekali lagi dengan ketekunan untuk mempersiapkan pekerjaan bagi orang dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa banyak orang dewasa tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk mengelola emosi dalam kelompok kerja di pekerjaan mereka, dan bahwa dinamika emosi disfungsional sering terjadi, dengan efek negatif pada kepuasan kerja dan produktivitas (Glisson & James, dalam Dumitrescu, 2015). Liu dan Perrewe´ (dalam Dumitrescu, 2015) menjelaskan bagaimana emosi negatif dalam pengaturan kerja sering mengarah pada rantai emosional yang mengganggu perilaku dan pengaruh yang terungkap. Program remaja dapat memberikan konteks kolaboratif di mana remaja belajar tentang mengelola dinamika emosi pada tingkat diri, lain, dan kelompok. Dasar pemikiran ketiga untuk berfokus pada program pemuda adalah bahwa mereka memberi kita kesempatan untuk mengamati peran pengaturan organisasi yang disengaja dan orang dewasa yang berpengalaman dalam mendukung perkembangan emosional remaja. Program kepemudaan tidak hanya menyediakan struktur aktivitas instrumental — busur kerja — tetapi juga budaya organisasi yang memengaruhi pengalaman dan pertumbuhan emosional anak-anak. Budaya organisasi mencakup baik cara berbagi dalam melakukan berbagai hal (norma, praktik, strategi) dan cara berpikir dan perasaan (keyakinan, makna, nilai; Glisson
& James, dalam Dumitrescu, 2015; Maton & Salem, dalam Dumitrescu, 2015). Budaya ini dapat diharapkan untuk mempengaruhi frekuensi dan jenis emosi yang dialami dalam pengaturan dan termasuk gagasan implisit dan eksplisit tentang bagaimana anggota menanggapi emosi dalam diri dan orang lain (Boyle, 2005; Grawitch & Munz, dalam Dumitrescu, 2015; Hochschild, dalam Dumitrescu, 2015). Dalam program pemuda, para pemimpin dewasa membantu membentuk budaya program dengan cara yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional remaja. Pemimpin juga dapat mempengaruhi perkembangan remaja melalui pemodelan, pembinaan, dan memberikan dukungan (Rhodes, dalam Dumitrescu, 2015). Program teater yang kami teliti memberikan kesempatan untuk mempelajari pengalaman emosional remaja saat mereka mempersiapkan produksi, bekerja secara kolaboratif dan dengan bimbingan dari dua orang dewasa yang berpengalaman dan emosional. Perlu dicatat bahwa sifat ekspresif drama dapat memberikan pemuda kesempatan tambahan untuk pengambilan perspektif dan perkembangan emosional (Best, dalam Dumitrescu, 2015; Wright, dalam Dumitrescu, 2015). Dalam melaksanakan penyelidikan ini, kami menggunakan kerangka kerja sosial-ekologis yang mengkonseptualisasikan pembangunan sebagaimana terjadi melalui interaksi antara orang dan teks dari waktu ke waktu (Bronfenbrenner, dalam Dumitrescu, 2015; Cole, Bremme, & Blanton, dalam Dumitrescu, 2015; Rogoff, Baker- Sennet, Lacasa, & Goldsmith, dalam Dumitrescu, 2015). Berikut ini adalah analisis yang menghasilkan teori yang bertujuan mengembangkan proposisi awal mengenai proses perkembangan emosional remaja dalam hubungan dengan tuntutan, budaya, dan pengalaman yang sedang berlangsung dari pengaturan ini.
D. JENIS EMOSI Luella Cole mengemukakan bahwa ada tiga jenis emosi, yaitu sebagai berikut: 1. Emosi marah Emosi marah lebih mudah timbul apabila dibandingkan dengan emosi lainnya dalam kehidupan remaja . penyebab timbulnya emosi marah pada diri remaja ialah apabila mereka direndahkan, dipermalukan, dihina dan lainnya. Remaja yang sudah cukup matang menunjukkan rasa marahnya tidak lagi dengan berkelahi tapi lebih memilih mengerutu, mencaci atau dalam bentuk ungkapan verbal lainnya. 2. Emosi takut Jenis emosi lain yang sering muncul pada diri remaja adalah emosi takut. Menjelang seorang anak mencapai remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan yang timbul dari persoalan kehidupan. Ketakutan tersebut banyak menyangkut dengan ujian yang akan diikuti seperti rendahnya prestasi, sakit, kesepian dan lain-lain. Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah keberanian menghadapi rasa takut tersebut. 3. Emosi cinta/kasih sayang Jenis emosi ketiga yang sering muncul pada diri remaja adalah emosi cinta/kasih sayang, emosi ini telah ada sejak bayi dan terus berkembang sampai dewasa. Faktor ini penting dalam kehidupan remaja adalah untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya. Walaupun remaja bergerak ke dunia pergaulan yang lebih luas, dalam dirinya masih terdapat sifat kekanak-kanakanya. Remaja membutuhkan kasih sayang di rumah yang sama banyaknya dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan inilah sikap
menentang mereka, menyalahkan mereka secara langsung, mengolok-olok mereka pada waktu pertama kali karena mencukur kumisnya, adanya perhatian terhadap lawan jenisnya, merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Pada masa remaja rasa cinta mulai diarahkan kepada lawan jenis. Menurut Cole kecenderungan remaja wanita tertarik terhadap sesama jenis berlangsung lebih lama. Keadaan ini terlihat pada sikap kasih sayang terhadap sesama wanita seperti kepada kakak atau adik.
DAFTAR PUSTAKA Dumitrescu, Sabina. 2015. Characteristic of Adolescent Emotional Development. Romanian Journal of Cognitive Behavioral Therapy and Hypnosis. 2(4). 47-53 Fatimah, Enung. 2008. Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Pustaka Setia. Hurlock, Elizabeth B. 2012. Psikologi Perkembangan (Ed. 5). Jakarta: Penerbit Erlangga. Larson, Reed W. dan Brown Jane R. 2007. Emotional Development in Adolescent: What Cen be Learned From a High School Theater Program?. Child Development. 78 (4). 1083-1099