Perdarahan Antepartum-1.docx

  • Uploaded by: Elno Tatipikalawan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perdarahan Antepartum-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,298
  • Pages: 23
PERDARAHAN ANTEPARTUM Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada usia kehamilan ≥ 24 minggu sampai sesaat sebelum bayi lahir. Klasifikasi PA

A. Plasenta Previa Definisi Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.

Etiologi dan Faktor Risiko Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Terdapat anggapan bahwa blastokista secara kebetulan menimpa desidua di segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain juga mengemukakan adanya vaskularisasi desidua yang tidak memadai akibat radang atau atrofi. Beberapa faktor risiko yang mungkin menyebabkan plasenta previa antara lain: 1) Usia lanjut 2) Paritas tinggi 3) Pembedahan 4) Merokok

A. Usia lanjut Mekanisme pengaruh usia lanjut pada kejadian plasenta previa belum diketahui sepenuhnya. Ada asumsi bahwa hasil akibat perubahan aterosklerotik pada aliran darah uterus pada usia lanjut membuat kompensasi yakni plasenta menjadi hipertrofi. Pada tiga studi kohort terdapat 1,2-2,7 kali risiko plasenta previa dapat terjadi pada usia lanjut.

B. Paritas tinggi Endometrium menjadi atrofi seiring persalinan banyak. Interval yang pendek di antara persalinan pada multipara dilaporkan akan berefek untuk menderita plasenta previa kedepannya. Tuzovic et al menyatakan bahwa kenaikan risiko plasneta previa berhubungan

dengan tiga atau lebih riwayat persalinan sedangkan Abu et al menyatakan lebih dari 5 riwayat persalinan.

C. Pembedahan Jejas akibat sectio cesarea (SC) dapat membuat perubahan patologis pada jaringan endometrium dan miometrium. Jejas pada jaringan mempengaruhi migrasi plasenta ke arah fundus. Taylor et al menemukan bahwa risiko plasenta previa pada wanita dengan riwayat SC meningkat 1,48 kali. Studi lain yang dilakukan oleh Getahun et al menyatakan bahwa risiko plasenta previa pada kehamilan ketiga setelah kehamilan pertama dan kedua dengan SC meningkat sampai 50%. Kuretase dapat membuat kerusakan pada cavum uteri. Pada penelitian oleh Zhang et al risiko plasenta previa meningkat 1,6 kali lipat pada abortus pertama, 2,3 kali pada abortus kedua, dan 3,7 kali pada abortus ketiga atau lebih.

D. Merokok Pembesaran plasenta dapat terjadi akibat bahan vasoaktif dari nikotin dan hipoksia kronis yang berhubungan dengan karbon monoksida yang membuat kemungkinan besar plasenta melebar sampai pada ostium uteri internum. Katekolamin juga membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga membuat perfusi ke plasenta tidak optimal. Ibu hamil yang merokok berisiko menderita plasenta previa 60% lebih tinggi dibandingkan yang tidak merokok.

Klasifikasi

Gambar 1.1 Tipe-tipe plasenta previa Sumber: https://babymonitor.org/thirty-four-weeks-pregnant-possibledifficulties/pregnancy-by-weeks-2027

1) Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum. 2) Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum 3) Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum. 4) Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum

Patofisiologi Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada

bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu ruangan intervilus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa bagaimanapun pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan pada tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimiliki sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup sempurna. Perdarahn akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta pada mana perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikianlah perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless). Pada plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal pada kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk terlebih dahulu pada bagian terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Untuk berjaga-jaga mencegah syok hal tersebut perlu dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan dibawah 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk hematoma retroplasenta yang mempu merusak plasenta lebih luas dan melepaskan tromboplastin kedalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibanya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke buli-buli dan ke rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkretalebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah caesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan

kejadian perdarahan pascapersalinan pada plasenta previa misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retentio placentae), atau setelah uri lepas karena segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik.

Gambaran klinis Ciri yang menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus yang keluar dari vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan biasanya berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan yang semakin banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan dan jumlahnya dari sedikit sampai banyak mirip dengan solusio plasenta serta diperhebat dengan ketidakmampuan segmen bawah rahim yang berkontraksi sekuat dengan segmen atas rahim sehingga dapat berlangsung sampai pascapersalinan. Perdarahan bisa juga bertambah disebabkan serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta dengan tangan misalnya pada retensio plasenta sebagai komplikasi plasenta akreta. Pada palpasi abdomen sering ditemui di bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis dengan letak janin tidak memanjang. Palpasi abdomen juga tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak tegang.

Diagnosis Plasenta previa atau solusio plasenta harus selalu dipikirkan saat menghadapi perempuan dengan perdarahan uterus pada paruh kedua kehamilan. Kemungkinan plasenta previa tidak boleh disingkirkan hingga pemeriksaan sonografi telah jelas menunjukan ketiadaan plasenta previa. Diagnosis ini jarang dapat ditegakan secara pasti dengan pemeriksaan klinis, kecuali jika jari dimasukan melalui serviks dan plasenta dipalpasi. Pemeriksaan serviks dengan jari seperti demikian tidak diperbolehkan, kecuali perempuan tersebut berada diruang operasi dengan persiapan lengkap untuk pelahiran caesar segera, bahkan sentuhan jari yang paling lembut sekalipun dapat menyebabkan perdarahan hebat.

Selain itu, jenis pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan kecuali direncanakan untuk pelahiran karena dapat menyebabkan perdarahan yang mengharuskan pelahiran segera. Pemeriksaan persiapan ganda (double set-up) ini jarang diperlukan karena letak plasenta hampir selalu dapat dipastikan dengan sonografi. Penentuan letak plasenta dapat dibuat denganmenggunakan sonografi. Metode yang paling sederhana, aman, dan akurat untuk menentukan letak plasenta dilakukan dengan sonografi transabdominal. Akurasi rata-rata pemeriksaan ini adalah 96%, bahkan pernah dilaporkan hampir 98%. Hasil positif semu umumnya disebabkan oleh distensi kandung kemih. Karena itu pemeriksaan pada kasus yang diduga positif harus diulangi setelah kandung kemih dikosongkan. Sumber kesalahan yang jarang adalah ditemukannya plasenta dalam jumlah besar difundus uteri tetapi pemeriksa gagal mengenali bahwa plasenta tersebut besar dan meluas kebawah hingga mencapai ostium uteri internum. Penggunaan sonografi transvaginal telah meningkatkan secara nyata ketepatan diagnostik plasenta previa. Meskipun tampaknya berbahaya untuk memasukan probe ultrasonografi kedalam vagina pada kasus yang diduga plasenta previa, teknik ini telah terbukti aman. Sonografi trans perineal dilaporkan akurat untuk menentukan letak plasenta previa.

Gambar 2. Plasenta previa total (A). Sonografi plasenta transabdominal (panah putih) di belakang kandung kemih yang menutupi serviks (panah hitam). Sonografi plasenta transvaginal (B) yang sepenuhnya menutupi serviks yang berdekatan dengan kepala janin.

Sejumlah peneliti menggunakan MRI untuk memvisualisasikan abnormalitas plasenta, termsuk

plasenta

previa.

Meskipun

banyak

mendapat

tanggapan

positif,

mengenai

penggunaannya, kemungkinan MRI akan menggantikan sonografi untuk pemeriksaan rutin dalam waktu dekat ini adalah kecil. MRI dapat terbukti bermanfaat untuk diagnosis plasenta akreta. Penanganan Perempuan dengan plasenta previa dapat digolongan ke salah satu kategori berikut : 1) Janin kurang bulan dan tidak terdapat indikasi lain untuk pelahiran 2) Janin cukup matur 3) Persalinan telah dimulai 4) Perdarahan sedemikian hebat sehingga harus dilakukan pelahiran tanpa memperdulikan usia gestasi Tatalaksana pada kasus dengan janin kurang bulan, tetapi tanpa perdarahan aktif uterus yang menetap terdiri atas pemantauan ketat. Tokolitik dibatasi pemberiannya sampai 48 jam. Untuk sebagian perempuan, mungkin dilakukan pemanjangan masa rawat inap. Namun, seorang perempuan biasanya diijinkan pulang setelah perdarahan berhenti dan janinnya dinilai sehat. Perempuan tersebut beserta keluarganya harus sepenuhnya memahami kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi dan siap segera mengantarakan perempuan tersebut ke rumah sakit. Pada pasien-pasien yang memenuhi kriteria tertentu, rawat inap untuk plasenta previa tampaknya tidak memiliki manfaat lebih dibandingkan rawat jalan. Penting diketahui tidak terdapat perbedaan angka kesakitan ibu ataupun bayi antara pemantauan rawat inap dan rawat jalan. Pelahiran caesar diperlukan pada semua perempuan yang mengalami plasenta previa. Pada sebagian besar kasus, insisi melintang pada uterus dapat dilakukan. Namun, karena perdarahan janin dapat terjadi akibat insisi melintang yang menembus plasenta anterior, insisi vertikal terkadang dilakukan. Akan tetapi bahan bila insisi mengiris plasenta kesejahteraan ibu dan bayi jarang terganggu. Ward menggambarkan teknik bedah alternatif dengan membuat bidang pemotongan setelah insisi uterus. Operator meraba bagian bawah plasenta menuju tepi terdekat hingga ketuban teraba dan kemudian dipecahkan. Janin dilahirkan disebelah plasenta yang utuh. Pendekatan ini belum dievaluasi pada penelitian terkontrol.

Karena sifat segmen bawah uterus yang kurang dapat berkontraksi, dapat terjadi perdarahan tidak terkontrol setelah pengangkatan plasenta. Apabila perdarahan dari alas plasenta tidak dapat dikendalikan dengan cara konservatif, metode lain dapat dicoba. Penjahitan tepi-tepi robekan (oversewing) di lokasi implantasi dengan benang-benang kromik-0 dapat membantu hemostais. Pada beberapa perempuan ligasi arteri iliaka interna atau arteria uterina bilateral dapat membantu hemostasis. Cho dan kawan-kawan mendeskripsikan penjahitan terputus (interupted) dengan benang kromik-0 dengan interval 1 cm hingga menghasilkan jahitan berbentuk lingakaran di sekitar daerah segmen bawah yang berdarah. metode ini berhasil mengendalikan perdarahan pada 8 perempuan yang menjalani tindakan ini. Druzin memaparkan empat kasus yang berhasil dihentikan perdarahannya menggunakan kasa yang dipadatkan dalam segmen bawah uterus. Kasa yang dipadatkan tersebut dikeluarkan melalui vagina 12 jam kemudian. Embolisasi arteri pelvis juga telah mendapat persetujuan untuk dilakukan. Jika metode konservatif tersebut gagal, dan perdarahan masif, histerektomi harus dilakukan. Untuk permpuan dengan plasenta previa yang berimplantasi dianterior bekas insisi histerektomi terjadi peningkatan risiko plasenta akreta dan diperlukannya histerektomi.

Komplikasi Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang menderita plasenta previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan fatal. 1. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim terjadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok. 2. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menerobos ke dalam miometrium bahkan sampai permertium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta akreta atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbullah berdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang sudah pernah seksio sesarea. Dilaporkan plasenta akreta

terjadi 10% sampai 35% pada pasien yang pernah seksio sesarea satu kali, naik menjadi 60-65% bila telah seksio sesarea 3 kali. 3. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang sangat banyak. Oleh karena itu, harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual ditempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterina, ovarika, hipogasrika, atau pemasangan tampon, maka pada keadaan yang lebih gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta previa. 4. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya. 5. Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian oleh karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm. Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya antisipasi. 6. Komplikasi lain plasenta previa yang dilaporkan dalam kepustakaan lain selain masa rawat yang lebih lama, adalah berisiko tinggi untuk solusio plasenta (Risiko relatif 13,8), seksio sesarea (RR 3,9), kelainan letak janin (RR 2,8), perdarahan pasca persalinan (RR 1,7), kematian maternal akibat perdarahan (50%), dan disseminated intravascular coagulation (DIC) 15,9%.

B. Solusio Plasenta Definisi Pemisahan plasenta─sebagian atau seluruhnya─dari tempat implantasinya sebelum persalinan diistilahkan dalam bahasa latin sebagai abruptio placentae. Istilah lain yang digunakan adalah solusio plasenta dan premature separation of the normally implanted placenta.

Etiopatogenesis Solusio plasenta dimulai ketika perdarahan menembus desidua basalis. Desidua kemudian terpisah dan meninggalkan jaringan tipis yang menempel pada miometrium. Proses dimulai ketika hematoma desidua membesar, menyebabkan perpisahan dan kompresi dari plasenta yang tertanam. Abrupsi dimulai dengan rupturnya arteri spiralis yang menyebabkan hematoma retroplasenta. Hal ini dapat meluas dan mengganggu banyak pembuluh darah serta memisahkan plasenta dari tempatnya. Perdarahan dapat keluar dari uterus menuju vagina (external hemorrhage) atau darah dapat tertahan di antara plasenta dan uterus (concealed hemorrhage) sehingga mempersulit diagnosis.

B

A

Gambar 2.1 A. Gumpalan bekuan darah hitam pada solusio plasenta parsial, B. Skema solusio plasenta. Concealed hemorrhage berwarna biru dan external hemorrhage berwarna merah Sumber: Williams Obstetrics, 24th Edition

Klasifikasi [https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482335/] Solusio plasenta dapat diklasifikasikan berdasarkan temuan klinis, yakni: 1. Kelas 0: Asimtomatik a. Temuan bekuan darah pada sisi maternal dari plasenta yang telah lahir b. Diagnosis dibuat secara retrospektif 2. Kelas 1: Ringan

a. Tidak ada tanda atau terdapat jumlah kecil perdarahan pervaginam b. Sedikit nyeri tekan uterus c. Tekanan darah ibu dan denyut jantung dalam batas normal d. Tidak ada tanda-tanda fetal distress 3. Kelas 2: Moderat a. Tidak ada sampai perdarahan pervaginam yang moderat b. Nyeri tekan uterus signifikan dengan kontraksi tetanik c. Perubahan TTV: takikardia maternal, perubahan TD ortostatik d. Bukti fetal distress e. Alterasi profil clotting: hypofibrinogenemia f. Merok

Faktor risiko 1. Usia, Paritas, Ras, dan Faktor Familial Seperti yang ditunjukan pada gambar 35.6 insidens solusio plasenta meningkat sesuai dengan usia ibu. Pada penelitian FASTER (First and Second trimester Evaluation of Risk) perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun ditemukan 2,3 kali lipat lebih mungkin mengalami solusio dibandingkan perempuan yang berusia ≤ 35 tahun. Pritchard melaporkan insidens solusio plasenta meningkat pada perempuan dengan paritas tinggi, namun Toohey dalam peneitiannya tidak memperoleh hasil yang sama. Ras dan etnisitas tampaknya penting. Diantara hampir 170.000 pelahiran yang dilaporkan pada rumah sakit Parkland, solusio plasenta lazim terjadi pada perempuan Afrika-Amerika dan Kaukasian (1:200) dibandingkan perempuan Asis (1:300) atau Amerika latin (1:450). Hubungan familial baru-baru ini dilaporkandi Norwegia mencakup hampir 378.000 perempuan dengan hubungan saudara kandung yang lebih dari 767 kehamilan. Jika seorang perempuan pernah mengalami solusio plasenta berat, risiko untuk saudara perempuannya akan meningkat 2x lipat dan risiko yang dapat diwariskan sebesar 16%.

Gambar 2.2 Insidens solusio plasenta dan plasenta previa berdasarkan usia Sumber: Williams Obstetrics, 24th Edition

2. Hipertensi Kondisi yang sangat dominan berkaitan dengan solusio plasenta adalah suatu bentuk hipertensi (hipertensi gestasional, preeklamsia, hipertensi kronis, atau kombinasi). Dalam laporan dari rumah sakit Parkland mengenai 408 perempuan yang mengalami solusio plasenta dan keguguran, hipertensi ditemukan pada kurang lebih separuh perempuan setelah kompartemen intravaskular yang sebelumnya berkurang dipulihkan. Setengah dari 408 perempuan tersebut memiliki hipertensi kronis. Disisi lain Sibai melaporkanbahwa 1,5% diantara perempuan hamil dengan hipertensi kronis mengalami solusio plasenta. Ananth melaporkan peningkatan insiden solusio plasenta sebesar 2,4 kali lipat pada hipertensi kronis dan peningkatan ini bahkan lebih tinggi lagi jika disertai preeklamsia dan retriksi pertumbuhan janin. Keparahan hipertensi tidak selalu berhubungan dengan insiden solusio plasenta, selain itu dari sebuah pengamatan oleh Magpie Tripel Collaborative Group memberikan gambaran bahwa perempuan dengan preeklamsia mungkin mengalami risiko solusio plasenta yang lebih rendah jika diterapi dengan Magnesium Sulfat. 3. Ketuban pecah dini dan pelahiran kurang bulan Tidak ada keraguan bahwa terjadi peningkatan insiden solusio bila ketuban pecah sebelum aterm. Dilaporkan oleh Mayor bahwa 5% diantara 756 perempuan dengan ketuban pecah antara minggu 20 dan minggu 36, mengalami solusio plasenta. Kramer

menemukan bahwa ada 3,1 perempuan dengan solusio plasenta diantara semua perempuan jika ketuban pecah lebih dari 24 jam. Terdapat peningkatan 3 kali lipat pada pasien dengan kasus ketuban pecah dini dan risiko ini semakin ditingkatkan dengan adanya infeksi. Ananth dkk menyatakan gagasan bahwa peradagan dan infeksi mungkin merupakan sebab utama solusio plasenta. Dilaporkan juga bahwa terdapat hubungan erat antara solusio plasenta dengan BBLR, tertama karena pelahiran kurang bulan. 4. Merokok Berbagai penelitian terdahulu telah mengaitkan rokok dengan penigkatan faktor risiko solusio plasenta. Dalam sebuah penelitian yang mencakup 1,6 juta kehamilan, di temukan peningkatan risiko solusio plasenta 2 kali lipat pada perokok. Risiko ini bertambah 5-8 kali lipat jika perokok tersebut mengalami hipertensi kronis, preeklamsia berat, atau keduanya. 5. Kokain Perempuan dengan penggunaan kokain memiliki frekuensi solusio plasenta yang sangat tinggi. Dari 50 perempuan yang menyalahgunakan kokain dalam kehamilan, ditemukan 8 kasus lahir mati akibat solusio plasenta. 6. Leiomioma Tumor-tumor ini khususnya jika terletak dibelakang tempat implantasi plasenta, merupakan predisposisi terjadinya solusio plasenta. Dilaporkan dari 14 perempuan dengan leiomioma retroplasenta mengalami solusio plasenta, dan empat perempuan melahirkan janin lahir mati. Sebaliknya hanya 2 dari 79 perempuan dengan leiomioma yang tidak terletak retroplasenta yang mengalami solusio plasenta. 7.

Solusio berulang Seorang perempuan yang pernah mengalami solusio plasenta khususnya yang menyebabkan kematian janin, memiliki angka rekurensi yang tinggi (12-22%) bahkan dapat terjadi pada usia kehamilan yang lebih muda dibandingkan saat terjadi solusio plasenta pertama. Bagi perempuan yang sudah mengalami solusio plasenta berat sebanyak 2 kali, risiko menjadi 50 kali lipat untuk mengalami solusio ketiga.

Gambaran Klinis Tanda dan gejala solusio plasenta dapat sangat bervariasi tergantung derajat pemisahan plasenta. Misalnya, perdarahan eksternal dapat sangat banyak, tetapi pemisahan plasenta mungkin tidak sedemikian luas untuk mengganggu kesejahteraan janin. Kadang-kadang, tidak ditemukan perdarahan eksternal, tetapi plasenta telah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari pemisahan plasenta. Perdarahan dapat berwarna merah gelap atau berupa bekuan. Pada suatu penelitiaan prospektif yang melibatkan 59 perempuan dengan solusio plasenta, dilaporkan perdarahan pervaginam pada 78%, nyeri yang terlokalisir pada uterus atau nyeri punggung pada 66% dan distres janin pada 60%. Pada 22%, diagnosis awal adalah persalinan kurang bulan sebelum akhirnya terjadi kematian atau distres janin. Temuan lain mencakup kontraksi uterus yang sering dan hipertonus uterus persisten. Jika prosesnya luas, bukti distres janin, uterin tetani, DIC, atau syok hipovolemik bisa tampak. Peningkatan tonus uteri dan frekuensi kontraksi dapat memberikan tanda awal sebuah solusio. Rata-rata 2/3 pasien mengalami kontraksi abnormal setengah dari mereka mengalami frekuensi kontraksi yang tinggi dan setengahnya lagi hipertonus. Diagnosis Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu secara umum dan pemeriksaan jantung janin. Pemeriksaan vaginal dengan cara digital maupun menggunakan spekulum dapat dilakukan jika kemungkinan plasenta previa sudah disingkirkan. Tonus uteri perlu di monitor. Tinggi fundus harus diperiksa secara berkala karena perdarahan terselubung dapat memperbesar ukuran uterus. Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap (mencakup hemoglobin dan hematokrit) sangat membantu dalam menegakan diagnosis. Dapat ditemukan proteinuria, tanda-tanda koagulasi konsumtif seperti penurunan kadar fibrinogen (< 200 mg/dL), protrombin, faktor V dan VIII, serta trombosit (< 100.000). Produk pemecahan fibrin meningkat menyebabkan efek anti koagulan. Pemeriksaan golongan darah dan cross match juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Apusan darah tepi yang dapat memperlihatkan schistocytes menandakan dugaan koagulasi intravaskular. Dari sebuah penelitan didapati peningkatan CA125 berhubungan dengan solusio plasenta.

Dua bed site yang mudah dapat dilakukan yaitu “poor man’s clot test” dimana spesimen darah ditempatkan pada red-top tube. Jika bekuan darah tidak terbentuk dalam 6 menit atau terbentuk dan lisis dalam 30 menit, menandakan adanya defek koagulasi. Tes yang lainnya yaitu untuk mengetahui apakah darah pada vagina berasal dari ibu atau dari janin dengan Apt test. Pemeriksaan ini dibuat dengan cara mencampurkan sampel darah dengan potasium hidroksida. Jika berubah warna menjadi coklat berarti berasal dari ibu, jika tidak terdapat perubahan warna maka darah tersebut berasal dari janin karena hemoglobin janin lebih resisten terhadap perubahan pH. Tes ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis vasa previa. Sonografi jarang memastikan diagnosis solusio plasenta, setidaknya secara akut, karena plasenta dan bekuan darah segar memiliki gambaran sonografik yang serupa. Pada penelitian yang baru, Glantz dan Purnell dilaporkan sensitifitas sonografi sebesar 24% pada 149 perempuan. Penting untuk diingat bahwa temuan negatif pada pemeriksaan sonografi tidak menyingkirkan solusio plasenta.

Penatalaksanaan Tatalaksana wanita dengan solusio plasenta bergantung pada kondisi klinis, usia kehamilan, dan jumlah perdarahan. SC emergensi perlu dilakukan jika janin sudah viable dan dengan waktu untuk persalinan normal masih lama. Persalinan normal dilakukan jika janin telah mati atau janin belum matur untuk dapat hidup di luar uterus. Resusitasi intensif dengan darah dan kristaloid pada beberapa kasus perlu dilakukan Terdapat pengecualian untuk tidak dilakukannya persalinan normal jika janin mati, seperti jika perdarahannya sangat cepat dan bahkan tak terkendali dengan transfusi darah. Contoh lain adalah jika bayi letak lintang. Amniotomi dilakukan untuk mengompresi arteri spiralis yang dapat mengurangi perdarahan pada daerah implantasi dan infusi tromboplastin ke dalam peredaran darah ibu.

Komplikasi 1. Syok Dahulu syok dipercaya kadang-kadang terjadi pada solusio plasenta tidaklah sebanding dengan jumlah perdarahan. Menurut anggapan tersebut, tromboplastin plasenta

memasuki sirkulasi ibu dan mencetuskan koagulasi intravaskular serta berbagai karakteristik sindrom emboli cairan amnion. Hal tersebut sebenarnya jarang terjadi, dan syok hipovolemik sesungguhnya secara langsung disebabkan kekurangan darah pada ibu. Sebaliknya, hipotensi atau anemia tidak harus ditemukan bahkan pada kasus perdarahan terselubung yang ekstrim sekalipun. Oliguri akibar hipoperfusi ginjal yang tidak adekuat, yang ditemukan pada kondisi ini, responsif terhadap infus darah dan cairan intravena yang agresif. 2. Koagulopati konsumtif Solusio plasenta adalah salah satu penyebab tersering koagulopati konsumtif yang bermakna secara klinis dalam bidang obstetri. Pada sekitar sepertiga perempuan yang mengalami solusio plasenta, yang cukup berat untuk mematikan janin, terdapat perubahan yang dapat diukur pada faktor koagulasi. Secara spesifik, hipofibrinogenemia yang bermakna secara klinis (kadar plasma < 150 mg/dL) ditemukan.temuan ini disertai dengan peningkatan produk degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-dimer, yang merupakan produk pemecahan spesifik fibrin. Faktor koagulasi lain yang menurun secara bervariasi. Koagulopati konsumtif lebih mungkin terjadi pada solusio yang terselubung pada kondisi seperti ini tekanan intrauteri lebih tinggi sehingga mendorong lebih banyak tromboplastin untuk memasuki sistem vena ibu. Pada kasus-kasus dengan janin yang selamat, defek koagulasi berat lebih jarang ditemukan. Berdasarkan pengalaman, jika timbul koagulopati berat, biasanya terlihat saat gejala solusio timbul. Mekanisme utamanya adalah aktivasi koagulasi intravaskular, disertai defibrinasi dalam derajat bervariasi. Prokoagulan juga dikonsumsi dalam bekuan retroplasenta, meskipun jumlah yang didapatkan kembali dalam bekuan tidak buku untuk menggantikan total fibrinogen yang hilang. Akibat penting dari koagulasi intravaskular adalah aktivasi plasminogen menjadi plasmin, yang melisis mikroemboli fibrin untuk mempertahankan patensi mikrosirkulasi. Pada solusio plasenta yang cukup berat sehingga menyebabkan kematian janin, selalu terdapat kadar patologis produk degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-Dimer dalam serum ibu. Trombositopenia nyata dapat atau tidak dapat menyertai hipofibrinogenemia pada awalnya, tetapi menjadi lazim setelah transfusi darah berulang. 3. Gagal ginjal

Gagal gijal akut dapt terjadi pada solusio plasenta berat. Gagal ginjal akut lebih sering terjadi jika terapi hipovolemia diberikan lambat atau tidak lengkap. Penelitian yang dilakukan pada 72 perempuan hamil dengan gagal ginjal akut, diketahui sepertiganya telah mengalami solusio plasenta. Untungnya, sebagian besar kasus jejas ginjal akut bersifat reversibel, namun nekrosis kortikal akut bila terjadi dalam kehamilan biasanya disebabkan oleh solusio plasenta. Perfusi ginjal yang sangat terganggu merupakan akibat perdarahan masif. Karena preeklamsia sering ditemukan bersama solusio plasenta, vasospasme dan hipoperfusi ginjal kemudian bertambah berat. Bahkan jika solusio dipersulit oleh koagulasi intravaskuler berat, tetapi segera terhadap perdarahan secara agresif dengan larutan kristaloid dan darah umumnya dapat mencegah disfungsi ginjal yang bermakna secara klinis. Karena alasn yang tidak diketahui, bahkan tanpa preeklamsia, proteinuria lazim ditemukan pada awalnya, khususnya pada bentuk solusio plasenta yang lebih berat. Proteinuria umumnya hilang segera setelah pelahiran. 4. Sindrom Sheehan Perdarahan intrapartum atau pasca partum dini yang berat dapat diikuti oleh kegagalan hipofisis atau sindroma Sheehan. Sindrom ini ditandai dengan kegagalan laktasi, amenorea, atrofi payudara, rontoknya rambut pubis dan aksila, hipotiroidisme dan insufisiensi korteks adrenal. Patogenesis sindrom ini belum dipahami benar dan kelainan endokrin semacam ini jarang timbul, bahkan pada perempuan yang mengalami perdarahan berat. Pada beberapa kasus tapi tidak semua, kasus Sindrom Sheehan mungkin terdapat nekrosis hipofisis dalam derajat yang bervariasi dan gangguan sekresi satu atau lebih hormon tropik. Diagnosisnya menggunakan MRI.

5. Uterus couvelaire

Gambar 2.3 Uterus Couvelaire

Sumber: Williams Obstetrics, 24th Edition

Dapat terjadi ekstravasisi luas darah ke dalam otot-otot uterus dan kabah tunika serosa uteri. Kondisi ini, yang pertama kali digambarkan oleh Couvelaire sebagai apopleksia uteroplasental, sekarang dinamakan uterus couvelaire. Efusi darah semacam ini kadangkadang ditemukan di bawah tunika serosa tubae, diantara lembaran-lembaran ligamentum latum uteri, didalam substansia ovarika, dan bebas dalam rongga peritoneum. Insiden pasti tidak diketahui karena diagnosisnya hanya dipastikan saat laparatomi. Perdarahan miomertium ini jarang mengganggu kontraksi miometrium untuk menyebabkan atonia, dan kondisi ini bukanlah indikasi histerektomi.

C. Ruptur Uteri

Gambar 3.1 Spesimen histerektomi supraservikal menunjukkan ruptur uteri dengan robekan vertikal pada segmen bawah lateral kiri uterus

Sumber: Williams Obstetrics, 24th Edition

Definisi Ruptur uterus dapat timbul akibat cedera atau kelainan yang telah ada, ruptur juga dapat terjadi akibat trauma, atau dapat terjadi sebagai komplikasi persalinan pada uterus yang sebulumnya tidak memiliki jaringan parut.8

Etiologi Penyebab tersering ruptur uterus adalah terpisahnya parut akibat histerektomi caesar. Dengan menurunnya tindakan percobaan persalinan pada perempuan yang pernah menjalani pelahiran caesar, ruptur pada uterus tanpa parut sekarang ini menyebabkan hampir separuh diantara semua kasus ruptur uterus. Faktor predisposisi lain yang lazim adalah riwayat bedah atau tindakan yang menyebabkan trauma seperti kuretase, perforasi, atau miomektomi. Stimulus uterus yang berlebihan atau tidak sesuai indikasi dengan menggunakan oksitosin, suatu penyebab yang dulu sering ditemukan, telah jarang didapatkan.

Tabel 1.1 Klasifikasi etiologi ruptur uteri Cedera atau kelainan uterus yang terjadi sebelum kehamilan saat ini

Cedera atau kelainan uterus yang terjadi pada kehamilan

Pembedahan yang melibatkan miometrium:  Pelahiran caesar atau histerektomi  Riwayat ruptur uterus yang telah dikoreksi  Insisi miomektomi melalui atau hingga mencapai endometrium  Reseksi kornu profunda pada tuba uterina interstisial  Metroplasti

Sebelum pelahiran  Kontraksi kuat, spontan yang menetap  Stimulasi persalinan oksitosin, prostaglandin  Instilasi intra-amnion - salin atau prostaglandin  Perforasi oleh kateter tekanan uterus internal  Trauma eksternal - tajam atau tumpul  Versi eksternal  Distensi berlebihan uterus - hidramnion, kehamilan multifetal Selama pelahiran :  Versi internal  Pelahiran dengan forsep yang sulit  Persalinan dan pelahiran presipitatum  Ekstraksi bokong  Kelainan jantung yang menyebabkan distensi segmen bawah uterus  Penekanan uterus yang sangat kuat selama pelahiran  Pengeluaran manual plasenta yang sulit Didapat :  Plasenta inkreta atau prekreta  Neoplasma trofoblastik gestasional  Adenomiosis  Sakulasi uterus dalam posisi retroversi yang terjepit

Trauma uterus koinsidental :  Aborsi menggunakan alat-sonde, kuer  Trauma tajam atau tumpul - kecelakaan, peluru, pisau  Ruptur asimtomatik pada kehamilan sebelumnya

Kelainan kongenital :  Kehamilan pada kornu uteri yang tidak berkembang sempurna

Klasifikasi Ruptur uterus biasanya diklasifikasikan menjadi: a. Ruptur uteri komplet, bila semua lapisan dinding uterus terpisah b. Ruptur uterus inkomplet, bila otot uterus terpisah, tetapi peritoneum viseral intak. Ruptur inkomplit juga lazim disebut sebagai dehisensi uterus. Seperti yang telah diketahui angka mortalitas dan morbiditas lebih tinggi jika ruptur terjadi komplet. Menurut proses terjadinya: a. Ruptur traumatik

Meskipun uterus, diluar perkiraan, tahan terhadap trauma tumpul, perempuan hamil yang mengalami trauma tumpul abdomen harus dipantau secara cermat untuk mencari rupur uterus sekaligus tanda solusio plasenta. Dimasa lampau versi podalik internal dan ekstraksi sering melnyebabkan ruptur traumatik selama pelahiran. Penyebab lain ruptur traumatik meliputi pelahiran dengan forsep yang sulit, pembesaran janin yang tidak lazim, seperti hidrosefalus dan ekstraksi bokong b. Ruptur spontan Insiden ruptur uterus spontan hanya sekitar 1: 15000 pelahiran. Ruptur spontan juga lebih mungkin terjadi pada perempuan dengan paritas tinggi. Stimulasi pelahiran dengan oksitosin telah sering dihunbungkan dengan ruptur uterus, khuusnya pada perempuan dengan paritastinggi. Agen uterotonika lain juga dikaitkan dengan ruptur. Ruptur uterus pernah terjadi pada induksi persalinan menggunakan gel prostaglandin E2 atau tablet vagina prostagglandin E1. Karena alasan tersebut, semua agen uterotonika untuk induksi atau stimulasi persalinan pada perempuan dengan paritas tinggi harus diberikan dengan hati-hati. Seruapa dengan hal ini, pada perempuan dengan paritas tinggi percobaan persalinan pada dugaan disporposi sefalopelvik, presentasi kepala tinggi, atau presentasi abnormal seperti presentasi dahi, harus dilakukan dengan hati-hati.

Patofisiologi Rupturnya uterus yang sebelumnya intak pada saat persalinan paling sering terjadi pada segmen bawah uterus yang menipis. Lubang robekan apabila berdekatan dengan serviks, sering meluas secara transfersal atau oblik. Biasanya robekan berbentuk longintudinal jika terjadi pada bagian uterus yang berdekatan dengan ligamentum latum uteri Meskipun terutama timbul di segmen bawah uterus, tidak jarang laserasi meluas keatas hingga mencapai korpus uteri atau ke bawah, melewati serviks, hingga mencapai vagina. Sesekali kandung kemih dapat ikut robek. Setelah ruptur komplit isi uterus akan keluar ke rongga peritoneum. Namun, jika bagian presentasi telah memasuki pintu atas panggul, maka hanya sebagian tubuh janin dapat menjulur keluar dari uterus. Pada ruptur uterus dengan peritoneum intak, perdarahan sering meluas hingga ligamentum latum uteri. Perdarahan yang luas ini dapat menyebabkan hematoma retroperitoneal besar dan eksanguinasi.

Gambaran klinis Tidak ada tanda yang dapat diyakini dari impending ruptur uteri yang terjadi sebelum kehamilan, walaupun gross hematuria yang tampak tiba-tiba bisa dicurigai sebagai ruptur plasenta. Ruptur dapat menyebabkan nyeri lokal yang berhubungan dengan peningkatan iritabilitas uteri, pada beberapa kasus, dengan perdarahan pervagina. Kemudian dapat diikuti pelahiran secara prematur. Seiring dengan perluasan ruptur, nyeri dan perdarahan bertambah dan mungkin tanda-tanda syok juga dapat terjadi. Sekitar 78-90 % pasien memilki abnormalitas dengan denyut jantung janin sebagai tanda pertama ruptur.

Diagnosis Sebelum terjadi syok hipovolemik, gejala dan temuan klinis pada perempuan yang mengalami ruptur uterus dapat terlihat aneh, kecuali jika kemungkinan ruptur selalu diingat. Sebagai contoh, hemoperitoneum dari uterus yang ruptur dapat menyebabkan iritasi diafragmatik dengan nyeri yang menjalar ke dada (yang mengarah pada diagnosis emboli paru atau emboli cairan amnion dan bukan ruptur uterus). Tanda ruptur uterus yang paling paling sering adalah pola denyut jantung janin yang tidak teratur dengan deselerasi denyut jantung bervariasi yang dapat menjadi deselerasi lambat, bradikardi, dan kematian. Berlawanan dengan ajaran lama, sedikit perempuan yang merasakan hilangnya kontraksi setelah ruptur uterus, dan penggunaan kateter intrauteri tidak terbukti membantu dalam penegakan diagnosis. Pada beberapa wanita, penampakan ruptur uterus identik dengan solusio plasenta. Namun, pada sebagian besar wanita, terdapat sedikit rasa nyeri atau nyeri tekan. Selain itu karena sebagian besar perempuan diterapi dengan analgesia epidural dan narkotikauntuk mengatasi rasa tidak nyaman, rasa nyeri dan nyeri tekan mungkin tidak terlalu nyata. Kondisi tersebut biasanya menjadi jelas karena adanya tanda gawat janin dan kadang-kadang karena hipovolemia pada ibu akibat perdarahan tersembunyi. Apabila bagian terendah janin telah memasuki pintu panggul atas saat persalinan, hilangnya station dapat dideteksi dengan pemeriksaan panggPul.jika sebagian atau seluruh tubuh janin keluar dari uterus yang ruptur, maka palpasi abdomen atau pemeriksaan dalam dapat bermanfaat untuk menidentivikasi bagian terndah janin, yang telah berpindah dari pintu

masuk panggul. Uterus yang berkontraksi kuat kadang-kadang dapat dirasakan disebelah janin.

Penatalaksanaan Histerktomi dapat dilakukan bila terjadi ruptur komplit selama percobaan persalinan. Pada kasus-kasus tertentu, dapat dilakukan penjahitan dengan preservasi uterus. Sheth memaparkan dalam laporannya, prognosis dari 66 wanita yang menjalani penjahitan pada ruptur uterus dan bukan histerektomi. Dalam 25 kasus penjahitan tersebut disertai sterilisasi tuba mengalami total 21 kehamilan berikutnya, dan empat diantaranya kembali mengalami ruptur uterus (25%). Penelitian yang lebih baru mengidentifikasi 37 perempuan yang memiliki riwayat ruptur uterus komplet melahirkan selama periode 25 tahun di Libanon. Histerektomi dilakukan pada 11 perempuan, dan 26 sisanya dijahit. Dua belas dari wanita ini mengalami 24 kehamilan selanjutnya, dengan sepertiganya dipersulit dengan ruptur uterus rekuren.

Related Documents


More Documents from "Fausiah Ulva M"

Leaflet.docx
June 2020 0