LAPORAN PRAKTIKUM BUDIDAYA PAKAN ALAMI KULTUR ARTEMIA, DAPHNIA DAN SPIRULINA
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas praktikum mata kuliah Budidaya Pakan Alami semester ganjil
Disusun oleh : Kelompok 10 – B Syakirah Imtinan Z Fanny Paramesworo Hari Nugraha Naufal Arrasyid Rahayu R Dela Nur’aini K
230110160086 230110160091 230110160103 230110160112 230110160123 230110160144
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI PERIKANAN JATINANGOR 2017
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat melaksanakan praktikum dan menyelesaikan laporan mata kuliah Budidaya Pakan Alami yang berjudul “Laporan Praktikum Kultur Artemia, Daphnia dan Spirulina” ini tepat waktu. Pada kesempatan ini kami, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan praktikum dan penyelesaian laporan praktikum ini terutama kepada: 1. Tim Dosen yang terdiri dari Irfan Zidni, Ibnu Bangkit, selaku dosen mata kuliah Budidaya Pakan Alami. 2. Tim Asisten yang selalu membantu dan membimbing selama proses praktikum berlangsung. Akhirnya, tiada kata yang dapat kami sampaikan selain mengharapkan agar laporan akhir praktikum ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya kepada kami, maupun umumnya untuk pembaca dimasa sekarang maupun yang akan datang.
Jatinangor, Desember 2017
Penyusun
ii
RINGKASAN PRAKTIKUM
Praktikum budidaya pakan alami mengenai kultur artemia sp., daphnia sp., dan spirulina sp. merupakan salah satu upaya dalam memaksimalkan potensi pemanfaatan pakan alami sebagai sumber makanan utama dalam kegiatan budidaya maupun aplikasi dalam bidang lainnya. Praktikum ini secara umum memiliki tujuan untuk memperoleh populasi artemia, daphnia, dan spirulina yang maksimal selama proses kultur berlangsung. Adapun kegiatan praktikum dilakukan dengan menggunakan metode kultur terkontrol dan dengan perlakuan yang bermacam macam untuk mengetahui pengaruh dan perbandingan terhadap hasil yang didapatkan. Dengan demikian, para praktikan dapat mengetahui berbagai analisa dan menguasai proses kultur untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
iii
DAFTAR ISI
BAB
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................
ii
RINGKASAN PRAKTIKUM.....................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................
iv
DAFTAR TABEL ........................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................
vii
TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Artemia ............................................................................. 1.2 Daphnia ............................................................................. 1.3 Spirulina ............................................................................
1 2 2
METODOLOGI 2.1 Tempat dan Waktu ............................................................ 2.2 Alat dan Bahan .................................................................. 2.3 Prosedur Praktikum ...........................................................
3 3 4
III METODOLOGI PRAKTIKUM 3.1 Artemia ............................................................................. 3.2 Daphnia ............................................................................. 3.3 Spirulina ............................................................................
5 5 6
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Artemia ............................................................................. 4.2 Daphnia ............................................................................. 4.3 Spirulina ............................................................................
8 19 19
I
II
V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ....................................................................... 5.2 Saran .................................................................................
27 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................
28
Lampiran ......................................................................................
29
iv
DAFTAR TABEL
Nomor 1 2 3
Judul
Halaman
Alat-alat yang digunakan ..................................................... Bahan-bahan yang digunakan .............................................. Data kepadatan populasi Daphnia sp. ..................................
v
10 11 17
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1 2 3 4 5 6
Judul
Halaman
Morfologi Daphnia sp. (Pangkey, 2009) ............................. Siklus Hidup Dahpnia sp. (Clare, 2002).............................. Spirulina sp. ......................................................................... Siklus Reproduksi Spirulina sp. (Hongmei Gong et al., 2008) Ikan Brek ............................................................................. Grafik Populasi Spirulina sp ................................................
vi
3 4 5 6 8 21
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1 2 3
Judul
Halaman
Alat-alat yang digunakan ..................................................... Bahan-bahan yang digunakan .............................................. Kegiatan praktikum ..............................................................
vii
27 27 28
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1
Artemia sp. Artemia merupakan organisme sejenis udang-udangan berukuran kecil
(renik) dikenal dengan nama brine shrimp. Klasifikasi Artemia menurut Barnes (1963), adalah sebagai berikut. Filum Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies
: Arthropoda : Crustacea : Branchiopoda : Anostraca : Artemidae : Artemia : Artemia sp.
Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang banyak digunakan dalam pemeliharaan ikan dan udang. Artemia memiliki kandungan nutrisi yang tinggi; protein 52,50%, karbohidrat 14,80%, dan lemak 23,40%. Individu Artemia dewasa mencapai panjang antara 1-2 cm dan berat 10 mg. Telur Artemia beratnya 3,6 mikrogram, diameternya sekitar 300 mikron (Djarijah, 1996). Makanan Artemia berupa plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk ke mulut. Kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Artemia dapat memakan partikel yang berukuran sampai 50 μm. Makanan disaring dengan apendik tanpa diseleksi, dikumpulkan dan digumpalkan dalam alur tengah ventral hampir sepanjang badan, kemudian dialirkan ke anterior terutama menggunakan bagian dari pangkal kaki. Pada Artemia dewasa pengambilan makanan dibantu oleh torakopoda, sedangkan pada fase nauplius dibantu oleh sungut atau antena II. Artemia memiliki keistimewaan yaitu tidak berhenti makan jika persediaan makanan terus ada (Mudjiman, 1989). Media kultur Artemia adalah air laut dengan salinitas sekitar 10-30 ppt atau media buatan berupa air garam (Mudjiman, 1989). Artemia bersifat euryhaline yang dapat bertahan pada salinitas 3-300 ppt. Artemia dapat juga bertahan dalam waktu
1
2
yang singkat dalam air tawar (Treece, 2000). Sebelum ditetaskan, terkadang siste dicuci dengan merendamnya dalam air tawar. Proses penetasan siste, suhu air media penetasan dipertahankan antara 25-30ºC. Air media diareasi menggunakan aerator atau kompressor. Aerasi ini selain untuk mengaduk agar siste tidak mengendap di dasar wadah juga untuk menambah kadar oksigen. Siste akan menetas menjadi nauplius setelah 24-36 jam (Mudjiman, 1989). Bagian bawah merupakan nauplius berwarna kemerah-merahan dan bagian atasnya adalah cangkang perlindungannya. Untuk memisahkan kedua bagian ini dilakukan dengan menutup bagian atas wadah menggunakan kain hitam dan bagian bawah wadah disinari dengan lampu. Dalam proses pemisahan ini, aerasi dihentikan sementara. Dalam waktu 5-10 menit kemudian nauplius tersebut akan terlepas dari cangkangnya. Individu-individu nauplius tersebut akan mengumpul di bagian dasar wadah, sedangkan cangkangnya akan mengapung di permukaan. Nauplius yang mengumpul di dasar wadah tersebut disedot dengan selang plastik dan ditampung dalam saringan 125 mikron (plankton net). Di dalam saringan penampung tersebut, nauplius dibersihkan dari kotorannya dengan menyemprotkan air bersih sampai kotorannya hilang dan siap dijadikan pakan alami ikan (Djarijah, 1996).
1.2
Daphnia sp. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik
yang hidup secara umum di perairan tawar (Pangkey 2009). Beberapa Daphnia sp. ditemukan mulai dari daerah tropis hingga Arktik dengan berbagai ukuran habitat mulai dari kolam kecil hingga danau luas (Delbaere dan Dhert, 1996). Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia sp. adalah sebagai berikut : Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Branchiopoda
Ordo
: Cladocera
Famili
: Daphnidae
Genus
: Daphnia
3
Spesies
: Daphnia sp. Secara morfologi pembagian segmen pada tubuh Daphnia sp. hampir tidak
terlihat. Pada bagian tubuh menyatu dengan kepala. Bentuk tubuh membungkuk kearah bagian bawah, hal ini terlihat dengan jelas melalui lekukannya. Beberapa spesies Daphnia sebagian besar anggota tubuh tertutup oleh carapace, dengan kaki semu yang berjumlah enam pasang dan berada pada rongga perut. Bagian tubuh yang paling terlihat adalah mata, antena dan sepasang setae. Pada dinding tubuh Daphnia sp. bagian punggung membentuk suatu lipatan yang menutupi anggota tubuh lain sehingga terlihat seperti cangkang. Bagian ini membentuk kantung sebagai tempat menampung telur. Pada bagian cangkang tersebut terbentuk karena banyak menyerap air, kulit yang lunak kemudian menjadi keras. Kerasnya cangkang terbentuk ketika mineral-mineral pembentuk cangkang tersedia di perairan (Siregar, 1996).
(a’): Antennule (a”): Antena (b.c.): Brood-chamber (br.): Brain (c.): Margin of Carapace (c.s): Caudal setae (e.): Compound eyes coalesced into one (f.): Furca (gl.): maxillary gland (h.): Heart (herp.): Hepatic diverticulum of gut (n.e.): Nauplius eye (ov.): Ovary
Gambar 1. Morfologi Daphnia sp. (Pangkey, 2009) Mekanisme reproduksi Daphnia adalah dengan cara parthenogenesis, dan sebagian besar telur yang dihasilkan akan menetas menjadi Daphnia betina. Kemudian satu atau lebih individu muda dirawat dengan menempel pada tubuh
4
induk. Pertambahan ukuran terjadi sesaat setelah telur menetas di dalam ruang pengeraman. Daphnia sp. dewasa berukuran 2,5 mm, anak pertama sebesar 0,8 mm dihasilkan secara parthenogenesis (Mudjiman, 1999). Menurut Siregar (1996) jika kondisi lingkungan hidup Daphnia sp. tidak sesuai dan kondisi pakan tidak memadai, beberapa Daphnia sp. akan memproduksi telur berjenis kelamin jantan. Kehadiran jantan ini dapat membuahi telur Daphnia (ephippium), satu ekor Daphnia sp. jantan dapat membuahi ratusan betina dalam satu periode. Telur dari hasil pembuahan dapat bertahan dan berkembang hingga fase gastrula dan segera memasuki fase dorman. Selain itu telur ini juga terlindungi dengan mekanisme pertahanan terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Selanjutnya Daphnia sp. hidup dan berkembang biak secara aseksual. Perkembangan naupli hingga pada fase dewasa dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada suhu 220 C-310C dan pH 6,5-7,4 dapat berkembang menjadi dewasa dalam waktu 4 hari dan bertahan hidup selama 12 hari (Siregar, 1996).
Gambar 2. Siklus Hidup Dahpnia sp. (Clare, 2002)
1.3
Spirulina sp. Klasifikasi Spirulina sp. menurut Bold & Wyne (1985) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Protista
5
Filum Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Cyanobacteria : Cyanophyta : Cyanophyceae : Nostocales : Oscilatoriaceae : Spirulina : Spirulina sp.
Gambar 3. Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan organisme autotrof berwarna hijau kebiruan, menyerupai spiral dengan sel membentuk filamen terpilin sehingga disebut juga alga biru hijau berfilamen. Spirulina sp. berdiameter 1-12 mikrometer dan memiliki bentuk tubuh menyerupai benang yang merupakan rangkaian sel yang berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis. Selain itu, filamen Spirulina sp. juga dapat hidup soliter. Spirulina sp. adalah jenis Cyanobacteria yang mengandung klorofil dan dapat melakukan fotosintesis untuk membuat makanan sendiri. Zat warna alami yang dikandung Spirulina sp. terdiri atas pigmen hijau, merah, kuning dan biru. Kandungan fikosianin yang tinggi pada mikroalga ini menyebabkan warnanya cenderung hijau biru. Spirulina sp. memiliki struktur trichoma spiral dengan filamen–filamen bersifat mortal dan tidak memiliki heterosit. Sel Spirulina sp. berukuran relatif besar yaitu 110 µm, sehingga dalam proses pemanenan dengan menggunakan kertas saring lebih mudah.
6
Siklus reproduksi Spirulina sp. terdiri atas tiga tahap yaitu fragmentasi trikoma, pembesaran sel hormogonia dan perpanjangan trikoma. Kemudian trikoma dewasa dibagi menjadi filamen atau hormogonia, lalu sel-sel hormogonia akan meningkat dengan pembelahan biner dan tumbuh memanjang membentuk spiral (Hongmei Gong et al., 2008).
Gambar 4. Siklus Reproduksi Spirulina sp. (Hongmei Gong et al., 2008) Spirulina sp. bereproduksi dengan fragmentasi. Fragmentasi adalah pemutusan bagian tubuh yang kemudian membentuk individu baru. Pada filamen yang panjang jika salah satu selnya mati maka sel mati itu membagi filamen menjadi 2 bagian atau lebih. Masing-masing bagian disebut hormogonium. Selain itu, fragmentasi juga terjadi pada pemisahan dinding yang berdekatan pada trikoma. Pada proses fragmentasi, filamen yang panjang akan terputus menjadi dua atau lebih benang pendek. Setiap hormogonium akan tumbuh menjadi filamen baru. Tempat pemutusan filamen adalah sel mati yang terdapat diantara sel penyusun filamen (Khoirul, 2013). Selain bereproduksi dengan fragmentasi, Spirulina sp. juga bereproduksi dengan pembelahan biner. Pembelahan biner merupakan pembelahan sel secara langsung yang dapat memperbanyak jumlah filamen. Sel-sel membelah menjadi 2 dan tidak saling terpisah sehingga membentuk filamen yang terdiri atas deretan mata rantai sel yang disebut trikoma (Khoirul, 2013).
7
Spirulina memiliki kandungan 62% asam amino, sebagai sumber vitamin B-12 alami paling kaya, mengandung keseluruhan spektrum alami dari campuran karoten dan xantofil. Awalnya, Spirulina merupakan bahan makanan tradisional penduduk asli Meksiko yang tinggal di dekat danau Texcoco dan penduduk Afrika yang bermukim di dekat danau Chad. Pemanfaatan Spirulina lebih tinggi daripada mikroalga lainnya karena Spirulina memiliki kualitas tinggi terutama dalam bentuk kering. Kandungan protein Spirulina berkisar 60-71% bk 1.4
Enrichment
Enrichment diambil dari kata bahasa Inggris yang berarti pengkayaan. Untuk meningkatkan mutu pakan alami dapat dilakukan pengkayaan , istilah pengkayaan bisa juga disebut dengan bioenkapsulasi. Pengkayaan terhadap pakan alami ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas nutrisi dari pakan tersebut. Tujuan pengkayaan pakan adalah agar komposisi nutrien dari pakan alami tersebut menjadi sama atau mendekati kebutuhan nutrisi dari spesies budidaya. Jenis pakan alami yang dapat dilakukan pengkayaan adalah dari kelompok zooplankton misalnya Artemia, Rotifer, Daphnia, Moina dan Tigriopus. Semua jenis zooplankton tersebut biasanya diberikan kepada larva dan benih ikan air tawar, payau dan laut. Dengan meningkatkan mutu dari pakan alami dari kelompok ini dapat meningkatkan mutu dari larva dan benih ikan yang mengkonsumsi pakan tersebut. Peningkatan mutu pakan alami dapat dilihat dari peningkatan kelangsungan hidup/sintasan larva dan benih yang dipelihara, meningkatkan pertumbuhan larva dan benih ikan serta meningkatkan daya tahan tubuh larva dan benih ikan. Beberapa jenis bahan yang dipergunakan oleh para pembudidaya ikan untuk melakukan bioenkapsulasi atau enrichment sangat bergantung dari tujuan pemberian bahan enrichment tersebut. Tujuan utama pemberian bahan tambahan pada pakan alami adalah meningkatkan nilai gizi dari larva atau benih ikan yang akan mengkonsumsinya. Oleh karena itu zat pengkayaan dalam melakukan enrichment tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: a. Zat-zat gizi essensial b. Pigmen
8
c. Prophylactics d. Therapeutics
1.5
Ikan Beureum Panon
Berikut klasifikasi dari ikan beureum panon: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Puntius Spesies : Puntius orphoides
Gambar 5. Ikan Brek Brek atau mata merah (Puntius orphoides) adalah adalah sejenis ikan air tawar anggota suku Cyprinidae. Ikan ini menyebar luas di Indocina dan kepulauan Sunda. Nama-nama lainnya, di antaranya: maroca, marococa, wadonan, brek, pekiseh, lunjar, wader; dan sisik milik, ampa. Di Tasikmalaya, ikan ini juga dikenal dengan sebutan beureum panon. Ikan ini bertubuh sedang, panjang total hingga 250 mm. Gurat sisi antara 31-34 buah, 5-5½ sisik di antara awal sirip dorsal dengan gurat sisi. Batang ekor dikelilingi 16 sisik. Jari-jari keras (duri) yang terakhir pada sirip dorsal bergerigi 30, halus. Sirip ekor dengan tepi atas dan bawah berwarna hitam; bintik hitam pada batang ekor. Ikan muda dengan beberapa deret bintik gelap sepanjang barisan sisiknya. Tinggi tubuh 2½ hingga hampir 3 kali berbanding panjang standar (tanpa sirip ekor). Panjang kepala 3,2 – 4 kali berbanding panjang standar. Mata 4-6 kali lebih pendek daripada panjang kepala. Rumus sirip dorsal IV (jari-jari keras); 8
9
(jari-jari lunak); sirip dubur III.5; sirip dada I.14-16; dan sirip perut I.8. Sirip perut lebih pendek daripada sirip dada, tidak mencapai anus. Mata merah dikenal sebagai ikan karnivora yang memangsa serangga, siput dan lain-lain. Secara alami ikan beureum panon didapati di sungai-sungai, waduk dan danau; namun biasa juga ditemukan liar di kolam-kolam ikan.
BAB II METODOLOGI 2.1
Tempat dan Waktu Praktikum Budidaya Pakan
Alami
“Kultur Artemia, Daphnia dan
Spirulina” dilaksanankan di Laboratorium Fisiologis Hewan Air, Gedung Dekanat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Senin, 23 Oktober 2017, 13 November 2017 dan 20 November 2017 pukul 09.30–11.30. 2.2
Alat dan Bahan Pelaksanaan praktikum ini digunakan alat-alat dan bahan sebagai berikut:
2.2.1 Alat Alat-alat yang digunakan pada praktikum penghitungan nilai hematokrit pada ikan mas seperti yang disajikan dalam bentuk tabel berikut. Tabel 1. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kultur pakan alami. Nama Alat
Fungsi
Timbangan
untuk menimbang kista
Peralatan Aerasi
untuk melakukan aerasi
Plankton net
untuk panen
Selang Aerasi
untuk
menghubungkan
batu
aerasi dengan aerator Kontainer
untuk menyimpan toples kultur
Hand Counter
untuk
menghitung
artermia,
daphnia dan spirulina Microskop
untuk melihat artemia, daphnia, dan spirulina dengan gelas
Petridisk
untuk
menyimpan
artemia,
daphnia, spirulina Gelas ukur
untuk mengukur volume
Pipet Tetes
10
11
untuk
memindahkan
cairan
klorin Kain kasa
untuk
membungkus
kotoran
ayam
3.2.2
Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum penghitungan sel darah
merah dan sel darah putih adalah seperti yang disajikan dalam tabel berikut: Tabel 2. Bahan-banhan yang digunakan dalam praktikum kultur pakan alami. Nama Bahan
Fungsi
Kista Artemia, Dahpnia
Sebagai
Spirulina
diamati
Garam
Sebagai
Air
diamati
Klorin
Untuk meningkatkan salinitas
objek
yang
akan
objek
yang
akan
Sebagai media Membantu
penetasan
kista
artemia
2.3
Prosedur Praktikum Berikut ini merupakan prosedur kerja dalam praktikum Kultur Artemia
Alat dan bahan disiapkan
Kebutuhan aremia dan garam ditimbang
Dilakukan dekapsulasi dan non dekapsulasi pada artemia
Wadah penetasan disetting
11
Kepadatan kista artemia dihitung per liter media penetasan
Derajat penetasan dihitung artemia per liter media penetasan Prosedur kerja dalam praktikum Kultur Daphnia Wadah disiapkan dengan diisi air 2L
Kotoran ayam ditimbang, lalu dibungkus kain kasa
Daphnia ditimbang sesuai kebutuhan lalu masukan kedalam wadah
Kotoran ayam dimasukan kedalam wadah
Wadah daphnia diaerasikan, lalu diamkan selama beberapa hari
Prosedur kerja dalam praktikum Kultur Daphnia Toples/Wadah budidaya disiapkan harus terkena sinar matahari, namun terhindar dari air hujan Isi topleas/wadah dengan air. Air dalam topleas haru teraduk (aerasi)
Sterilisasi menggunakan kaporit
Tunggu selama 4 hari (Aerasi tetap berjalan)
12
Beri pupuk
Masukan bibit Spirulina sebanyak dari volume air. Tunggu sampai panen (7 hari)
Saring dan keringkan dibawah terik matahari, lalu blender menjadi serbuk
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Artemia Kultur artemia yang kami lakukan, menggunakan 2 metode. yaitu metode
dekapsulisasi dan non-dekapsulisasi. Selain itu, kultur artemia dengan pengkayaan (enrichment) dan tanpa pengkayaan (non-enrichment), yang hasilnya dapat terlihat setelah diaplikasikan kedalam pakan ikan beureum panon. Berikut merupakan hasil dan pembahasannya. 3.1.1
Kultur Artemia dengan Metode Dekapsulisasi dan Non Dekapsulisasi
A.
Hasil
Dekapsulisasi Sampling (5ml) 1. 75 ekor 2. 70 ekor 3. 99 ekor 4. 92 ekor 5. 75 ekor 401 ekor Rata rata =
401 5
= 80,2 𝑒𝑘𝑜𝑟
Total menetas (1L) Dekapsulisasi = rata rata x 200 = 80.2 x 200 = 16.040 ekor HR Dekapsulisasi =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑖𝑠𝑡𝑎 1 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥 100%
16.040
= 134.280 𝑥 100% = 11,94% Kondisi Media Air Suhu : 28oC Salinitas : 26 ppt
Non Dekapsulisasi Sampling (5mL)
13
14
1. 116 ekor 2. 201 ekor 3. 51 ekor 4. 235 ekor 5. 230 ekor 833 ekor Rata rata =
833 5
= 167 𝑒𝑘𝑜𝑟
Total menetas (1L) Dekapsulisasi = rata rata x 200 = 167 x 200 = 33.400 ekor HR Dekapsulisasi =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑖𝑠𝑡𝑎 1 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥 100%
33.400
= 134.280 𝑥 100% = 24,82% Kondisi Media Air Suhu : 28oC Salinitas : 27 ppt B.
Pembahasan Berdasarkan data hasil percobaan kultur artemia kelompok 10 metode
dekapsulisasi dan non-dekapsulisasi, didapatkan hasil akhir berupa HR (Hatchery Rate) artemia 11,94% dengan metode dekapsulisasi dan HR (Hatchery Rate) artemia 24,82% dengan metode non-dekapsulasi. Bila dilihat dari pengertian dan tujuannya, metode dekapsulisasi pada penetasan artemia merupakan upaya /proses untuk menghilangkan/mengikis lapisan luar kista yang keras (korion). Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan menghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo dan Sofiati, 2004). Walaupun metode dekapsulisasi mempermudah embrio untuk keluar dari kista, akan tetapi ada artemia yang tidak menetas dari kistanya. Namun, kista yang telah didekapsulisasi lebih aman untuk dimakan oleh larva ikan karena akan lebih mudah dicerna.
15
Namun pada kenyataannya, hasil kultur artemia kelompok kami dengan metode dekapsulisasi memiliki nilai HR yang lebih rendah dari non dekapsulisasi. Tujuan awal dilakukan metode dekapsulasi adalah meningkatkatkan daya tetas kista artemia atau biasa disebut dengan peningkatan heacthing rate (hareta, 1997). Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa kegiatan praktikum yang kami lakukan tidak memberikan hasil yang sesuai dengan studi literatur yang kami baca. Bila dijelaskan proses penetasan artemia yang tepat menurut Subaidah dan Mulyadi (2004), penjelasan langkah-langkah penetasan dengan cara dekapsulasi, sebagai berikut:
Cyste artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam;
Cyste disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dicuci bersih;
Cyste dicampur dengan larutan kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml per 1 gram cystae, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata;
Cyste segera disaring menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, barulah siap untuk ditetaskan;
Cyste akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan aerasi untuk memisahkan cytae yang tidah menetas dengan naupli artemia. Sedangkan kegiatan praktikum yang kami lakukan, kista artemia tidak
direndam air tawar terlebih dahulu, dan langsung direndam oleh larutan khlorin 1,5 mL dicampur air tawar 1,5 mL. Juga, pada saat pembilasan menggunakan air tawar, kami membilas kista secukupnya, tidak sampai bau khlorinnya hilang. Kemungkinan hal itulah penyebab dari kecilnya nilai HR artemia kami. Selain dari hal itu, beberapa faktor keberhasilan penetasan artemia yang dikemukakan Hareta, 1997 ialah suhu, aerasi, kepadan kista salinitas air, intensitas cahaya, kualitas kista artemia serta ketebalan lapisan korion kista. Kemungkinan proses penetasan kelompok kami, faktor-faktor tersebut kurang terpenuhi. Seperti aerasi yang sering ditukar dan botol yang cukup jauh dari cahaya lampu neon. Media air pada kedua metode penetasan, memiliki kualitas air yang optimum. Dimana suhu pada metode dekapsulisasi maupun non-dekapsulisasi yaitu
16
28oC. Dan salinitas pada metode dekapsulisasi yaitu 26 ppt, sedangkan nondekapsulisasi 27 ppt. Hal ini sesuai dengan kondisi optimal penetasan artemia yang berkisar antara 25-30oC untuk suhu dan salinitas 5-35 ppt (gusrina 2008), walaupun pada habitat aslinya dapat hidup pada salinitas yang sangat tinggi. 3.1.2
Kultur Artemia dengan Pengkayaan (Enrichment)
A.
Hasil
Enrichment SR =
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 32 𝑥 100% = 𝑥 100% = 88,89% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 36
Pertambahan 1. Biomassa : 0,4 gr 2. Per 1 ekor : 0,12 gr
Non Enrichment SR =
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 31 𝑥 100% = 𝑥 100% = 86,11% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 36
Pertambahan 1. Biomassa : 0,2 gr 2. Per 1 ekor : 0,006 gr
B.
Pembahasan Setelah kami melakukan kultur artemia dengan penambahan probiotik
sebagai bahan pengkayaan, kemudian artemia tersebut di aplikasikan kedalam pakan larva ikan beureum panon. Dimana kemudian, hasil survival rate dan pertambahan biomassa dari ikan tersebut kami amati untuk mengetahui pengaruh artemia dengan pengkayaan dan tidak dengan pengkayaan terhadap pertumbuhann ikan tersebut. Bila dilihat dari pengertiannya sendiri, tingkat kelangsungan hidup (survival rate) adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal percobaan (Amry, 2002). Faktor
17
yang mempengaruhi Kelangsungan hidup adalah kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan (Sukoso, 2002). Kualitas pakan dilihat berdasarkan kandungan nutrisi yaitu protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Shuanglin, 2002). Hal itu dibuktikan oleh data hasil kelompok kami, didapatkan nilai survival rate dari larva ikan beureum panon yang diberi pakan artemia dengan pengkayaan, sebesar 88,89%. Dan nilai survival rate larva ikan beureum panon yang diberi pakan artemia tanpa pengkayaan adalah sebesar 86,11%. Probiotik yang diberikan pada artemia dengan pengkayaan, akan meningkatkan nilai gizi dari artemia tersebut dan berdampak pada kelangsungan hidup dari larva ikan beuerum panon. Tingkat kelangsungan hidup rendah dan kecepatan pertumbuhan akan menurun apabila kondisi lingkungan dan nutrisi tidak sesuai (Wickins dan Lee, 2002). Bila dilihat dari pertambahan biomassanya, ikan dengan pakan artemia enrichment memiliki nilai yang lebih tinggi (0,4 gr) dari ikan dengan artemia non enrichment (0,2). Dengan berat per satu ekornya 0,012 gr untuk ikan dengan pakan artemia enrichment dan 0,006 gr untuk ikan dengan pakan artemia non enrichment. Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran panjang dalam kurun waktu tertentu (Rusdi dan Karim, 2006). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam variasi pertumbuhan ikan adalah faktor dalam dan faktor luar (Hariati, 1989). Faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah pakan (Serang, 2006). Larva ikan memperoleh energi melalui pakan yang dikonsumsi dan digunakan untuk berbagai aktifitas termasuk untuk keperluan osmoregulasi (Karim, 2005).
4.2
Daphnia sp.
4.3.1
Hasil Pengamatan Berikut ini adalah hasil sampling pengamatan kultur Daphnia sp. yang
dilakukan kelompok 10 yaitu: Tabel 3. Data Kepadatan Populasi Daphnia sp. Praktikum ke-
Jumlah Daphnia Awal (individu/L)
Massa Pupuk (gram/L)
Volume Aquades (L)
1
100
3
1,5
Jumlah Individu saat Panen (individu/L) 0
18
Praktikum ke-
Jumlah Daphnia Awal (individu/L)
Massa Pupuk (gram/L)
Volume Aquades (L)
2
100
3
1,5
4.3.2
Jumlah Individu saat Panen (individu/L) 5
Pembahasan Berdasarkan Tabel 1. didapatkan bahwa pada praktikum pertama
mengalami kegagalan pada saat kultur. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya wadah yang digunakan kurang steril karena Daphnia sp. merupakan hewan yang sangat sensitif terhadap kontaminasi bahan kimia. Selain itu, mungkin disebabkan oleh kurangnya ketersediaan oksigen terlarut, ini kemungkinan bebsar disebabkan karena padat tebar yang terlalu tinggi dan juga aerasi yang tidak stabil. Kurangnya ketersediaan oksigen terlarut dalam media kultur menyebabkan Daphnia mati Pada praktikum ke-2 didapatkan penurunan jumlah individu dari awalnya 100 individu/L menjadi 5 individu/L. Kematian Daphnia yang drastis kemungkinan disebabkan karena kurangnya ketersediaan oksigen terlarut lagi. Aerasi yang tidak stabil menjadi faktor utama yang menyebabkan Daphnia mati. Metode yang sering digunakan pada kultur Daphnia adalah metode pemupukan, pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk organik dan anorganik (Ivleva 1973). Menurut Boyd (1982) pupuk organik lebih efektif dibandingkan pupuk anorganik. Pupuk organik adalah pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami (Casmuji, 2002). Menurut Setyamidjaja (1986) pemakaian pupuk organik sebagai bahan media kultur terutama yang berasal dari kotoran ternak dapat merangsang pertumbuhan populasi mikroorganisme, sebagai sumber makanan secara langsung untuk Daphnia sp. atau diuraikan oleh bakteri menjadi bahan-bahan organik yang merangsang pertumbuhan fitoplankton dan zooplankton (Boyd 1982). Pupuk yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu kotoran ayam. Kotoran ayam sebagai limbah peternakan masih memiliki kandungan nutrien yang cukup baik, terutama protein. Menurut Rasyaf (1994) kotoran ayam petelur merupakan sumber protein
19
yang baik, karena masih terdapat bagian-bagian pakan yang terbuang melalui kotoran akibat tidak sempat dicerna, kotoran ayam mengandung nitrogen 0,7 %, fosfor 0,3 % dan kalium 0,65 %. Selanjutnya dikatakan oleh Subagyo (1981) bahwa kotoran ayam mengandung protein kasar 16-35 % dengan protein sejati 10-11 %. Kultur Daphnia juga harus memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan Daphnia yaitu oksigen terlarut (DO), pH, suhu, amoniak, dan ketersediaan nutrien. Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup Daphnia. Pada umumnya Daphnia dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut (DO) diatas 3 mg/l (Ebert 2005). Kondisi oksigen terlarut tersebut dibutuhkan oleh Daphnia dalam proses metabolisme di dalam tubuhnya. Suhu yang masih dapat ditoleransi oleh Daphnia bervariasi sesuai pada lingkungan tersebut. Daphnia umumnya dapat hidup optimal dengan kisaran suhu 22-31 ̊C (Radini 2004), sedangkan kisaran derajat keasaman (pH) pada Daphnia yang masih dapat ditolerir adalah 7,2–8,5 (Clare 2002). Dengan meningkatnya suhu dan pH maka akan mempengaruhi peningkatan kadar NH3 di perairan. Menurut Lavens dan Sorgeloos (1996) kadar amoniak untuk Daphnia masih dapat hidup yaitu pada konsentrasi 0,2 ppm. Sedangkan menurut Radini (2004) Daphnia masih bertahan pada kadar amonia di bawah 0,2 ppm dan dapat berkembang biak dengan baik.
4.3
Spirulina sp.
4.3.1
Hasil Pengamatan Berikut ini adalah hasil sampling pengamatan kultur Spirulina sp. yang
dilakukan kelompok 10 yaitu: Sampling hari ke-1: A1
=2
A2
=1
A3
=1
A4
=2
A5
=1
+
7 Kepadatan
= rata-rata x faktor pengali = 1,4 x 250.000 = 350.000 individu / L
20
7
Rata – Rata = 5 = 1,4
Sampling hari ke-7: A1
=5
A2
=3
A3
=8
A4
=4
A5
=2 + 22
Rata – Rata =
22 5
= 4,4
Kepadatan
= rata-rata x faktor pengali = 4,4 x 250.000 = 1.100.000 individu / L
Kepadatan
= rata-rata x faktor pengali = 1,6 x 250.000 = 400.000 individu / L
Sampling hari ke-21: A1
=2
A2
=2
A3
=1
A4
=2
A5
=1
+
8 8
Rata – Rata = 5 = 1,6 Bobot basah = 830 mg Bobot kering = 50 mg
4.3.2
Pembahasan
Kepadatan Spirulian sp. (103 sel/mm)
21
1100
1200 1000 800 600 400
400
350
200 0 1
7
21
Hari ke-
Gambar 6. Grafik Populasi Spirulina sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan pupuk sebagai sumber nutrisi terhadap polulasi Spirulina sp. Terdiri dari empat fase pertumbuhan yaitu adaptasi, eksponensial, stasioner, dan penurunan. Fase adaptasi terjadi pada hari pemasukan inokulan dan hari pertama (Robi 2014). Kepadatan yang didapatkan pada hari ke-1 sebanyak 350.000 individu/L. Fase eksponensial ditandai dengan pembelahan sel yang cepat dan konstan. Pada fase eksponensial mikroalga lebih banyak membutuhkan energi daripada fase lainnya dan paling sensitif terhadap keadaan lingkungannya (Andersen 2005). Fase stasioner ditandai dengan laju reproduksi atau pembelahan sel sama dengan laju kematian. Kepadatan yang didapatkan pada hari ke-7 yaitu sebanyak 1.100.000 individu/L. Setelah itu terjadi penurunan jumlah kepadatan Spirulina sp. Terjadinya penurunan jumlah kepadatan Spirulina sp. disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya kurangnya intensitas cahaya karena pada saat praktikum toples kurang dekat dengan sumber cahaya. Fase deklinasi (kematian) pada hari ke delapan merupakan fase kematian yang ditandai dengan laju kematian lebih tinggi dari laju pertumbuhan sehingga kepadatan populasi terus berkurang. Kematian sel dapat disebabkan oleh mulai berkurangnya nutrisi yang tersedia sehingga tidak mampu mendukung pertumbuham sel, penurunan kualitas air, dan akumulasi metabolit. Akibatnya laju kematian sel lebih besar disbanding laju pertambahan sel (Lavens dan Sorgeloos 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Spirulina sp. Yaitu suhu, cahaya, pH, dan agitas (Vonshak 1986). Penurunan suhu pada lingkungan kultur
22
akan dapat menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan meningkatnya derajat lipid tidak jenuh di dalam sistem membran, sedangkan peningkatan suhu akan merangsang aktivitas molekul sehingga laju difusi meningkat (Borowitzka 1988). Menurut Taw (1990) kisaran suhu optimal untuk Spirulina sp. skala laboratorium adalah 25-35 ̊ C. Nilai pH pada media tumbuh mikroalga akan menentukan kemampuan biologi mikroalga dalam memanfaatkan unsur hara, sehingga pH optimum sangat penting untuk menunjang pertumbuhan Spirulina sp. yang optimal. Nilai pH yang baik untuk pertumbuhan Spirulina sp. berkisar antara 8,5-9,5 (Suryati 2002). Cahaya dalam kultur mikroalga skala laboratorium biasanya cukup dengan menggunakan lampu TL atau neon. Cahaya merupakan sumber energi bagi mikroalga untuk dapat melakukan fotosintesis. Apabila mikroalga kekurangan cahaya dalam lingkungan kulturnya maka fotosintesis akan berlangsung tidak normal. Pencahayaan pada kultur dapat dipengaruhi oleh tingkat intensitas pencahayaan, lamanya pencahayaan dan bergantung dari kepadatan sel yang akan mempengaruhi pembentukan bayangan sel itu sendiri. Intensitas cahaya yang optimal untuk pertumbuhan Spirulina sp. berkisar antara 1500-3000 lux dan tidak melebihi 4000 lux untuk menghindari fotoinhibisi (Richmond 1968). Agitasi atau proses pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengoptimalkan proses pertumbuhan Spirulina sp. Agitasi dilakukan untuk menjaga kelarutan CO2, meratakan penyebaran nutrien dan cahaya serta mencegah pengendapan sel-sel alga. Salah satu cara agitasi yang termudah dan efektif adalah dengan aerasi. Pemberian aerasi tersebut akan dapat memberikan udara ke dalam media tumbuh. Aerasi merupakan salah satu alat untuk membantu difusi oksigen dalam perairan. Dalam kultur Spirulina sp. aerasi diperlukan mencegah terjadinya pengendapan, meratakan nutrien, membuat gerakan untuk terjadinya pertukaran udara (penambahan CO2) dan dalam skala massal untuk mencegah terjadinya stratifikasi suhu (Novrina 2003). Pupuk yang digunakan yaitu NaHCO3, NaCl, Urea, TSP, Za dan FeCl memliki fungsi yang beda-beda. Pada penambahan pupuk NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH 8-11 dan intensitas cahaya 20-30 candela. NaCl untuk mempertahankan kadar air dalam spirulina. Urea yang ditambahkan pada kultur
23
berguna sebagai sumber nitrogen untuk meningkatkan pertumbuhan sel dan meningkatkan kadar protein. Penambahan TSP berguna untuk meningkatkan daya tahan terhadap serangan penyakit karena mengandung fosfat. Za mengandung nitrogen dan belerang yang membantu pertumbuhan pada Spirulina sp untuk zat hijau dan pembuatan gula. Serta FeCl yang berguna untuk mempertahankan kadar air dalam Spirulina dan berpengaruh untuk meningkatkan pertumbuhan. Analisis kimia dari Spirulina sp. dimulai pada tahun 1970 yang menunjukkan Spirulina sp. sebagai sumber yang sangat kaya protein, vitamin dan mineral. Kandungan protein pada Spirulina sp. bekisar antara 60% -70% dari berat kering, mengandung provitamin A tinggi, sumber β-karoten yang kaya vitamin B12 dan digunakan dalam pengobatan anemia, kandungan lipid sekitar 4-7%, serta karbohidrat sekitar 13,6% (Carrieri et al. 2010). Spirulina sp. juga mengandung kalium, protein dengan kandungan Gamma Linolenic Acid (GLA) yang tinggi (Tokusoglu dan Uunal 2006) serta vitamin B1, B2, B12 dan C (Brown et al. 1997), sehingga sangat baik apabila dijadikan pakan ataupun bahan untuk makanan dan obat-obatan. Komposisi pigmen pada Spirulina sp. merupakan komposisi pigmen yang kompleks dan umum ditemukan pada alga biru hijau. Komposisi tersebut diantaranya adalah klorofil- a, xanthophyll, fikosianin dan karotenoid yang terdiri dari myxoxanthophyll, beta karoten, dan zeaxanthin (Christwardana dan Hadiyanto 2012). Spirulina sp. dapat ditumbuhkan dalam media yang berbeda bahkan dalam media limbah. Spirulina sp. tumbuh dengan memanfaatkan gula sebagai sumber karbon, dan hidrolisat protein sebagai sumber nitrogen. Bahan-bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga ini terdapat melimpah dalam limbah– limbah yang berasal dari tanaman seperti limbah tapioka, limbah lateks, dan kelapa sawit. Berdasarkan penelitian dari Sumiarsa et. al. (2011), diketahui bahwa Nitrat adalah bentuk nitogen utama diperairan alami dan merupakan nutrien utama dalam pertumbuhan alga (Effendi 2003).
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan Pada praktikum kultur artemia dengan perlakuan dekapsulasi didapatkan
hasil yang berbanding terbalik sebagaimana mestinya, HR (Hatchery Rate) yang kelompok kami dapatkan nilainya kecil, sedangkan pada artemia dengan perlakuan non-dekapsulasi, nilai HR (Hatchery Rate) lebih besar. Nilai SR pada perlakuan enrichment lebih besar dibandingkan dengan perlakuan non-enrichment karena ditambahkan probiotik. Pada praktikum kultur daphnia yang pertama, hasil yang didapatkan kelompok kami, tidak ada satupun daphnia yang hidup, dan pada praktikum kedua, hasil yang didapatkan adalah 5 individu yang hidup, hal ini diduga karena kurangnya oksigen terlarut karena aerasi kelompok kami yang tidak stabil Hasil yang didapatkan dari kultur spirulina adalah kepadatan spirulina yang menurun setelah hari ke-7, karena sudah masuk kedalam fase deklinasi (kematian). 4.2 Saran Praktikkan diharapkan lebih teliti dalam melakukan pengamatan dan kultur baik kultur artemia, daphnia, maupun spirulina.
24
DAFTAR PUSTAKA Barnes, R. D. 1963. Invertebrate’s zoology. W. B. Sounders Company: Tokyo. Bold, H.C. dan Wynne, M.J. (1985), Introduction to the Algae, Second Edition, Prentice-Hall Mc. Engelwood Cliffs New York. Djarijah A S. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius. Hongmei G., Yunlai T., Jia W., Xiaogang W., Lixin Z. and Congming L. 2008. Characterization of Photosystem II in Salt-Stressed Cyanobacterial Spirulina platensis Cells. Biochimica et Biophysica acta 1777:2008, pp. 488-495 Khoirul, A. A. 2013. Cyanobacteri (Alga hijau-biru). Universitas Brawijaya: Malang Mudjiman, A. 1989. Makanan Ikan. Penebar Swadaya: Jakarta. Mudjiman, A. 1999. Makanan Ikan. Penerbit Penebar Swadaya: Jakarta. Pangkey, H., 2009. Daphnia dan Penggunaanya. Jurnal Perikanan dan Kelautan. V (3): 33-36 Siregar, A.D. 1996. Pakan Ikan Alami. Kanisius: Yogyakarta Andersen, R.A. 2005. Algal Culturing Technique. Elsevier Academic Press. UK Brown, M.R., Jeffery, S.W., Volkman, J.K., dan Dunstan, G,A, 1997. Nutritional Properties of Microalgae for Mariculture. Aquaculture. 151:315-331. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Hal. 66- 156. Robi, Nur Hayati. 2014. Pemanfaatan Tauge Kacang Hijau sebagai Pupuk untuk Meningkatkan Populasi Spirulina sp. Skripsi. Jurusan Perikanan. FPIK Universitas Airlanggal: Jombang Jawa Timur Boyd, C.E, 1982. Water Quality Management For pond Fish Culture Development. In Aquaculture and Fish Science, Vol. 9. Elsevier Scientific Pub. Comp 318p.
25
26
LAMPIRAN
27 Lampiran 1. Alat kultur artemia
Plankton net
Selang aerasi
Peralatan aerasi
Botol sebagai wadah budidaya
Hand counter
Mikroskop
28
Cawan petri
Pipet tetes
Gelas ukur Lampiran 2. Alat kultur dapnia
Toples sebagai wadah kultur
Objek glass
29
Hand counter
Gelas ukur
Lampu neon
Mikroskop
Timbangan digital
Pipet tetes
30
Peralatan aerasi
Plankton net
Sendok Lampiran 3. Alat kultur spirulina
Peralatan aerasi
Toples sebagai wadah kultur
31
Gelas kimia
Sendok Timbangan digital
Lampiran 4. Bahan kultur artemia
Kista artemia
Garam
32
Klorin
Air
Probiotik
Lampiran 5. Bahan kultur daphnia
Air
Pupuk kandang
33
Biakan daphnia Lampiran 6. Bahan kultur spirulina
Air
Inokulan Spirulina
NaHCO3
NaCl
34
Urea
TSP
ZA
FeCl
Lampiran 7. Prosedur kultur artemia
Kista dan garam ditimbang
Alat dan bahan disiapkan
Artemia dibilas dengan air tawar menggunakan plankton net hingga bau klorin hilang
Artemia diberi klorin dengan dosis 1,5 m/1 gr atau 1,5 gr kista (10 menit) hingga terjadi perubahan warna
Jumlah tebar kista dihitung per liter air
Kista menetas 18-24 jam kemudian
Kista direndam dengan air tawar sebanyak 1,5m/1 gr
Artemia diteteskan sesuai prosedur pada merk dagang yang ada
Jumlah artemia menetas dihitung, diamati dan hitung ukurannya
Lampiran 8. Prosedur kerja kultur daphnia
Alat dan bahan disiapkan
Daphnia dipanen pada hari ke-7
Wadah yang akan digunakan diikat dengan cara disikat sampai bersih, lalu dibilas air dan dikerimgkan
Daphnia dimasukkan sebanyak individu/L
35
Aerator dipasang ke dalam wadah dengan di berikan pemberat
Pupuk kandang dimasukkan dengan dosis 4 g/L air pupuk dapat ditambahkan dengan cara disebar merata atau dibungkus kain kasa
36
Lampiran 9. Prosedur kultur spirulina
Toples disiapkan, harus terkena lampu
Toples diisi dengan air 1L. Air harus teraduk (teraerasi)
Sterilisasi dengan menggunakan kaporit 30 mg/L
Bibit spirulina dimasukkan sebanyak 20% dari volume air. Tunggu sampai panen (7 hari)
Beri pupuk NaHCO3, NaCl, urea, TSP, ZA dan FeCl
Tunggu 4 hari (aerasi tetap berjalan)
Lampiran 10. Kegiatan kultur artemia
Persiapan wadah kultur
Botol wadah dipotong
Garam ditimbang
Persiapan inokulan artemia
37
Air diukur Lampiran 11. Kegiatan kultur daphnia
Persiapan wadah kulltur
Air disiapkan
Pupuk kandang ditimbang
Inokulan daphnia disiapkan
38
Air dan pupuk kandang dimasukkan ke dalam toples, lalu biakan Daphnia dimasukkan dan diaerasi Lampiran 12. Kegiatan kultur spirulina
Persiapan wadah kultur
Pupuk ditumbuk
Air disiapkan
Spirulina disiapkan
39
40