Perbedaan Teori Politik dengan Filsafat Politik 23 Desember 2016Tak Berkategori
Perbedaan Teori Politik dengan Filsafat Politik Pusat perhatian ilmu politik yaitu terhadap realitas atau peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan memilih, hubungan antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik dan teori yang menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik. Ilmu politik sebagai pengetahuan yang deskriptif tidak berkepentingan dalam mempertanyakan tentang nilai yaitu pertanyaan benar dan salah dalam pengertian etis, jadi nilai dianggap sebagai sesuatu yang dapat diabaikan atau setidaknya hanya dilihat sebagai gagasan ideal. Namun, karena pertanyaan tentang nilai harus dipertimbangkan, maka diperlukan disiplin ilmu yang menangani pertanyaan ini. Untuk itulah teori politik dan filsafat politik muncul sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang dianggap relevan menangani pertanyaan tentang nilai, meskipun ada perbedaan diantara keduanya. Apa perbedaannya? Teori politik merupakan kumpulan doktrin-doktrin tentang organisasi masyarakat politik yang diinginkan, seperti liberalisme, sosialisme atau anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi tentang kemungkinan bentuk masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan didalamnya juga terkandung berbagai rencana dan program politik, dan karena itu sering diistilahkan sebagai ideologi. Filsafat politik juga menaruh perhatian terhadap doktrin-doktrin politik, namun berbeda dengan teori politik, filsafat politik berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata melalui otoritas tertentu seperti agama. Karena itu, perhatian filsafat politik diarahkan pada usaha memberikan kritik atau justifikasi terhadap doktrin-doktrin atau teori-teori itu. Jadi, minat filsafat politik dapat dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan landasan rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang memberikan bentuk pada teori atau doktrin itu
FILSAFAT ILMU DAN POLITIK
1. 1. PENDAHULUAN Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philo yang berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Maka secara sederhana jika dilihat dari arti asal katanya, filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Akan tetapi, definisi secara etimologis berupa cinta kebijaksanaan, belum cukup mewakili keluasan arti dari kata filsafat. Dahulu, setiap pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan logos dan rasio manusia, secara umum dinamakan sebagai filsafat. Sementara filsafat ilmu, merupakan cabang dari filsafat yang bertugas ‘memfilsafatkan’ ilmu-ilmu (disiplin ilmu pengetahuan tertentu). Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati akan hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti memahami selukbeluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa melalui upaya filsafat ilmu, seseorang dapat meninjau dasar dan kedalaman ilmu hingga ke hakekatnya. Tujuan filsafat ilmu adalah memberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cakrawala pengetahuan manusia. Di samping itu filsafat ilmu juga memperluas wawasan ilmiah sebagai kesiapan dalam menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung dengan begitu cepat, spektakuler, mendasar, yang secara intensif menyentuh semua segi dan sendi kehidupan dan secara intensif merombak budaya manusia (Wibisono, 2004) Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Studi tentang filsafat politik lahir dari cabang ilmu filsafat praktis. Filsafat politik adalah studi tentang penilaian dan kritik moral terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang bertujuan untuk mengarahkan terciptanya susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu. Unsur yang diperlukan sebagai konsep pokok politik yang dipakai untuk meneropong unsur-unsur lainnya, yaitu :
Negara (suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya) Kekuasaan (kemampuan seseorang / kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang / kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku) Pengambilan keputusan (keputusan adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif; pengambilan keputusan adalah menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu terjadi) Kebijaksanaan umum (kebijaksaan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku / kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut) Pembagian atau alokasi (pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai dalam masyarakat
Politik dan pendidikan saling berkaitan. Salah satu peran pendidikan yaitu memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa kepada warga negara. Sedangkan politik, salah satu unsurnya adalah pengambilan keputusan dan pendidikan tidak lepas dari keputusan yang dibuat politik. Salah satu keputusan politik yang diambil di dunia pendidikan adalah adanya Ujian Nasional dengan standar tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Untuk menelaah gap antara ilmu politik dengan ilmu yang lainnya dalam hal ini adalah ilmu pendidikan, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (Wibisono S. dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (The Liang Gie., 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences). 1. 2. RUMUSAN PERMASALAHAN Rumusan permasalahan mengenai filsafat ilmu dalam keterkaitannya dengan politik dapat diajukan adalah sebagai berikut. Bagaimana tinjauan filsafat ilmu mengenai politik pendidikan? Bagaimana politik mempengaruhi kebijakan pendidikan? Apabila Ujian Nasional sebagai alat untuk memetakan kemampuan siswa di suatu daerah dengan daerah lainnya, mengapa pelaksanaan Ujian Nasional banyak menciderai kepentingan-kepentingan masyarakat di Indonesia? 1. 3. PEMBAHASAN Tinjauan filsafat ilmu mengenai politik pendidikan adalah sebagai berikut. Dari Segi Ontologis Dari pembahasan ontologisnya, semua manusia sebagai mahluk individu pada dasarnya mempunyai Hak Asasi Manusia (HAM) berupa: memperoleh pengetahuan, diakui status sosialnya, diakui keberadaannya, dan berhak memperoleh kehidupan yang lebih baik. Konsep HAM berlaku secara universal, bagi siapa saja dimana saja tanpa terkecuali, mutlak dan bebas nilai. Tidak ada alasan apapun bagi siapapun untuk menghalangi manusia memperoleh apa yang menjadi hak dasarnya. Dari Segi Epistemologis
Selanjutnya manusia sebagai warga negara berinteraksi dengan negara. Dalam keterkaitan ini, pendidikan adalah salah satu alat penghubung interaksi tersebut. Pendidikan merupakan salah satu sarana mewujudkan hak-hak dasar manusia. Dengan pendidikan ini diharapkan manusia dapat mencapai apa yang dicita-citakan seperti yang tertera diatas, tanpa terkecuali. Namun sebagai salah satu komponen yang mendukung tercapainya hak-hak dasar manusia, pendidikan mendapatkan banyak pengaruh(aksidensia) dari berbagai faktor. Pengaruh inilah yang pada akhirnya membuahkan pendidikan dengan outcome yang baik dan pendidikan dengan outcome yang buruk. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan, atau sebaliknya, adalah faktor politik, hukum, sosial, budaya, ekonomi, dan berbagai faktor lainnya. Salah satu faktor yang akan dibahas kaitannya terhadap pendidikan adalah faktor politik. Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi dalam hal filosofis maupun kebijakan. Filsafat pendidikan di suatu negara sering kali merupakan refleksi prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, filsafat pendidikan nasional adalah pengejewantahan dari nilainilai yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan dalam hal kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut. Abernethy dan Coombe (1965:287) dalam Sirozi menulis sebagai berikut: a government’s education policy reflects, and sometimes betrays, its view of society or political creed. The formulation of policy, being a function of government, is essentially part of the political process, as are the demands made on government by the public for its revision. (kebijakan pendidikan suatu pemerintahan merefleksikan dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial merupakan bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan).
Disini tampak bahwa tuntutan-tuntutan masyarakat akan suatu permasalahan ditangkap dan dirumuskan melalui suatu kebijakan, dan implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikan para stakeholder pendidikan, terutama orang tua dan peserta didik, dan masyarakat pada umumnya. Namun kebijakan-kebijakan ini juga tentunya tidak terlepas dari pengaruh paham politik tertentu – yang biasanya dibawa oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Disinilah berlaku hukum dari Hegel Tesa-Antitesa yang melahirkan Sintesa. Tesa oleh partai politik penguasa di pemerintahan dan Antitesa oleh masyarakat yang menginginkan pendidikan berlangsung wajar tanpa adanya interfensi negatif pemerintah, dan melahirkan sintesa yaitu siapa yang berkuasa, yang dapat memberikan power/pengaruhnya secara luas, tentunya pemerintah yang didukung oleh kekuatan dibelakangnya, dan dengan segala ideologi yang dimiliki yang akan diimplementasikan secara nyata dalam bentuk kebijakan-kebijakannya. Jika menurut Harman (1974:9), politik dipahami sebagai ‘praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusankeputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial’, maka pendidikan adalah sarana bisnis politik yang sangat penting. Pemerintah dapat dengan mudah mengontrol setiap kebijakan pendidikan yang dibuat dan memperhatikan dampak yang timbul, karena ada kredibilitas pemerintah yang akan dipertaruhkan dimata publik. Selain itu ada kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan keberlanjutan suatu sistem politik sebagaimana dijelaskan oleh Easton (1957:311) bahwa pendidikan membantu mengembangkan dan mentransmisi orientasi dasar politik tertentu yang dalam variasi tertentu, harus dimiliki bersama oleh para anggota dari sistem yang ada. Selanjutnya ia menambahkan bahwa salah satu kondisi fundamental untuk mempertahankan suatu sistem politik adalah bahwa ketika generasi muda dalam suatu masyarakat menginjak dewasa, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap sebagaimana diharapkan oleh anggota dari suatu sistem yang ada. Bila organisasi diibaratkan sebagai suatu negara, maka pendidikan menjadi motor bagi seluruh rakyat suatu negara untuk berproses mencapai visi suatu negara, untuk dapat bekerja sama dalam suatu tatanan negara, dan dengan
pendidikan pula orientasi politik (ideologi) yang ingin ditanamkan oleh pemerintah dapat terlaksana. Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik serta aspekaspek publik lainnya, maka setiap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannya tentang masyarakat dan pandangan politiknya. Apabila Ujian Nasional sangat berguna untuk mengetahui pemetaan mutu pendidikan, mengapa Ujian Nasional banyak menciderai kepentingan-kepentingan masyarakat di Indonesia? Ujian Nasional sebagai salah satu produk politik di Indonesia. Ujian Nasional sebagai hasil dari proses deduktif, merupakan kesimpulan umum dari kebijakan yang dirumuskan dari kepentingan-kepentingan (need) daerah, untuk digunakan bagi kepentingan daerah. Kepala Pusat Pengujian Departemen Pendidikan Nasional, Sunardi mengatakan bahwa terdapat dua hal penting yang menjadi prinsip pelaksanaan Ujian Nasional (UN), yaitu prinsip pemberdayaan sekolah dan prinsip desentralisasi. Awalnya, Ujian Nasional ini ditujukan sebagai salah satu alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi terutama ke SMP/SMA. Hal ini menunjukkan bahwa sistem UN, prosesnya cukup efisien dari segi waktu. Selain itu, ada kontrol terhadap objektivitas nilai UN. Pemerintah dengan tegas akan menghapus praktik-praktik mark up nilai yang selama ini sering terjadi. Dengan ketentuan penilaian yang disebut benchmarking, suatu penilaian proses dan hasil untuk menuju ke peringkat unggulan, maka ukuran keunggulan ini dapat ditentukan di berbagai tingkat, yaitu sekolah, daerah, atau nasional. Penilaiannya dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga siswa dapat mencapai suatu tahap keunggulan belajar sesuai kemampuan. Sementara untuk memperoleh data dan informasi tentang pencapaian benchmarking tertentu, dapat diadakan penilaian secara nasional yang dilaksanakan pada akhir satuan pelajaran. Hasilnya selain
dapat dipakai untuk menilai kompetensi siswa, juga dipakai untuk memberikan peringkat sekolah, yang pada akhirnya digunakan sebagai dasar pembinaan terhadap guru dan kinerja sekolah. Namun dalam pelaksanaan Ujian Nasional, banyak ditemui kelemahankelemahan, diantaranya: 1. UN merupakan kesalahan interpretasi pemerintah dalam memahami evaluasi dari standar pendidikan nasional. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab XVI Pasal 58, yang dapat melakukan evaluasi hasil belajar siswa adalah pendidik. Untuk evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dalam pencapaian standar nasional pendidikan, dilakukan oleh lembaga mandiri dari masyarakat. 2. UN belum mampu mencerminkan keadilan bagi peserta didik, hal tersebut bisa dilihat dari masih tingginya disparitas mutu pendidikan antar satu sekolah dengan sekolah lainnya, yang kemudian bisa melahirkan persaingan yang tidak sehat antar sekolah atau bahkan pihak sekolah akan melakukan kecurangan-kecurangan demi mencapai target standar kelulusan UN 3. Sistem penilaian melalui UN menghambat kreatifitas berpikir anak dan kreatifitas guru dalam mengembangkan bahan ajar serta metode mengajarnya. Guru lebih banyak memfokuskan perhatiannya untuk menyiapkan anak menghadapi UN dengan latihan soal (drill) tanpa memperhatikan mutu proses pembelajaran. 4. 4. Hasil penilaian yang dilakukan tidak relevan dengan kenyataan karena banyak campur tangan berbagai kepentingan. Dari Segi Aksiologis Adalah sulit memisahkan pendidikan, politik dan peran keduanya yang saling terkait satu dengan yang lain karena persoalan-persoalan kependidikan sulit dipahami dengan baik tanpa melihat konteks politik dari persoalan tersebut. Begitu pula sebaliknya, berbagai persoalan politik sulit dipahami tanpa melihat konteks kependidikan dari persoalan tersebut. Sehingga diharapkan ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan pendidikan yang ada. Begitu pula para ilmuwan politik
membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Mengenai Ujian Nasional, disparitas mutu pendidikan yang sangat besar antara kawasan timur Indonesia dengan kawasan barat Indonesia dan juga antara pedesaan dan perkotaan, menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan UN sebagai standar kelulusan siswa. UN tetap relevan dalam rangka memetakan mutu pendidikan di Indonesia. Hasil pemetaan itu akan sangat berguna untuk mengidentifkasi permasalahan disparitas mutu pendidikan dan untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Namun untuk tujuan peningkatan mutu pendidikan melalui standarisasi kelulusan siswa, UN belum relevan karena akar permasalahan sebenarnya adalah pada proses pendidikan yang belum dikelola dengan baik oleh sekolah. Permasalahan proses pendidikan yang tidak bemutu karena kompetensi pendidik dan tenaga pendidikan yang rendah. Salah satu penyebab rendahnya kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan adalah kurangnya penghasilan mereka. Dilihat dari sisi lain, rendahnya mutu pendidikan juga disebabkan oleh sarana prasarana yang kurang memadai, pembiayaan pendidikan yang rendah, tidak meratanya penempatan guru dan lain-lain. Akar permasalahan tersebut yang perlu mendapat penanganan terlebih dulu sehingga kita mampu menyeimbangkan mutu pendidikan di Indonesia. 1. 4. PENUTUP/SIMPULAN Pendidikan dan politik adalah dua bidang yang berbeda, namun sebenarnya apabila diimplementasikan dengan benar, keduanya selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaannya, perlu ada tinjauan wawasan yang saling berkaitan dari bidang masingmasing untuk dapat memahami akar permasalahan yang sebenarnya dan merumuskannya ke dalam suatu kebijakan yang baik berdasarkan akar permasalahan tersebut dan harus bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Berdasarkan uraian diatas, saran kebijakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. a. Undang-undang pelaksanaan UN perlu direvisi. Hasil UN perlu kembali diformulasikan dengan penilaian guru untuk mempertimbangkan penilaian guru secara komprehensif sebagai standar kelulusan siswa. 2. b. Pelaksanaan UN dilakukan bukan untuk tujuan standarisasi kelulusan siswa dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, tetapi terutama untuk tujuan pemetaan mutu pendidikan di Indonesia sesuai dengan tujuan evaluasi dalam pendidikan. Sehingga perlu ditinjau ulang mengenai pelaksanaan UU No 20 tahun 2003. 3. Akar permasalahan nilai UN yang rendah adalah masalah rendahnya mutu proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang rendah dapat dikarenakan rendahnya kompetensi pengelola pendidikan (kepala sekolah dan para guru). Untuk mengatasinya dalam jangka pendek adalah dengan supervisi pendidikan. Memberdayakan pengawas pendidikan untuk mampu membina guru dan kepala sekolah meningkatkan kinerjanya. Sedangkan dalam jangka panjang, perlu perekrutan calon-calon guru yang berkualitas. Tentunya kesejahteraan para guru melalui penghasilan yang berkecukupan juga dapat dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA Chan, Sam M dan Tuto T. Sam. 2005. Analisis SWOT. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Easton, David. 1957. The Fuction of Formal Education in a Political System, dalam School Review, Vol. 65, Autumn, hal. 304-316. Gie, The Liang. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. Ke-4. Yogyakarta: Penerbit Liberty Harman, G. 1980. Reassessing Research in the Politics of Education. In Education Research and Perspective (the Governance of Education). Department of Education, University of Western Australia.
Muhadjir, H. Noeng. 1998. Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarastin. Sirozi, Muhammad. 2007. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. S, Wibisono. dkk. 1997. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Klaten: Intan Pariwara, Klaten, hlm. 6-7. Wibisono, Silabus Mata Kuliah Filsafat Ilmu untuk Program Pasca Sarjana, Tahun Ajaran 2004/ 2005