LAPORAN PRAKTIKUM BIOFISIKA PERAMBATAN BUNYI MELALUI TULANG TENGKORAK
Disusun oleh : Dina Kurnia Sari
(16312241031)
Rica Nur Pratiwi
(16312241032)
Ismayanti Nursiyam
(16312244023)
JURUSAN PENDIDIKAN IPA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2019
A. Judul Perambatan Bunyi Melalui Tulang Tengkorak B. Tujuan 1. Menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala 2. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala C. Dasar Teori Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi pulsa listrik dan diteruskan ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran. Jadi, telinga berfungsi untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls yang kemudian akan dijalarkan ke pusat pendengaran di otak. Walaupun mekanisme mendengar tidak dapat mencakup seluruh gelombang bunyi, namun keterbatasan ini tidak merupakan hambatan bagi seseorang untuk dapat menggapi berbagai macam bunyi yang berasal dari lingkungannya. Campbell,dkk. (2004) menyatakan bahwa telinga dibagi dalam 3 bagian yaitu, telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
Gambar 5.1. telinga. Hubungan telinga tengah dengan pharinx melalui eustachii. Sumber: John.R Cameron dan James G.Skofronick (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran, 1996, hal 82)
Keterangan gambar: A = daun telinga
G = syaraf pendengaran
B = saluran telinga
H = round window
C = membran tympani
I = tuba eustachi
D = tulang telinga: maleulus, incus, stapes
J = pharinx
E = canalis semilunaris
K = ruang telinga tengah
F = oval window
Telinga luar : terdiri dari daun telinga dan kanal telinga; batas telinga luar yaitu dari daun telinga sampai dengan membarn tympani Telinga dalam : batas telinga tengah mulai dari membran tympani sampai dengan tuba eustachii. Terdiri dari 3 tulang kecil yaitu os malleulus os incus os stapes. Telinga dalam : berada di belakang tulang tengkorak kepala terdiri dari cochlea dan oval window.
a) Telinga bagian luar Berbagai binatang daun telinga berfungsi sebagai pengumpul energi bunyi dan dikonsentrasikan pada membran tympani. Pada manusia hanya menangkap 6-8 dB, sedangkan telinga gajah hanya berfungsi sebagai pelepas panas. Pada kanalis telinga terdapat malam (wax) yang berfungsi sebagai peningkatan kepekaan terhadap frekuensi suara 3000-4000 Hz, panjang kanalis 2,5 cm (λ/4 = 2,5 cm), λ = 10 cm. Membran tympani tebalnya 0,1 mm, luasnya 65 mm2, mengalami vibrasi dan diteruskan ke telinga bagian tengah yaitu tulang telinga (incus, malleulus dan stapes). Sarjana Van Bekesey melakukan studi tentang vibrasi membran tympani pada telinga cadaver yang mati. Kemudian melalui teknik fisika yang modern (mors bauer effect) diperoleh secara nyata getaran dari membran tympani yaitu nilai ambang pendengaran pada 3000 Hz ≈ 10-9 cm. Nilai ambang pendengaran terendah yang dapat didengar ̴ 20 Hz dan pada 160 dB membran tympani mengalami ruptur/pecah. b) Telinga bagian tengah Telinga bagian tengah terdiri dari 3 buah tulang yaitu malleulus, incus, dan stapes. Suara yang masuk itu 99,9% mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang ditransmisikan/diteruskan. Pada frekuensi kurang dari 400 Hz membran tympani bersifat “per” sedangkan pada frekuensi 4000 Hz membran tympani akan menegang. Telinga bagian tengah ini memegang peranan proteksi. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya tuba eustachii yang mengatur tekanan di dalam telinga bagian tengahm, di mana tuba eustachii mempunyai hubungan langsung dengan mulut. Pada beberapa penyebab sehingga terjadi perbedaan tekanan antara telinga bagian tengah dan dunia luar akan mengakibatkan penurunan sensitifitas tekanan (misalnya pada penderita
influensa); pada tekanan 60 mmHg yang mengalami membran tympani akan mengakibatkan perasaan nyeri. c) Telinga bagian dalam Telinga bagian dalam, bagian ini mengandung struktur spiral yang dikenal cochlea, berisikan cairan. Ukuran cochlea sangat kecil berkisar 3 cm panjang, terdiri dari 3 ruangan yaitu: ruangan vestibular merupakan tempat berakhirnya oval window; ductus cochlearis dan ruangan tympani berhubungan dengan atap spiral. Pada cochlea terdapat 8000 konduktor yang berhubungan dengan otak melalui syaraf pendengaran.
Gambar 5.2. Sumber: John.R Cameron dan James G.Skofronick (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran, 1996, hal 84)
stapes
Tekanan suara
oval window
vertibular
ruangan tympani
Gelombang bunyi yang masuk melalui oval window menghasilkan gelombang bunyi yang beripple (bergerigi) mencapai membran basiler oada ductus cochlearis. Disini gelombang tersebut diubah menjadi gelombang sinyal listrik dan diteruskan ke otak lewat syaraf pendengaran. Apabila bunyi yang didengar 10.000 Hz, syaraf yang terdapat pada organ corti tidak mengirim rangsangan 10.000 Hz ke otak melainkan mengirim rangsangan secara seri ke otak yang berupa gelombang bunyi yang sinusoidal. Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Tortora, 2009). Gangguan Pendengaran Ada 3 macam gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran karena konduksi (tuli konduksi), gangguan pendengaran sensorineural, gangguan pendengaran campuran. a) Gangguan pendegaran konduksi, dimana vibrasi suara tidak dapat mencapai telinga bagain tengah. Tuli semacam ini sifatnya hanya sementara oleh karena adanyaa malam/wax/serumen atau adanya cairan di dalam telinga tengah. Apabila tuli konduksi tidak pulih kembali dapat menggunakan Hearing aid (alat pembantu pendengaran). Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII) (Lalwani, 2008). Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut: 1.
Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga
sebelumnya. 2.
Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan
perubahan posisi kepala. 3.
Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).
4.
Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut
(soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis. 5.
Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran (Lalwani, 2008).
b) Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut: 1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita gangguan pendengaran jenis hantaran, khususnya otosklerosis. 2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi. 3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya (Soetirto, 2001). Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengundang nada tinggi (huruf konsonan) (Soetirto, 2001). Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang (Soetirto, 2001). c) Gangguan Pendengaran Jenis Campuran Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Liston, 1997). Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung
nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat Schwabach memendek (Bhargava, 2002). Tes Pendengaran Untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli syaraf dapat dilakukan tes pendengaran dengan mempergunakan: a) Tes suara berbisik, telinga dapat mendengar suara berbisik dengan tone/nada rendah. Misalnya suara konsonan, dan paralel: b, p, t, m, n pada jarak 5-10 m. Suara berbisik dengan nada tinggi mislanya suara desis/sibiland s, z, ch, sh, shel pada jarak 20 m. b) Tes garputala, untuk mengetahui secara pasti apakah penderita tuli konduksi atau persepsi, dapat mempergunakan garputala. Frekuensi garputala yang dipakai C128, C1024, C2048. Ada tiga macam tes yang mempergunakan garputala yakni: tes Weber, tes Rinne, dan tes Schwabach. Tes Webber Garputala C128, digetarkan kemudian diletakkan pada vertex dahi/puncak dahi verteks.
Gambar 5.3. Sumber: A.G. Likhachov,M.D. (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran, 1996, hal 86)
Pada penderita tuli konduktif (disebabkan wax atau otitis media) akan terdengar terang/baik pada telinga yang sakit. Misalnya telinga kanan yang terdengar baik/terang disebut Weber lateralisasi ke kanan.
Tes Rinne
Gambar 5.4. Sumber: A.G. Likhachov,M.D. (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran, 1996, hal 86)
tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang tengkorak dan udara. Garputala digetarkan (C128) kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus (di belakang telinga), setelah tidak mendengar getaran lagi garputala dipindahkan di depan liang telinga; tanyakan apakah masih mendengarnya.
Normal : Konduksi melalui udara 85-90 detik. Konduksi melalui tulang 45 detik. Tes Rinne positif (Rinne +) : Pendengaran penderita baik juga pada penderita tuli persepsi (saraf) Tes Rinne negatif (Rinne -) Pada penderita tuli konduksi dimana jarak waktu konduksi tulang mungkin sama atau bahkaan lebih panjang
Tes Schwabach Tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui verteks atau prosesus mastuideus penderita dengan konduksi tulang si pemeriksa. Cara melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi
disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Liston, 1997). Pada tuli konduksi, konduksi tulang penderita lebih panjang daripada sipemeriksa. Pada tuli saraf/persepsi konduksi tulang sangat pendek.
D. Alat & Bahan -
Garpu tala
-
Meteran
-
Stopwatch
-
Handphone
E. Langkah Kerja Percobaan 1 1. Menutup telinga kanan menggunakan tangan dan kedua mata ditutup 2. Memasang stopwatch di dekat telinga kiri, kemudian menjauhkan secara perlahan hingga bunyi tidak didengar oleh naracoba 3. Mengukur dan mencatat jarak antara stopwatch denan telinga kiri tersebut 4. Mendekatkan kembali arloji secara perlahan hingga naracoba mendengar suara lagi, kemudian mengukur jarak antara stopwatch denan telinga kiri tersebut 5. Mengulangi percobaan untuk telinga kanan 6. Membandingkan hasil antara kiri dan kanan Percobaan 2 1. Menggetarkan garputala 512Hz di atas naracoba sehingga naracoba akan mendengar suara garpu tala tersebut keras, lemah, lemdian tidak terdengar lagi. 2. Mencata waktu dari mulai mendengar hingga tidak mendengar suara lagi. 3. Saat suara garputala tidak terdengar lagi, penguji memindahkan garputala ke dekat telinga kanan sehingga naracoba akan mendengar suara lagi. 4. Mencata waktu dari mulai mendengar hingga tidak mendengar suara lagi. 5. Mengulagi percobaan ini sebanyak 3 kali kemudian mencatat hasil percobaan pada kertas. 6. Melakukan percobaan yang sama untuk telinga kiri. 7. Melakukan percobaan ini untuk Naracoba 2 dan Naracoba 3.
Percobaan 3 1) Menggetarkan garpu tala dan meletakkan di puncak kepala 2) Menutup telinga kanan dan mendengar telinga mana yang terdengar lebih nyaring 3) Melakukan prosedur percobaan yang sama untuk telinga kiri 4) Membandingkan hasil yang diperoleh untuk kedua telinga dan menyimpulkan hasil percobaan apakah naracoba tuli atau tidak. F. Data Hasil Percobaan 1 Naracoba
Naracoba 1
Naracoba 2
Naracoba 3
Telinga Kanan
Telinga Kiri
Bunyi Datang
Bunyi Pergi
Bunyi Datang
Bunyi Pergi
40
38
46
48,5
42
40
48,5
39,5
43
38
46,5
42,5
28
31
26
27
34
34,5
26
24
32
30
26
29,5
46
44
38
47
40
44
41
42
36
40
49
44
Percobaan 2 Naracoba
Naracoba 1
Naracoba 2
Naracoba 3
Telinga Kanan
Telinga Kiri
Waktu di atas
Waktu di samping
Waktu di atas
Waktu di samping
kepala (s)
telinga (s)
kepala (s)
telinga (s)
5,4
11,24
7
13,93
6,2
13,16
6,8
14,13
5,9
15,83
6,3
15,62
4,4
15,92
5,8
9,99
4,5
16,47
5,6
10,94
5,9
19,20
6,5
11,74
10,3
13,15
10,4
17,80
12,3
13,52
8,4
13,30
9,6
8,96
9,3
14,70
Percobaan 3 Naracoba
Naracoba 1
Naracoba 2
Naracoba 3
Telinga kanan ditutup
Telinga kiri ditutup
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
Keterangan: + : terdengar nyaring -
: tidak terdengar nyaring
G. Pembahasan Praktikum ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala, serta mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang tengkorak. Pengujian dilakukan dengan 2 macam tes; yaitu tes Rinne dan tes Weber. Sebelum dilakukan tes tersebut naracoba diuji kepekaan telinganya dengan diberikan tes bisik menggunakan suara detakan stopwatch pada Percobaan 1. Pengujian dilakukan dengan mencatat jarak ketika stopwatch tidak terdengar saat dijauhkan perlahan dari telinga, dan jarak ketika suara stopwatch terdengar kembali ketikda didekatkan ke telinga. Pengujian tersebut dilakukan bergantian pada telinga kanan maupun kiri. Semakin jauh jarak yang tercatat menunjukkan tingkat kepekaan telinga. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa tingkat kepekaan yang paling tinggi dan paling rendah pada telinga kanan berturut-turut adalah probandus naracoba 3 dan naracoba 2. Sedangkan tingkat
kepekaan yang paling tinggi pada telinga kiri adalah naracoba 1 dan tingkat kepekaan paling rendah pada telinga kiri pada naracoba 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tingkat kepekaan telinga tersebut antara lain human error dari praktikan, kondisi lingkungan yang kurang hening sehingga meng-intervensi suara stopwatch yang didengar, atau juga dimungkinkan karena memang adanya gangguan pendengaran. Ada dua macam gangguan hilang pendengaran yaitu karena tuli konduksi atau karena tuli syaraf/sensoriurneal. Untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli syaraf dilakukan tes pendengaran Rinne dan Weber. Percobaan 2 Tes Rinne ini bertujuan untuk membandingkan konduksi bunyi melalui tulang dan konduksi bunyi melalui udara. Selain itu tes ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah telinga naracoba dalam kondisi normal ataukah tuli syaraf atau tuli konduksi. Menurut Gabriel (1996:87) dalam Diktat Praktikum Biofisika (2018), mengatakan bahwa dalam keadaan normal konduksi bunyi/suara melalui udara 85-90 detik dan konduksi melaui tulang 45 detik. Tes Rinne dikatakan positif, apabila konduksi melalui udara duakali lebih besar dari konduksi melalui tulang tengkorak. Apabila tes rinne positif maka telinga dapat dikatakan dalam kondisi normal. Hal ini ditunjukan oleh data naracoba 1 pada telinga kanan dan kiri, seta pada naracoba 2 pada telinga kiri. Dari data tersebut dapat diketahui waktu konduksi udara (waktu bunyi terdengar saat garputala di samping telinga) 2 kali lebih besar dari pada waktu konduksi tulang (waktu bunyi terdengar saat garputala di atas telinga. Sedangkan pada telinga kanan naracoba 2, waktu konduksi udara (waktu bunyi terdengar saat garputala di samping telinga) lebih dari 2 kali dari pada waktu konduksi tulang (waktu bunyi terdengar saat garputala di atas telinga. Pada naracoba 2 bunyi yang terdengar melalui konduksi udara 3-4 kali lebih besar dari konduksi melalui tulang tengkorak. Sehingga tes rinne dikatakan negatif. Menurut Shabrina (2018) Gangguan pendengaran sensorineural, suara konduksi udara terdengar lebih lama dari konduksi tulang, tapi mungkin tidak dua kali lebih lama. Sehingga dapat disimpulkan naracoba 2 pada telinga kanan mengalami ganguan pendengaran sensorineural atau tuli syaraf. Pada naracoba 3 baik pada telinga kanan maupun kiri bunyi yang terdengar melalui konduksi udara kurang dari 2 kali lebih besar, atau kurang dari 2 kali dari konduksi melalui tulang tengkorak. Dari data tersebut dapat dikatakan tes rinne negatif. Menurut Shabrina (2018), Ganguan pendengaran konduktif, suara konduksi tulang terdengar
lebih lama dari konduksi udara. Sehingga dapat dikatakan mengalami gangguan pendengaran konduktif atau tuli konduksi. Data percobaan ini tidak sepenuhnya valid dan reliabel, karena ada banyak faktor yang mempengaruhi dalam pengambilan data, diantaranya adalah tempat pengambilan data yang kurang kondusif, atrinya masih ada suara yang masuk dari luar. Selalin itu karena naracoba kurang fokus dalam mendengarkan bunyi. Percobaan 3 Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis tengah kepala. Apabila bunyi garputala terdengar pada salah satu telinga disebut Weber laterasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan kearah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada laterasi (Liston, 1997). Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, diketahui bahwa ketiga naracoba mengalami laterasi yang ditandai dengan suara garputala yang terdengar lebih nyaring pada telinga yang ditutup daripada telinga yang terbuka berdasarkan tes Weber. Banyaknya suara yang masuk secara bersamaan pada telinga menyebabkan intepretasi terhadap bunyi yang tidak jelas. Sehingga bunyi akan lebih dapat didengar apabila telinga ditutup. Hal ini disebabkan suara tersebut merambat langsung melalui tulang tengkorak.
H. Kesimpulan 1. Kemampuan individu mendengar suatu sumber bunyi yang menjauh akan lebih lama didengar (jarak bunyi yang dapat didengar lebih jauh) dibandingkan dengan sumber bunyi yang mendekat (jarak yang dapat didengar lebih pendek). 2. Percobaan Rinne dikatakan positif apabila suatu sumber bunyi dekat didengar dengan telinga dan hal tersebut akan menyebabkan suara terdengar jelas dan dapat didengar dalam waktu yang lama. Sebaliknya dikatakan negatif apabila sumber suaranya jauh dan hanya sebentar saja dapat didengar oleh telinga. 3. Banyaknya suara yang masuk secara bersamaan pada telinga menyebabkan interpretasi terhadap bunyi tidak jelas. Sehingga bunyi akan lebih dapat didengar apabila telinga ditutup. Hal ini disebabkan suara tersebut merambat langsung melalui tulang tengkorak.
DAFTAR PUSTAKA Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2000. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3. (Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga. Djukri dan Heru N. 2015. Petunjuk Praktikum Biologi Lanjut. Yogyakarta: PPs UNY. Gabriel. (1996). Fisika Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2007. The Sense of Hearing Dalam: Textbook of Medical Physiology. 11th ed. India: Saunders Elsevier: 651-662. Guyton,A.C & Hall, J.E., 1997. Human Phsygology and Mechanism od Diases. Philadelphia: Elsevier Sauders. Lalwani, A.K., 2008. Disoreders of Smell, Taste and Hearing Dalam: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. US: Mc Graw Hill: 199-204. Liston, S.L., dan Duvall, A.J., Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam: Adams, G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Shabrina, Andhisa. 2018. Mengenal Tes Rinne dan Tes Webber untuk Mendeteksi Gangguan Pendengaran. Diakses dari : https://hellosehat.com/hidup-sehat/tipssehat/tes-rinne-weber-gangguan-pendengaran/ diakses pada : Minggu, 24 Februari. Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628. Diktat biofis