PP NOMOR 16 TAHUN 2009
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI.
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah: a.bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar: 1) Wajib Pajak DN dan BUT ; dan
mulai berlaku
2) Wajib Pajak LN selain bentuk usaha tetap,
1 Januari 2009
Historis
15% (lima belas persen) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh: a.
•
PP - 6 TAHUN 2002 23 Maret 2002 Pajak Penghasilan Atas Bunga Dan Diskonto Obligasi Yang Diperdagangkan Dan/atau Dilaporkan Perdagangannya Di Bursa Efek Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
•
Tidak berlaku apabila penerima penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah: •
Wajib Pajak dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
b.diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
15% (lima belas persen) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan;
15% (lima belas persen)
dari selisih lebih harga
1) Wajib Pajak DN dan BUT ; dan 2) Wajib Pajak LN selain bentuk usaha tetap,
c.diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar: 1) Wajib Pajak DN dan BUT ; dan
penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
a.
perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli,
•
atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi
Undang-Undang Pajak Penghasilan
•
Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
2) Wajib Pajak LN selain bentuk usaha tetap,
20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda
d.bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebesar:
1)0% tahun 2009 - 2010;
jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi; dan
2) 5% tahun 2011 - 2013; dan 3)15% tahun 2014 dst
a. Beberapa contoh : Nomor : 121/KMK.03/2002 Tanggal : 1 April 2002 Beberapa contoh : 1.Pada tanggal 1 Juli 2009, PT. ABC (emiten) menerbitkan obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebagai berikut : •
• •
Nilai nominal Rp. 10.000.000,Jangka waktu obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2014). Bunga tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember.
Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). PT. XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lb obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount), yaitu sebesar Rp. 9.000.000,- per lb. Penghitungan bunga dan PPh final yang terutang oleh PT. XYZ pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2009 adalah sebagai berikut: •
bunga = (6/12 x 16% x Rp. 10.000.000,-) x 10 = Rp. 8.000.000,-
•
PPh final = 15% x Rp. 8.000.000,= Rp. 1.200.000,- dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran (cash settlement).
Keterangan :
Dalam kenyataannya, harga perolehan obligasi dengan kupon (interest bearing bond) pada saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan nilai nominalnya. Pembeli bisa memperoleh obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) atau di atas nilai nominal (at premium). Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah atau di atas nilai nominal tersebut merupakan penyesuaian tingkat bunga obligasi yang diperhitungkan ke dalam harga perolehan. 2. Pada tanggal 31 Maret 2009, PT. XYZ menjual seluruh obligasi yang dimilikinya kepada PT. PQR melalui perusahaan efek PT. MNO Sekuritas di over the counter (OTC), dengan harga jual Rp. 10.400.000,- per lembar termasuk bunga berjalan. Penjualan obligasi tersebut dilaporkan ke bursa efek. Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. XYZ pada saat penjualan obligasi tanggal 31 Maret 2009 adalah sebagai berikut: •
bunga berjalan = (3/12 x 16% x Rp. 10.000.000,-) x 10 = Rp. 4.000.000,-
•
diskonto = [(Rp. 10.400.000,- - Rp. 400.000,-) - Rp.9.000.000,-] x 10 = Rp. 10.000.000,-
karena dikenakan PPh final dengan tarif yang sama, bunga berjalan dan diskonto dapat dihitung sekaligus yaitu: (Rp. 10.400.000,- - Rp. 9.000.000,-) x 10 Rp. 14.000.000,-
•
PPh final = 15% x Rp. 14.000.000,- = Rp. 2.100.000,- dipotong oleh PT. MNO Sekuritas selaku pedagang perantara.
3. PT. PQR memiliki obligasi yang dibelinya dari PT. XYZ tersebut hingga tanggal 31 Desember 2009. Maka pada setiap tanggal jatuh tempo bunga selama masa kepemilikan obligasi tersebut, PT. PQR terutang PPh final sebesar 15% atas bunga yang diterima/ diperolehnya (lihat contoh 1) yang dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran. 4. Pada tanggal 31 Desember 2009, PT. PQR setelah menerima bunga dari emiten menjual seluruh obligasi yang dimilikinya kepada PT. CDE melalui Bank Pundi Nasional selaku pedagang perantara dengan harga jual Rp. 10.500.000,- per lembar. Penjualan obligasi tersebut dilaporkan ke bursa efek. Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. PQR pada saat jatuh tempo bunga/saat penjualan obligasi tanggal 31 Desember 2012 adalah sebagai berikut: •
bunga = (6/12 x 16% x Rp. 10.000.000,-) x 10 = Rp. 8.000.000,-
•
PPh final atas bunga = 15% x Rp. 8.000.000,= Rp. 1.200.000,- dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
•
diskonto = (Rp. 10.500.000,- - Rp. 10.000.000,-) x 10 = Rp. 5.000.000,-
•
PPh final atas diskonto = 15% x Rp. 5.000.000,= Rp. 750.000,- dipotong oleh Bank Pundi Nasional selaku pedagang perantara.
Keterangan:
Pengertian diskonto dalam peraturan ini tidak hanya terbatas pada realisasi selisih harga perolehan perdana di bawah (at discount) nilai nominal obligasi, melainkan mencakup selisih lebih harga jual di atas harga perolehan obligasi. 5. Pada tanggal 31 Mei 2014, PT. CDE menjual seluruh obligasi yang dimilikinya kepada Dana Pensiun Sejahtera Mandiri (telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan) langsung tanpa melalui pedagang perantara dengan harga jual Rp. 10.666.667,- per lembar termasuk bunga. Penjualan obligasi tersebut tidak dilaporkan ke bursa efek. Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang terutang oleh PT. PQR pada saat penjualan obligasi tanggal 31 Mei 2014 adalah sebagai berikut: •
bunga berjalan = (5/12 x 16% x Rp. 10.000.000,-) x 10 = Rp. 6.666.670,-
•
diskonto diskonto negatif atau rugi. = [(Rp. 10.666.667,- - Rp. 666.667,-) - Rp. 10.500.000,-] x 10 = (Rp. 5.000.000,-), perolehan diskonto negatif atau rugi diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan.
PPh yang terutang tidak bersifat final (PPh Pasal 23) karena penjualan obligasi tidak dilaporkan ke bursa efek, sebagai berikut: PPh Pasal 23 = 15% x (Rp. 6.666.670,- - Rp. 5.000.000,-) = Rp. 250.000,karena dapat dilakukan off-set antara penghasilan bunga dengan diskonto negatif atau rugi, maka PPh Pasal 23 dapat dihitung sekaligus yaitu: 15% x [(Rp. 10.666.667,- - Rp. 10.500.000,-) x 10] = Rp. 250.000,-. Keterangan : Meskipun penjualan obligasi tidak dilakukan melalui pedagang perantara dan tidak dilaporkan ke bursa, dana pensiun sebagai pembeli wajib melakukan pemotongan pajak. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam hal pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek, bank, dan reksadana selaku investor. 6. Pada tanggal 1 Juli 2014 (jatuh tempo obligasi), Dana Pensiun Sejahtera Mandiri menerima pelunasan seluruh obligasi yang dimilikinya beserta imbalan bunga sesuai masa kepemilikan (1 bulan) dari PT. ABC, emiten obligasi tersebut. Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana Pensiun Sejahtera Mandiri pada saat jatuh tempo/pelunasan obligasi tanggal 1 Juli 2014 adalah sebagai berikut : •
bunga = (1/12 x 16% x Rp. 10.000.000,-) x 10 = Rp. 1.333.330,-
•
diskonto = (Rp. 10.000.000,- - Rp. 10.000.000,-) x 10 = nihil.
PPh final tidak terutang oleh dana pensiun yang memenuhi syarat, karena obligasi tersebut penerbitannya tercatat di bursa efek.
7. Pada tanggal 1 Januari 2009, PT. ABC menerbitkan obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) berjangka waktu 10 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Januari 2019) dengan nilai nominal sebesar Rp. 10.000.000,- Penerbitan perdana obligasi tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). PT. GHI membeli 100 lembar obligasi tanpa kupon tersebut dengan harga perdana sebesar Rp. 6.000.000,- per lembar. Pada tanggal 31 Agustus 2012, PT. GHI menjual 50 lembar obligasi tersebut di Bursa Efek Indonesia melalui perusahaan efek PT. MNO Sekuritas kepada PT. JKL seharga Rp. 7.000.000,- per lembar.
Penghitungan diskonto dan PPh final yang terutang oleh PT. GHI adalah sebagai berikut: •
diskonto = (Rp. 7.000.000,- - Rp. 6.000.000,-) x 50 = Rp 50.000.000,-
•
PPh final = 15% x Rp. 50.000.000,= Rp. 7.500.000,- dipotong oleh PT. MNO Sekuritas selaku pedagang perantara.
Keterangan: Diskonto obligasi tanpa kupon dikenakan pemotongan PPh final pada setiap kali dilakukan penjualan, sepanjang: • •
•
penjualannya dilakukan di bursa atau dilaporkan ke bursa efek; penjualan dilakukan melalui pedagang perantara atau pembeli langsung yang ditunjuk sebagai pemotong pajak; penjual obligasi tidak dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.
Pada saat jatuh tempo/pelunasan obligasi, atas diskonto terakhir dikenakan PPh final karena pada waktu penerbitan perdananya telah tercatat di bursa efek.
PP
NOMOR 27 TAHUN 2008
mulai berlaku
4 April 2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAN NEGARA
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah:
20% (lima belas persen)
a.bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda
1) Wajib Pajak DN dan BUT ; dan 2) Wajib Pajak LN selain bentuk usaha tetap,
Historis
Pajak Penghasilan Atas Diskonto
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA PER NO PER - 18/PJ/2008 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA
PP - 11 TAHUN 2006 15 April 2006
PMK NO 63/PMK.03/2008 TENTANG
Pemotongan Pajak Penghasilan atas Diskonto
Diskonto SPN adalah selisih lebih antara : a.
SPN •
Penerbit SPN (emiten) atau kustodian
nilai nominal pada
yang ditunjuk selaku agen
saat jatuh tempo
pembayaran, atas diskonto yang
Surat Perbendaharan Negara
dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder; atau b.
Pemotongan Pajak tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak : •
•
•
Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia; Dana Pensiun yang pendirian/pembentuka nnya disahkan oleh Menteri Keuangan; Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga, selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
Pemotongan Pajak a.
memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
b.
menyetor Pajak
tempo; •
Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder,
Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas diskonto yang diterima atau
harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di
Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final
diterima pemegang SPN saat jatuh
diperoleh penjual SPN pada saat
•
transaksi di Pasar Sekunder; Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa melalui pedagang
tidak termasuk Pajak Penghasilan
perantara, atas diskonto yang
yang dipotong.
diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder.
Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
Dalam hal penjualan SPN secara langsung tanpa melalui pedagang perantara kepada pihak selain pemotong pajak pihak yang melakukan pencatatan perubahan hak kepemilikan SPN (sub registry) wajib memotong Pajak Penghasilan Final yang terutang sebelum mutasi hak kepemilikan dapat dilakukan. Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto
tanggal transaksi saat penjualan SPN di Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.
Penghasilan yang paling lama tanggal 10 (sepuluh) c.
melaporkan paling lama tanggal 20 (dua puluh)
bulan berikutnya setelah bulan pemotongan
Contoh penghitungan dan pemotongan PPh atas diskonto SPN: 1. Pada tanggal 1 Mei 2008, Pemerintah A (emiten) menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara sebagai berikut :
–
Nilai nominal Rp 100.000.000,00. Jangka waktu SPN 12 bulan (jatuh tempo tanggal 1 Mei 2009).
–
PT D (investor) pada saat penerbitan perdana membeli SPN dengan harga Rp 94.000.000,00. PT D tetap memegang SPN tersebut hingga saat jatuh tempo.
– –
Perhitungan diskonto dan PPh final yang terutang oleh PT D pada saat jatuh tempo SPN adalah sebagai berikut: ○
○
Diskonto = Rp 100.000.000,00 - Rp 94.000.000,00 = Rp 6.000.000,00 PPh Final = 20% x Rp 6.000.000,00 = Rp 1.200.000,00 dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran.
2. Pada contoh no. 1, PT D tidak memegang SPN tersebut sampai saat jatuh tempo melainkan menjual seluruh SPN tersebut kepada PT M pada tanggal 1 Juli 2008 (di pasar sekunder) melalui perusahaan efek PT X Sekuritas dengan harga jual Rp 95.000.000,00 Perhitungan diskonto dan PPh final yang terutang oleh PT D pada saat penjualan SPN tanggal 1 Juli 2008 adalah sebagai berikut : ○ ○
Diskonto = Rp 95.000.000,00 - Rp 94.000.000,00 = Rp 1.000.000,00 PPh Final = 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp 200.000,00 dipotong oleh PT X Sekuritas selaku pedagang perantara
3. Pada tanggal 1 Agustus 2008, PT M menjual seluruh Surat Perbendaharaan Negara yang dimilikinya Kepada Dana Pensiun ABC (telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan) langsung tanpa melalui pedagang perantara dengan harga jual Rp 97.000.000,00 Perhitungan diskonto dan PPh final yang terutang oleh PT M pada saat penjualan SPN tanggal 1 Agustus 2008 adalah sebagai berikut : ○
○
Diskonto = Rp 97.000.000,00 - Rp 95.000.000,00 = Rp 2.000.000,00 PPh Final = 20% x Rp 2.000.000,00 = Rp 400.000,00 dipotong oleh Dana Pensiun selaku pembeli SPN.
Keterangan: Meskipun penjualan SPN tidak dilakukan melalui pedagang perantara, dana pensiun sebagai pembeli wajib melakukan pemotongan pajak. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam hal pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek, bank, dan reksadana selaku investor.
4. Pada tanggal 1 Desember 2008, Dana Pensiun ABC menjual seluruh Surat Perbendaharaan Negara yang dimilikinya kepada PT Y dengan harga jual Rp 98.000.000,00 Perhitungan diskonto yang diterima oleh Dana pensiun ABC pada saat penjualan SPN tanggal 1 Desember 2008 adalah sebagai berikut : Diskonto = Rp 98.000.000,00 - Rp 97.000.000,00 = Rp 1.000.000,00 Dalam hal ini, tidak ada Pajak Penghasilan yang terutang atas Diskonto SPN yang diterima karena Dana Pensiun ABC merupakan Wajib Pajak yang dikecualikan dari pemotongan PPh Final atas Diskonto SPN. 5 Pada tanggal 1 Mei 2009, PT Y menerima pelunasan seluruh SPN yang dimilikinya dari Pemerintah A (emiten) dengan nilai pelunasan sebesar nilai nominal Rp 100.000.000,00 Perhitungan diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT Y pada saat jatuh tempo SPN tanggal 1 Mei 2009 adalah sebagai berikut : –
Diskonto = Rp 100.000.000,00 - Rp 98.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
–
PPh Final = 20% x Rp 2.000.000,00 = Rp 400.000,00
PP
NOMOR 71 TAHUN 2008
mulai berlaku
1 Januari 2009
PP 79 1999 30 Sept 1999 PP 27 1996 16 April 1996 PP 48 1994 27 Des
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
PMK 243/PMK.03/2008 perubahan ke 2
dipotong oleh kustodian
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihansebesar:
635/KMK.04/1994
dan sebesar 5% (lima persen) untuk pengalihan lainnya
yang ditunjuk selaku agen pembayaran.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 635/KMK.04/1994 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Nilai pengalihan hak = nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP TB UU No 12 Tahun 1985 Pajak Bumi dan Bangunan std td UU No 12 Tahun 1994 kecuali: •
pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;
•
pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
Nilai Jual Objek Pajak = Nilai Jual Objek Pajak menurut SPP TB tahun yang bersangkutan atau menurut SPP terutang tahun
pajak sebelumnya.
1994
Apabila TB belum terdaftar , maka NJOP yang dipakai adalahNJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada. Rumah Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Susun Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN
Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final. tanpa melihat jenis usaha atau kegiatan yang dilakukan
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan adalah:
•
orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang melakukan pengalihan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
•
orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah yg memerlukan persyaratan khusus.
•
orang pribadi badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan kepada badan: keagamaan, pendidikan,sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
•
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan."
•
Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak
dipotong atau dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan tersebut.
termasuk subjek pajak
Dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran, maka Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. (3) Pembayaran Pajak Penghasilan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran. (4) Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan, termasuk pengembang kawasan perumahan, pertokoan, pergudangan, industri, kondominium, apartemen, rumah susun, dan gedung perkantoran.
etentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran sendiri Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran. (2) Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar, yang melakukan pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran.
PP
NOMOR 5 TAHUN 2002
mulai berlaku
1 Mei 20092
Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final. tanpa melihat jenis usaha atau kegiatan yang dilakukan
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/ atau bangunan dan bersifat final
Penyewa sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada saat pembayaran atau terutangnya sewa; memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final kepada orang atau badan yang menyewakan pada saat dilakukannya pemotongan Pajak Penghasilan; menyetorkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa; melaporkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat penyewa terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa.
Pihak yang menyewakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib membayar Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau diperolehnya sewa.
NOMOR 120/KMK.03/2002 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 394/KMK.04/1996 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN DAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN 1 April 2002
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan "service charge" baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan
Atas penghasilan diterima atau diperoleh dari penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak
(badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak) wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh penyewa. (2) Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak (orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan )maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan."
PP
NOMOR 15 TAHUN 2009
mulai berlaku
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: a.
0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b.
10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
1 Januari 2009 Pasal 4 ayat (2) huruf a
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat pembayaran "penghasilan berupa bunga simpanan" = imbalan berupa bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi anggota. Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha. Contoh perhitungan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan: Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 240.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 0% x Rp 240.000,00 = Rp 0,00 Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 245.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 10% x Rp 245.000,00 = Rp24.500,00 Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp 500.000,00 dengan rincian: Bulan Januari RP 250.000,00 Bulan Februari RP 150.000,00 Bulan Maret RP 100.000,00 Maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp 250.000,00 = Rp 25.000,00 dan untuk bulan Februari dan Maret RP 0,00
PP
NOMOR 17 TAHUN 2009
mulai berlaku
1 Januari 2009
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 adalah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari margin awal.
Lembaga kliring dan penjamin wajib memungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat menerima penyetoran margin awal oleh pialang berjangka atau anggota bursa. Lembaga kliring dan penjamin wajib menyetor seluruh pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (3)
Lembaga kliring dan penjamin wajib menyampaikan
Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
PP
NOMOR 15 TAHUN 2009
mulai berlaku
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: a.
0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b.
10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
1 Januari 2009 Pasal 4 ayat (2) huruf a
laporan pemungutan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Kantor Pelayanan Pajak.
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat pembayaran "penghasilan berupa bunga simpanan" = imbalan berupa bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi anggota. Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha. Contoh perhitungan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan: Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 240.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 0% x Rp 240.000,00 = Rp 0,00 Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 245.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 10% x Rp 245.000,00 = Rp24.500,00 Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp 500.000,00 dengan rincian: Bulan Januari RP 250.000,00 Bulan Februari RP 150.000,00 Bulan Maret RP 100.000,00 Maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp 250.000,00 = Rp 25.000,00 dan untuk bulan Februari dan Maret RP 0,00
PP
NOMOR 19 TAHUN 2009
PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI
mulai berlaku
Pasal 1 Pasal 2 Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10%
1 Januari 2009
(sepuluh persen) dan bersifat final.
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
PP
NOMOR 25 TAHUN 2009
mulai berlaku
1 Januari 2009
PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH
Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya.
(1) Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi : penghasilan; biaya; dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak. (2) Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk : hak pihak ketiga atas bagi hasil; margin; dan kerugian dari transaksi bagi hasil. (3) Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan juga terhadap : hak pihak ketiga atas bagi hasil; bonus; margin; dan hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.
No .
Obyek
I
PPh Pasal 4 ayat (2) 1 .
Tarif
Dasar Perhitungan
Sifat
Jumlah Bruto Bunga
Final
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI Dasar Hukum : PP No. 131 Tahun 2000 Pengecualian:
2 .
a.
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
b.
Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di IndonesiaIndonesia. atau cabang bank luar negeri di
c.
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan, sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.
d.
Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhada, kapling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sepanjang untuk dihuni sendiri.
20% (untuk WPDN & BUT) 20% atau Tarif P3B (untuk WPLN)
Transaksi Saham Di Bursa Efek Dasar Hukum :
PP No. 41 Tahun 1994 jo. PP No. 14 Tahun 1997
a.
Bukan Saham Pendiri
0,1% X Nilai Transaksi
b.
Saham Pendiri
(0,1% X Nilai Transaksi) + (0,5% X nilai saham pasar saat Penawaran Umum Perdana (IPO))
4 .
Hadiah Undian
8 .
Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya
25%
Dasar Hukum : PP No. 4 Tahun 1995 Syarat : a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha
Jumlah Bruto Hadiah Undian 0,1 %
Final
Final Jumlah Bruto Nilai Transaksi Penjualan/ Pengalihan Penyertaan Modal
Final
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan b . II
IV
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
PPh Pasal 15 1 .
Pelayaran Dalam Negeri
2 .
Penerbangan Dalam Negeri
3 .
Pelayaran dan atau Penerbangan Luar Negeri
4 .
WP LN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
5 .
Pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk Perjanjian Bangunan Guna Serah (Built Operate and Transfer)
1,2%
Peredaran Bruto
Final
1,8%
Peredaran Bruto
2,64%
Peredaran Bruto
Final
0,44%
Nilai Ekspor Bruto
Final
5%
Jumlah Bruto dari Nilai Tertinggi antara Nilai Pasar dengan NJOP Bagian Bangunan yang Diserahkan
1,5%
Harga Pembelian
a.Importir mempunyai API
2,5%
Nilai Impor
b.Importir tidak mempunyai API
7,5%
Nilai Impor
c.Yang tidak Dikuasai
7,5%
Harga Jual Lelang
0,25%
DPP PPN
0,1%
DPP PPN
0,3%
DPP PPN
0,45%
DPP PPN
PPh Pasal 22 PMK NOMOR 210/PMK.03/2008 - rokok 1 .
Pembelian Barang oleh Bendaharawan dan BUMN/BUMD
2 .
Impor Barang :
3 .
Industri Semen
5 .
Industri Kertas
6 .
Industri Baja
7 .
Industri Otomotif
8 .
Bahan Bakar Minyak dan Gas
SPBU Swastanisas Pertamin i a
a.Premium
0,3%
0,25%
Penjualan
-
b.Solar
0,3%
0,25% Penjualan
c.Premix/Super TT d.Minyak Tanah e.Gas/LPG
Final 0,3%
VI
0,25% 0,3%
f.Pelumas
9 .
Swastanisasi =
Penjualan Penjualan
0,3%
Penjualan
0,3%
Penjualan
Pembelian bahan-bahan berupa hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri dan ekspor dari pedagang pengumpul 0,5%
Pertamina = Tidak Final
Harga Pembelian (tidak termasuk PPN)
PPh Pasal 26 1 .
Dividen
2 .
Bunga, termasuk Premium, Diskonto, Premi SWAP, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
3 .
Royalti, Sewa, dan Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
4 .
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
5 .
Hadiah dan Penghargaan
6 .
Pensiunan dan Pembayaran berkala lainnya
7 .
Penjualan Harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang diterima WP LN selain BUT di Indonesia
8 .
Premi Asuransi, termasuk Premi Reasuransi a. Dibayarkan tertanggung kepada Perusahaan Asuransi di LN, baik secara langsung maupun melalui pialang b.Dibayarkan Perusahaan Asuransi di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di LN, baik secara langsung maupun melalui pialang c.Dibayarkan Perusahaan Reasuransi di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di LN, baik secara langsung maupun melalui pialang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh : tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a; perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b; perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi
20% atau Tarif P3B
Jumlah Bruto
Final
20% atau Tarif P3B
Jumlah Bruto
Final
20% atau Tarif P3B
Jumlah Bruto
Final
20% atau Tarif P3B
Jumlah Bruto
Final
20% atau Tarif P3B
Jumlah Bruto
Final
20% atau Tarif P3B
Jumlah Bruto
Final
20% x Perkiraan Phs Neto atau Tarif P3B
Harga Jual
Final
20% x 50% atau 10% atau Tarif P3B
Premi yang Dibayar
Final
20% x 10% atau 2% atau Tarif P3B
Premi yang Dibayar
Final
20% x 5% atau 1% atau Tarif P3B
Premi yang Dibayar
Final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c. Pasal 3 (1)Pajak Penghasilan Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut. (2)Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Pemotong pajak wajib melaporkan pemotongan serta penyetoran PPh Pasal 26 yang telah dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 26 9 .
Penghasilan BUT, kecuali ditanamkan kembali di Indonesia 20% atau Tarif P3B
PKP =( Laba BUT – PPh BUT di Indonesia)
Final
2.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari : - pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia; - pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia; - pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan - pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
3.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996, Norma penghitungan khusus penghasilan netto adalah 4% (empat persen) dari peredaran bruto. Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.
4.
Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada butir 4 adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas.
5.
Pelunasan PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada butir 4 dilakukan sebagai berikut : a.
Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib : a.1.
memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti;
a.2.
memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran I;
a.3.
menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
a.4.
Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran II, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final). b. b.1.
Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib
menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final;