1
PERANCANGAN MESIN PENCACAH IKAN UNTUK PEMBUATAN ABON TUGAS AKHIR Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melanjutkan Penulisan Tugas Akhir Di Politeknik Negeri Lhokseumawe
Disusun Oleh : Nama
: ZULFAINI
Nim
: 060303176
Konsentrasi : Teknik Perancangan Jurusan
: Teknik Mesin
TEKNIK MESIN DEPARTEMEN PEDIDIKAN NASIONAL POLITEKNIK NEGERI LHOKSEUMAWE 2009
2
LEMBARAN PENGESAHAN
PERANCANGAN MESIN PENCACAH IKAN UNTUK PEMBUATAN ABON
TUGAS AKHIR Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melanjutkan Penulisan Tugas Akhir Di Politeknik Negeri Lhokseumawe Disusun Oleh : Nama
: ZULFAINI
Nim
: 060303176
Konsentrasi
: Teknik Perancangan
Jurusan
: Teknik Mesin Disetujui
Untuk Diseminarkan, Pembimbing Utama
Pembimbing
Pembantu
770
Nurdin .ST,Msi Nip. 132 205 604
Usman .ST Nip. 132 319 Mengetahui, Ketua Jurusan Teknik Mesin Ir.H. Saifuddin Nip. 131 909 346
3
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan berkat rahmat -Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Selawat beserta salam tidak lupa penulis sanjung sajikan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul ”Perancangan Mesin Pencacah Ikan Untuk Pembuatan Abon”. Tugas akhir ini ditujukan sebagai salah satu syarat yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa Program Studi Teknik Mesin untuk memperoleh gelar Diploma III pada Politeknik Negeri Lhokseumawe. Pada penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Ir. Nahar. Selaku Direktur Politeknik Negeri Lhokseumawe. 2. Bapak Ir. H. Saifuddin. Selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin. 3. Bapak Marzuki ST, M.Eng. Selaku Sekretaris Jurusan Teknik Mesin. 4. Bapak Syukran, ST, MT. Selaku Ka. Prodi Jurusan Teknik Mesin. 5. Bapak Nurdin, ST,MSi. Selaku Pembimbing Utama penulis. 6. Bapak Usman, ST Selaku Pembimbing Pembantu penulis. 7. Dosen
pengajar
Jurusan
Teknik
Mesin
Politeknik
Negeri
Lhokseumawe, yang telah memberi ilmu pengetahuan kepada penulis.
4
8. Ibunda dan Ayahanda tercinta dan keluarga yang telah memberikan do’a dan semangat. 9. Rekan – rekan seangkatan yang telah ikut serta membantu penulis hingga Tugas Akhir ini selesai, khususnya Room 16 Aspol yang telah berbagi keluh, kesah, pahit dan manisnya yang dialami selama ini. Mengingat keterbatasan ilmu yang penulis miliki, maka penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran – saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan Tugas Akhir ini. Akhirnya penghargaan dan terima kasih yang setinggi – tingginya penulis ucapkan kepada Ayahanda dan Ibunda yang tercinta serta keluarga semuanya. Berkat doa dan pengorbanan yang tidak ternilai harganya yang telah dicurahkan kepada Penulis dalam menyelesaikan studi di Politeknik Negeri Lhokseumawe. Hanya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, semoga jasa baik yang telah mereka berikan akan mendapat balasan yang setimpal dan semoga kita di dalam lindungan-Nya. Amin.
Lhokseumawe,11 Maret 2009 Penulis
ZULFAINI NIM 060303176
5
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah
perairan lebih luas dibandingkandengan wilayah daratan. Luas wilayah perairan Indonesia kurang lebih sekitar 5,9 juta km2, sedangkan luas wilayah daratan Indonesia hanya kurang lebih sekitar 1,8 juta km2, Dengan luas perairan yang tiga kali lebih luas dibandingkan daratan, maka potensi perikanan di Indonesia dapat dikatakan cukup menjanjikan. Menurut Komnas Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut (Komnas Kajiskanlaut, 2001), potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia, diduga sebesar 6,26 juta ton per tahun, sementara produksi tahunan ikan laut Indonesia pada tahun 2007 mencapai 3,68 juta ton. Ini berarti tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai 58,80%. Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan mengalami proses pembusukan yang cepat dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya. Abon ikan adalah jenis makanan awetan yang biasanya terbuat dari jenis ikan tongkol dan tuna. Produk yang yang dihasilkan mempunyai bentuk lembut, rasa enak, bau khas, dan mempunyai daya awet yang relatif lama. Sampai saat ini proses produksi abon masih menggunakan cara tradisional,proses pembuatan membutuhkan waktu yang lama dimana proses tersebut dimulai dari penyiangan ikan, perebusan, ikan dibersikan dari tulang dan kepala, kemudian dilakukan pencacahan atau pemarutan, penggorengan, penirisan minyak dan dibungkus menurut keperluan. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan mekanisme baru dalam hal produksi abon ikan tersebut, untuk mengantikan sistem tradisional yaitu dengan
6
perencanaan mesin pencacah ikan untuk pembuatan abon penggunaan teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan produksi abon ikan sehingga masyarakat yang menekuni industri rumah tangga (home industry) tersebut. 1.2
Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan proposal tugas akhir ini adalah dapat
diuraikan dalam dua tujuan, yaitu : 1.2.1 Tujuan Penulisan Secara Umum Tujuan dari penulisan tugas akhir secara umum ini adalah : -
Sebagai salah satu syarat untuk dapat melanjutkan penulisan tugas akhir.
-
Untuk bekal pengetahuan dan juga sebagai pengalaman sebelum terjun kedunia industri yang akan dihadapi oleh setiap lulusan Politeknik Negeri Lhokseumawe.
-
Menambah wawasan dan dapat menerapkan bidang teori dan praktek yang telah diperoleh selama mengikuti pendidikan di Politeknik.
1.2.2 Tujuan Penulisan Secara Khusus Tujuan dari penulisan tugas akhir secara khusus ini adalah : -
Dapat merencanakan suatu alat teknologi tepat guna yang bermanfaat bagi proses pencacahan ikan untuk pembuatan Abon secara efesien
1.3
Alasan Pemilihan Judul Adapun alasan penulis memilih judul “ Perencanaan Mesin Pencacah ikan
untuk pembuatan abon” ini sebagai judul tugas akhir karena dengan adanya mesin ini dapat meningkatkan efisiensi kerja, alat ini dibutuhkan oleh para pelaku usaha industi rumah tangga (home industry) dimana alat ini dapat mempercepat dan mempermudah pekerjaan pembuatan abon ikan
7
1.4
Pembatasan Masalah Untuk mendapatkan perencanaan yang baik banyak hal yang perlu
diperhatikan. Penulis membatasi masalah ini supaya pembahasannya tidak terlalu meluas antara lain : a. Merencanakan bagian-bagian utama : -
Saluran masuk (hopper)
-
Saluran keluar
-
Selinder pencacah
-
Rangka
-
Mata pencacah
-
Poros
-
Pasak
-
Roda gigi
b. Pemilihan bagian-bagian utama : -
Motor penggerak
-
Sabuk dan pulli
-
Bantalan
-
Baut dan mur
c. Pemilihan bahan baku ikan untuk pembuatan abon Ikan tuna atau tongkol yang telah bersih dari tulang-tulangnya dan telah dirubus dan telah di press untuk mengurangi kadar air sebelum di lakukan pencacahan di mesin.
8
1.5
Metode Penulisan Start
o o o
Input
Bentuk produk Dimensi produk Bahan produk
Identifikasi Masalah
N
Pemilihan jenis Mesin
Y Perhitungan dan perencanaan komponen-komponen Mesin o Perencanaan poros o Perencanaan pasak o Perencanaan mata pencacah o Perencanaan silinder pencacah o Perencanaan hopper o Perencanaan saluran keluar o Perencanaan roda gigi o Perencanaan rangka
N
Pemeriksaan keamanan o Tegangan geser pada pasak o Tegangan bengkok mata pencacah o Gaya tangensial o Gaya radial Y A
9
A
Pemilihan Komponen mesin o o o o
motor pulli dan sabuk Baut bantalan
Stop
END
Gambar 1.1 Prosedur perencanaan
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penulisan proposal tugas akhir ini adalah secara observasi lapangan dan studi literatur. Metode observasi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data dengan cara meninjau lansung kelapangan yaitu melihat dan bertanya dengan pihak-pihak yang bersangkutan di lapangan. Sedangkan studi literatur dilakukan dengan pengambilan data dari buku referensi, dan internet yang menjadi suatu acuan dalam penulisan proposal tugas akhir ini
10
BAB II DASAR TEORI 2.1
Ikan Tuna Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu.
mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983) Menurut Saanin (1984), klasisifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut : a.
Thunnus alalunga (Albacore)
b. Thunnus albacores (Yellowfin Tuna) c.
Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)
d. Thunnus obesus (Big eye Tuna) e.
Thunnus tongkol (Longtail Tuna)
Tuna termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan-ikan yang berangka tulang. Penyebaran ikan tuna mulai dari laut merah, laut India, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya. Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981). Adapun bentuk tubuh beberapa species ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 2.1 Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) Departemen of Health Education and Walfare (1972 yang diacu Maghfiroh, 2000). Komposisi nilai gizi beberapa jenis
11
ikan tuna dapat dilihat dalam Tabel 2.1 dan produksi ikan tuna di Indonesia di sajikan dalam Tabel 2.2
\ (a)
(c)
(e)
(b)
(d)
(f)
a. Tongkol (Euthynnus affinis)
d. Madidihang (Thunnus albacores)
b. Mata besar (Thunnus obesus)
e. Albacor (Thunnus alalunga)
c. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) f. Cakalang (Katsuwonus pelamis) Gambar 2.1 Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna (Sumber : Balai Besar Pengembangan & Pengendalian Hasil Perikana)
12
Tabel 2.1 Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging Komposisi
Jenis Ikan Tuna
Satuan
Bluefin
Skipjack
Yellowfin
Energi
121,0
131,0
105,0
Kal
Protein
22,6
26,2
24,1
g
Lemak
2,7
2,1
0,1
g
Abu
1,2
1,3
1,2
g
Kalsium
8,0
8,0
9,0
mg
Fosfor
190,0
220,0
220,0
mg
Besi
2,7
4,0
1,1
mg
Sodium
90,0
52,0
78,0
mg
Retinol
10,0
10,0
5,0
mg
Thiamin
0,1
0,03
0,1
mg
Riboflavin
0,06
0,15
0,1
mg
Niasin
10,0
18,0
12,0
mg
Sumber : Departement of Health, Education and Walfare (1972 yang diacu Maghfiroh, 2000) Tabel 2.2 Produksi ikan tuna tahun 1992- 2001 Tahun
Produksi (ton)
1994
89.330
1995
101.688
1996
115.549
1997
116.214
1998
168.122
1999
136.474
2000
163.241
2001
153.110
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003)
13
Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45 – 50 % dari tubuh ikan (Suzuki, 1981). Untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara 50 – 60 % (Stanby, 1963). Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi dari pada daging merahnya. Namun sebaliknya kadar lemak daging putih ikan tuna lebih rendah dari daging merahnya. Pembagian daging merah ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Letak daging merah pada jenis ikan tuna (http://www.jakartafishport.com/ikan-tuna.jpg) Daging merah tuna dapat dibedakan berdasarkan lapisan lemaknya yaitu otoro, chutoro dan akami (Gambar 2.3). Otoro terdapat pada bagian perut bawah, berwarna lebih terang karena lebih banyak mengandung lemak dan lebih mahal dibandingkan chutor
Gambar 2.3 Pembagian daging merah tuna berdasarkan lapisan lemak
14
Daging merah ikan adalah lapisan daging ikan yang berpigmen kemerahan sepanjang tubuh ikan di bawah kulit tubuh. Jumlah daging merah bervariasi mulai kurang dari 1 – 2 % pada ikan yang tidak berlemak hingga 20 % pada ikan yang berlemak. Diameter sel atau jaringan otot pada daging merah lebih kecil (Okada, 1990). Daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen dan mengandung mioglobin. Daging merah pada ikan pelagis memungkinkan jenis ikan ini berenang pada kecepatan yang tetap untuk memperoleh makanan dan untuk bermigrasi (Learson dan Kaylor, 1990). Okada (1990) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80 % hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna (Okada, 1990) 2.2
Motor Penggerak Motor adalah penggerak mula dari suatu mesin. Dalam merencanakan
mesin ini penulis menentukan putaran dan daya motor sesuai dengan keperluan mesin tersebut.dimana daya yang dihasilkan dari listrik, kemudian daya yang dihasilkan oleh poros motor penggerak ditransmisikan melalui poros kepuli yang digerakkan, dengan tujuan untuk mereduksikan putaran poros penggerak yang masih tinggi, menjadi keputaran yang rendah ataupun putaran yang sesuai. (Drs. Daryanto.1997:5). 2.3
Poros Poros merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam permesinan.
Hampir semua mesin meneruskan tenaga bersama-sama dengan putaran. Peranan tramnsisi seperti itu di pegang oleh poros.
15
Menurut Stolk Jac, Elemen Mesin (1994;169) Poros ini berfungsi untuk memindahkan tenaga mekanik salah satu elemen mesin ke elemen mesin yang lain. Dalam hal ini poros akan mengalami sebuah puntiran. Menurut
pembebanannya,
poros
untuk
meneruskan
daya
dapat
diklafikasikan sebagai berikut : 1. Poros tranmisi Poros ini mendapat beban puntir atau dan lentur. Daya yang diteranmisikan kepada poros ini melalui kompling, roda gigi, pulli, sabuk dan sproket 2. Spidel Yaitu poros yang relatif pendek, seperti poros utama perkakas, dimana beban utamanya berupa puntiran. Syarat yang harus dipenuhi poros ini adalah deformasinya harus kecil dan bentuk serta ukurannya harus teliti. 3. Gandar Poros seperti yang dipasang diantara roda kereta barang tidak mendapat beban punter, bahkan kadang-kadang tidak boleh berputar, gander ini hanya akan mendapat beban lentur kecuali jiga digerakan mula dimana akan mengalami beban punter juga. 4. Poros Eksentis Poros eksentis adalah suatu poros yang mana ada suatu bagian dari poros tersebut (pena aksentris) yang mempunyai sumbu poros yang tidak simetris dengan sumbu utamanya. Poros eksentris ini dibuat menyatu dengan pena aksentrisnya, yaitu antara poros dengan pena aksentrisnya merupakan satu benda kerja. Menghitung momen puntir pada poros Menurut Sularso dan Kiyokatsu suga (1987:18) untuk momen puntir dapat dicari dengan :
T = 9,74.105
pd n
16
Dimana : T = Momen puntir (Kg.mm) Pd = Daya rencana (Kw) n = Putaran poros 2.4
Pasak Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1987;25), Pasak
merupakan suatu elemen mesin yang digunakan untuk menetapkan bagian-bagian mesin seperti roda gigi, pulli, dan kopling pada poros. Menurut letak pada poros dapat dibedakan antara pasak rata, pasak benam, dan pasask singgung, yang umumnya berpenampang segi empat. Dalam arah memanjang dapat membentuk prismatis atau bentuk tirus. Pasak benam prismatis ada yang khusus dipakai sebagai pasak luncur. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat macam-macam dari jenis pasak.
Gambar 2.4 Macam-macam jenis pasak Sumber: Sularso dan Kiyokatsu suga. Elemen Mesin (1987:24) Menurut Sularso dan Kiyokatsu suga (1987 : 25), Gaya tangensial yang terjadi pada poros dapat dihitung dengan persamaan:
17
Ft =
T ds / 2
Dimana : Ft = gaya tangensial pada permukaan poros (kg) T = Momen puntir (Kg.mm) Ds = Diameter poros (mm) 2.5
Sabuk Pulli adalah suatu alat transmisi untuk dudukan sabuk dalam
memindahkan putaran dari pulli penggerak ke pulli yang digerakan. Transmisi dengan sabuk menggunakan pulli sebagai dudukan sabuk. Dalam hal ini bentuk dari pulli yang direncanakan harus sesuai dengan kebutuhan mesin. Dimana diameter pulli harus diperhatikan agar perbandingan putaran yang diinginkan dapat diperoleh. Kedudukan pulli harus sejajar agar pada waktu terjadi putaran antara sabuk dan pulli tidak mengalami kerugian mekanis yang besar. Menurut sularso dan kiyokatsu suga (1987:170), untuk menentukan panjang sabuk dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : L = 2C +
2
(Dp + dp) +
1 (Dp – dp ) 4 xC
Dimana : L = panjang sabuk (mm) C = jarak sumbu poros (mm) Dp = Diameter pulli besar (mm) dp = Diameter pulli kecil (mm)
Gambar 2.5 Kontruksi Sabuk -V Sumber: Sularso dan Kiyokatsu suga. Elemen Mesin (1987:164)
18
Sabuk –V terbuet dari karet dan mempunyai penampang tranpesium. Tenunan tetaron atau semacamnya dipergunakan sebagai inti sabuk untuk membawa tarikan yang besar. Sabuk –V dililitkan disekeliling alur pulli yang berbentuk V juga. Atas dasar perencanaan dan putaran poros penggerak, tipe sabuk dapat dipilih atau ditentukan . disini akan diperlihatkan gambar dan ukuran penampang sabuk –V seperti dibawah ini.
Gambar 2.6 Ukuran penampang sabuk V Sumber: Sularso dan Kiyokatsu suga. Elemen Mesin (1987:164) 2.6
Pulli Pulli adalah alat tranmisi untuk dudukan sabuk dalam memindahkan
putaran dari roda penggerak ke pulli yang digerakan. Tranmisi dengan sabuk menggunakan pulli sebagai dudukan sabuk. Dalam hal ini, jenis sabuk yang akan digunakan ialah sabuk-V. sabuk-V ini dibelitkan dikelilingi alur pulli yang berbentuk V pula. Menurut selarso (1987 : 166) putaran poros dan daya poros dapat dihitung dengan menggunakan angka perbandingan reduksi (i) dimana (1>1) n1 Dp =i= n2 dp
Dimana : n1 = putaran motor penggerak (rpm) n2 = putaran motor yang digerakan (rpm) dp = Diameter pulli motor Dp = Diameter pulli yang digerakan i
= Perbandingan reduksi
19
2.7
Bantalan Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga dalam buku Elemen Mesin
(1987;103), Bantalan adalah elemen mesin yang menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerakan bolak baloknya dapat berlangsung secara halus, aman, dan panjang umurnya. Bantalan harus cukup kokoh untuk memungkinkan poros serta elemen mesin lainnya bekerja dengan baik. Jika bantalan tidak berfungsi dengan baik maka prestasi seluruh system akan menurun atau tak dapat bekerja secara semestinya. Jadi, bantalan dalam permesinan dapat disamakan peranannya dengan pondasi pada gedung. Bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Atas dasar gerakan bantalan terhadap poros a) Bantalan luncur. Pada bantalan initerjadi gesekan luncur antara poros dan bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan bantalan dengan perantara lapisan pelumas. b) Bantalan gelinding. Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian yang berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding seperti bola (peluru), rol atau rol jarum, dan rol bulat. 2. Atas dasar arah beban terhadap poros a) Bantalan radial. Arah beban yang ditumpu bantalan ini adalah tegak lurus sumbu poros. b) Bantalan aksial. Arah beban bantalan ini sejajar dengan sumbu poros. c) Bantalan gelinding khusus. Bantalan ini dapat menumpu beban yang arahnya sejajar dan tegak lurus sumbu poros.
20
Gambar 2.7 Macam-macam bantalan gelinding Sumber: Sularso dan Kiyokatsu suga. Elemen Mesin (1987:129) 2.8
Baut Menurut R.S Khurmi dan J.K Gupta (1982;77), Baut dan mur merupakan
alat pengikat yang sangat penting, untuk mencegah kerusakan dan kecelakaan pada mesin dan elemen lainnya. Untuk menentukan ukuran baut dan umur berbagai faktor harus diperhatikan seperti gaya yang bekerja pada baut, syarat kerja, kekuatan bahan, ketelitian kelas. Menurut bentuknya, baut dapat digolongkan atas : 1. Baut segi enam 2. Baut kepala persegi 3. Socke segi enam
21
Menurut R.S Khurmi dan J.K Gupta (1982:77), untuk menghitung tegangan geser yang diterima pada setiap baut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : F1 τg = A
Dimana : τg = Tegangan geser yang terjadi (kg/mm2) F1 = Gaya yang terjadi pada baut (kg) A = Luas penampang (mm2) 2.9
Roda Gigi Roda gigi adalah salah satu elemen mesin yang berfungsi untuk
mentransfer daya dari satu poros ke poros lain tanpa terjadi slip. Tranmisi roda gigi mempunyai keunggulan dibandingkan dengan sabuk atau rantai dimana lebih ringkas,putaran lebih tinggi, tepat dan daya lebih besar. Untuk lebih jelas bentuk dari roda gigi dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.8 Nama-nama bagian roda gigi Sumber: Sularso dan Kiyokatsu suga. Elemen Mesin (1987:214) a.
menghitung gaya tangensial yang terjadi untuk menghitung besarnya gaya tangensial yang terjadi dapat
menggunakan persamaan yaitu sebagai berikut : Ft =
102 xpd V
22
Besarnya kecepatan dari roda gigi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : V =
.do.n 60.1000
(m/dt)
Dimana : do = Diameter lingkaran jarak bagi n = putaran poros b.
Menghitung gaya radial Untuk menghitung gaya radial yang terjadi dapat mengunakan persamaan
yaitu : Fr = Ft tan Ө
Gambar 2.9 Macam-macam roda gigi Sumber: Sularso dan Kiyokatsu suga. Elemen Mesin (1987:214)
23
2.10
Mata pencacah Mata pencacah adalah bagian dari silinder yang berfungsi untuk mencacah
atau memarut ikan untuk menjadi serbuk-serbuk. Merupakan komponen utama yang terpasang pada silinder. Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:28), tegangan bengkok pada suatu bidang dapat ditentukan dengan persamaan : σb
=
Mb Wb
Dimana : σb
= Tegangan bengkok (kg/mm2)
Mb = Momen bengkok Wb = Momen tahanan bengkok 2.11
Silinder pencacah Silinder pencacah adalah sebagai media pencacah yang berputar dan pada
permukaanya dilapisi mata pencacah. Untuk bahan silinder akan direncanakan terbuat dari kayu maupun besi Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:15) volume silinder dapat ditentukan dengan persamaan :
V=
.h 4
. ( D2-d2 )
Dimana : V = Volume silinder h = Tinggi silinder D = Diameter luar silinder d = Diameter dalam silinder 2.12
Saluran masuk (hopper) Hopper merupakan saluran masuk ikan yang akan dicacah, bahan yang
akan digunakan untuk perencanaan saluran masuk adalah plat besi yang mampu menahan ikan dan tahan terhadap korosi
24
Menurut
Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:14) volume benda yang
berbentuk pyramid puntung dapat ditentukan volumenya dengan persamaan : V=
h . ( A1 + A2 + 3
A1 A2 )
Dimana : V = Volume benda h = Tinggi A1 = Area dasar A2 = Area permukaan puncak
Gambar 2.10 Pyramid puntung Luas area dasar dan permukaan puncak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : A=l.P Dimana : A = Area l
= lebar
P = panjang 2.13
Saluran keluar Saluran keluar adalah tempat keluarnya daging-daging ikan yang telah di
cacah oleh silinder pencacah. Bahan yang akan direncanakan adalah plat besi dan tahan terhadap korosi 2.14
Rangka Rangka adalah sebuah kontruksi penahan mesin. Rangka
yang
direncanakan harus tahan terhadap fibrasi, reduksi dan mampu menahan beban mesin dan ikan yang akan di cacah. Bahan yang akan di rencanakan adalah besi siku.
25
BAB III DESAIN FUNSIONAL 3.1
Desain Bentuk Mesin Yang Akan Dirancang Gambar mesin pencacah ikan untuk pembuatan abon yang akan dirancang
sebagai Tugas Akhir di Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Lhokseumawe.
1
2
3
Gambar 3.1 Mesin pencacah ikan untuk pembuatan abon Keterangan gambar diatas. 2.
Saluran masuk ikan (Hopper)
3.
Saluran keluar
4.
rangka
26
4
1 5 2 3
Gambar 3.2 Bagian dalam mesin pencacah ikan untuk pembuatan abon Keterangan gambar diatas. 1. Pulli 2. Sabuk 3. Motor listrik 4. Roda gigi 5. Mata pencacah ikan 3.1.1 Prinsip Kerja Prinsip kerja mesin yang akan direncanakan adalah sebagai berikut:
Ikan tuna atau tongkol(sure) menjadi bahan baku pembuatan abon adalah ikan tuna/tongkol yang telah direbus dan dibersihkan dari tulang-tulangnya dan dilakukan pengepresan.
Selanjutnya ikan dimasukan kedalam hopper mesin pencacah ikan.
27
Daging-daging ikan yang berada didalam hooper masuk kedalam ruang pencacah yang didalamnya berupa komponen mesin berbentuk silinder yang dikelilingi mata pencacah
Daging ikan akan tercabik-cabik akibat terbentur dengan mata pencacah yang ada pada silinder yang berputar dengan kecepatan tertentu.
Daging ikan yang telah tercacah akan keluar melalui saluran keluar dan jatuh kewadah penampung.
Setelah proses pencacahan dengan menggunakan mesin, maka serbuk-serbuk ikan akan dilakuakan proses selanjutnya hingga menjadi abon ikan.
3.2
Desain fungsional untuk komponen-komponen mesin Desain funsional dari perencanaan mesin pencacah ikan untuk pembuatan
abon ikan adalah : 3.2.1 Saluran Masuk (hopper) Saluran masuk berfungsi sebagai tempat pemasukan ikan tuna yang telah melewati proses perebusan, adapun bahan yang akan direncanakan untuk pembuatan hopper adalah plat yang mampu menahan dan tahan terhadap korosi. Gambar desain rancangan hopper adalah sebagai berikut:
Gambar 3.3 hopper
28
3.2.2 Silinder pencacah Silinder pencacah berfungsi sebagai media pencacah yang berputar dengan permukaannya di lapisi mata-mata pencacah. Perancangan mesin pencacah ikan untuk pembuatan abon, direncanakan memiliki dua silinder yang sama bentuk dan diameternya, putaran kedua silinder berlawanan arah agar dapat mencacah ikan lebih baik. Bentuk dari silinder pencacah yang akan direncanakan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 3.4 silinder pencacah 3.2.3 Mata pencacah Mata pencacah merupakan bagian dari silinder yang berfungsi untuk mencacah daging-daging ikan, Mata pencacah akan di rencanakan kira-kira berdiameter 1mm dan memiliki panjang seluruhnya 12 mm dan sebagian akan ditanam kedalam silinder sedalam 5mm. Sistem kerja mata pencacah adapun daging-daging ikan yang masuk kedalam hopper langsung jatuh keatas mata pencacah yang berputar dengan kecepatan tertentu akibat dari putaran tersebut maka daging-daging akan hancur. Bentuk dari desain gambar mata pencacah adalah sebagai berikut:
29
Gambar 3.5 Mata pencacah 3.2.4 Saluran keluar Saluran keluar adalah tempat dimana daging ikan keluar setelah proses pencacahan bahan yang akan direncanakan sama seperti hopper, Gambar desain rancangan saluran keluar adalah sebagai berikut:
Gambar 3.6 Saluran keluar
30
3.2.5 Rangka Rangka adalah sebuah kontruksi penahan mesin. Rangka yang akan direncanakan harus tahan terhadap fibrasi, reduksi dan beban. Adapun bahan yang akan direncanakan untuk pembuatan Rangka adalah besi siku, Gambar 3.8 adalah gambar desain perencanaan kontruksi Rangka.
Gambar 3.7 Rangka 3.2.6 Poros Poros merupakan salah satu bagian yang penting dalam permesinan. Pada umumnya mesin meneruskan tenaga bersama-sama dengan putaran peranan tranmisi seperti itu di pegang oleh poros. Gambar 3.9 adalah poros yang akan dibuat
Gambar 3.8 Poros
31
3.2.7 Motor Motor
berfungsi sebagai daya di mesin. Motor menggerakan silinder
pencacah ikan 3.2.8 Pulli dan Sabuk –V Pulli adalah alat tranmisi untuk dudukan sabuk dalam memindahkan putaran dari roda penggerak dari pulli yang digerakkan. Diameter pulli harus diperhatikan dengan benar dan tepat agar perbandingan yang diinginkan dapat diperoleh. Pulli mestinya harus sejajar agar pada waktu terjadinya putaran antara sabuk dan pulli tersebut tidak terjadi kerugian mekanis. Dalam perancangan mesin pencacah ikan untuk pembuatan abon pulli dan sabuk direncanakan sesuai dengan keperluan mesin tersebut
Gambar 3.9 Sabuk dan pulli 3.2.9 Bantalan Bantalan berfungsi untuk menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerakan bolak baliknya dapat berlangsung secara halus. Bantalan yang akan direncanakan sesuai dengan kebutuhan dan bahan tersebut tersedia dipasaran
Gambar 3.10 Bantalan
32
BAB IV DESAIN STRUKTURAL 4.1
Perhitungan Daya Yang Direncanakan Demi kelancaran dalam pemakai motor penggerak dan daya yang
digerakan, maka perlu diketahui berapa putaran dan daya yang berkerja pada proses mesin yang direncanakan. 4.1.1 Menetukan Volume Hopper Menurut
Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:14) volume benda yang
berbentuk pyramid puntung dapat ditentukan volumenya dengan persamaan : V=
h . ( A1 + A2 + 3
A1 xA2 )
Dimana : V = Volume benda h = Tinggi A1 = Area dasar A2 = Area permukaan puncak Bentuk dari hopper yang direncanakan, yang akan digunakan pada mesin pencacah ikan untuk pembuatan abon adalah sebagai berikut :
Gambar 4.1 bentuk hopper yang direncanakan
33
Maka : a. menetukan area permukaan dasar A1 = P x l = 0,5 x 0,012 = 0,106 m b. menetukan area permukaan puncak A2 = P x l = 0,5 x 0,346 = 0,7173 Dan tinggi hopper adalah h = 0,25 V =
0,25 . 0,106 0,173 0,106 x0,173 3
= 0,084 x 0,41 = 0,03481 m3 4.1.2 Menentukan Kapasitas Kerja Dimana untuk menentukan kapasitas direncanakan putaran silinder yang berkerja sebesar n = 300 Rpm. Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis, daging ikan yang telah dilakukan perebusan memiliki perbedaan dari daging ikan mentah, dimana daging ikan yang telah direbus memiliki sifat kekenyalan lebih rendah dari daging mentah dan meiliki sifat potong yang lebih tinggi dari daging mentah. Dan diketahui massa jenis dari daging ikan sebesar ρ = 1,1 kg/m3. Maka untuk menentukan kapasitas kerja mesin digunakan persamaan berikut : Q = V . n .ρ Dimana : Q = Kapasitas (kg/jam) V = Volume hopper (m3) n = Putaran (rpm) ρ = Massa jenis ( kg/m3) maka : Q = 0,03481 x 300 x 1,1
34
= 11,45 kg/menit 4.1.3 Menentukan putaran yang berkerja Putaran yang berkerja pada silinder pencacah dapat diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui kecepatan sudut silinder pencacah dan kecepatan linier selinder pencacah .
Gambar 4.2 Diagram pemilihan sabuk Kecepatan sudut dan kecepatan linier pada silinder Dimana telah diketahui diemeter silinder R = 0,05 m jadi untuk mendapatkan kecepatan sudut dan kecepatan linier, menurut Ir. Ramses Y. Hutahaean, MT (2006:24) untuk mendapatkan kecepatn sudut dan kecepatan linier digunakan persamaan berikut : menentukan kecepatan sudut ω =
2 .n 60
Dimana ω = Kecepatan sudut (rad/s) n = Putaran silinder (rpm) maka :
35
=
2x3,14 .300 60
= 31,4 rad/s menentukan kecepatan linier VB = R . ω Dimana : ω = Kecepatan sudut (rad/s) R = Radius silinder (m) VB = Kecepatan linier silinder (m/s) Maka : = 0,05 x 31,4 = 1,57 m/s Menurut george H. Martin (1984:20) putaran untuk semua titik dalam sebuah benda yang berputar mempunyai kecepatan sudut yang sama w, jadi kecepatan sudut antara silinder dan puli besar sama. Kecepatan linier silinder dan puli besar berbeda. Dari perhitungan diatas telah diketahui kecepatan linier dari silinder, maka dengan mengunakan persamaan dibawah ini dapat kita ketahui kecepatan linier puli besar.
36
VA RA VB RB
Dimana : VA = Kecepatan linier puli besar (m/s) VB = Kecepatan linier silinder (m/s) RA = Radius puli besar (m) RB = Radius silinder pencacah (m) Maka : VA 0,095 1,57 0,05 VA 1,9 1,57
VA = 1,57 x 1,9 = 2,983 m/s Jadi kecepatan linier untuk puli besar adalah sebesar =2,983 Maka untuk menentukan putaran yang berkerja digunakan persamaan berikut : N =
V .60 2. .r
Dimana : N = Putaran yang berkerja pada silinder V = Kecepatan linier r
= Radius
maka : N =
1,57 x60 2 x3,14 x0,05
= 300 rpm 4.1.4 Daya kerja yang terjadi pada silinder Daya yang dibutuhkan untuk memutar silinder dan mencacah ikan, untuk perencanaan awal daya yang terjadi antara silinder dengan daging ikan. Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:17) gaya yang berkerja pada silinder pencacah dapat ditentukan dengan mengunakan persamaan berikut :
37
F =
m.V 2 r
Dimana : F = Gaya (N) V = Kecepatan sudut silinder (m/s) r
= Radius silinder pencacah (m)
m = Massa yang diberikan (kg) Maka : F =
11,45.1,57 2 0,05
= 564 N Maka untuk mengetahui torsi yang terjadi digunakan persamaan berikut : T = R.F Dimana : T = Torsi yang terjadi (Nm) R = Radius silinder pencacah (m) F = Gaya pada silinder (N) Maka : = 0,05 x 564 = 28,4 (Nm) Maka untuk mengetahui daya yang terjadi menggunakan persamaan berikut: P = T.ω Dimana : P = Daya (watt) T = Torsi yang terjadi (Nm) ω = Kecepatan sudut (rad/s) maka : = 28,4 x 31,4 = 891,76 watt Jadi dari hasil perhitungan diatas didapat daya motor penggerak sebesar 1 hp dengan putaran 300 rpm, dari hasil surve dilapangan diketahui bahwa tidak
38
motor dengan karakteristik 1 hp 300 rpm , jadi dipilih motor yang ada dipasaran dengan karakteristik 1 hp 1200 rpm 4.2
Daya Rencana Daya rencana adalah hasil konversi antara daya nominal output dari motor
penggerak dengan faktor koreksi,karna daya yang besar di perlukan pada saat start atau mungkin beban yang besar yang terus bekerja stelah start.dengan demikian di perlukan faktor koreksi pada daya rata-rata yang di perlukan dengan menggunakan faktor koreksi perencanaan. Dari hasil perhitungan daya kerja yang terjadi pada silinder diperoleh data dengan daya penggerak sebasar 1 HP, putaran 1200 rpm. Menurut sularso dan Kiyokatsu Suga (1987:7),maka daya yang di berikan dalam daya kuda maka harus di konversikan dengan 0,735 untuk mendapatkan daya dalam KW. Maka; 1Hp = 0,735 Kw 1 Hp x 0,735 = 0,735 Kw Maka untuk mengamankan daya out put dari motor penggerak tersebut,terlebih dahulu kita harus mengkonversikan dengan faktor koreksi (fc). Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987 : 7) maka daya rencana dapat di hitung dengan persamaan berikut ini : Pd = fc x p dimana; pd = daya rencana fc = faktor koreksi (Tabel 4.1) = 1,4 (diperhitungkan/digolongkan mesin pencacah ikan untuk Pembuatan abon sebagai mesin yang mempunyai variasi beban Sedang dengan jumlah jam kerja 8-10 jam/hari) P = daya motor penggerak Maka :
39
Pd = 1,4 x 0,735 = 1,029 Kw Tabel 4.1 faktor-faktor koreksi daya yang akan ditranmisikan (fc) Daya yang akan ditranmisikan
fc
Daya rata-rata yang diperlukan
1,2 - 2,0
Daya maksimal yang diperlukan
0,2 -1,2
Daya normal
1,0 -1,5
Jadi berdasarkan hasil perhitungan suatu proses pemotongan diketahui bahwa : Daya rencana (pd) sebesar 1,029 Kw, dengan putaran 1200 rpm. 4.3
Perhitungan Sabuk dan Puli
4.3.1 Pemilihan Sabuk Daya motor yang direncanakan (Pd 1,029 Kw).karna motor yang ada dipasaran hanya memiliki klafikasi 1 HP dan putaran 1200, sedangkan putaran yang diperlukan untuk menggerakan puli penggerak sebesar 600 rpm, maka harus dilakukan reduksi agar mendapat putaran yang diperlukan . Dirancanakan putaran akan direduksi dengan menggunakan gear box WPO type 50 dengan perbandingan reduksi sebesar 1: 2, maka untuk mereduksi putaran digunakan persamaan berikut : N = 1200 x ½ = 600 rpm Maka dari hasil reduksi didapat putaran sebesar 600 rpm dan daya rencana sebesar (Pd 1,029 Kw).maka berdasarkan gambar 4.1 didapat sabuk dengan tipe A
40
Gambar 4.3 Diagram pemilihan sabuk Sumber: Sularso dan Kiyokatsu Suga. Elemen Mesin (1987:164) 4.3.2 Pemilihan Bahan Puli Bahan puli yang dipilih adalah besi cor FC30 dengan kekuatan tarik (σB) 27 kg/mm3 (lampiran 1) 4.3.3 Menentukan Diameter Puli Berdasarkan tabel pemilihan diameter puli minimum yang dianjurkan pada (lampiran 2), untuk sabuk dengan tipe A maka diameter puli minimum yang dianjurkan adalah 95 (mm) untuk pulli penggerak. Maka menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1987 : 166), besarnya diameter nominal puli yang digerakan dapat ditentukan dengan persamaan;
n1 Dp i n2 dp Dimana : n1 = putaran motor penggerak n2 = putaran puli yang digerakan dp = Diameter nominal puli penggerak Dp = diameter nominal puli yang digerakan i
= perbandingan reduksi = 2 ( karena sabuk V dipakai untuk menurunkan putaran i > 1)
41
Maka :
n1 i n2
Dp i dp
600 2 300
Dp 2 95
n2 = 300 rpm
Dp = 190 mm
jadi, Dp untuk ukuran standar dipilih 190 mm. Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:177) diameter luar puli dapat ditentukan dengan persamaan : dk = dp + 2k Dk = Dp + 2k Dimana : dp = diameter puli kecil dk = putaran puli yang digerakkan Dk = diameter luar puli yang digerakan K = ukuran standar puli-V (lampiran 2) Maka : Diameter luar puli kecil dk = 95 + 2 x 4,5 = 104 mm Sedangkan untuk diameter luar puli sabuk Dk = 190 + 2 x 4,5 = 199 mm 4.3.4 Menentukan Jarak Sumbu Poros Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:166) bahwa jarak sumbu poros harus sebesar 1,5 sampai 2 kali diameter puli besar (diambil 2) C = (1,5 – 2) Dp Dimana :
42
C = jarak sumbu poros Dp = diameter yang digerakkan Maka : C = 2 x 190 = 380 mm Pada perencanaan sabuk V ini faktor koreksi yang dipilih sesuai dengan tabel faktor koreksi untuk tranmisi sabuk menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997 : 165) dipilih Fc = 1,3 karena tergantung jumlah jam kerja 8 – 10 jam per hari, maka Pd = 1,3 x 1,029 = 1,3377 (kw) 4.3.5 Menghitung Momen Rencana T1, T2 (Kg, mm)
Gambar 4.4 Gambar Momen T T1 = 9,74 x 105 x (pd / n1) T1 = 9,74 x 105 x (1,3377 / 600) = 2171 (kg,mm) T2 = 9,74 x 105 x (pd / n2) T2 = 9,74 x 105 x (1,3377 / 300) = 4343 (kg,mm) 4.3.6 Menentukan Panjang Sabuk Panjang keliling sabuk (L) menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997: 170) dapat ditentukan dengan persamaan :
43
L = 2C +
2
Dp dp
L = 2 x 380 +
1 Dp dp 2 4C
3,14 190 95 1 190 952 2 4 x380
L = 1208 mm Berdasarkan panjang sabuk V standar pada lampiran 3, diperoleh panjang sabuk yang mendekati hasil perhitungan, yaitu L = 1219 mm dengan nomor nominal sabuk sebesar 48 inch (lampiran 3). Selanjutnya perlu dikoreksi kembali jarak sumbu poros (C), untuk panjang sabuk, L = 1219 mm. Menurut sularso dan kiyokatsu suga (1997: 170), dapat ditentukan dengan persamaan berikut : b b 2 8Dp dp C = 8
2
Dimana : b = 2L – π (Dp + dp) = 2 . 1219 – 3,14 (190 + 95) = 2438 – 894,9 b = 1543,1 mm Maka : 1543,1 1543,12 8190 95 C = 8
2
= 382,82 mm = 383 mm Jadi jarak sumbu poros yang diperoleh , C = 383 mm, dan diperoleh panjang keliling sabuk L = 1219 mm. 4.3.7 Menentukan Sudut Kotak Sabuk Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997 : 173) sudut kotak pada puli penggerak dapat ditentukan dengan persamaan :
44
Gambar 4.5 Sudut Kontak Sumber: Sularso dan Kiyokatsu suga. Elemen Mesin (1987:170}
θ
57Dp dp C
= 1800 -
Dimana : θ
= Sudut kontak puli penggerak
C = jarak sumbu poros Maka sudut kontak puli penggerak : θ
= 1800 -
57190 95 383
= 1800 -
5415 383
= 165,80 4.3.8 Menghitung Kecepatan Sabuk Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997 : 166) kecepatan sabuk dapat ditentukan dengan persamaan : V =
xdpxn1
60 x1000
Dimana : V = kecepatan sabuk dp = diameter puli kecil n1 = putaran motor penggerak Maka :
45
V =
3,14 x95 x600 60 x1000
V = 3 m/s Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987 : 163) mengatakan kecepatan sabuk yang baik adalah lebih kecil dari 25 m/s jadi pada perencanaan mesin ini kecepatan sabuknya baik, karna V1 = 25 m/s : V = 3 m/s V1
>
V
25 m/s > 3 m/s................................baik
Perbandingan reduksi : i
= n1/n2 = 600/300 = 2
4.3.9 Analisa Gaya Tarik Sabuk Gaya –gaya yang terjadi pada sabuk dapat diperlihatkan pada gambar berikut :
Gambar 4.6 analisa gaya tarik sabuk Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997 : 171) gaya tarik sabuk dapat dihitung dengan persamaan berikut : F1 = е μxθ F2
46
Dimana : F1 = gaya tarik sabuk pada sisi tarik (kg) F2 = gaya tarik sabuk pada sisi kendur (kg) е
= bilangan pokok (2,718282)
μ = koefisien gesek (0,24) θ
= sudut kotak pada puli penggerak
Koefisien gesek menurut Khurmi Dan Gupta (1980 : 651 ), dapat ditentukan dengan persamaan : μ = 0,54 -
42,6 152,6 V
Dimana : μ = koefisien gesek V = kecepatan sabuk Maka : μ = 0,54
42,6 152,6 3
= 0,44 Dimana : θ
= sudut kotak sabuk =
.165,8 180
= 2,89 -
Analisa gaya tarik sabuk dari puli motor penggerak ke puli yang
digerakan :
F1 = 2,7182820,44 x 2,89 F2 F1 = 3,56 F2 F1 = 3,56x F2 ...................................................................(1)
47
Menurut Khurmi Dan Gupta (1980 : 664) persamaan gaya tarik sabuk adalah : Pd = (F1 – F2) x V .............................................................(2) Dimana : Pd = daya rencana V = kecepatan sabuk F1 = gaya tarik sabuk pada sisi tarik F2 = gaya tarik sabuk pada sisi kendur Subtitusi persamaan (1) ke persamaan (2), maka : Pd
= (3,56 F2 – F2) x V
1029 = (2,56F2) x 3 (m/s) F2 = 134 N = 13,6 kg Maka F1 = 3,56.F2 = 3,56 x 13,6 = 48 kg Dengan demikian gaya tarik sabuk efektif , menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:171). Dapat ditentukan dengan : Fе = F1 – F2 = 48 - 13,6 = 34,4 kg Joseph E. Shigley dan larry D. Mitchell (1984 :336) mengatakan gaya tarik awal sabuk dapat ditentukan dengan persamaan berikut : Fi = =
F1 F2 2 48 13,6 2
= 30,8 kg
48
4.3.10 Menentukan Jumlah Sabuk Sularso dan kiyokatsu suga (1997:173) mengatakan untuk menentukan jumlah sabuk dapat ditentukan dengan persamaan : N =
pd p 0 .k
Dimana : P0 = kapasitas daya yang dapat ditransmisi oleh sabuk tunggal (Kw) Kθ = faktor koreksi N = jumlah sabuk Untuk nominal puli kecil, putaran 600 rpm (menurut sularso dan k. Suga hal : 172) maka harga po adalah : P0 = 0,67 + 0,06 = 0,73 Sedangkan untuk faktor koreksi (Kθ) yang mendekati nilai sudut kotak puli kecil θ1 = 165,8o adalah 169o dengan faktor koreksinya adalah 0,97 (lampiran 4). Maka N =
1,029 0,73 x0,97
= 1,45..............(diambil satu buah) Untuk memelihara tegangan yang cukup dan sesuai dengan panjang sabuk,jarak poros , puli harus dapat disetel kedalam maupun keluar daerah penyetelan untuk sabuk dengan type A panjang keliling sabuk antara 970 – 1500 (lampiran 5 ) adalah sebagai berikut : -
daerah penyetelan sebelah dalam Ci = 20 mm
-
daerah penyetelan sebelah luar Ct = 40 mm
4.3.11 Gaya Yang Terjadi Pada Keliling Sabuk Anwar, Mohd Raffei. Bagian mesin 3 Hal:21 mengatakan momen lentur pada puli mesin dapat dihitung dengan persamaan :
49
M = F x ( 1/2 Dk ) Dimana : M = Momen lentur yang terjadi (Kg.mm) F = Gaya keliling (kg) Dk = diameter luar puli besar (mm) Dk = diameter luar puli kecil (mm) Maka : Momen puntir yang terjadi (T2) adalah : T2 = 9,74 x = 9,74 x
pd n2 1,3377 300
= 4343 kg mm Sehingga : F =
T Dk / 2
=
4343 199 / 2
= 43 Kg Maka momen lentur yang terjadi adalah : M = 43 x (1/2 . 199) = 4279 kg.mm
50
4.4
Perhitungan Mata Pencacah dan Silinder Mata pencacah dan silinder adalah salah satu komponen utama dari
kontruksi mesin dimana direncanakan A. Mata Pencacah Panjang keseluruhan
= 12 mm
Panjang dari permukaan silinder
= 7 mm
Panjang dari permukaan ke dalam = 5 mm Diameter mata pencacah
= 1,5 mm
Jarak antara mata ke mata
= 10 mm
Bahan
= stainless steel
Gambar 4.7 Detail mata pencacah B. Silinder Pencacah Panjang
= 500 mm
Diameter
= 100 mm
Bahan
= kayu
4.4.1 Menghitung Jumlah Mata Pencacah Banyaknya jumlah mata pencacah yang berfungsi sebagai pencacah sangat mempengaruhi baik tidaknya hasil pencacahan yang dilakukan berikut ini menunjukan gambar mata pencacah yang direncanakan:
51
Gambar 4.8 Potongan silinder pencacah dari gambar diatas didapat jumlah pisau yang terdapat pada silinder pencacah dengan mengetahui terlebih dahulu panjang keliling lingkarannya dengan persamaan berikut : keliling lingkaran
= π . R .2 = 3,14 x 50 x 2 = 314 mm
Jadi N =
kelilinglingkaran 5
Dimana N
= jumlah baris mata pencacah
314 = keliling lingkaran 5 Maka :
= jarak antara baris kebaris lain
52
=
314 5
= 62,8 = 63 baris Maka untuk menentukan jumlah mata pencacah tiap silinder adalah sebagai berikut : a. jumlah mata pencacah untuk silinder A M1 =
Pi i
Dimana : M1 = jumlah mata pencacah silinder A P = panjang silinder i
= jarak antara mata kemata
Maka : M1 =
500 10 10
= 49 Jadi jumlah keseluruhan mata pencacah untuk silinder A J1 = M x N Dimana : M1 = jumlah mata pencacah silinder A N = jumlah baris mata pencacah J1 = jumlah mata pencacah untuk silinder A Maka J1 = 49 x 63 = 3087 buah b. jumlah mata pencacah untuk silinder B
M2 =
P i
53
Dimana : M1 = jumlah mata pencacah silinder B P = panjang silinder i
= jarak antara mata kemata
maka : M2 =
500 10
= 50 Jadi jumlah keseluruhan mata pencacah untuk silinder B J2 = M2 x N Dimana : M2 = jumlah mata pencacah silinder B N = jumlah baris mata pencacah J2 = jumlah mata pencacah untuk silinder B Maka : J2 = 50 x 63 = 3150 Maka jumlah keseluruhan mata pencacah untuk kedua silinder adalah : J
= J1 + J2
Dimana : J
= jumlah keseluruhan mata pencacah
J1 = jumlah mata pencacah untuk silinder A J2 = jumlah mata pencacah untuk silinder B Maka : J
= 3087 + 3150 = 6237 buah
4.4.2 Menghitung Beban Yang Terjadi Pada Pisau Penyerat Momen bengkok yang terjadi pada mata pencacah dapat ditentukan dengan persamaan beikut : Mb = F . l
54
Dimana : Mb = momen bengkok F
= gaya pada mata pencacah (N) = (halaman 33)
l
= panjang mata pencacah (mm)
maka : Mb = 564 x 7 = 3948 Nmm 4.4.3 Menentukan Tegangan Bengkok Pada Pisau Pencacah Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:28) tegangan bengkok pada suatu bidang dapat ditentukan dengan persamaan :
σb =
Mb Wb
Dimana :
σb = tegangan bengkok (kg/mm2) Mb = momen bengkok (kg.mm) Wb= momen tahanan bengkok (mm2) Sedangkan besarnya momen tahanan bengkok yang terjadi dapat ditentukan dengan persamaan berikut : -
momen tahanan bengkok untuk pisau penyerat
Wb = =
32
xd s
3
3,14 3 x0,015 32
= 0,331 mm3 Maka :
σb =
Mb Wb
55
=
3948 0,331
= 11927 N/mm2 4.4.4 Menetukan massa silinder Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:15) mengatakan volume benda berbentuk silinder berlubang dapat diketahui dengan persamaan berikut : V=
.h 4
. ( D2-d2 )
Dimana : V = Volume silinder h = Tinggi silinder D = Diameter luar silinder d = Diameter dalam silinder maka : V =
3,14 x0,5 . 0,12 0,05 2 4
= 0,00294375 m3 Jadi bahan yang digunakan untuk silinder pencacah direncanakan dibuat dari bahan kayu yang telah diketahui massa jenisnya sebesar ρ = 580 kg/m3 ,maka untuk mengetahui berat dari silinder kayu dapat digunakan persamaan berikut A1 = V x ρ = 0,00294375 x 580 = 1,7 Karna dibagian silinder memiliki mata-mata pencacah yang terbuat dari besi dan berbentuk bulat, Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:15) volume silinder dapat ditentukan dengan persamaan berikut : V=
.d 2 .h 4
Dimana : V = Volume silinder h = Tinggi silinder d = Diameter silinder
56
maka : V =
3,14 x0,002 2 x0,012 4
= 0,000000037 m3 Menentukan berat dari mata pencacah dengan diketahui massa jenis dari besi sebesar ρ = 7830 kg/m3 maka digunakan persamaan berikut : A2 = V x ρ = 0,000000037 x 7830 = 0,000295 kg Maka untuk menetukan berat keseluruhan mata – mata pencacah yang ada pada silinder digunakan persamaan berikut : K = M x J2 = 0,000295 x 3150 = 0,929 kg Jadi berat keseluruhan tiap silinder dapat ditentukan dengan persamaan berikut N = A1 + K = 1,7 + 0,929 = 2,629 kg Jadi berat yang terjadi di silinder adalah : massa sebesar = 2,629 + 11,45 = 14,079 kg 4.5
Perencanaan Roda Gigi Lurus Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:245) untuk merencanakan
roda gigi terlebih dahulu harus diketahui modul roda gigi yang didapat dari diagram pemilihan modul dimana ditentukan dari hubungan antara daya rencana dan putaran poros penggerakkan mesin tersebut adalah 1,029 Kw dari hubungan putaran 600 rpm dan daya rencana maka diperoleh modul sebesar m = 1,25 (lampiran 5) bahan roda gigi yang direncanakan adalah S 25 C dengan perbandingan reduksi 1:1 dan jarak sumbu poros 110 mm
57
jadi lingkaran jarak bagi d1 dan d2 dapat dihitung dengan persamaan yaitu sebagai berikut : d1 =
2 x110 11
= 110 mm d2 =
2 x110 x1 11
= 110 mm Jadi jumlah gigi untuk masing – masing roda gigi dapat dihitung dengan persamaan yaitu sebagai berikut : Z1 = =
d1 m
110 1,25
= 88 Z2 = =
d2 m
110 1,25
= 88 Dari jumlah jumlah gigi pada tiap roda gigi diatas, yaitu sebanyak 88 buah.dan untuk menghitung diameter lingkaran jarak bagi digunakan persamaan berikut : d01 = Z1 x m = 88 x 1,25 = 110 d02 = Z2 x m = 88 x 1,25 = 110
58
Jarak sumbu poros ao = (d01 + d01 )/2 = (110 + 110)/2 = 110 Untuk menentukan diameter kepala dan diameter kaki serta tinggi gigi (kedalaman pemotongan) dari gigi maka digunakan persamaan berikut Menentukan diameter kepala dk1 = (Z1 + 2).m = (88 + 2). 1,25 = 112,5 dk2 = (Z2 + 2).m = (88 + 2). 1,25 = 112,5 Menentukan diameter kaki, Ck = 0,25 x 1,25 = 0,31 df1 = (Z1 - 2) x m – 2 x Ck = (88 - 2) 1,25 – 2 x 0,31 = 106,88 mm df2 = (Z2 - 2) x m – 2 x Ck = (88 - 2) 1,25 – 2 x 0,31 = 106,88 mm Tinggi gigi H = 2.m + Ck = 2 x 1,25 + 0,31 = 2,81 (mm) Dari (lampiran 6) tabel faktor bentuk gigi (Y) jadi karna ditabel tidak ada maka digunakan cara interpoli sebagi berikut Y1 = 0,434 + (0,446 – 0,434).
88 75 100 75
= 0,440 Karna Z1 dan Z2 hasilnya sama maka Y2 sama dengan Y1
59
4.5.1 Menganalisa Kecepatan Roda Gigi Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:238) kecepatan keliling pada jarak bagi roda gigi dapat dicari dengan persamaan :
V =
.d1 .n 60.1000
Dimana : V = kecepatan keliling roda gigi d1 = diameter lingkaran jarak bagi n = putaran yang berkerja maka : V =
3,14 x110 x300. 60 x1000
= 1,73 (m/s) 4.5.2 Menganalisa Gaya Yang Terjadi Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:238) gaya tangensial dapat dihitung dengan persamaan : Ft =
102. p V
Dimana : Ft = Gaya tangensial V = Kecepatan keliling roda gigi P = Daya yang ditranmisikan Maka : Ft =
102.1,029 1,73
= 60,66 kg
60
4.5.3 Menentukan Faktor Dinamis Roda Gigi Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:240) faktor dinamis roda gigi dapat ditentukan, karna roda gigi teliti dengan kecepatan V kurang dari 10 (m/s), maka digunakan persamaan berikut : Fv = =
3 3v
3 3 1,73
= 0,634 4.5.4 Menganalisa Tegangan Lentur Yang Terjadi bahan roda gigi dipilih dari jenis baja karbon dengan lambang S 25 C (lampiran 1), Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:240) diperoleh tegangan lentur yang diizinkan untuk roda gigi σa = 21 kg/mm2. tegangan lentur yang terjadi dapat dicari dengan persamaan : Fb = σa.m.Y.Fv Dimana : Fb = beban lentur diizinkan σa = tegangan lentur yang diizinkan Y = faktor bentuk gigi Fv = faktor dinamis m = modul Maka : Fb = 21 x 1,25 x 0,440 x 0,634 = 7,32 (kg/mm) 4.5.5 Menganalisa Beban Permukaan Dan Lebar Gigi Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:244) beban permukaan yang diizinkan dapat diperoleh, dan terlebih dahulu harus diketahui faktor tegangan kotak diketahui kekerasan (150 Hb) maka harga KH = 0,039 kg/mm2 maka digunakan persamaan berikut :
61
FH = Fv. KH. d01.
2.Z 2 Z1 Z 2
= 0,634 x 0,039 x 110 x
2 x88 88 88
= 3 kg/mm Harga minimum Fmin is 3 kg/mm of KH Maka tebal roda gigi b = Ft / Fmin = 60,66 / 3 = 20 mm 4.6
Perhitungan Poros Untuk menghitung besar diameter dan bahan poros yang sesuai maka
terlebih dahulu perlu penganalisa gaya – gaya yang berkerja pada poros. Poros ini mendapat beban kombinasi puntir dan lentur. Gambar dibawah ini memperlihatkan gaya – gaya yang berkerja pada poros
Gambar 4.6 hasil analisa gaya yang berkerja pada poros Dari gambar diatas titik F1 adalah pembebanan oleh sabuk , titik A dan B adalah titik penempu (bantalan) titik F2 adalah titik pembebanan oleh silinder dan mata pencacah dan titik F3 pembebanan yang terjadi pada roda gigi
62
4.6.1 Perhitungan momen Dari perghitungan diatas maka diketahui besar gaya – gaya yang berkerja pada setiap titik adalah sebagai berikut : F1 = 34,4 kg F2 = 14 kg F3 = 3 kg Σ MA = 0 -F1 (60) + F2(280) - RB(560) + F3(620) = 0 -34,4 (60) + 14(280) + 560RB +3 (620) = 0 -2064 + 3920 - 560RB + 1860 = 0 1856 – 560 RB + 1860 = 0 560RB = -3716 RB = - 6,6 kg Σ FB = 0 -F1 (620) + RA (560) - F2(280) + F3 (60) = 0 -34,4 (620) + 560RA – 14 (280) + 3 (60) = 0 -21328 + 560RA - 3920 +180 = 0 -21328 + 560RA - 3740 = 0 560RA = 25068 RA = - 44 kg Jadi : MC = ME = 0 MA = F1 . 60 = 34,4 .60 = 2064 kg mm MD = RA . 280 = - 44 . 280 = -12320 kg.mm MB = F3.60 = 3 . 60 = 180 kg mm
63
4.6.2 Menghitung diameter poros Dari perhitungan sebelumnya telah diketahui bahwa momen puntir (T) yang terjadi adalah = 4343 kg mm. sedangkan pada analisa gaya yang membebani poros adalah telah diketahui bahwa momen lentur maksimum yang terjadi dititik D adalah 10463,6 kg.mm dalam perencanaan ini bahan poros dipilih dari bahan S 45 C dengan kekuatan tarik σB = 58 kg/mm2 (lampiran 1) Menurut sularso dan kiyokatsu suga (1997 : 8) tegangan geser yang diizinkan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
a
b Sf1 . Sf 2
Dimana : τ a = tegangan geser yang diizinkan (kg.mm2) σB = kekuatan tarik maxsimum bahan Sf1 = faktor keamanan bahan poros
64
= umumnya diambil, 6 Sf1 = faktor konsentrasi tegangan = 1,5 – 3,0 diambil 1,5 Maka :
a
58 6 x3,0
= 3,2 kg/mm2 4.6.3 Menghitung Diameter Poros Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:8), besarnya diameter poros dapat dihitung dengan persamaan berikut : 1
5 ,1 3 ds Kt . Cb . T a
Dimana : Ds = diameter poros Kt = Harga untuk faktor kejutan Cb = harga pembebanan lentur T = momen puntir Harga untuk faktor kejutan (Kt) diambil kejutan sedang yaitu : 1,5 dari (1,5-3,0) dan untuk harga pembebanan lentur (Cb) diambil 2,0 dari (1,2-2,3). 1
5 ,1 3 ds 1,5 . 2 . 4343 6,444
= 21,76 mm (disesuaikan menjadi 25 mm) 4.6.4 Menghitung Tegangan Geser Yang Terjadi Pada Poros Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;7), tegangan geser pada poros dapat dihitung dengan persamaan :
65
b
5 ,1 . T (ds ) 3
Dimana : Ds = diameter poros Kt = momen putir τb = Tegangan Geser Yang Terjadi Pada Poros maka :
b
5 ,1 . 4343 (25) 3
= 1,41 Kg/mm2 Dari hasil perhitungan ternyata tegangan geser yang terjadi lebih kecil dari tegangan geser yang dizinkan, maka poros aman terhadap tegangan puntir yang terjadi.
a b 3,2 kg/mm2 1,41 Kg/mm2 4.6.5 Pemeriksaan Keamanan Poros a. Akibat momen puntir Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;17), tegangan geser yang terjadi akibat momen puntir dapat dihitung dengan persamaan berikut :
b
16 . T (ds ) 3
b
16 . 4343 3.14(25) 3
Maka :
66
= 1,41 Kg/mm2 4.7
Perhitungan pasak Pasak yang akan direncanakan adalah pasak benam yang berpenampang
segi empat. Berdasarkan ukuran diameter poros telah direncanakan maka dapat dipilih ukuran/ dimensi pasak, sehingga dapat diketahui tekanan permukaan dan tegangan geser yang terjadi. Berdasarkan diameter poros yang telah direncanakan adalah 22 mm, maka dimensi pasak adalah sebagai berikut : Panjang pasak (b x h)
= 8 x 7 mm
Kedalaman alur pasak pada poros (tl)
= 4,0 mm
Kedalaman alur pasak pada naf (t2)
= 3,3 mm
C
= 0,40
L
= 18 – 90 mm
4.7.1 Menghitung Gaya Tangensial Akibat momen puntir, maka akan timbul gaya tangensial pada permukaan poros dan besarnya gaya tangensial menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1987;25), dapat dihitung dengan persamaan berikut : F
T ( d 5 / 2)
Dimana : F = gaya tangensial T = momen punter ds = diameter poros maka : F
T ( d 5 / 2)
67
4343 (25 / 2)
= 347,44 Kg 4.7.2 Menghitung Tegangan Geser Yang Terjadi Akibat gaya tangensial (F) yang bekerja pada permukaan poros, maka pasak akan putus secara geser selebar (b) dan sepanjang (l) . Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1997;25), besarnya tegangan geser yang terjadi pada pasak dapat dihitung dengan persamaan berikut :
k
F b.l
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1997;27), bahwa lebar pasak sebaiknya antara 25 – 35 % dari diameter poros dan panjang pasak antara 0,75 – 1,5 diameter poros. Harga tekanan permukaan yang diizinkan (pa) adalah 8 kg/mm2, sehingga panjang pasak adalah : l = 1,5 . 25 = 37,5 mm Sehingga :
k
347,44 8 . 37,5
= 1,15 Kg/mm2 4.7.3 Menghitung Tegangan Geser Izin Pada Pasak Pada perencanaan pasak, bahan yang akan digunakan S40C dengan kekuatan tarik bahan sebesar 55 Kg/mm2 . agar bahan yang kita gunakan aman, maka kita perlu membagikan dengan faktor keamanan ( Sf k1 x Sf k 2 ). Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1987;25), diketahui : Sf k1
= 6 (faktor keamanan)
Sf k 2
= 3 (jika beban dikenakan tumbukan ringan)
Sehingga tegangan geser yang terjadi adalah :
ka
b Sf k1 . Sf k 2
68
ka
55 6. 3
= 3,0 Kg/mm 4628 Karena tegangan geser yang diizinkan lebih besar dari tegangan geser yang terjadi, maka pasak aman digunakan. 3,0 Kg/mm2 1,15 Kg/mm2 4.7.4 Menghitung Tekanan Permukaan Tekanan permukaan yang terjadi pada permukaan pasak adalah sepanjang (l) dan setinggi (t) seperti terlihat pada gambar 4… dibawah ini : P
F l (t1 atau t 2 )
(P = merupakan Tekanan permukaan) P
347,44 37,5 . 4
= 2,31 kg/mm2 Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;27), harga tekanan permukaan yang dizinkan (pa = 8 Kg/mm2 ) untuk poros yang berdiameter kecil, 10 (Kg/mm2) untuk poros dengan diameter besar, dan setengah dari harga-harga diatas untuk poros berputaran tinggi. 4.8
Perhitungan dan pemilihan bantalan
4.8.1 Menghitung Beban Ekuivalen Dinamis Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;135), besarnya beban ekuivalen dinamis radial dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Pr = X . V . Fr + Y . Fa Maka untuk mencari nilai Fr adalah : Fr
Ft 2
RA
347,44 2
2
44
2
69
= 350 Kg Untuk nilai (X = 0,56), (V = 1), (Y = 0, )dan (Fa) dapat dilihat (lampiran 7) Sehingga : Pr = 0,56 . 1 . 350 + 0 . 0 = 197 Kg 4.8.2 Bantalan pada poros Berdasarkan diameter poros 25 mm yang sesuai dengan putaran 600 rpm, maka menurut sularso (1997:143) dapat ditentukan jenis bantalan dengan nomor 6305, (lampiran 8) dengan ukuran rata – rata sebagai berikut : - diameter dalam bantalan
= 25 mm
- diameter luar bantalan
= 52 mm
- lebar bantalan
= 12 mm
- kapasitas beban dinamis spesifik = 1610 kg - kapasitas beban statis spesifik
= 1080 kg
Menurut sularso dan kiyokatsu suga (1997:136)
untuk membuktikan
bantalan dalam keadaan aman atau tidak , maka dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Cp = P
fh fn
Dimana : C = beban nominal dinamis spesifik (kg) P = beban dinamis (ketegangan sabuk = 34,4 kg ) fh = faktor ukuran bantalan fn = faktor kecepatan Faktor kecepatan bantalan fn
33,3 = n
1/ 3
33,3 = 300
1/ 3
= 0,48
70
Faktor umur bantalan fh
Lh = 500
1/ 3
dimana : Lh = umur bantalan 15000 (jam) menurut sularso dan kiyokatsu suga (1997 :137) untuk pemakain tidak terus menurus.
15000 fh = 500
1/ 3
= 3,10 Sehingga kapasitas beban dinamis spesifik (C) Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;136), dapat dihitung dengan persamaan berikut :
C
f h . Pr fn 3,10 . 197 0,48
= 1272 Kg 4.9
Perhitungan dan Pemilihan baut Baut merupakan elemen pengikat, disini akan ditentukan ukuran – ukuran
utama dari baut. Jumlah baut yang diinginkan untuk mengikat silinder penghancur berjumlah 2 buah baut jenis baut tanam dan 4 buah baut tembus. Dan baut untuk pengikat puli sebanyak 4 buah dan baut untuk pengikat bantalan sebanyak 4 buah. 4.9.1
Perhitungan baut pengikat puli
Menentukan diameter baut Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah : Bahan
: FC 20
Ulir
:M5
Pitch
: 0,8
Diameter utama
: 5 mm
71
Diameter efektif pitch(dp) : 4,480 mm Diameter inti(dc)
: 4,019 mm
Kedalaman ulir (h)
: 0,491 mm
Menentukan beban tarik aksial Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat dihitung dengan persamaan berikut :
a . d2
W
2
2.5 = 2
2
= 25 Kg Menghitung tegangan geser yang terjadi Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada baut dapat dihitung dengan presamaan berikut : Ft A
g
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan : P = 284 . d = 284 x 5 = 1420 Jadi
Ft = =
P.4
.d c 2 1420 x 4 3.14 x 4,019
2
= 111 kg/mm2 Luas penampang baut : A
d p dc 4
2
2
72
3,14 4,480 4,019 = 4 2
2
= 14 mm2 Maka :
g
111 14
= 7,9 Kg/mm2 4.9.2 Perhitungan baut pengikat bantalan Menentukan diameter baut Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah : Bahan
: FC 20
Ulir
: M 10
Pitch
: 1.75
Diameter utama
: 10mm
Diameter efektif pitch(dp) : 9,026 mm Diameter inti(dc)
: 8,160 mm
Kedalaman ulir (h)
: 0,920 mm
Menentukan beban tarik aksial Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat dihitung dengan persamaan berikut : W
a . d2 2
2 . 10 = 2
2
= 100 kg Menghitung tegangan geser yang terjadi Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada baut dapat dihitung dengan presamaan berikut :
73
Ft A
g
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan : P = 284 . d = 284 x 10 = 2840 Jadi
P.4
Ft = =
.d c 2 2840 x 4 3.14 x8,160 2
= 54,3 kgmm2 Luas penampang baut : A
d p dc 4
2
2
3,14 9,026 8,160 = 4 2
2
= 57,9 mm2 Maka :
g
54,3 57,9
= 0,93 Kg/mm2 4.9.3 Perhitungan baut pengikat flens Menentukan diameter baut Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah : Bahan
: S 20 C
Ulir
:M6
Pitch
: 1 mm
Diameter utama
: 6 mm
Diameter efektif pitch(dp) : 5,350 mm
74
Diameter inti(dc)
: 4,773 mm
Kedalaman ulir (h)
: 0,613 mm
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat dihitung dengan persamaan berikut :
a . d2
W
2
=
2.6 2
2
= 36 kg Menghitung tegangan geser yang terjadi Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada baut dapat dihitung dengan presamaan berikut : Ft A
g
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan : P = 284 . d = 284 x 6 = 1704 Jadi
Ft = =
P.4
.d c 2 1704 x 4 3.14 x 4,773 2
= 95,2kgmm2 Luas penampang baut : A
=
d p dc 4
2
2
3,14 5,350 4,773 4 2
= 20 mm2
2
75
Maka :
g
95,2 20
= 4,76 Kg/mm2 4.9.4 Perhitungan baut pengikat silinder Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah : Ulir
:M5
Pitch
: 0,8
Diameter utama
: 5 mm
Diameter efektif pitch(dp) : 4,480 mm Diameter inti(dc)
: 4,019 mm
Kedalaman ulir (h)
: 0,491 mm
Menentukan beban tarik aksial Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat dihitung dengan persamaan berikut : W
=
a . d2 2 2.5 2
2
= 25 Kg Menghitung tegangan geser yang terjadi Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada baut dapat dihitung dengan presamaan berikut :
g
Ft A
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan : P = 284 . d = 284 x 5 = 1420
76
Jadi
Ft = =
P.4
.d c 2 1420 x 4 3.14 x 4,019 2
= 111 kg/mm2 Luas penampang baut : A
d p dc 4
2
2
3,14 4,480 4,019 = 4 2
= 14 mm2 Maka :
g
111 14
= 7,9 Kg/mm
2
77
BAB KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Dari hasil perhitungan perencanaan mesin pencacah ikan untuk pembuatan
abon ini, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Daya motor
= 1 hp
putaran = 1200 rpm 2. Sabuk dan puli bahan puli
= besi cor
Tipe sabuk
= Tipe A
Diameter puli penggerak
= 95 mm
Diameter puli yang digerakan
= 190 mm
Panjang sabuk
= 1208 mm
Jumlah sabuk = 1 3. Mata pencacah Bahan mata pencacah
= stainless steel
Panjang
= 12 mm
Diameter
= 1,5 mm
Jumlah mata pencacah silinder A
= 3087 buah
Jumlah mata pencacah silinder B = 3150 buah 4. silinder pencacah bahan
= kayu
panjang
= 500 mm
diameter
= 100 mm
diameter lubang
= 25 mm
78
5. Roda gigi Bahan
= S 25 C
Jumah gigi
= 88
Diameter jarak bagi
= 110 mm
Tebal
= 20 mm
6. Poros Bahan
= S 45 C
Diameter poros
= 29 mm
Panjang poros = 700 mm 7. pasak bahan pasak
= S 20 C
panjang pasak
= 8 x7 mm
kedalaman alur pasak pada poros
= 4,0 mm
kedalaman alur pasak pada naf = 3,3 mm 8. bantalan jenis bantalan
= terbuka
nomor bantalan
= 6305
diameter dalam bantalan
= 25 mm
diameter luar bantalan
= 52 mm
lebar bantalan
= 12 mm
kapasitas beban dinamis = 1610 kg 9. Hopper bahan
= ST 37
tebal
= 1,5 mm
panjang = 522 mm 10. Saluran Keluar bahan
= ST 37
79
tebal
= 1,5 mm
panjang = 522 mm 11. Rangka
5.2
bahan
= ST 37
panjang
= 602 mm
lebar
= 310 mm
tinggi
= 697 mm
Saran –saran Setelah melihat hasil perencanaan dan perhitungan serta kesimpulan pada
perencanaan ini, maka penulis ingin memberikan beberapa saran:
Sebaiknya setiap perencanaan digunakan bahan yang sesuai dengan kebutuhan
Dalam pemilihan bahan sebagai komponen mesin diusahakan ukuran yang standar agar mudah diperoleh dipasaran
Sebaiknya para pengguana mesin selalu memperhatikan kondisi mesin sebelum pengoperasian maupun sesudah beroperasi
Agar tidak terjadi kesalahan dalam perencanaan , sebaiknya perhitungan dan penggmbaran dilakukan secara bersamaan
Dalam pemilihan ukuran dan dimensi sebaiknya disesuaikan antara satu komponen dengan komponen lainya.
80
DAFTAR PUSTAKA Geoger H. Martin (1984) Kinematika Dan Dinamika Teknik, Erlangga, Jakarta G. Takeshi Sato dan N.Sugiarto Hartanto (2000) Menggambar Mesin, Pradya Paramita. Jakarta http://id.wikipedia.org/wiki/tuna (23.03.2009) http://teknik-produksi.blogspot.com/2008/09/mesin-perkakas.html. Jam 00:00 wib tanggal 5 Maret 2009. Jensen, A. (1989). Kekuatan Bahan Terapan, Erlangga, Jakarta Khurmi Gupta. (1980). Machine Design, Eurashia Publisher, Nem. Jakarta Sularso dan Suga, Kiyokatsu. 1987. Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin. Pradya Paramita. Jakarta Verlag Dr.-ing.P.Christiani (1988). Formula Handbook, Deutsche Gesellschaft Fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), Eschborn, Germany www.damandiri.or.id/file/epirospiatiipbbab2.pdf (23.03.2009)
81
LAMPIRAN 1
82
LAMPIRAN 2
83
LAMPIRAN 3
84
LAMPIRAN 4
85
LAMPIRAN 5
86
LAMPIRAN 6
87
LAMPIRAN 7
88
LAMPIRAN 8
89
LAMPIRAN 9
90