Perbedaan Bronkiolitis Dan Asma.docx

  • Uploaded by: Lis Syuwaibatul
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perbedaan Bronkiolitis Dan Asma.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,785
  • Pages: 11
Perbedaan Bronkiolitis dan Asma

No 1.

Umur

2.

Etiologi

3.

Manifestasi Klinis

Bronkiolitis Anak < 2tahun, dengan insiden tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan - Tidak ada faktor Genetik - Penyebab tersering Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan agen pencetus

-

Makan sedikit Sesak napas Mengi Batuk dan pilek Hiperinflasi, depresi diafragma, pembesaran hati Retraksi Pucat Sianosis Demam biasanya ada/ tidak Rewel

Asma Gejala pertama mereka ssebelum usia 4-5 tahun - Ada Faktor Genetik - Alergen - Infeksi - Iritan - Cuaca - Kegiatan Jasmani - Infeksi Saluran Nafas - Faktor Psikis - Batuk - Wheezing/Mengi - Dipsnea atau sesak di dada - Cuping hidung - Grunting - Sianosis - Takipnea atau Takikardi - Pulsus Paradoksus - Hipoksemi - Hiperkapnia dan asidosis respiratorik - Kelainan obstruktif pada uji fungsi paru - Hiperresponsifitas bronkus - Pada Episode Berulang - Agitasi / letargi prsisten - Kesulitan pemberian makan pada bayi

4.

Komplikasi

-

Gagal Nafas Asidemia tak terkompensasi (pH menurun)

-

Pneumotoraks

-

Pneumomediastinum

-

Enfisema subkutis

-

Atelektasis

-

Aspergilosis

bronkupulmonar

alergi -

Gagal nafas

-

Bronkhitis

-

Fraktur iga

5.

Bunyi Nafas

-

Stridor Wheezing saat inspirasi dan ekspirasi. mengi bernada rendah menyerupai ronkhi. Mengi dapat Mengi tidak dapat terdengar jika tidak dijumpai terutama di awal kejadian pertukaran udara terganggu

6.

Penatalaksaan

-

Pengobatan supportive Pemberian oksigen dengan humidifikasi, atau terapi aerosol; ribavirin, terbutalin albuterol, dan aminophilin Terapi cairan oral (seperti; pedialyte) dan parenteral Istirahat Antibiotik bila sekunder dari infeksi bakteri

-

-

Pemberian oksigen bila SaO2 < 90% Pemberian Bronkodilator Pemberian sabutanol / albuterol (Nebuleizer) Pemberian Kortikosteroid K/P

BAB 1 BRONKIOLITIS 1. Pengertian Penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran napas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak < 2tahun dengan insiden tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan dengan penyebab tersering Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan agen pencetus, meskipun bermacam-macam virus lain, kadang-kadang juga bertanggung jawab atas penyakit in. Bronkiolitis adalah penyakit epidemis, akut yang ditandai oleh pilek, batuk, mengi, dan sesak napas.. Biasanya diperoleh adanya mengi dalam riwayat penyakit keluarga.

2. Patofisiologi RSV menyebabkan inflamasi peribronkial berbentuk bercak dan edema, produksi materi nekrotik dan fibrin yang menyebabkan obstruksi. Bila obstruksi terjadi parsial, hal ini menyebabkan terperangkapnya udara dan hiperinflasi; bila obstruksi komplet, maka menyebabkan kolaps. Pneumonia interstisial juga dapat terjadi. Respon imun local mungkiln penting dalam patogenesi seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan antibody imunoglobin E (IgE) spesifik pada secret nasofaring. Akan tetapi, antibiotic sistemik mempunyai daya proteksi yang buruk karena penyakit dapat terjadi walaupun terdapat antibody maternal atau antibody yang dirangsang oleh vaksin. Suatu kandidat vaksin yang inaktiv menyebabkan respon yang berlebihan terhadap infeksi virus liar dan menimbulkan penyakit yang lebih berat.

3. Etiologi Respiratory Syncytial Virus (RSV) pada 50% sampai 90% kasus. Selain itu, parainfluensa, mikoplasma, adenovirus. Sangat jarang infeksi primer bakteri.

4. Manifestasi Klinis a. Makan sedikit b. Sesak napas c. Mengi d. Batuk e. Hiperinflasi, depresi diafragma, pembesaran hati

f. g. h. i. j.

Retraksi Pucat Sianosis Auskultasi: mengi, ronkhi Demam biasanya ada/ tidak

5. Pemeriksaan Diagnostik 1. Foto rontgen toraks: hiperinflasi dan atelektasis kadang-kadang didapat bercak-bercak konsolidasi. 2. Analisa gas darah: sering hipoksia, hiperkapnia dapat timbul. 3. Pemeriksaan RSV: serologis atau lebih disukai uji imunofluoresensi cepat untuk memeriksa adanya antigen dalam bilasan nasofaringeal. 4. Pemeriksaan darah: Hb dan Ht meningkat. 5. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunofluorescent Assay) untuk mengidentifikasi virus pada nasofaringeal. 6. Pemeriksaan Sputum selama 3 x berturut-turut selama 3 hari pada pagi hari sesudah bangun tidur hasilnya warna kekuningan sebagai tanda infeksi, hijau tanda penimbunan nanah, ataupun berlendir tanda bronkitis kronik. Dengan jumlah yang banyak. 6. Penatalaksanaan Terapeutik 1. Pengobatan suportive 2. Pemberian oksigen dengan humidifikasi, atau terapi aerosol; ribavirin, terbutalin albuterol, dan aminophilin 3. Terapi cairan oral (seperti; pedialyte) dan parenteral 4. Istirahat 5. Antibiotik bila sekunder dari infeksi bakteri 7. Komplikasi 1. Gagal napas tidak dapat didefinisikan dengan mudah dalam keadaan seperti ini. 2. Asidemia tak terkompensasi (pH menurun) merupakan indikasi yang jelas untuk bantuan ventilasi daripada kadar O2 atau CO2 arteri.

ASMA

Asma didefinisikan sebagai penurunan fungsi paru dan hiperresponsivitas jalan napas terhadap berbagai rangsang.(Carpenito

1999 : 128) Asma juga di definisikan

gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan banyak sel inflamasi terutama sel mast, eosinifil dan limfosit T, sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari/subuh; gejala ini berhubungandengan luasnya inflamasi,menyebaban obstruksi jalan napas yang bervriasi derajatnya dan bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan dan inflamasi ini juga menyebabkan peningkatan responjalan nafas terhadap berbagai rangsangan. (Mangunnegoro 1997 : 1-2) Menurut The American Thoracic Society,1962Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. 1.1

ETIOLOGI Sensivitas terhadap alergen eksternal spesifik atau akibat faktor internal, non alergik

1.1.1 Faktor Internal a. Genetik : Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan. 1.2.2 Faktor Eksternal a. Alergen dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis :

 Inhalan, yang masuk melalui saluran pernafasan misalnya : debu, bulu binatang serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.  Ingestan, yang masuk melalui mulut, misalnya makanan dan obat-obatan b. Berbahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti : musim hujan, kemarau, bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu. c. Stres Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Karena jika stres belum diatasi maka gejala asma belum dapat diatasi. d. Lingkungan Kerja Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalulintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

1.2 PATOFISIOLOGI Proses-proses selular lokal di saluran nafas berpengaruh penting pada fungsi paru. Akibat peradangan saluran nafas, hiperreskonsifitas otot polos, dan penyempitan saluran nafas, resistensi saluran nafas meningkat secara bermakna. Karena itu jika pada keadaan normal saluran nafas perifer berkaliber kecil tidak berperan penting dalam resistensi aliran udara, saluran udara halus ini kini menjadi tempat peningkatan resistensi. Hal ini diperparah oleh hipersekresi mukus dan oleh rangsangan bronkokonstriktor lain. Fungsi saraf bronkus juga nampaknya berperan dalam evolusi asma, meskipun makna klinisnya mungkin bersifat sekunder. Stimulasi reseptor iritan bronkus menimbulkan bentuk dan berkonstriksi reflek

yang diperantarai oleh eferen vagus. Neurotransmiter peptida dapat juga berperan. Neuropeptida proinflamasi substansi P dapat dibebaskan dari serabut eferen tak-bermielin di saluran nafas dan dapat memicu kontraksi otot polos serta pembebasan mediator dari sel mast. Peptida usu vasoaktif (vasoastive intestinal peptide,VIP) adalah neurotransmiter peptida dibagian neuron non adrenegik nonkolinergik saluran nafas serta berfungsi sebagai bronkodilator;gangguan kerja akibat penguraian VIP dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Obstruksi

saluran

nafas

terjadi

secara

tifus,

meskipun

tidak

secara

homogen,diseluruh paru. Akibatnya, ventilasi unit-unit respiratorik menjadi tidak seragam dan penyesuaian ventilasi dengan perfusi menjadi terganggu. Terdapat daerah-daerah dengan rasio V/Q yang trelalu rendah atau tinggi, dan regio hipoksemia. Pirau sejati jarang terjadi pada asma meskipun penyumbatan oleh mukus sering ditemukan, terutama pada asma berat yang vatal. Tekana CO2 arteri biasanya normal atau rendah, karena meningkatnya ventilasi pada eksaserbasi asma. Hiperkabnia timbul belakangan dan merupakan tanda buruk, yang menunjukkan obstruksi progresif saluran nafas, kelelahan otot, dan penurunan ventilasi alveoulus.

1.3 MANIFESTASI KLINIS Keberagaman gejala dan tanda adalah indikasi beragamnya keparahan penyakit, dari penyakit ringan intermiten hingga asma yang kronik, berat, dan kadang-kadang mematikan. 1. Batuk Batuk terjadi akibat kombinasi penyempitan saluran nafas, hipersekresi mukus, dan hiperresponsivitas aferen saraf uyang dijumpai pada peradangan saluran nafas. Akibat penyempitan kompresif dan tingginya kecepatan aliran udara di saluran-saluran nafas sentral, batuk dapat menghasilkan gaya dorong yang cukup kuat untuk membersihkan mukus yang tertimbun dan partikel yang tertahan di saluran nafas yang sempit.

2. Mengi (wheezing) Kontraksi otot polos, bersam dengan hiper sekresi dan retensi mukus, menyebabkan pengurangan kaliber saliran nafas dan turbulensi aliran udara yang berkepanjangan. 3. Dipsnea dan rasa sesak didada Sensasi dipsnea dan sesak didada adalah akibat sejumlah perubahan fisiologis. Upaya yang lebih kuat oleh otot untuk mengatasi meningkatnya resitensi saluran nafas dideteksi oleh reseptor regang gelendong otot, terutama otot antar iga dan dinding dada. 4. Takipnea dan takikardia Takipnea dan takikardia mungkin tidak terjadi pada penyakit ringan tetapi hampir selalu dijumpai pada eksaserbasi akut. 5. Pulsus paradoksus Pulsus paradoksus adalah penurunan tekanan artweri sistolik lebih dari 10 mmHg saat inspirasi. Hal ini terjadi kaibat hiperinflasi paru, disertai gangguan pengiisian ventrikel kiri dan peningkatan aliran balik vena ke ventrikel kanan waktu inspirasi kuat pada obstruksi berat. 6. Hipoksemia Bertambahnya ketidak cocokan V/Q pada obstruksi saluran nafas menciptakan areaarea dengan rasio V/Q yang rendah dan hipoksemia. 7. Hiperkapnia dan asidosis respiratorik Pada asma ringan sampai sedang, ventilasi tetap normal atau berkuarang, dan PCO2arteri tetap normal atau menurun. 8. Kelainan obstruktif pada uji fungsi paru Pasien dengan asma ringan mungkin memperlihatkan fungsi paru yang seluruhnya normal di antara eksaserbasi.

9. Hiperresponsifitas bronkus Uji profokasi bronkus memperlihatkan hiperrespontifitas yang tak lazim pada hampir semua pasien asma, termasuk mereka dengan penyakit yang ringan dan hasil uji fungsi paru rutin yang normal.(Mcphee, 2010 : 255)

Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktifitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat refersibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejalagejala asma antara lain: 1. Bising mengi (wheezhing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop. 2. Batuk produktif, sering pada malam hari. 3. Nafas atau dada seperti tertekan. Gejala bersifat paroksismal membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari.

1.4 KOMPLIKASI  Pneumotoraks  Pneumomediastinum  Enfisema subkutis  Atelektasis  Aspergilosis bronkupulmonar alergi  Gagal nafas  Bronkhitis  Fraktur iga

1.5 PENATALAKSANAAN Tujuan terapi asma adalah: 1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma. Derajat asma Asma persisten

Obat pengontrol (Harian) Tidak perlu

Asma persisten ringan

1. inhalasi kortikosteroid 200-500 µg/kromolin/nedokromil atau teofilin lepas lambat. 2.bila perlu ditingkatkan sampai 800µg/ditambahkan bronkodilato aksilama terutama untuk mengontrol asma malam. Dapat diberikan agonis beta dua. Aksilama inhalasi/oral/teofilin lepas lambat. 1.inhalasi kortikosteroid 800-2000µg. 2.bronkodilator aksilama terutama untuk mengontrol asma malam,berupa agonis beta dua aksi lama inhalasi/oral/teofilinlepas lambat. 1. inhalasi kortikosteroid 800-2000µg atau lebih. 2. bronkodilator, aksilama, berupa agonis beta dua inhalasi atau oral/teofilin lepas lambat.

Asma persisten sedang

Asma persisten berat

Obat pelega 1. Bronkodilator aksi singkat,yaitu inhalasi agones betadua bila perlu. 2. Intensitas pengobatan tergantung berateksaserbasi. 3. Inhalasi agones beta dua atau kromolin dipakai sebelum aktifitas atau pajanganalergen. Inhalasi agonis beta dua aksi singkat bila perlu yang tidak melebihi 34xsehari.

Inhalasi agones beta dua aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4xsehari.

3. kortikosteroid oral jangka panjang. 2. Mencegah kekambuhan 3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankan nya. 4. Mengupayakan aktifitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise. 5. Menghindari efek samping obat asma. 6. Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel.

Related Documents


More Documents from "Marini Fania"