Perbandingan Paradigma Evolusi Dan Difusi Kebudayaan.docx

  • Uploaded by: Marini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perbandingan Paradigma Evolusi Dan Difusi Kebudayaan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,803
  • Pages: 13
PERBANDINGAN PARADIGMA EVOLUSI DAN DIFUSI KEBUDAYAAN Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Teori Antropologi Klasik

OLEH: MARINI NIM. 185110800111018

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem antara nilai, gagasan, tindakan, serta karya manusia atau dengan kata lain kebudayaan merupakan hasil cipta , rasa, dan karsa manusia yaitu ide atau gagasan, perilaku atau tindakan, dan benda. Kebudayaan dapat dilihat dari objek material dan formal. Objek material akan dikaji dan dianalisis oleh ahli-ahli antropologi dan mampu menghasilkan suatu teori-teori, objek material antropologi adalah kebudayaan yang berupa kebudayaan fisik dan budaya. Sedangkan objek formal digunakan oleh para ahli antropologi sebagai alat untuk mengkaji dan menganalisis kebudayaan, objek formal antropologi adalah teori-teori antropologi baik itu teori klasik maupun teori modern. Untuk meneliti kebudayaan manusia, para ahli antropologi membutuhkan objek formal dari antropologi, yaitu teori-teori antropologi. Di mana, teori ini merupakan hasil pemikiran, perspektif, maupun sudut pandang atau paradigma dari para ahli antropologi. Paradigma merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi. Secara sederhana, paradigma merupakan suatu kerangka berfikir (framework), sudut pandang, atau cara seseorang melihat suatu masalah. Paradigma memiliki beberapa unsur atau komponen di dalamnya, yaitu asumsi-asumsi dasar, nilai atau value, masalah yang diteliti, model, konsep-konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis atau teori, dan representasi berupa etnografi (Ahimsa-Putra, 2009). Untuk meneliti kebudayaan, diperlukan paradigma atau suatu kerangka berpikir dalam memandang suatu masalah yang berkaitan dengan kebudayaan itu sendiri. Dalam ilmu antropologi, terdapat tujuh belas paradigma antropologi. Tujuh paradigma di antaranya termasuk ke dalam paradigma klasik, dan sepuluh sisanya termasuk ke dalam paradigma modern. Seperti halnya, dua paradigma klasik yang hendak penulis bahas dalam makalah ini, yaitu paradigma evolusi kebudayaan dan difusi kebudayaan. Evolusi dan difusi kebudayaan ini merupakan dua paradigma yang menjadi dasar para ahli antropologi dalam melakukan penelitian kebudayaan. Selain itu, dua paradigma ini termasuk paradigma yang secara teoritis sederhana, akan tetapi mendasar. Terlebih lagi, paradigma evolusi kebudayaan yang menjadi akar dan menghasilkan paradigma-paradigma lain di ilmu antropologi. Terbukti dengan terbitnya berbagai karya para cendekiawan dan ahli filsafat tentang evolusionisme, yang menjadi permulaan dari adanya ilmu antropologi di dunia sains. Kemudian, dua paradigma ini juga sering digunakan dalam ilmu sosial budaya, dalam arti telah cukup kuat aspek operasionalnya, sehingga layak untuk dikaji lebih lanjut, dikritisi, sekaligus direfleksikan agar semakin jelas pemahaman kita tentang kedua

paradigma ini. Selain itu, membandingkan kedua paradigma evolusi dan difusi kebudayaan, yang secara teori hampir sama, menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk membuat analisis dan bahasan berupa makalah yang berjudul “Perbandingan Paradigma Evolusi dan Difusi Kebudayaan”. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian paradigma evolusi dan difusi kebudayaan? 2. Apa asumsi-asumsi yang mendasari paradigma evolusi dan difusi kebudayaan? 3. Apa masalah yang menjadi perhatian pokok dari paradigma evolusi dan difusi kebudayaan? 4. Bagaimana metode yang digunakan untuk membangun paradigma evolusi dan difusi kebudayaan? 5. Apa contoh paradigma lain yang berhubungan dengan paradigma evolusi dan difusi kebudayaan? 6. Bagaimana kritik terhadap paradigma evolusi dan difusi kebudayaan? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian paradigma evolusi dan difusi kebudayaan 2. Untuk memahami asumsi dasar paradigma evolusi dan difusi kebudayaan 3. Untuk memahami masalah yang menjadi perhatian pokok paradigma evolusi dan difusi kebudayaan 4. Untuk memahami metode yang digunakan untuk membangun paradigma evolusi dan difusi kebudayaan 5. Untuk mengetahui contoh paradigma lain yang berhubungan dengan paradigma evolusi dan difusi kebudayaan 6. Untuk memahami kritik terhadap paradigma evolusi dan difusi kebudayaan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Paradigma Evolusi dan Difusi Kebudayaan Munculnya konsepsi evolusi budaya ini, dilatarbelakangi oleh terjadinya evolusi organisme di Eropa Barat, atau yang dikenal dengan abad pencerahan pada abad ke-15 sampai abad ke-16 yang saat itu dikenal istilah Cogito Ergo Sum! artinya ‘aku berpikir maka aku ada’ yang dipopulerkan oleh Filsuf Perancis, Rene Descartes. Pada abad ke-19, muncul konsepsi tentang evolusi sosial secara universal, konsepsi ini berawal dari kerangka berpikir evolusionisme universal yang digunakan oleh para cendekiawan dan para ahli filsafat sehingga mempengaruhi pola pikir para cendekiawan, para ahli filsafat, para ahli hukum, para ahli sejarah kebudayaan, dan para ahli folklor dalam memandang berbagai permasalahan hidup manusia. Evolusi kebudayaan, yaitu manusia berkembang dengan lambat dari tingkat-tingkat yang rendah dan sederhana ke tingkat yang semakin lama semakin tinggi dan kompleks. Serta kecepatan dari perkembangan tersebut berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Tokoh-tokoh yang terkenal dengan konsep evolusi adalah Herbert Spencer dan E.B. Tylor pada tahun 1870, James Frazer pada tahun 1890, dan L.H. Morgan pada tahun 1910. H. Spencer ini adalah tokoh evolusi budaya, yang mengawali pola pikir evolusionismenya dengan membuat catatan-catatan etnografi orang-orang di luar Eropa. Dalam teori evolusi universalnya, Spencer berpendapat bahwa seluruh kebudayaan mengalami tahap yang sama, menuju tujuan yang sama, dan bisa mengalami proses evolusi melalui tingkat-tingkat yang berbeda-beda. Selanjutnya konsep E.B. Tylor mengenai proses evolusi hampir sama dengan konsep H. Spencer, yang membedakannya adalah konsep E.B Tylor, antropolog pertama, lebih menekankan kepada spirit atau roh (religi). Kemudian, konsep James Frazer yang terilustrasikan dalam buku berjudul The Golden Bough (perbedaan ilmu gaib dan religi). Serta L.H. Morgan yang dalam teori evolusinya juga membahas mengenai adanya domestivikasi. Sedangkan, mengenai konsepsi difusi kebudayaan, berawal dari perhatian seorang sarjana ilmu hayat dan merangkap ilmu bumi, F. Ratzel (1844-1904), yang mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika. Kemudian, Ratzel banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur tersebut. Alhasil, para sarjana di Eropa Tengah kemudian melakukan penelitian serupa dengan aliran difusionisme. Tokoh-tokoh yang terkenal dari konsepsi difusi kebudayaan ini adalah F. Grabener (1877-1934), W. Schmidt (1868-1954), W.H.R. Rivers (1864-1922), Elliot Smith dan Perry (1871-1949), serta Frans Boas F. Grabener dan W. Schmidt terkenal difusionismenya dengan cara mengklasifikasikan unsur-unsur kebudayaan dari satu pangkal budaya kemudian menyebar ke budaya lain.

Konsepsi kedua tokoh ini dikenal dengan istilah kulturkreise atau kulturhistorie. Kemudian, difusionisme Elliot Smith dan Perry yang terkenal dengan teori heliolithic, di mana menurut kedua tokoh tersebut unsur-unsur penting dari kebudayaan Mesir Kuno yang tersebar tampak pada bangunan batu besar atau megalith, dan pada unsur-unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan matahari atau helios (pandangan Mesir-sentris). Paradigma difusi, melihat kebudayaan menyebar dari satu tempat ke tempat lain, karena manusia bermigrasi atau bermobilisasi dan dinamis. Terdapat dua pergerakan dasar dari kebudayaan, yaitu kebudayaan menyebar dari satu tempat ke tempat lain dan kebudayaan menyebar dari satu titik tempat ke pinggiran. Sedangkan pandangan evolusi melihat ketika dua unsur budaya sama, hal tersebut mengindikasikan bahwa dua kebudayaan tersebut sedang dalam taraf evolusi yang sama. Sedangkan, teori difusi, ketika dua kebudayaan memiliki unsur yang sama, artinya dua kebudayaan tersebut pernah melakukan kontak budaya, di mana satu budaya sebagai penyebar dan satu budaya lainnya sebagai penerima. 2.2 Asumsi Dasar Paradigma Evolusi dan Difusi Kebudayaan Asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah disiplin atau bidang keilmuan, atau dasar dari sebuah kerangka pemikiran, dan seperti halnya fondasi sebuah gedung yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Suatu kerangka teori dalam ilmu sosialbudaya biasanya mempunyai banyak asumsi dasar. Akan tetapi, tidak semua asumsi dasar ini selalu dikemukakan secara eksplisit. Bahkan kadangkadang malah tidak dipaparkan sama sekali, karena semua orang dianggap telah mengetahuinya. Alasan lebih dipilih istilah ‘asumsi’ daripada ‘dalil’ atau ‘hukum’ karena tindakan ‘tidak lagi mempertanyakan kebenaran’. Kebenaran di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat jika kebenaran yang relatif itu disebut sebagai ‘asumsi’, anggapan saja, bukan dalil atau hukum. (Ahimsa-Putra; 2009). Asumsi dasar paradigma evolusi kebudayaan yaitu kebudayaan berkembang dan perkembangannya bertingkat-tingkat dari tahap yang paling sederhana ke tahap yang lebih kompleks. Evolusi berarti suatu proses perkembangan yang berjalan secara lambat berlangsung dari tingkat yang sederhana atau rendah menuju ke tingkat yang tinggi dan kompleks yang didorong oleh kekuatan dari dalam (intern) masyarakat dan kebudayaan. Apabila pada dua tempat berbeda terdapat suatu unsur kebudayaan yang sama, maka persamaan tersebut dijelaskan tidak atas dasar adanya komunikasi antara kedua tempat itu, melainkan karena kedua tempat itu telah terjadi suatu penemuan secara bebas (independent invention) berkaitan dengan unsur-unsur, sehingga tempat itu berada pada tingkatan evolusi yang sama (Geriya; 1982:14-15). Implikasi dari cara-cara berpikir evolusionisme adalah: (1) adanya pandangan bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia itu sifatnya tidak statis, namun dinamis; (2) perkembangan masyarakat dan kebudayaan cenderung secara alamiah bergerak maju (progress); (3) mengakui dan menekankan adanya proses penemuan secara bebas (independent invention) karena kekuatan endogen; (4) mengikari perkembangan

kebudayaan karena persebaran. Konsepsi dasar tersebut mencakup beberapa konsep yang ikut mendasari cara berpikir evolusi yaitu independent invention process non borrowing dan kekuatan intern atau endogen sebagai sumber penggerak evolusi (Geriya; 1982: 15-16). Sedangkan asumsi dasar paradigma difusi kebudayaan, yaitu kebudayaan menyebar dari satu tempat ke tempat lain karena manusia bersifat dinamis. Menurut perkembangan awal difusionisme ini, selama abad ke-19, sebagian besar penelitian bidang-bidang sosial didominasi oleh orientasi evolusioner dan orientasi perkembangan (developmental). Pada abad itu, salah satu hasil penelitian Tylor mendapat pengaruh dari arkeologi karena Tylor mengumpulkan benda-benda etnografi dan disusun menjadi sebuah museum. Tylor melakukan perbandingan (studi komparatif) dengan membandingkan data etnografi, yaitu budaya dan benda-benda etnografi untuk menyusun teori. Hasilnya perbandingannya menunjukkan bahwa terdapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan pada kebudayaan yang ditelitinya 2.3 Masalah Pokok Paradigma Evolusi dan Difusi Kebudayaan Masalah pokok yang dibahas dalam teori evolusi yaitu mengenai perkembangan manusia dari tingkatan hidup yang sederhana menuju tingkat yang lebih kompleks. Di sini perkembangan yang dimaksud adalah terkait dengan unsur-unsur kebudayaan pada manusia, mulai dari organisasi sosialnya, kemudian bahasa, ilmu pengetahuan, peralatan hidup, mata pencaharian, seni, serta religi dalam kehidupan manusia. Termasuk juga perkembangan manusia berkaitan dengan ide atau gagasannya, perilaku atau tindakannya, dan benda atau hasil budayanya. Dalam paradigma evolusi permasalahan seputar perkembangan-perkembangan tersebut yang dibahas, selain itu para cendekiawan juga melakukan penelitian terhadap sebuah masalah di mana penelitian tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, untuk mengkaji suatu gejala sosial budaya dalam kehidupan manusia. Sedangkan masalah pokok yang dibahas dalam teori difusi yaitu mengenai persebaran unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia. Termasuk juga bagaimana proses difusi antar tempat bisa terjadi, faktor pendorong difusi, faktor penghambat difusi, dampak dan penyebab difusi bisa terjadi, dll.. Sebenarnya, antara teori evolusi dan difusi kebudayaan ini, masalah pokok yang dibahas di dalamnya tidak jauh berbeda, karena keduanya merupakan paradigma yang berkembangnya saling mempengaruhi. Keduanya, memiliki objek yang berbeda, teori evolusi lebih fokus kepada perkembangan unsur kebudayaan manusia yang diikat waktu, sedangkan objek teori difusi fokus kepada persebaran unsur kebudayaan yang diikat ruang. Teori difusi ini juga membahas mengenai kontak antar kebudayaan, selain itu juga masalah dorongan dan hambatan dari kontak kebudayaan tersebut, serta dampak dari adanya kontak kebudayaan di berbagai tempat yang ada di dunia.

2.4 Metode dalam Membangun Paradigma Evolusi dan Difusi Kebudayaan Metode penelitian yang digunakan oleh para tokoh dalam membangun paradigma evolusi kebudayaan yaitu metode menemukan dan mengumpulkan data atau benda-benda etnografi dari berbagai suku bangsa di dunia, untuk mengetahui persamaan tingkat evolusi. Selain dari hasil pengumpulan yang dilakukan oleh para ahli antropologi, bahan etnografi diperoleh dari para misionaris atau para penjelajah. Pada perkembangan selanjutnya, penelitian evolusi menggunakan metode penelitian lapangan terhadap unsur-unsur masyarakat dengan tinggal menetap pada masyarakatnya (observasi partisipatif). Selain itu juga, Tylor mengemukakan metode perbandingan unsur-unsur kebudayaan (metode penelitian komparatif) dalam jumlah yang besar (sampai tiga ratus buah). Metode itu diterapkan oleh ahli antropologi untuk melakukan penelitian cross cultural (Koentjaraningrat: 1980). Selain itu, para ahli antropologi yang menganut konsepsi evolusi kebudayaan pada hakikatnya melakukan klasifikasi, karena beragam kebudayaan diklasifikasikan ke dalam golongan-golongan yang disebut dengan tingkat-tingkat evolusi (tipologi). Tingkat-tingkat evolusi ini kemudian disusun sesuai dengan tata urut kronologi, dengan menempatkan kebudayaan paling primitif dalam zaman paling tua, kebudayaan yang tampaknya kurang primitif dalam zaman sesudah itu, dan akhirnya kebudayaan yang tampaknya paling maju dan tinggi di zaman paling muda. Sedangkan, metode penelitian yang dilakukan oleh para tokoh dalam membangun paradigma difusi kebudayaan yaitu dengan menemukan persamaan-persamaan unsur kebudayaan di berbagai tempat, kemudian melakukan perbandingan (metode penelitian komparatif) antar berbagai unsur-unsur kebudayaan yang tersebar di berbagai tempat, selanjutnya melakukan metode klasifikasi kebudayaan atau taksonomi kebudayaan. Selain itu, dalam penelitian difusi kebudayaan, seorang murid F. Boas yang bernama G.P. Murdock juga melakukan penelitian komparatif cross cultural tentang berbagai macam konsepsi mengenai “rasa tidak sehat’ dalam 186 kebudayaan suku bangsa yang tersebar luas di dunia. Hasil dari penelitian tersebut tercantum dalam karangannya berjudul World Distribution of Theortes of Illness (1978) dan bukunya Theories of Illness (1980). Metode penelitian yang digunakan untuk membangun paradigma evolusi dan difusi kebudayaan pada dasarnya hampir sama, yaitu dengan data-data etnografi, kualitatif, observasi partisipan, penelitian komparatif, serta taksonomi kebudayaan. Namun, yang menjadi pembeda di antara keduanya adalah target atau objek dari penelitian tersebut. Di mana, dalam paradigma evolusi kebudayaan yang menjadi objek penelitiannya adalah perkembangan unsur-unsur kebudayaan manusia beserta waktunya. Sedangkan, dalam aradigma difusi kebudayan yang menjadi objek penelitiannya adalah lebih ke persebaran unsur-unsur kebudayaan manusia di beberapa tempat yang berbeda, kemudian dari persebaran tersebut disusun taksonomi kebudayaan. Selain itu, dalam paradigma evolusi kebudayaan lebih menggunakan metode penelitian yang sifatnya diakronik, di mana peneliti mengumpulkan data etnografi dalam suatu komuniti pada saat tertentu dan diulang beberapa tahun kemudian pada komuniti yang sama (meluas dalam waktu, menyempit dalam ruang). Dan dalam paradigma difusi kebudayaan menggunakan metode penelitian yang sifatnya

sinkronik, yaitu peneliti mengumpulkan data etnografi dalam dua komuniti dengan dua latar belakang kebudayaan yang sama tetapi sifat komunitinya berbeda, dan penelitian ini dilakukan pada interval waktu yang cukup singkat (meluas dalam ruang, menyempit dalam waktu). Koentjaraningrat menjelaskan ada empat macam penelitian komparatif cross-cultural menurut H.E. Driver, yaitu penelitian dengan sampel yang terdiri dari kebudayaankebudayaan yang terletak dalam satu atau beberapa daerah kebudayaan, tersebar secara acakan di seluruh dunia, tersebar secara acakan dalam satu benua, dan yang dipilih dari semua daerah kebudayaan di seluruh dunia. Hal ini mengacu kepada penelitian paradigma difusi kebudayaan yang melihat persebaran objek penelitian di berbagai tempat berbeda di dunia. Selain itu, dalam membangun paradigma difusi kebudayaan juga digunakan metode penelitian komparatif yang bertujuan untuk menyusun sejarah kebudayaan inferensial, yaitu mengenai sejarah difusi unsur-unsur kebudayaan di berbagai daerah dengan memperhatikan hal-hal yang menjadi satuan banding bagi para ahli antropologi dan menggunakan kerangka kebudayaan serta membuat penggolongan atas hal-hal tersebut. 2.5 Contoh Paradigma yang Berhubungan dengan Paradigma Evolusi dan Difusi Kebudayaan Salah satu teori yang terkenal di Inggris adalah Teori Difusi Elliot Smith (1871-1973) dan Perry (1887-1949). Teori mereka terkenal sebagai teori aneh yaitu Heliolithic Theory yang menyatakan bahwa pangkal dari difusi kebudayaan besar dunia adalah di Mesir, kemudian bergerak ke arah Timur, yaitu Lautan Tengah, Afrika, India, Indonesia, Polinesia, dan Amerika. Teori ini memandang kebudayaan dengan sudut pandang Mesir-sentris, di mana, unsur-unsur penting dari budaya Mesir Kuno itu tersebar luas dan tampak pada bangunan batu besar atau megalith, yang berpusat pada unsur-unsur keagamaan yaitu pusat penyembahan matahari atau helios. Awalnya, teori ini tidak dianggap aneh karena sekitar zaman Perang Dunia I adalah masa di mana orang-orang Eropa sedang kagum-kagumnya dengan peninggalan kebudayaan Mesir Kuno. Kemudian, teori ini dianggap aneh karena Elliot sebagai ahli anatomi memulainya dengan melakukan penelitian terhadap otak dari mumi-mumi Mesir. Dari situlah, Elliot tertarik dengan kebudayaan Mesir Kuno dan memperdalam dirinya ke buku-buku tentang kebudayaan itu, hingga Elliot mendapati bahwa banyak unsur dalam kebudayaan Mesir itu menunjukkan persamaan dengan unsur kebudayaan besar lain di tempat lain di dunia zaman dahulu, bahwa unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia berasal dari Mesir, dan telah dibawa oleh bangsa yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kekayaan dalam bentuk emas dan mutiara. Heliolithic Theory ini diuraikan dalam bukunya yang berjudul The Influence of Ancient Egyptian Civilization in the East and in America (1916). Kemudian, teori heliolitik ini digunakan oleh W.J. Perry dalam penelitian besarnya, yang mencoba mencari jalan difusi kebudayaan heliolitik, unsur-unsur kebudayaan yang ada

dalam difusi tersebut, serta penyebab dari difusi. Hasil penelitian Perry ini diterbitkan sebagai buku yang berjudul The Children of The Sun (1923). Setelah beberapa saat mendapat perhatian besar dari pihak umum bukan ahli, timbullah berbagai kecaman atau kontra, seperti halnya kecaman dari R.H. Lowie, ahli antropologi Amerika. Lowie menyatakan bahwa teori heliolitik adalah teori mengenai difusi yang sangat ekstrim dan tidak sesuai dengan kenyataan jika dilihat dari sudut pandang ilmu prehistori maupun sudut pandang konsep-konsep tentang proses difusi dan kontak kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima oleh para ahli antropologi pada saat itu. Oleh karena itu, hingga saat ini, teori heliolitik hanya bisa digunakan sebagai contoh yang digunakan oleh para ahli antropologi untuk menjelaskan persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia. 2.6 Kritik terhadap Paradigma Evolusi dan Difusi Kebudayaan Evolusi dan difusi kebudayaan sebagai sebuah paradigma atau sudut pandang serta cikal bakal dari teori antropologi klasik memiliki peran yang sangat penting dan mendasar dalam upaya menjelaskan berbagai gejala-gejala sosial budaya yang ada. Selain itu, paradigma evolusi merupakan paradigma atau teori yang melahirkan paradigma-paradigma lain dalam ilmu antropologi. Sejak abad ke-19, paradigma evolusi ini mampu mendominasi dan mempengaruhi pola pikir para ahli antropologi dan ahli ilmu sains lainnya dalam dunia ilmu pengetahuan. Tidak sedikit pula para tokoh besar yang beraliran evolusionisme. Selain itu, dua paradigma ini memiliki sebuah kedekatan tersendiri, bisa dikatakan keduanya berkembang dalam objek yang hampir sama. Metode yang digunakan untuk membangun keduanya juga hampir sama. Dengan seperti itu, keduanya menjadi paradigma yang saling membutuhkan dan saling melengkapi. Tokoh-tokoh yang besar dari kedua paradigma ini juga banyak, dan tidak jarang masih terdapat hubungan di antaranya. Namun, semakin berkembangnya zaman, semakin maju pula ilmu pengetahuan dan teknologinya. Hal ini mempengaruhi pola pikir manusia terhadap dunia ilmu pengetahuan. Ketika pola pikir manusia berubah, maka paradigma-paradigma yang terdahulu pasti akan mendapat kecaman, kontra, pertentangan, atau kritikan dari paradigma (pola pikir hasil dari sudut pandang) yang lebih baru, fresh, dan relevan dengan ilmu pengetahuan masa kini. Karena pada faktanya, manusia itu dinamis, termasuk pola pikirnya, yang dari sana manusia berusaha untuk menjadi lebih baik dalam segala hal demi kehidupan yang nyaman bagi mereka. Untuk itu, teori klasik evolusi ini, yang mana merupakan paradigma antropologi paling tua dan mendasar pun mendapat kritik dari paradigma yang baru muncul akhir-akhir ini. Ada banyak pemikiran baru yang kontra dengan teori klasik evolusi tersebut, salah satunya yang paling menarik perhatian penulis yaitu pandangan kontroversi dari seorang kreasionis Turki bernama Harun Yahya, yang berani memunculkan perdebatan antara kreasionisme dengan evolusi. Pandangan Yahya ini jelas bertujuan untuk meruntuhkan teori evolusi, terutama J.B.

De Lamarck (1774-1829), Charles Darwin (1809-1882), dan Alfred Russel Willace (18231913) yang mana dianggap sebagai pencetus teori evolusi. Berdasarkan pengertian evolusi menurut ilmu sejarah dan ilmu alam, Conger, mengatakan bahwa inti dari pengertian evolusi mencakup: (1) perubahan dalam waktu, (2) urut-urutan, (3) sebab musabab yang terkandung di dalamnya (4) sintesis yang kreatif. Sehingga, teori evolusi menunjukkan bahwa manusia yang ada saat ini merupakan hasil perkembangan yang berangsur-angsur dari waktu ke waktu, berurutan berdasarkan subab musabab tertentu melalui proses sintesis yang kreatif, yakni dimulai dari hewan hingga membentuk menjadi seperti manusia seperti sekarang ini. Lamarck, ahli botani asal Perancis yang dijuluki sebagai Bapak Evolusi ini, menyatakan bahwa kehidupan itu berkembang mulai dari tumbuh-tumbuhan menuju binatang dan dari binatang menuju ke manusia. Menurut pendapat ini, organisme tubuh yang hidup berubah karena digunakan, ditelantarkan, atau karena musibah yang menimpanya. Lamarck, mengilustrasikannya dengan perubahan organisme zirafah. Di mana, zirafah ini mengalami mutasi genetik, yaitu karena adanya kebiasaan memakan daun-daun yang tinggi maka hal tersebut menyebabkan leher dan kakinya menjadi panjang. Dan menurut pandangan ini, sifat organisme itu berpindah turun-temurun, dari kebiasaan tertenut, akhirnya berubahlah organisme secara turun-temurun dan menjadilah ia manusia. Adapun Darwin dan Willace yang menyatakan evolusi pada manusia terjadi karena adanya seleksi alam (natural selection). Contohnya, adalah zirafah yang berleher panjang tadi mampu bertahan hidup karena mampu mencapai daun yang tinggi, dan sebaliknya. Kemudian, berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang teori evolusi juga dapat diketahui bahwa teori tersebut berusaha untuk menunjukkan bahwa manusia yang sekarang ini berasal dari Australopithecus, kemudian berangsur dan berkembang menjadi Homo erectus, berubah lagi menjadi Gromagnon, akhirnya berevolusi menjadi manusia modern seperti saat ini. Teori tersebut mendapat kontroversi, dibantah oleh para ulama, mereka berpendapat bahwa manusia adalah keturunan Adam, di mana Adam juga bukan hasil evolusi dari makhluk sejenis kera. Selain itu, ulama lain juga berpendapat bahwa manusia memiliki ciri khas psikologis (kemampuan berpikir, kesatuan nisbi antara tindakan rasional yang tidak dimiliki hewan, serta adanya kelompok kesatuan sosial). Perdebatan mengenai teori evolusi ini berlangsung hingga saat ini, terutama di kalangan ulama dan cendekiawan Islam. Salah satunya adalah Harun Yahya, seorang penulis Turki, yang berusaha menentang evolusionisme dengan kritiknya yaitu kritik kreasionisme (teori penciptaan) yang muncul pada awal abad ke-21. Kritik tersebut mengatakan bahwa asal-usul kehidupan manusia hanya ada satu jawaban, yaitu penciptaan. Terdapat dua konsep kreasionisme, yaitu Old Earth Creationists (kreasionis bumi tua) dan Young Earth Creationists (kreasionis bumi muda). Penjelasan tentang kreasionisme ini menunjukkan bahwa konsep ini adalah gagasan yang melihat alam semesta dan manusia sebagai suatu hasil penciptaan sebagaimana dalam kitab suci.

Pada dasarnya, kritik teori evolusi ini muncul dari sebagian kelompok Kristen fundamentalis atau agamawan yang menyatakan bahwa manusia diciptakan secara terpisah dari spesies lainnya atau manusia itu diciptakan. Harun Yahya, mengatakan bahwa teori evolusi itu mengandung rasisme, komunisme, materialisme, imperialisme, dan sebagainya. Selain itu, kritik dari Harun Yahya ini diperkuat olehnya dengan menjelaskan berbagai kelemahan dari teori evolusi itu sendiri, yaitu dikatakannya bahwa seleksi alam dan mutasi adalah mekanisme evolusi yang keliru, tidak ditemukannya bentuk peralihan dalam makhluk hidup, kekerabatan dan keanekaragama makhluk hidup sebagai fakta penciptaan, terdapat bukti paleontologi dan paleoantropologi yang menggugurkan teori evolusi, serta kerumitan dan kesempurnaan makhluk hidup sebagai fakta kreasionisme.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Paradigma memiliki peran penting yaitu menjadi dasar suatu teori yang digunakan sebagai bahan untuk menjelaskan berbagai gejala sosial budaya dalam sebuah penelitian. Selain itu, setiap paradigma, seperti halnya paradigma evolusi dan difusi kebudayaan ini memiliki kelebihan dan kekurangan, masing-masing memiliki perbedaan, yang sekalipun kontras atau tidak tetap saling melengkapi dan saling mempengaruhi. Kemudian, setiap paradigma memiliki periode waktu kapan munculnya, namun karena pola pikir manusia yang dinamis, maka paradigma pun dinamis. Tergantung dengan bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Sehingga, tidak jarang antara paradigma yang satu dengan yang lain mengalami kontroversi, kecaman, sanggahan. Hal ini tidak lain adalah sebagai tanda bahwa peradaban manusia berubah. Perbandingan yang penulis bahas dalam makalah ini, adalah bukan untuk memperdebatkan dua paradigma yang memiliki perbedaan, melainkan semata-mata agar pembaca mampu mendalami dan memahami paradigma dasar dalam ilmu antropologi, sehingga nantinya mampu memudahkan pembaca dalam melakukan penelitian antropologi.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadjaja, S. S. (n.d.). PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi) FEBRINA DESRIANTI. Devi, I. S. (2018). STUDI PERBANDINGAN PARADIGMA FUNGSIONALISME STRUKTURAL VS STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS. ASKETIK, 2(1). Ihromi, T. O. (1999). Pokok-pokok antropologi budaya. Yayasan Obor Indonesia. Irianto, A. M. (2008). Epistemologi Kebudayaan. Isu Teoritik dalam Karya Etnografi. Prabowo, G. (2017). Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi dalam Ilmu Sosial. JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo, 1(1), 33–64. Sanusi, M., & Antropologi, M. P. S. I. (n.d.). Telaah Epistemologi Positivisme dan Fenomenologi (Sebuah Perbandingan). Sidemen, I. A. W., & Hum, M. (n.d.). PARADIGMA DALAM STUDI KEBUDAYAAN. Yahya, H. (2001). Keruntuhan Teori Evolusi. Jakarta. Global. Koentjaraningrat, Prof. Dr. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press Koentjaraningrat, Prof. Dr. (1987). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI-Press

Related Documents


More Documents from "adeliaputri"