Perekonomian Indonesia Sap 7.docx

  • Uploaded by: Yustika Nanda
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perekonomian Indonesia Sap 7.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,379
  • Pages: 9
PEREKONOMIAN INDONESIA RINGKASAN MATA KULIAH SAP 7 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

OLEH : KELOMPOK 4 Ngurah Surya Maotama

(1607532129/17)

I Gusti Ayu Agung Yustika Nanda

(1607532136/23)

Anak Agung Mas Prabha Iswara

(1607532152/34)

PROGAM REGULER SORE FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA 2018

1.

Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Jaman Penjajahan Pembicaraan sektor pertania pada waktu itu tidak dapat terpisahkan dengan sistem

perekonomin Belanda, yakni kapitalistik. Perkembangan di sektor pertanian diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Kebijakan ini didukung oleh keadaan negara Belanda yang tidak mempunyai lahan. Sedangkan Indonesia yang sebagai daerah jajahan Belanda mempunyai wilayah peraitanian yang sangat luas. Meskipun Belanda tidak mempunyai sawah, pemerintahan jajahan Belanda mempunyai kebijakan yang berbeda terhadap perkembangan sektor pangan, khususnya beras. Hal ini disebabkan karena beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia dan pegawai pemerintahan jajahan serta pehawai swasta perkebunan besar dibayar dengan beras sebagai bagian dari gajinya. Pemerintah negara jajahan Belanda mempunyai kepentingan agar harga beras selalu murah. Dengan politik harga beras murah ini dapat dikatakan bahwa beras adalah komoditas politik, di samping sebagai komoditas ekonomi. Dalam tahun 1863 bea masuk beras impor dihapus demi mengekang kenaikan harga beras tajam setelah terjadi kegagalan panen. Masa depresi tahun 30an merupakan awal kebijaksanaan pengendalian langsung harga beras. Awal tahun 1933, impor dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi langsung oleh pemerintah. Menjelang tahun 1939 makin terasa perlunya dibentuk satu badan pemerintah khusus untuk melaksanakan dan mengawasi kebijaksanaan pemerintah yang sudah menjadi begitu luas dalam pemasaran beras. Dan terbentuklah Stichting Het Vooedingsmidlenfons (VMF), merupakan badan pendahuluan Bulog yang bertugas melakukan pengendalian di bidang pangan dalam masa orde baru. 2.

Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Jaman Kemerdekaan (Orla dan Orba) 1) Kebijakan Pangan Dan Pembangunan Pertanian Pada Orde Lama Pemerintahan orde lama tidak mempunyai kesempatan yang baik untuk memperhatikan perkembangan ekonomi, termasuk perkembangan subsektor perkebunan. Program Padi Sentra, dimulai 1959 bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963 merupakan satu program yang gagal. Dalam rangka mengatasi kekurangan beras, tahun 1963 Presiden Soekarno memulai gerakan mengganti beras dengan jagung. Namun program ini mengalami banyak kesulitan dalam menjamin agar aliran jagung ke daerahdaerah konsumsi lancar, dan juga program ini menimbulkn reaksi negatif dari masyarakat sehingga kemudian dihentikan. Pada tahun 1963, program penyuluhan yang dilakukan para mahasiswa Fakults Pertanian Universitas Indonesia (kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor), merupakan

sumber inspirasi bagi berkembangnya Program Bimas (Bimbingan Massal), yang memberikan kerangka dasar organisasi program intensifikasi produksi padi yang dilaksanakan secara besar-besaran selama 10 tahun pertama orde baru. 2) Kebijakan Pangan Dan Pembangunan Pertanian Pada Orde Baru Dalam usaha memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi. Pertengahan 1966, Kolognas, satu badan yang baru dibentuk untuk menangani masalah logistik distribusi barang-barang kebutuhan pokok, diberi tugas tambahan untuk menyalurkan dana kepada pengikut Bimas. Namun pada 1967 Bulogna dibubarkan dan diganti dengan Bulog, sebuah badan yang mengelola persediaan pangan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat musim kering yang melanda Asia Tenggara. Tahun 1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, perubahan ini merupakan awal kebijaksaan harga produksi dan mengimpor beras yang cukup untuk memelihara keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang stabil. Setelah dicapainya swasembada beras tahun 1984, perekonomian Indonesia malah mengalami kemajuan pesat yang semu sehingga dilanda krisis pada 1997/8. Kondisi ini diperburuk oleh adanya kontroversi lahan dubur di Jawa. Namun pada tahun 200, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah 6,84 ha, dengan indeks pertanaman rata-rata 1,61 (atau luas panen sekitar 12 juta hektar). Angka ini menunjukkan masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan indeks pertanaman. Potensi lainnya ialah peningkatan mutu intensifikasi melalui penggunaan varietas unggul disertai dengan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT). Penerapan kebijakan ini yang didukung oleh pembangunan dan renovasi infrastruktur disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani mengadopsi teknologi maju telah mengakibatkan dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) produksi padi naik dari tahun ke tahun. 3.

Kebijakan Pembangunan Tanaman Non Pangan Pembahasan sampai sejauh ini terfokus pada kebijaksanaan tanaman pangan, sehingga

memberikan kesan bahwa sector pertanian di Indonesia adalah tanaman pangan saja. Sudah pasti hal yang demikian ini tidak tepat. Pada tanaman pangan pun tidak hanya padi, melainkan juga meliputi tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan tanaman pangan lainlainnya. Tanaman pangan jenis ini pun sesungguhnya mendapat perhatian pengembangannya. Misalnya saja pemerintah mengenalkan bibit unggul untuk kedelai, jagung dan sebagainya.

Teknologi pengembangannya juga dikenalkan (diinjeksikan kepada rakyat) namun tidak dengan paket kredit seperti halnya pada Bimas padi. Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada dan sebagainya. Tanaman non pangan ini sering juga disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanaman kas (cash crops). Perkembangan tanaman non pangan ini pada jaman penjajahan Belanda diserahkan kepada perusahaan besar perkebunan milik swasta Belanda, dan untuk perkebunan rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini tumbuh di ladang (lahan kering), dan oleh karena kurangnya perhatian pemerintah, pada jaman penjajahan Belanda dan sampai dengan akhir pemerintahan Sukarno dan awal pemerintahan Suharto, banyak ladangladang milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami. Setelah kira-kira pertangan 1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah barulah tanaman non pangan tersebut diperhatikan pemerintah. Kalau di departemen Pertanian terdapat Direktorat Pangan dan Direktorat Tanaman Perkebunan (non Pangan), sementara Direktorat Pangannya sangat sibuk mengurus perkembangan Bimas-Inmas, maka Direktorat Tanaman Perkebunan pun tidak bisa berpangku tangan saja. Mereka juga mengembangkan bibit unggul dan tanaman perkebunan baru, di antaranya, tanaman kakao (cokelat), panili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dan sebagainya. Bibit unggul ini juga disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit, sehingga dikenal adanya RPTE (Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk di daerah Bali dan daerah lainnya, tanaman perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan panili. Petani berlomba-lomba menanamnya. Pendekatannya hampir sama dengan di bidang beras, yakni induced technology, dengan dan tanpa kredit, yakni pendekatan produksi. Kalau dalam hal padi dibentuk lembaga pemasarannya (seperti gudang, transportasi, lembaga keuangan, dan lain-lain) oleh pemerintah, tidak demikian halnya dengan lembaga pemasaran untuk tanaman pohon. Memang kemudian, setelah produksi berhasil ditingkatkan dengan sangat dramatis, masalah pemasarannya terserah kepada rakyat. Jadi panen yang berlimpah itu ternyata agak terlantar. Timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok baru agar cengkeh rakyat tertampung, juga gagasan mendirikan badan penyangga harga untuk komoditas tertentu, seperti halnya Bulog untuk padi. Yang telah terbentuk atas inisiatif swasta adalah BPPC (badan penyangga pemasaran cengkeh). Namunoleh karena masalah keuangan dan masalah teknis lainnya, BPPC tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk menangani masalah pemasaran cengkeh. Akhirnya kepada para petani disarankan untuk menebang pohon cengkehnya dengan biaya sendiri untuk menjaga agar harga tetap stabil.

Mengenai kebijaksanaan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan cara yang dilakukan di negara lain. Misalnya di Brazilia, pada saat panen raya kopi, produksi kopi melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi rakyat dan dibuang ke laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan di negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, di mana pada saat ada kelebihan produksi, pemerintah membeli hasil produksi rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada pembeli potensial, disumbangkan ke luar negeri. Itulah sebabnya kita mengenal dan melihat adanya konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah dasar, yang tidak lain dari sumbangan negara maju karena kelebihan produksi. Jadi di negara maju, stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik dengan cara membuang ke laut (Brazilia), ataupun disumbangkan ke negara miskin (Amerika Serikat), namun di Indonesia, karena kesulitan dana, diserahkan kepada petani sendiri. Sesungguhnya, dengan laju pertumbuhan sekitar 4-5% per tahun subsektor perkebunan adalah salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan yang konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan, areal perkebunan meningkat dengan laju 2.6% per tahun. Pada periode 2000-2003, misalnya, total areal pada tahun 2003 mencapai 16.3 juta ha. Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu), kelapa sawit, karet dan kakao malah tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya, yakni dengan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5% per tahun (tabel 5.3). Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut. CPO dari kelapa sawit dan karet merupakan dua komoditas yang mempunyai kontribusi yang dominan. Produksi kelapa sawit tumbuh pesat dengan laju 12.1% per tahun. Pertumbuhan produksi komoditas kakao dan kopi juga relatif pesat pada periode tersebut. Meningkatnya harga-harga produk perkebunan sejak 2003 merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan produksi tersebut. Tabel Produksi Beberapa Jenis Tanaman Perkebunan, 2009 – 2013 (ribu ton) Jenis Tanaman Karet Kering

2009 522.30

2010 541.50

2011 572.80

2012 582.8

2013* 670.4

Minyak Sawit

13872.60

14038.10

15198.05

16,817.8

17 390.5

Biji Sawit

3145.50

3183.10

3446.04

3 363.6

3 648.2

Coklat

67.60

65.10

67.54

582.8

54.5

Kopi

28.60

29.00

22.22

29.3

29.8

Teh Kulit Kina 1)

Gula Tebu

107.40

100.10

95.10

91.7

96.1

0.60

0.70

0.43

0.47

0.15

2333.90

2288.70

2244.15

2592.60

2554.80

2.37

2.4

2.8

Tembakau1) 4.10 3.40 1). Termasuk produksi yang menggunakan bahan mentah dari perkebunan rakyat *). Angka sementara

Baik pada situasi ekonomi normal maupun krisis, subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Peran penting tersebut mencakup penyediaan lapangan kerja, devisa, pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan pelestarian lingkungan. Sebagai salah satu subsektor penting dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan secara tradisional mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Sampai dengan tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh subsektor perkebunan diperkirakan mencapai sekitar 17 juta jiwa. Jumlah lapangan kerja tersebut belum termasuk yang bekerja pada industri hilir perkebunan. Kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah tersendiri, karena subsektor perkebunan menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan daerah terpencil. Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Dari segi nilai absolut berdasarkan harga yang berlaku. PDB perkebunan terus meningkat dari sekitar Rp 33.7 triliun pada tahun 2000, atau mengalami peningkatan sekitar 11.7% per tahun. Dengan peningkatan tersebut, kontribusi PDB subsektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian adalah sekitar 16 %. Terhadap PDB secara nasional tanpa migas, kontribusi subsektor perkebunan adalah sekitar 2.9 % atau sekitar 2.6 % PDB total. Sejalan dengan pertumbuhan PDB, subsektor perkebunan mempunyai peran strategis terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali menunjukkan peran strategisnya. Pada saat itu, kebanyakan sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan di mana ekonomi Indonesia mengalami krisis dengan laju pertumbuhan -13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut, subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%-6% per tahun. Ketika ekonomi Indonesia mulai membaik, kontribusi dalam hal

pertumbuhan, terus menunjukkan kinerja yang konsisten. Selama periode 2000-2003, laju pertumbuhan subsektor perkebunan selalu di atas laju pertumbuhan ekonomi secara nasional. Sebagai contoh, pada tahun 2001, ketika laju pertumbuhan ekonomi secara nasional adalah sekitar 3.4%, subsektor perkebunan tumbuh dengan laju sekitar 5.6%. Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor andalan dalam menyumbang devisa karena mempunyai orientasi pasar ekspor. Produk karet, kopi, kakao, teh dan minyak sawit adalah produk-produk di mana lebih dari 50% dari total produksi adalah untuk ekspor. Pada lima tahun terakhir, subsektor perkebunan secara konsisten menyumbang devisa dengan rata-rata nilai ekspor produk primernya mencapai US$ 4 miliar per tahun. Nilai tersebut belum termasuk nilai ekspor produk olahan perkebunan, karena ekspor olahan perkebunan dimasukkan pada sektor perindustrian. Terhadap isu global yang kini menjadi sorotan internasional seperti kemiskinan, ketahanan pangan, dan isu lingkungan/ pembangunan berkelanjutan, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang juga tidak dapat diabaikan. Pengembangan berbagai program perkebunan juga telah terbukti mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Suatu studi oleh Susila (2004) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di wilayah perkebunan kelapa sawit secara umum kurang dari 6%, sedangkan secara nasional jumlah penduduk miskin adalah sekitar 17%. Peran strategis lain dari subsektor perkebunan dalam isu global yang perlu mendapat perhatian adalah kontribusinya dalam ketahanan pangan. Minyak goreng dan gula merupakan produk perkebunan yang mempunyai peran penting dalam memelihara ketahanan pangan. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa, berusaha memaksimalkan tingkat produksi pangannya dalam upaya mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui, ketahanan pangan merupakan salah satu syarat penting dalam ketahanan nasional. Akhirnya, subsektor perkebunan juga berperan penting dalam hal isu lingkungan yang merupakan isu global yang secara konsisten gaungnya semakin menguat. Pengembangan komoditas perkebunan di areal yang marginal merupakan wujud kontribusi subsector perkebunan dalam memelihara lingkungan/konservasi. Sebagai contoh, pengembangan tanaman teh di daerah pegunungan dengan kemiringan yang tajam dengan kondisi lahan yang kritis, berperan penting dalam konservasi lingkungan. Pengembangan komoditas karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan memperbaiki lingkungan. Pengembangan komoditas kelapa sawit di lahan rawa juga merupakan wujud kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan.

4.

Perubahan Struktur Ekonomi Suatu negara betapapun kecil wilayahnya pasti mempunyai sector pertanian. Dengan

adanya pembangunan ekonomi peran sector pertanian biasanya mengalami penurunan yang dibarengi dengan makin meningkatnya peran sector lain, terutama sector industry. Ole karena itu perubahan struktur perekonomian suatu negara biasanya dimulai dengan sector pertanian untuk kemudian sector industry dan jasa. Sector pertanian pada umumnya memegang peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi satu negara. Berikut peran sector pertanian antara lain : 1) Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat. 2) Meningkatkan permintaan akan produk industry dan dengan demikian mendorong keharusan diperluasnya sector sekunder dan tersier. 3) Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian 4) Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah 5) Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Perubahan struktur suatu perekonomian biasanya ditandai oleh besarnya sumbangan dari masing masing sector terhadap penghasilan nasional atau terhadap produk domestic bruto. Jika dalam suatu perekonomian sumbangan sector pertanian yang paling besar, maka negara tersebut dikatakan negara agraris. Sedangkan jika sumbangan sector industry yang menonjol, maka negara tersebut dikatakan negara industry, dan jika sector jasa yang menonjol maka negara tersebut dikatakan negara jasa. Jadi perubahan struktur perekonomian yang umum adalah dari negara agraris – industry – jasa. Namun pada umunya adalah dari negara agraris ke industry saja, tidak perlu lagi ke negara jasa. Akan tetapi karena ada negara yang tidak perlu mengadakan industrialisasi terlebih dahulu, melainkan sector yang menonjol di negara tersebut adalah sector jasa, maka perubahan struktur negara tersebut adalah dari agraris ke jasa.

REFERENSI Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar. Udayana University Press Hall Hill. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966. Yogyakarta: PAU Ekonomi UGM

Related Documents


More Documents from "umar"