TRANSFORMASI PROSES PEMBUATAN, POLA HUBUNGAN KERJA DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PADA INDUSTRI PERAHU PINISI DI SULAWESI SELATAN (Studi Kasus di Kelurahan Tanalemo Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba) Oleh : Andi Adri Arief 1) Resa Dian Riandy Nurdin2) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana transformasi proses pembuatan, pola hubungan kerja serta distribusi pendapatan pada kelompok kerja yang ada pada industri perahu pinisi di Kelurahan Tana Lemo. Jenis penelitian studi kasus dengan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa permintaan pasar yang semakin besar terhadap perahu pinisi menyebabkan terjadinya tansformasi proses pembuatan dengan tujuan agar dapat lebih efektif dan efisien dalam proses pembuatannya. Sementara pola hubungan kerja yang terbentuk memunculkan tiga status kedudukan dalam organisasi kerja yaitu; jurangan, ponggawa dan sawi. Adapun distribusi pendapatan dalam kelompok kerja berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan bersih diterima oleh juragan setelah dikurangi 10 % dari nilai kontrak untuk upah ponggawa, 20 % dari nilai kontrak untuk bonus prestasi kerja, sisa nilai kontrak yang ada dibagi dengan jumlah hari kerja kemudian dibagi dengan jumlah sawi sebagai nilai upah sawi perhari. PENDAHULUAN Melalui perkembangan dalam jangka waktu panjang sampai sekarang, salah satu pekerjaan atau mata pencaharian yang dijumpai di dalam masyarakat maritim di Indonesia adalah pekerjaan membuat perahu, baik untuk angkutan maupun untuk penangkapan ikan. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari kondisi geografis yang sebagian besar (70 %) adalah laut dan memiliki pulau yang sangat banyak sehingga selain pemanfaatan sumberdaya perikanan, konteks pelayaran pun menduduki posisi sentral dalam lalulintas antar pulau, negara bahkan antar benua (Dahuri, 2002).
1)
Contact Person :
Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si. Dosen Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245. Email :
[email protected]
1
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa orang Bugis-Makassar telah terkenal sebagai pelaut yang tangkas dan berani mengarungi lautan. Mereka sudah mengenal pantai Malaysia, Aceh, Borneo, Jambi, Bonts, Nusatenggara, Maluku dan Australia yang dikenali dengan istilah pasompe (Abu Hamid, 2004). Konteks ini memperlihatkan bahwa sebagai suku bangsa pelaut, orang Bugis, Makassar dan Mandar, telah mampu menciptakan teknologi pelayaran yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan. Bahkan beberapa ciptaan perahu layar yang terkenal dan banyak diminati hingga dewasa ini di dunia internasional seperti jenis perahu layar tipe ‘pinisi’ dan ‘lambo’karena kekhasannya. Salah satu sentra produksi pembuatan perahu layar jenis pinisi di Sulawesi Selatan adalah kelurahan Tanalemoh Kabupaten Bulukumba. Bahkan komersialisasi perahu pinisi melalui pesanan dari luar negeri telah hadir di Bontobahari sejak akhir tahun 1980-an. Dalam perkembangannya pesanan perahu oleh pembeli baik dari dalam maupun dari luar negeri semakin meningkat, sehingga Tana Beru dan Tana Lemo dengan sendirinya telah menjadi pusat dari pembuatan perahu pinisi di Sulawesi Selatan. Data Kopinkra Tanalemo (1999) disebutkan bahwa jumlah investasi infrastruktur di Tana Beru dan Tana Lemo diperkirakan mencapai Rp. 647 juta, mencakup peralatan listrik, peralatan pertukangan, bangunan bantilang, dan sarana angkutan dalam mendukung besarnya permintaan pesanan perahu pinisi dari berbagai negara. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana transformasi proses pembuatan, pola hubungan kerja serta distribusi pendapatan pada kelompok kerja yang ada pada industri perahu pinisi di Kelurahan Tana Lemo dalam konteks kekinian . METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai Januari 2009 di kelurahan Tanalemo Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba. Strategi untuk mencapai tujuan penelitian menggunakan metode studi kasus (Yin, 1996) dengan pendekatan kombinasi metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif melalui pilihan model dominant-less dominant design dimana pendekatan kualitatif sebagai pendekatan utama (qualitative dominant) dan pendekatan kuantitatif sebagai pendekatan pendukung (quantitative-less dominant) (Creswell, 1994). Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan informan dan quisioner yang diberikan kepada responden. Sementara untuk data sekunder diperoleh dari instansi terkait, laporan penelitian, literatur, dan karya ilmiah. Data yang telah diperoleh diolah dengan pendekatan induktif, melalui tahap reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis kuantitatif digunakan untuk melihat pendapatan bersih dalam pembuatan satu unit perahu dengan menggunakan rumus pendapatan (Soekartawi, 1995), yaitu :
2
Pd = TR – TC Dimana : Pd = Pendapatan (Rp) TR = Total Revenue (Total Penerimaan) (Rp) TC = Total Cost (Total Biaya) (Rp) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kelurahan Tanalemo sebagai Wilayah Penelitian Kelurahan Tanalemo sebagai lokasi penelitian, wilayah daratnya didominasi dataran rendah. Dari garis pantai hingga 2 kilometer ke darat, dataran rendah berisi lokasi pembuatan perahu, permukiman, pohon kelapa, dan kebun palawija. Terdapat bukit berbatu yang ditumbuhi pohon jati dan kayu bitti serta perdu, semakin kedarat semakin berbukit. Kelurahan Tanalemo berjarak kurang lebih 26 km dari ibukota kabupaten Bulukumba, dapat ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 30-45 menit. Luas wilayah kelurahan Tanalemo sekitar 25,14 Km2. Secara administrasi; sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores; sebelah timur berbatasan dengan Desa Bira; sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Tanaberu; sebelah utara berbatasan dengan Desa Ara. Pantai Tanalemo, Tanaberu, dan Sapolohe merupakan daratan yang berbatasan langsung dengan laut Flores dan menjadi kawasan ibukota kecamatan Bontobahari. Kelurahan TanaLemo memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.948 jiwa yang didominasi pekerjaan secara berturut-turut dibidang pertanian (40%), perikanan (30%), pengrajin (10%) (BPS Bulukumba, 2007).
B. Transformasi Proses Pembuatan Perahu Pinisi Pembuatan perahu pinisi memiliki jangka waktu pembuatan yang tidak singkat, untuk perahu pinisi dengan ukuran 70 ton dibutuhkan waktu sekitar 6-8 bulan. Namun yang menjadi menarik bahwa pembuatan perahu pinisi dalam konteks kekinian telah banyak mengalami pergeseran (transisi) atau mengalami trasformasi dalam proses pembuatannya, mulai dari pergeseran nilai/kepercayaan dan tranformasi kemampuan peralatan (teknologi). Pembuatan perahu pinisi pada masa lalu (sebelum era 1990-an), masalah ritual sangat disakralkan, makna integratif dari kepercayaan mengenai mitos, ritus, fetis, magic dan kultus terhadap kegiatan pembuatan perahu pinisi telah menjadi motivasi tersendiri yang tertafsirkan sebagai kekuatan pelengkap bagi keahlian yang dilaksanakan dengan baik dan memberikan “pengaruh psikologis” yang membuat keyakinan akan keberhasilan dari pekerjaan yang dilakukan atau semacam bimbingan alamiah yang diperoleh dari kepercayaan yang diyakininya (Malinowski, 1922 dalam Smellser, 1987; Sallatang; Arief, 2007; Saenong, 2007) .
3
Tabel 1. Upacara-Upacara Pembuatan Perahu Pinisi sebelum Tahun 1990-an. Komponen Kegiatan • Penentuan hari pencarian kayu (bahan baku)
Nilai dan Norma Hari kelima atau ketujuh pada bulan berjalan
Makna Integratif
•
Angka lima (naparilimai dalle’na)
Pengaruh Psikologis • rezeki sudah di tangan
• selalu dapat Angka tujuh rezeki (natujuangngi dalle’na) Upacara annakbang Untuk mendapatkan mengusir roh kalabiseang, persetujuan kepada penghuni kayu yang menyembelih seekor pohon yg ingin di ditebang ayam sebagai ditebang persembahan Upacara annattara, Balok lunas bagian Simbol suami yang potongan ujung depan (simbol siap melaut untuk lunas tidak boleh lelaki), bagian mencari nafkah dan menyentuh tanah, belakang simbol istri yg setia bagian depan wanita. menunggu rezeki. dibuang ke laut, bagian belakang disimpan dirumah Upacara ammosi, Simbol “kelahiran Penyerahan sang pemberian pusat bayi” perahu bayi perahu kepada perahu Nabi Sulaeman (penguasa bumi) dan Nabi Haidir (penguasa laut)
•
•
Penentuan pohon yang ditebang
•
Pemotongan lunas
•
Penetuan pusat perahu
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2008. Sementara peralatan yang dimiliki oleh para pembuat perahu pada masa lalu masih terbatas kepada peralatan tradisional seperti : (1). Gergaji, (2). Bor kecil, (3). Bor tangan, (4). Palu-palu, (5). Penjepit, (6). Tali patron, (7). Pahat kecil, (8). Palu kayu, (9). Syehmat, (10). Kampak. Dan lain-lain. Selain peralatan juga dikenal bahanbahan tradisional seperti (1). Pasak kelli sebagai penyambung antar papan, (2). Pasak tulang sebagai penghubung papan dengan tulang dalam pembuatan rangka perahu, (3). Pasak lunas sebagai lunas dengan papan pengikat, (4). Lem, Bahan dari kulit kayu dan air yang ditumbuk, berfungsi merapatkan sambungan papan secara permanent (5). Lepa, dempul dari campuran kapur dan minyak kelapa lalu dikentalkan, berfungsi menutup lubang papan. Namun seiring semakin meningkatnya pesanan pembuatan perahu pinisi khususnya dari mancanegara dengan sistem kontrak kerja termasuk waktu penyelesainan yang diawali sekitar akhir tahun 1990-an hingga saat ini, maka proses pembuatan dan peralatan yang digunakan sudah mulai banyak berubah untuk mengefektifkan dan mengefisienkan waktu pembuatan. Demikian halnya dengan
4
ritual-ritual (upacara) dalam pembuatan perahu sudah mulai banyak pula ditinggalkan. Selain pengaruh agama Islam yang telah dianut dengan baik, pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa perubahan-perubahan pada nilai kepercayaan yang cenderung semakin menipis. Adakalanya dikalangan masyarakat pembuat perahu, seseorang atau kelompok melakukan pemujaanpemujaan secara diam-diam dan bahkan sudah ada yang malu untuk melakukan hal seperti termaksud diatas. Namun demikian, tidak berarti nilai-nilai dasar atau keyakinan dasar dari kepercayaan nelayan terhadap kekuatan gaib yang terdapat di alam ini telah berubah. Tabel 2. Gambaran perubahan pada peralatan kerja, nilai dan norma budaya seta organisasi kerja pada industri pembuatan perahu Pinisi di Kelurahan Tanalemo No 1.
2.
3.
Perubahan Tradisional Modern • Bor tangan • Bor listrik • Ketam tangan • Ketam listrik • Gergaji tangan • Gergaji listrik • Amplas manual • Amplas listrik • Pasak • Baut dan Mur • Lem tradisional • Lem sintesis Nilai dan norma • Ritual • Kayu dibeli langsung budaya penebangan • Tergantung pohon keinginan pemesan • Ritual peluncuran perahu Organisasi kerja Ponggawa, sawi Juragan, Ponggawa, dan sawi Aktifitas/ Komponen Peralatan kerja
keterangan
Efisiensi kerja 10 : 1 Efektifitas dan efisiensi
Semenjak ada pemesan luar negeri
Sumber : Data primer yang telah diolah, 2008
C. Pola Hubungan Kerja dalam Industri Pembuatan Perahu Pinisi
•
Sistem Perekrutan Tenaga Kerja.
Perekrutan tenaga kerja dalam pembuatan perahu pinisi berawal dari perekrutan ponggawa oleh pengusaha perahu (juragan) yang sifatnya temporer, karena ikatan kerja antara pengusaha dan ponggawa hanya bersifat kontrak, yaitu hubungan kerja yang terbatas kepada jangka waktu pekerjaan. Perekrutan ponggawa atau kepala tukang oleh pengusaha perahu didasarkan kriteria; antara lain : (1). Kemampuan dalam membuat perahu, (2). Kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaan secara baik dan rapi, (3). Kemampuan dalam menyelesaikan perahu tepat waktu (4) kemampuan memimpin kelompok kerja serta (5) kemampuan Magic.
5
Selain kemampuan yang disebutkan diatas tidak sedikit juga kasus perekrutan ponggawa karena faktor kedekatan emosional, seperti sering-tidaknya bekerjasama dengan pengusaha yang akan merekrutnya serta adanya hubungan kekeluargaan diantara mereka (ponggawa dengan pengusaha perahu atau juragan). Perekrutan tenaga kerja teknis/sawi dalam industri pembuatan perahu pinisi sepenuhnya diserahkan kepada ponggawa, hal ini dimaksudkan karena ponggawa yang memiliki kompetensi dalam menilai tenaga kerja yang akan diajak bekerjasama dalam teknis pembuatan perahu. System perekrutan yang dilakukan ponggawa untuk merekrut sawi sangat terbuka, tidak hanya terbatas kepada system perekrutan berdasarkan pertimbangan kerabat atau keluarga, tetapi juga pertimbangan kemampuan teknis sawi dalam pembuatan perahu, biasanya dalam perekrutan orang luar selain keluarga, ponggawa mendapat rekomendasi dari sawi atau kenalannya sesama ponggawa.
• Pembagian Peran dan Fungsi dalam Pembuatan Perahu Industri pembuatan perahu di kelurahan Tana Lemo telah memiliki organisasi manajemen berdasarkan konstruksi pola hubungan kerja pada masa lalu yang telah mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan perubahan dan dinamika industri pembuatan perahu itu sendiri. Kelompok kerja (working group) ini bersifat fungsional yang mempunyai kesadaran kelompok yang ada kalanya cukup kuat. Dapat dikatakan bahwa keanggotaan dalam kelompok pembuatan perahu di kelurahan ini bersifat terbuka dan hubungan sesama anggota kelompok bersifat fungsional dari aktivitas khusus yang dilakukan secara teratur, yang memenuhi satu atau lebih kebutuhan pokok. Secara skematik gambaran secara umum fungsi dan peranan kelompok pembuat perahu pinisi di Kelurahan Tana Lemo dapat dilihat sebagai berikut. Kelompok Kerja Industri Pembuat Perahu Pinisi Sawi
Juragan Ponggawa • • • •
Mengerjakan segala Menyediakan bahan pekerjaan teknis dalam baku pembuatan perahu Bernegoisasi dengan • Merekrut Sawi pemesan perahu • Memimpin Merekrut ponggawa pekerjaan teknis di lokasi pembuatan Menyiapkan segala kebutuhan modal dan • Tokoh yg memiliki teknis pembuatan kemampuan Magic perahu Gambar 1. Fungsi dan Peranan Kelompok Kerja Pembuatan Perahu Pinisi
6
Secara terinci pembagian peran dan fungsi yang dimaksud adalah sebagai berikut : (1) Pengusaha perahu (juragan). Meskipum posisi dari pengusaha perahu berada pada jabatan tertinggi, kewenangannya hanya sebatas menyediakan modal dan peralatan teknis. Juragan tidak boleh mencampuri urusan teknis pembuatan, kalaupun pengusaha sangat terdesak sekali untuk penyelesaian masalah keterlambatan penyelesaian atau adanya masalah dengan sawi maka harus lewat izin dari ponggawa untuk mengambil keputusan mengenai masalah teknis pekerjaan atau hal yang berhubungan dengan sawi. Tugas atau peran dari seorang pengusaha hanya terbatas kepada negoisasi dengan pemesan dalam hal ini pembeli perahu baik yang lokal maupun pembeli dari luar negeri, pembelian bahan baku, mengatur keuangan/membuat pembukuan pengeluaran, menyiapkan dana tambahan jika sewaktu-waktu dibutuhkan, mengelola ketersediaan bahan baku mulai dari awal sampai penyelesaian pekerjaan. (2). Ponggawa (pemimpin kelompok). Dalam pembuatan perahu ponggawa memiliki fungsi dan peran sebagai berikut : pimpinan teknis dalam pembuatan perahu, mengontrol kerja sawi, menilai hasil kerja sawi, membagikan upah sawi, mempersiapkan pekerjaan yang akan dilakukan oleh sawi, sebagai guru bagi sawi di lokasi pembuatan, mendesain bentuk dan besar kapal sesuai pesanan, dan sebagai tokoh yang memiliki kemampuan magic, untuk dipergunakan dalam upacara pembuatan perahu dan peluncuran perahu. (3) Sawi (buruh atau pekerja). Sawi adalah pekerja teknis dalam pembuatan perahu yang berada dalam instruksi dan pengawasan kerja oleh ponggawa. Sawi menempati strata pekerjaan yang paling dibawah karena posisinya..Tugas dan peran sawi sendiri adalah terlibat langsung dalam teknis pembuatan perahu mulai dari awal hingga selesai. Tahapan pekerjaan tersebut adalah : (a). pemasangan lunas, (b). pemasangan linggi depan, (c) pemasangan linggi belakang, (d). susun papan, (e). pemasangan tulang kapal, (f). pemasangan gading kapal, (g). lepa, (h). pemasangan kalang geladak, (i). pemasangan balok-balok pinggir, (j). pembuatan dek, (k). pembuatan kamar. Spesialisasi seorang sawi tidak tergambarkan dengan jelas, artinya pekerjaan yang dilakukan oleh sawi tidak berdasarkan dengan spesialisasi kerja. Ini terjadi karena didalam pembuatan perahu seluruh sawi dituntut untuk terampil dalam segala bentuk pengerjaan perahu. Konteks ini memperlihatkan bahwa Diferensiasi fungsi dalam kelompok kerja khususnya bagi kalangan sawi tidak tercipta karena tidak adanya pembagian secara khusus bahwa sawi ini hanya mengerjakan pemotongan papan, yang satunya lagi hanya mengerjakan pemboran. Semuanya tergantung dari perintah dari ponggawa. Sehingga sawi akan selalu siap dengan pekerjaan yang diberikan oleh Ponggawa, Meskipun peralatan teknologi modern mulai diintroduksi dalam kegiatan pembuatan perahu. Konteks ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masyarakat nelayan seperti yang ditulis oleh Arief (2007) bahwa dengan masuknya modernisasi dalam kegiatan penangkapan ikan menyebabakan tejadinya diferensiasi fungsi dikalangan sawi, sawi tidak dapat lagi digeneralisasi secara umum, tetapi segalanya telah tercipta pembagian-pembagian peran yang tergambarkan dalam sistem bagi hasil.
7
Secara struktural dapat digambarkan secara skematik jalinan hubungan organisasi pembuatan perahu pinisi di Kelurahan Tana Lemo sebagai berikut :
Ponggawa (Pemimpin Kelompok Kerja)
Juragan (Pengusaha Perahu)
Keterangan :
Sawi (Pekerja) Hubungan struktural Hubungan fungsional
Gambar 14. Skema Jalinan Hubungan Kerja Organisasi Kerja Pembuatan Perahu Pinisi di Kelurahan Tana Lemo D. Analisis Pendapatan Industri Pembuatan Perahu Pinisi Gambaran kongkrit mengenai analisis pendapatan industri pembuatan perahu pinisi, ditampilkan melalui teknik life-history (Koentjaraningrat, 1994) yang dipadukan dengan perspektif teori dengan meminta HBM seorang juragan sebagai key informan menceritakan pengalaman kelompok kerja yang dipekerjakannya, kemudian disarikan dan hanya mengambil bagian-bagian tertentu yang memiliki keterkaitan dengan analisis pendapatan dan lain-lain sebagainya. Uraian kasus HBM, perahu pinisi yang dibuat berukuran panjang 40 meter, lebar 11,25 meter, dan tinggi 5,5 meter, kapasitas 800 ton. Nilai borongan kepada ponggawa dengan jumlah sawi 22 orang sebesar Rp. 200.000.000. Sementara, nilai kontrak HBM dalam pembuatan perahu dengan pemesan dari Negara China sebesar Rp. 1.500.000.000., Adapun analisis pendapatan dari pembuatan perahu tersebut secara terinci dimulai dari investasi, biaya dan keuntungan teruraikan sebagai berikut : 1. Investasi Jenis dan biaya investasi yang dikeluarkan oleh HBM pada pembuatan perahu dapat diihat pada tabel 3.
8
Tabel 3. Jenis Investasi dari Usaha Pembuatan Perahu Pinisi Ukuran 800 Ton No 1. 2. 3. 4. 5. 6 7 8 9
Nama Alat Mesin Sensor Mesin Kattang Mesin Gurinda Mesin Profil Mesin Bor Palu-palu Gergaji manual Kampak Pahat
Jumlah 3 8 3 2 6 30 20 20 20 Nilai total investasi
Harga/Satuan (Rp) 10.000.000 625.000 600.000 350.000 1.000.000 20.000 30.000 100.000 20.000
Nilai Total (Rp) 30.000.000 5.000.000 1.800.000 700.000 6.000.000 600.000 600.000 2.000.000 400.000 47.100.000
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2008 2. Penerimaan Jumlah nilai kontrak pembuatan perahu yang disepakati pada negoisasi awal dalam pembuatan perahu pinisi dengan ukuran perahu 800 ton yang dikerjakan oleh HBM dan kelompok kerjanya adalah sebesar Rp.1.500.000.000., 3. Biaya Secara terinci jenis biaya yang dikeluarkan oleh HBM dan kelompok kerjanya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. • Biaya Tetap Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, dengan demikian biaya penyusutan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Nilai Penyusutan Investasi dari Pembuatan Perahu Ukuran 800 Ton . No.
Jenis Investasi
Nilai Penyusutan (Rp)
1.
Mesin Sensor
6.000.000
2.
Mesin Kattang
1.250.000
3.
Mesin Gurinda
600.000
4.
Mesin Profil
350.000
5.
Mesin Bor
6.
Palu-palu
200.000
7.
Kampak
400.000
8.
Pahat
100.000
9.
Gergaji manual
300.000
10.
Pajak lahan
1.500.000
40.000
9
Total nilai biaya tetap Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2008
10.740.000
•
Biaya Variabel Biaya variabel dikeluarkan selama pembuatan perahu pinisi oleh HBM dan kelompok kerjanya dapat dilihat pada tabel 8 di bawah ini : Tabel 5. Jenis dan Biaya Variabel dari pembuatan perahu ukuran 800 ton No Jenis Pengeluaran Jumlah Harga/satuan Nilai Total 1. Kayu 376 Kubik 2.500.000 815.000.000 2. Lunas 1 Batang 25.000.000 25.000.000 3. Setting 1 Batang 7.500.000 7.500.000 4. Baut 7 Ton 17.857.000 125.000.000 5. Baut Stainlees 25 Batang 400.000 10.000.000 6. Tali Nilon 150 Kg 15.000 2.250.000 7. Barru Gallang 300 Kg 10.000 3.000.000 8. Barru Bambu 500 Batang 15.000 7.500.000 9. Lem 120 Pasang 95.000 10.400.000 10. Ongkos Pekerja 22 Orang/tahun 200.000.000 11. Konsumsi 365 Hari 150.000 54.750.000 12. Transportasi 365 Hari 100.000 36.500.000 13. Listrik 12 Bulan 250.000 3.000.000 14. Air 12 Bulan 250.000 3.000.000 15. Upacara pembuatan 1 kali 750.000 750.000 16. Paku 100 Kg 20.000 2.000.000 Jumlah 1.263.150.000 Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2008 •
Total Biaya Total biaya adalah biaya tetap ditambah dengan biaya variabel yang digunakan oleh HBM dalam pembuatan perahu dengan ukuran 800 ton. Tabel 6. Nilai total biaya dari pembuatan perahu ukuran 800 ton No Jenis Biaya Nilai (Rp) 1 Biaya Tetap 10.740.000 2 Biaya Variabel 1.263.150.000 Total Biaya 1.273.890.000 Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2008
• Perolehan Pendapatan Usaha Pembuatan Perahu dengan Ukuran 800 Ton Pendapatan yang diperoleh HBM dalam usaha pembuatan perahu dengan ukuran 800 ton dapat dilihat pada tabel 7.
10
Tabel 7. Nilai total keuntungan dari pembuatan perahu ukuran 800 ton No Jenis Biaya Nilai (Rp) 1 Total penerimaan ( TR ) 1.500.000.000 2 Total Biaya ( TC ) 1.273.890.000 Keuntungan ( TR – TC ) 226.110.000 Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2008 E. Distribusi Pendapatan Industri Pembuatan Perahu Pinisi Dalam pembuatan perahu pinisi telah disepakati mengenai aturan dalam pembagian pendapatan atau distribusi pendapatan. Sistem bagi hasil (sharing production) disepakati dalam bentuk kesepakantan yang tidak tertulis yang dilandasi dengan kepercayaan (trust) bagi masing-masing pihak. distribusi pendapatan berdasarkan peran dan status dari masing-masing pihak yang terlibat dalam industri pembuatan perahu pinisi, dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Distribusi Pendapatan dari Masing-Masing Status Pekerjaan dari Pembuatan Perahu Pinisi Status Pekerjaan Pendapatan Keuntungan yang diperoleh oleh juragan adalah keuntungan Juragan bersih dari pembuatan perahu pinisi tersebut Keuntungan yang diperoleh oleh ponggawa dalam Ponggawa pembuatan perahu adalah 10 % dari nilai kontrak upah borongan Keuntungan yang diperoleh sawi dalam pembuatan perahu adalah sisa dari nilai kontrak upah borongan setelah Sawi dikeluarkan 10 % untuk upah ponggawa dan 20% untuk prestasi kerja. Sumber. Data primer yang telah diolah, 2008 Secara kongkrit distribusi pendapatan dari masing-masing status pekerjaan dari usaha pembuatan perahu pinisi oleh HBM dan kelompok kerjanya dapat dilihat sebagai berikut : 1. Juragan (Pemilik Usaha) Keuntungan yang diperoleh oleh juragan (HBM) adalah keuntungan bersih yaitu sebesar Rp. 226.110.000 nilai keuntungan dari juragan ini diperoleh setelah nilai kontrak yang disepakati dikurangi dengan nilai total biaya yang dikeluarkan selama pembuatan perahu dari mulai persiapan hingga selesai. 2. Ponggawa (Pemimpin Kelompok Kerja) Pembagian antara ponggawa dan sawi sendiri mempunyai aturan yang tersediri, dimana dalam niali upah borongan yang telah disepakati akan dikeluarkan 10 % dari nilai kontrak borongan pekerja untuk ponggawa setelah itu dikeluarkan lagi biaya sebesar 20 % untuk nilai prestasi kerja (bonus untuk sawi) dan sisa dari nilai itu adalah gaji dari para sawi sebagai anggota kelompok kerja.
11
Dalam pembuatan perahu dengan ukuran 800 ton ponggawa mendapatkan keuntungan 10 % dari nilai upah borongan dalam pembuatan perahu tersebut. Keuntungan dari ponggawa adalah sbesar : 10 PD = x 200.000.000 = Rp. 20.000.000 100 Jadi keuntungan bersih ponggawa dalam pembuatan perahu ini sebesar Rp. 20.000.000 nilai pembagian 10 % dari nilai kontrak ini memang sudah menjadi tradisi dari adapt pembuatan perahu, dimana kesepakatan tidak tertulis ini dilakukan oleh semua industri pembuatan perahu di daerah ini. 3. Sawi (Buruh Pekerja) Sawi sebagai strata paling rendah dalam pola hubungan kerja dalam industri pembuatan perahu memang mendapatkan penghasilan yang paling sedikit dibandingkan dengan juragan dan ponggawa. Dalam pembagian setelah dikeluarkan 10% untuk ponggawa yaitu sebesar Rp. 20.000.000, maka yang tersisa sebesar Rp. 180.000.000, setelah itu dikeluarkan lagi 20% untuk bonus prestasi kerja yaitu sebesar Rp. 40.000.000, maka sisa dari nilai kontrak itu tinggal berjumlah Rp. 140.000.000. maka dimulai penghitungan untuk upah sawi yaitu 140.000.000 dibagi dengan lama pengerjaan yaitu 365 hari maka nilai yang didapat sebesar Rp. 383.561,64, ini adalah nilai upah untuk 22 orang sawi dalam satu hari, maka nilai ini kemudian dibagi lagi dengan jumlah sawi sebanyak 22 orang dan didapat nilai upah setiap orang sawi perhari sebesar Rp. 17.434,62. seandainya saja kita menghitung sawi masuk kerja terus selama satu tahun maka upah perorang sawi dalam pembuatan perahu tersebut dengan lama pekerjaan 1 tahun adalah sebesar Rp. 6.363.636,364 nilai ini dihitung dengan asumsi bahwa ke 22 sawi masuk kerja terus selama 365 hari, dan seandainya ada sawi yang tidak masuk kerja maka upahnya yang hari itu akan dimasukkan ke dalam simpanan prestasi kerja, yang diamana bonus prestasi kerja ini akan diberikan kepada sawi-sawi yang dianggap memiliki keterampilan yang baik,kedisiplinin,kepatuhan dan kerajinan. Pendapatan dari sawi ini belum termasuk dari bonus kerja yang didapatkan oleh sawi yang berprestasi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Permintaan pasar yang semakin besar terhadap perahu pinisi menyebabkan terjadinya tansformasi proses pembuatan khususnya yang menyangkut upacaraupacara ritual dengan tujuan agar dapat lebih efektif dan efisien. 2. Pola hubungan kerja yang terbentuk di dalam industri pembuatan perahu Pinisi mencirikan pola hubungan struktur fungsional dengan tampilan tiga status kedudukan dalam organisasi kerja yaitu; jurangan, ponggawa dan sawi
12
3. Distribusi pendapatan dalam industri pembuatan perahu Pinisi berdasarkan kesepakatan dalam konteks local, dengan aturan keuntungan bersih diterima oleh juragan setelah dikurangi 10 % dari nilai kontrak untuk upah ponggawa, 20 % dari nilai kontrak untuk bonus prestasi kerja, dan sisa nilai kontrak yang ada dibagi dengan jumlah hari kerja kemudian dibagi dengan jumlah sawi yang bekerja sebagai nilai upah sawi perhari.
DAFTAR PUSTAKA Abu Hamid, 2004. Makassar.
Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis.
Pustaka Refleksi.
Arief, A.A. 2007. Artikulasi Modernisasi dan Dinamika Formasi Sosial Pada Nelayan Kepulauan di Sulawesi Selatan (Studi Kasus Nelayan Pulau Kambuno). (Disertasi) PPS-UNHAS. Makassar. Creswell, John W. 1994. Research Desaign : Qualitative & Quantitative Approaches. Sage Publication, Inc. California. Dahuri, Rohmin. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. . Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Saenong, Arief. Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya. Dinas Perindustrian Pariwisata Seni Budaya Kab. Bulukumba. Bulukumba. Smelser, J. 1987. Yogyakarta.
The Sosiology of Economic Life. (Terjemahan).
Wira Sari.
Yin, Rober K. 1996. Studi Kasus : Desain dan Metode. Rajawali Pers. Jakarta.
13