Perekonomian Indonesia Tugas Kelompok Bagian Dea.docx

  • Uploaded by: Dea Nathania
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perekonomian Indonesia Tugas Kelompok Bagian Dea.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,000
  • Pages: 3
c. Pemerintahan Transisi Pada tahun 1997, krisis keuangan mulai terjadi di daerah Asia, di mana Thailand adalah negara pertama yang mengalami krisis. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650 per dolar AS. Sejak saat itu, poaiai mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997, Bank Indonesia (BI) melakukan empat kali intervensi, yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan hingga akhirnya pada bulan Maret 1998, nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS walaupun sebelumnya antara Januari-Februari, sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai mengguncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk. Pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Awalnya pemerintah berusaha sendiri untuk menangani krisis tersebut. Akan tetapi setelah menyadari bahwa merosotnya nilai rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi, akhirnya pemerintah Indonesia secara resmi meminta bantuan keuangan dari IMF pada tanggal 8 Oktober 1997. Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama sebesar 3 miliar dolar AS. Diharapkan bahwa paket yang disetujui itu akan menguatkan dan membuat rupiah kembali stabil. Akan tetapi nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai Rp 15.000 per dolar AS. Baik masyarakat luar maupun dalam negeri kehilangan kepercayaan terhadap kinerja ekonomi Indonesia pada waktu itu,. Maka dari itu, dibuatlah nota kesepakatan letter of intent (LoI) yang terdiri dari 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januari 1998. Namun Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya dengan IMF. Akhirnya pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998, terpaksa diundur. Kemudian dilakukan lagi perundingan baru antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998, yang dituangkan dalam Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan, di mana memorandum ini juga merupakan kelanjutan, pelengkap, dan modifikasi dari 50 butir LoI pada bulan Januari 1997. Secara keseluruhan ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru. Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Krisis rupiah yang kemudian menjelma menjadi suatu krisis ekonomi akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945, yang diawali dengan penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998 (Tragedi Trisakti) dan kerusuhan di Jakarta tanggal 14 dan 15 Mei 1998. Hal ini mengakibatkan gerakan mahasiswa semakin gencar. DPR akhirnya diduduki oleh ribuan mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Lalu pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya B.J Habibie. Tanggal 23 Mei

1998, Presiden Habibie membentuk cabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi, yang pada mulanya disebut sebagai pemerintahan reformasi. Namun ternyata pemerintahan tersebut tidak berbeda jauh dari pemerintahan sebelumnya. Praktik KKN semakin merajalela diikuti kerusuhan di mana-mana. Masalah Soeharto pun tidak terselesaikan, sehingga kemudian pemerintahannya disebut sebagai pemerintahan transisi. D. Pemerintahan Reformasi Hingga Pemerintahan Jokowi Pada tanggal 20 Oktober 1999, diadakan pemilihan presiden di mana K.H Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Hari itu menjadi akhir daripada pemerintahan transisi dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering juga disebut sebagai Pemerintah Reformasi. Pada awalnya, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim Orde Baru. Dalam bidang ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PBD mulai positif, walaupun tidak jauh dari 0 persen, dan pada tahun 2000, proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Laju inflasi dan tingkat suku bunga yang diwakili oleh Sertifikat Bank Indonesia (SBI) juga rendah mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil. Akan tetapi lama kelamaan, Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang membingungkan para pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN dilingkungannya semakin menjadi. Hal ini menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat Momerandum I dan Momerandum II. Momerandum II ini membuat Gus Dur terancam akan dimakzulkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia jika usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001. Selama pemerintahan Gus Dur, terjadi banyak konflik dan kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara, serta demontrasi buruh yang menandakan ketidakpuasan mereka terhadap kondisi perekonomian di Indonesia. Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Gus Dur dengan IMF juga tidak baik. IMF bahkan sampai memunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat itu sangat bergantung pada bantuan IMF. Indonesia juga terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor), karena sudah jelas kelihatan bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada tahun 2002.Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan antara IMF dengan pemerintah Indonesia macet. Ketidakstabilan politik dan sosial yang semakin tidak suruh menaikkan tingkat country risk Indonesia. Pelaku-pelaku bisnis termasuk investor asing pun menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia karena buruknya hubungan negara dengan IMF. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service

mengkonfirmasikan betapa buruknya resiko negara Indonesia. Meskipun beberapa indicator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun kekhawatiran kondisi politik dan lembaga peringkat lainnya menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.

Related Documents


More Documents from "Sry Karnila"