Penyakit Pada Testis.docx

  • Uploaded by: David Rainer Irianto Hutajulu
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penyakit Pada Testis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,791
  • Pages: 31
BAB I Pendahuluan 1.

Pendahuluan Testis adalah organ genitalia pria yang pada orang normal jumlahnya ada dua dan masing-masing terletak didalam skrotum kanan dan kiri. Bentuknya ovoid dan pada orang dewasa ukurannya adalah 4 x 3 x 2,5 cm, dengan volume 15-25 ml. Testis berfungsi sebagai glandula reproduksi dari seorang pria, dimana di dalam tubulus seminiferus testis, terdapat sel-sel spermatogenia dan sel Sertoli, sedangdiantara tubulus seminiferi terdapat sel-sel Leyding. Sel-sel

spermatogenia

pada

proses spermatogenesis

menjadi sel spermatozoa. Sel-sel Sertoli berfungsi memberi makanan pada bakal sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut selinterstisial testis berfungsi dalam menghasilkan hormon testosterone. Kelainan pada testis sangat beragam, yang memerlukan tindakan pembedahan maupun yang tidak perlu tindakan pembedahan. Diantaranya yang sering terjadai ialah hidrokel, torsio testis, dan orchitis, seperti yang akan dibahas dalam makalah ini. Hal – hal tersebut harus dapat dikenali segera dalam praktek sehari-hari sehingga efek yang ditimbulkan nantinya dapat dengan segera dicegah. Jika terdapat kelainan pada testis, maka akan sangat mungkin terjadia gangguan dalam reproduksi pria, yang akan menimbulkan ketidaknyamanan sepanjang hidupnya. Bila keadaan ini tidak ditangani akan menimbulkan gangguan-gangguan seperti infertilitas, disfungsi seksual, bahkan kematian jaringan testis yang mengakibatkan testis tersebut harus dibuang untuk selamanya.

BAB II Tinjauan Pustaka 2.

Defenisi, Anatomi dan Fisiologi Testis adalah organ genitalia pria yang pada orang normal jumlahnya ada dua yang masing –masing terletak di dalam skrotum kanan dan kiri. Bentuknya ovoid dan pada orang dewasa ukurannya adalah 4 x 3 x 2.5 cm, dengan volume 15-25 ml. kedua buah testis terbukungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat pada testis. Di luar tunika albuginea terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremastaer yang berasda di sekitas testis memungkinkan testis dapat digerakkan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperature testis agar tetap stabil.

Gamabar 2.1 Anatomi Testis

Secara histopatologi, testis terdiri atas ± 250 lobuli dan tiap lobules terdiri atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferous terdapat sel spermatogonia dan sel sertoli, sedangkan di antara tubuli seminiferi terdapat sel Leydig. Sel spermatogonium pada proses spermatogenensis menjadi sel spermatozoa. Sel sertoli berfungsi memberi makan pada bakal sperma, sedangkan sel Leydig atau disebut sel interstitial testis berfungsi dalam menghasilkan hormone testosterone.

Gambar 2.2 Anatomi Testis sisi lateral

Sel spermatozoa yang diproduksi di tubulus seminiferous testis disimpan dan megakami pematangan/maturasi di epididymis. Setelah mature (dewasa) sel spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididymis dan vas deferens disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel itu setelah bercampur dengan cairan dari epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, serta cairan prostat membentuk cairan semen atau mani. Testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri, yaitu (1) arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta (2) arteri deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior, dan (3) arteri kremasterika yang merupakan

cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.

3.

Hidrokel a. Defenisi Adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh system limfatik di sekitarnya. b. Etiologi Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan sekunder. Penyebab sekunder dapat terjadi karena didapatkan kelainan pada testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin suatu tumor, infeksi, atau trauma pada testis/epididimis. Kemudian hal ini dapat menyebabkan produksi cairan yang berlebihan oleh testis, maupun obstruksi aliran limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus. c.

Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan kapan terjadinya, yaitu: 1) Hidrokel Primer Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis. Prosesus vaginalis adalah suatu divertikulum peritoneum embrionik yang melintasi kanalis inguinalis dan membentuk tunika vaginalis. Hidrokel jenis ini tidak diperlukan terapi karena dengan sendirinya rongga ini akan menutup dan cairan dalam tunika akan diabsorpsi. 2) Hidrokel Sekunder Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang lambat dalam suatu masa dan dianggap sekunder terhadap obstruksi aliran

keluar limfe. Dapat disebabkan oleh kelainan testis atau epididimis. Keadaan ini dapat karena radang atau karena suatu proses neoplastik. Radang lapisan mesotel dan tunika vaginalis menyebabkan terjadinya produksi cairan berlebihan yang tidak dapat dibuang keluar dalam jumlah yang cukup oleh saluran limfe dalam lapisan luar tunika. Berdasarkan letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan menjadi : 1) Hidrokel Testis Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis tak dapat diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah sepanjang hari. 2) Hidrokel Funikulus Kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak di sebelah kranial dari testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada di luar kantong hidrokel. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya tetap sepanjang hari. 3) Hidrokel Komunikan Terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga peritoneum sehingga prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah pada saat anak menangis. Pada palpasi kantong hidrokel terpisah dari testis dan dapat dimasukkan kedalam rongga abdomen.

Gambar 3.1 Hidrokel pada Testis d. Gambaran Klinis Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistik dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transluminasi (+). e. Terapi Prinsip utama penatalaksanaan hidrokel adalah dengan mengatasi penyebab yang mendasarinya. Terdapat beberapa indikasi dilakukannya intervensi: ukuran hidrokel yang semakin membesar dan dapat menekan pembuluh darah, adanya tanda-tanda infeksi, adanya keluhan tidak nyaman/nyeri dan juga indikasi kosmetik. Berbagai macam tindakan intervensi digunakan untuk mengobati penyakit hidrokel, baik invasif maupun minimal invasif.

Gambar 3.2 Pilihan penatalaksanaan Hidrokel Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi. Beberapa indikasi operasi hidrokel adalah: (1) hidrokel yang besar hingga menekan pembuluh darah, (2) indikasi kosmetik, dan (3) hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan menggagu pasien dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena seringkali hidrokel ini disertai dengan hernia inguinalis sehingga pada saat operasi hidrokel sekaligus melakukan hernioraphy. Pada hidrokel testis dewasa dilakukan pendekatan scrotal dengan melakukan eksisi dan marsuoialisasi kantong hidrokel sesuai cara winkelman atau plikasi kantong hidrokel sesuai cara Lord. Pada hidrokel funikulus dilakukan ektirpasi hidrokel secara in toto.

Salah satu metode minimal invasif pada terapi hidrokel yaitu metode aspirasi-skleroterapi. Pada metode ini, dilakukan aspirasi cairan hidrokel dan disuntikkan zat sklerotik (tetrasiklin, natrium tetra desil sulfat atau urea) agar mukosa menjadi kering dan terjadi perlengketan. Metode ini mudah dan aman dilakukan, namun efektivitas dan kepuasan pasien terhadap terapi lebih rendah dibandingkan tindakan pembedahan. Hidrokelektomi merupakan tindakan baku emas pada hidrokel.

4.

Hematokel Hematokel adalah adanya darah pada cavum vaginalis testis, yaitu ruangan yang berada diantara lamina parietalis tunika albuginea testis dan lamina visceralis testis. Perdarahan itu dapat berasal dari scrotum maupun intra-abdominal hemoragia.

Gambar 4.1 Gambaran Hematokel pada tunika vaginalis akibat trauma pada testis. Penyebab hematokel yang paling sering akibat trauma, tetapi bisa juga karena tumor skrotum atau torsi. Hematocele seringnya bukan merupakan kelainan malignansi, tergantung oleh penyebabnya. Tetapi, perlu dievaluasi lebih lannjut karena sebuah penyakit yang mendasari, seperti tumor testis, bisa menjadi sumber perdarahan.

5.

Trauma Testis a. Defenisi Trauma testis didefinisikan sebagai cedera apapun yang terjadi pada testis. Jenis cedera termasuk tumpul, tajam, atau degloving. Ruptura testis mengacu pada robeknnya tunika albuginea sehingga terjadi ekstrusi isi testis. b. Epidemiologi Trauma testis relatif jarang. Trauma tumpul terjadi sekitar 85% dari kasus, dan taruma penetrasi 15%. Sebanyak 80% dari hematoceles (darah dalam tunika vaginalis) berhubungan dengan ruptura testis. Gambar di bawah ini menggambarkan hematoma pada rupture testis.

hematoma normal

Gambar 5.1 Perbandingan Testis normal dan trauma testis dengan hematokel pada gambaran USG Cedera testis tumpul dapat dikelola dengan baik (sembuh) secara medis atau pembedahan, tergantung pada presentasi klinis. c. Etiologi Penyebab paling umum dari trauma tumpul testis adalah cedera olahraga. Namun, risiko cedera testis yang berhubungan dengan olahraga pada anak-anak dilaporkan hanya sedikit.

Penyebab paling umum kedua trauma testis adalah tendangan ke pangkal paha. Penyebab lain yang kurang umum yaitu kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, dan luka mengangkang. Penyebab paling umum dari cedera testis penetrasi adalah luka tembak ke daerah genital. Penyebab lainnya adalah luka tusuk, melukai diri sendiri, gigitan hewan (biasanya anjing), dan pengebirian. Penyebab paling umum dari cedera degloving testis adalah kecelakaan yang terjadi saat mengoperasikan mesin-mesin berat (misalnya, industri atau kecelakaan pertanian). d. Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Gambar 5.2 Testis dengan Hematokel dan gambaran USG. Pasien dengan trauma testis biasanya datang ke unit gawat darurat dengan latar belakang cedera langsung (misalnya, cedera olahraga, tendangan ke pangkal paha, luka tembak) segera setelah peristiwa itu terjadi. Pasien yang telah menderita trauma tumpul parah biasanya menunjukkan gejala nyeri skrotum yang ekstrim, sering dikaitkan dengan mual dan muntah. Ketika mengevaluasi pasien dengan riwayat klinis trauma hanya kecil, jangan mengabaikan kemungkinan torsi testis atau epididimitis . Pemeriksaan fisik pada trauma didapatkan testis bengkak, nyeri tekan, lunak,

dan hematoma terlihat. Ekimosis skrotum atau perineum dapat terlihat. Pemeriksaan testis bilateral dan pemeriksaan perineum harus selalu dilakukan untuk menyingkirkan DD. Namun, karena nyeri, pemeriksaan menyeluruh seringkali sulit, dan pemeriksaan radiologi eksplorasi bedah mungkin diperlukan. Biasanya cedera testis tumpul unilateral dan tanpa cedera terkait lainnya. Tidak adanya pembengkakan skrotum dan hematoma dapat dievaluasi sebagai cedera yang relatif jinak. Tes pencitraan tambahan atau eksplorasi skrotum diperlukan jika dicurigai adanya ruptura testis. Trauma tumpul pada testis dapat bermanifestasi sebagai hematocele atau testis pecah. Untuk cedera penetrasi atau luka tembus, yang pertama kali dievaluasi adalah menentukan pintu masuk dan keluar luka. Sampai dengan 75% dari pria dengan luka tembus ke alat kelamin, menunjukkan cedera terkait tambahan. Memeriksa secara universal dalam mengevaluasi cedera ini sangatlah penting. Sebuah review dari 40 laki-laki dengan trauma penetrasi, 38% dinyatakan positif hepatitis B , hepatitis C , atau keduanya. Urinalisis skrining merupakan tambahan penting untuk pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih atau epididymo-orchitis. Ultrasonografi

Doppler

merupakan

skrinning

utama

untuk

mendiagnosis dan menentukan derajat cedera testis. Pada tahap awal, hematocele terlihat echogenic atau sedikit heterogen, sering dengan hiperemi reaktif dari skrotum dan epididimis, dan terdapat penebalan kulit dari edema umum. Seiring berjalannya waktu, gambaran hematocele terlihat hypoechoic. Pemeriksaan ini juga merupakan inisiasi atau tahap awal dalam mengevaluasi cedera skrotum akut. Pencitraan lainnya, seperti pencitraan nuklir atau MRI, dapat digunakan untuk memperoleh informasi tambahan dalam kasus samar-samar.

Namun, diagnosis definitif ruptura testis dilakukan saat melakukan pembedahan. Diagnosis utama cedera testis adalah dengan eksplorasi skrotum. Indikasi untuk eksplorasi skrotum meliputi: 

Ketidakpastian dalam diagnosis setelah evaluasi klinis dan radiografi yang tepat



Gangguan albuginea tunika



Tidak adanya aliran darah pada sonogram dengan USG Hematoceles klinis yang tambah luas atau ukuran yang cukup besar

(misalnya, ≥ 5 cm) harus dieksplorasi. Ukuran yang lebih kecil juga sering dieksplorasi, karena lebih optimal dalam mengurangi derajat nyeri. Jika testis yang ruptur, debridement testis dan bedah penutupan tunika albuginea diperlukan. Trauma penetrasi testis biasanya membutuhkan eksplorasi untuk memastikan tingkat cedera, untuk menilai integritas testis, dan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan perdarahan intratesticular. Cedera Degloving adalah indikasi lain untuk evaluasi operasi dan sering membutuhkan debridement e. Prognosis Trauma cedera testis relatif jarang. Kalupun ada, kasus tersering adalah trauma tumpul. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan ultrasonografi sangat penting dalam mendiagnosis dan mengevaluasi cedera ini. Eksplorasi bedah dari semua luka tembus testis dan cedera tumpul telah terbukti meningkatkan fungsional testis dan menurunkan angka kesakitan. Setelah perbaikan trauma testis penetrasi disebabkan oleh luka tembak

konvensional, hasil kesuburan adalah sekitar 62%. Jika luka yang diderita adalah hasil dari kecepatan tinggi amunisi, tingkat kesuburan jauh lebih rendah. Pengobatan hematoceles tergantung pada penyebab yang mendasari dan gejala orang tersebut. Pembedahan dapat dilakukan untuk drainase, atau pengobatan mungkin konservatif, hanya dengan istirahat dan tidur elevasi

6.

Varikokel a. Defenisi Varikokel merupakan varikositas pleksus pampiniformis korda spermatika, yang membentuk benjolan skrotum yang terasa seperti “kantong cacing”

Gambar 6.1 Gambaran Varikokel b. Etiologi Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab varikokel, tetapi dari pengamatan membuktikan bahwa varikokel sebelah kiri lebih sering dijumpai daripada sebelah kanan (varikokel sebelah kiri 70– 93 %). Hal ini disebabkan karena vena spermatika interna kiri bermuara pada vena renalis kiri dengan arah tegak lurus, sedangkan yang kanan bermuara pada vena kava dengan arah miring. Di samping itu vena spermatika interna kiri lebih panjang daripada yang kanan dan katupnya lebih sedikit dan inkompeten.

c. Diagnosis 1) Manifestasi klinis Pasien datang ke dokter biasanya mengeluh belum mempunyai anak setelah beberapa tahun menikah, atau kadang-kadang mengeluh adanya benjolan di atas testis yang terasa nyeri. Varikokel jarang menimbulkan rasa tidak nyaman. Keluhan yang biasa dimunculkan antara lain adanya rasa sakit yang tumpul atau rasa berat pada sisi dimana varikokel terdapat, hal tersebut biasanya muncul pada saat setelah berolahraga berat atau setelah berdiri cukup lama dan jika pasien berada dalam posisi tidur, rasa berat dan tumpul tersebut menghilang. Karena varikokel pada remaja biasanya asimptomatik, banyak yang ditemukan melalui pemeriksaan fisik rutin sebelum masuk sekolah, ujian SIM, atau pemeriksaan medis preseason kompetisi olahraga. Sementara itu disisi yang lain karena penyebaran informasi mengenai kanker testis, banyak remaja yang datang ke dokter untuk melakukan pemeriksaan medis karena teraba massa yang tidak nyeri pada skrotumnya. Banyak massa pada skrotum yang tidak diketahui asalnya didiagnosis sebagai varikokel. Hernia inguinalis, communicating hidrokel, hernia omental, hidrokel of the cord, spermatokel, dan hidrokel skrotum adalah diagnosis banding untuk massa pada skrotum yang tidak nyeri pada remaja. 2) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang hangat dengan pasien dalam posisi berdiri tegak, untuk melihat dilatasi vena. Skrotum haruslah pertama kali dilihat, adanya distensi kebiruan dari dilatasi vena. Jika varikokel tidak terlihat secara visual, struktur vena harus dipalpasi, dengan manuver valsava (mengedan) ataupun tanpa manuver. Varikokel yang dapat diraba dapat dideskripsikan sebagai “bag of worms”, walaupun pada beberapa kasus didapatkan adanya asimetri atau penebalan dinding vena.

Pemeriksaan dilanjutkan dengan pasien dalam posisi supinasi, untuk membandingkan dengan lipoma cord (penebalan, fatty cord ditemukan dalam posisi berdiri, tapi tidak menghilang dalam posisi supinasi) dari varikokel. Palpasi dan pengukuran testis dengan menggunakan orchidometer (untuk konsistensi dan ukuran) dapat juga memberi gambaran kepada pemeriksa ke patologi intragonad. Apabila disproporsi panjang testis atau volum ditemukan, indeks kecurigaan terhadap varikokel akan meningkat.

Gambar 6.2 Palpasi Funikulus Spermatikus. Diperhatikan pula konsistensi testis maupun ukurannya, dengan membandingkan testis kiri dengan testis kanan. Untuk lebih objektif dalam menentukan besar atau volume testis dilakukan pengukuran dengan alat orkidometer. Pada beberapa keadaan mungkin kedua testis teraba kecil dan lunak, karena telah terjadi kerusakan pada sel-sel germinal. 3) Pemeriksaan Penunjang Beberapa teknik yang dapat digunakan sebagai pencitraan varikokel :



Angiografi / venografi



USG



MRI



CT-Scan



Nuclear Imaging

d. Klasifikasi Grade

Temuan dari pemeriksaan fisik

Grade I

Ditemukan dengan palpasi, dengan valsava

Grade II

Ditemukan dengan palpasi, tanpa valsava, tidak terlihat dari kulit skrotum

Grade III

Dapat dipalpasi tanpa valsava, dapat terlihat di kulit skrotum

e. Tatalaksana Masih terjadi silang pendapat di antara para ahli tentang perlu tidaknya melakukan operasi pada varikokel. Di antara mereka berpendapat bahwa varikokel yang telah menimbulkan gangguan fertilitas atau gangguan spermatogenesis merupakan indikasi untuk mendapatkan suatu terapi.

Gambar 6.2 Algoritma tatalaksana Varikokel. f. Komplikasi Varikokel dapat menimbulkan gangguan proses spermatogenesis melalui beberapa cara, antara lain: 1. Terjadi aliran darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis mengalami hipoksia karena kekurangan oksigen. 2. Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin dan prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis.

3. Peningkatan suhu testis. 4. Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan, memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari testis kiri ke testis kanan sehingga menyebabkan gangguan spermatogenesis testis kanan dan pada akhirnya terjadi infertilitas.

7.

Orchitis a. Defenisi Orchitis adalah suatu inflamasi testis (kongesti testikular), biasanya disebabkan oleh faktor-faktor piogenik, virus, spiroseta, parasit, traumatis, kimia atau faktor yag tidak diketahui ( Smeltzer, 2002). Orchitis adalah peradangan testis yang jika bersama dengan epididimitis menjadi epididimoorkitis dan merupakan komplikasi yang serius dari epididimitis (Price, 2005). Orchitis merupakan peradangan satu atau kedua testis, ditandai dengan pembengkakan dan nyeri. Keadaan ini sering disebabkan oleh parotitis, sifilis, atau tuberculosis (Hartanto, 2008). b. Etiologi 

Virus: orchitis gondong (mumps) paling umum. Infeksi Coxsackievirus tipe A, varicella, dan echoviral jarang terjadi.



Infeksi bakteri dan pyogenik: E. coli, Klebsiella, Pseudomonas, Staphylococcus, dan Streptococcus.



Granulomatous: T. pallidum, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium leprae, Actinomycetes.



Trauma sekitar testis.



Virus lain meliputi coxsackievirus , varicella , dan echovirus.



Beberapa laporan kasus telah dijelaskan imunisasi gondong, campak, dan rubella (MMR) dapat , menyebabkan orchitis.



Bakteri penyebab biasanya menyebar dari epididimitis terkait dalam seksual pria aktif atau laki-laki dengan BPH; bakteri termasuk Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae , Pseudomonas aeruginosa , Staphylococcus, Streptococcus.



c.

Idiopatik.

Manifestasi Klinis Tanda dan gejala orchitis berkisar dari ketidaknyamanan ringan pada testikular dan edema hingga nyeri testicular yang parah dan terbentuknya edema dalam waktu sekitar 4 hingga 6 hari setelah awitan penyakit dengan demam tinggi, mual, dan muntah. Gejala yang dirasakan meliputi nyeri pada testis hingga ke pangkal paha, pembengkakan dan kemerahan pada testis, menggigil, dan demam yang dapat bilateral atau unilateral, mual, muntah, nyeri saat buang air kecil dan nyeri saat hubungan seksual, darah pada semen. Keadaan ini dapat berakibat steril atau impotensi. Terapi terhadap inflamasi ini dengan istirahat di tempat tidur, kompres panas atau hangat, dan antibiotik (bila perlu). 

Orchitis ditandai dengan nyeri testis dan pembengkakan.



Nyeri berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai nyeri yang hebat.



Kelelahan / myalgia.



Kadang-kadang pasien sebelumnya mengeluh gondongan.



Demam dan menggigil .



Mual.



Sakit kepala.



Pembesaran testis dan skrotum.

d.



Erythematous kulit skrotum dan lebih hangat.



Pembengkakan KGB inguinal.



Pembesaran epididimis yang terkait dengan epididymo-orchitis.

Komplikasi Komplikasi dari orchitis adalah : 

Testis yang mengecil (Atrofi)



Abses (Nanah) pada kantong testis



Infertilitas (Sulit memiliki keturunan), terutama jika orkhitis terjadi pada kedua testis.

e.



Infark testis



Rekurensi



Epididimitis Kronis

Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan urin kultur



Urethral smear (tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoe)



Pemeriksaan darah CBC (complete blood count)



Dopller ultrasound, untuk mengetahui kondisi testis, menentukan diagnosa dan mendeteksi adanya abses pada skrotum



Testicular scan



Analisa air kemih



Pemeriksaan kimia darah



Sistoskopi, pielografi intravena, dan sistografi dapat dilakukan jika dicurigai adanya patologi pada kandung kemih.

f.

Terapi Pengobatan suportif: Bed rest, analgetik, elevasi skrotum. Yang paling penting adalah membedakan orchitis dengan torsio testis karena gejala klinisnya hampir mirip. Tidak ada obat yang diindikasikan untuk pengobatan orchitis karena virus. Pada pasien dengan kecurigaan bakteri, dimana penderita aktif secara seksual, dapat diberikan antibiotik untuk menular seksual (terutama gonore dan klamidia) dengan ceftriaxone, doksisiklin, atau azitromisin. Antibiotik golongan

Fluoroquinolon tidak lagi direkomendasikan oleh Pusat

Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk pengobatan gonorrhea karena sudah resisten. Contoh antibiotik: 1.Ceftriaxone Sefalosporin generasi ketiga dengan spektrum luas, aktivitas gram-negatif; efikasi lebih rendah terhadap organisme gram-positif.

Menghambat

pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat satu atau lebih penicillin-binding proteins. Dewasa IM 125-250 mg sekali, anak : 25-50 mg / kg / hari IV; tidak melebihi 125 mg / d . 2.Doxycycline Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat 30S

dan

kemungkinan

50S

subunit

ribosom

bakteri.

Digunakan dalam kombinasi dengan ceftriaxone untuk pengobatan gonore. Dewasa cap 100 mg selama 7 hari, Anak: 2-5 mg / kg / hari PO dalam 1-2 dosis terbagi, tidak melebihi 200 mg / hari. 3.Azitromisin Mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh strain rentan mikroorganisme.

Diindikasikan untuk klamidia dan infeksi gonorrheal pada saluran kelamin. Dewasa 1 g sekali untuk infeksi klamidia, 2 g sekali untuk infeksi klamidia dan gonokokus. Anak: 10 mg / kg PO sekali, tidak melebihi 250 mg / hari. 4.Trimetoprim-sulfametoksazol Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis asam dihydrofolic. Umumnya digunakan pada pasien > 35 tahun dengan orchitis. Dewasa 960 mg q12h untuk 14 hari. Anak 15-20 mg / kg / hari, berdasarkan TMP, PO tid / qid selama 14 hari. 5.Ciprofloxacin Fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap pseudomonas, streptococci, MRSA, S epidermidis, dan gram negatif sebagian besar organisme, namun tidak ada aktivitas terhadap anaerob. Menghambat sintesis DNA bakteri dan akibatnya pertumbuhan bakteri terhambat. Dewasa tab 500 mg PO selama 14 hari. Anak tidak dianjurkan .

8.

Epididimitis a.

Defenisi Epididimitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada epididimis. Reaksi inflamasi ini dapat terjadi secara akut atau kronis. Dengan pengobatan yang tepat penyakit ini dapat sembuh sempurna, tetapi jika tidak ditangani dengan baik dapat menular ke testis sehingga menimbulkan orkitis, abses pada testis, nyeri kornis padaskrotum yag berkepanjangan dan infertilitas.

Gambar 8.1 Gambaran testis dengan epididymitis. b.

Patogenesis Diduga reaksi inflamasi ini berasal dari bakteri yang berada di dalam buli-buli, prostat, atau uretra yang secara ascending menjalar ke epididimis. Dapat pula terjadi refluks urine melalui duktus ejakulatorius atau penebaran bakteri secara hematogen

atau langsung ke epididimis seperti pada

penyebaran kuman tuberculosis. Mikroba penyebab infeksi pada pria dewasa muda (<35 tahun) yang tersering adalah Chlamidia trauchomatis atau

Neiserria gonorhoika,

sedangkan pada anak-anak dan orang tua yang tersering adalah E.Coli atau Ureoplasma ureolitikum.

c.

Gambaran Klinis Epididimis akut adalah salah satu keadaan akut skrotum yang sulit dibedakan dengan torsio testis. Pasien mengeluh nyeri mendadak pada daerah skrotum, diikuti dengan bengkak pada kauda hingga kaput epididimis. Tidak jarang disertai demam, malese, dan nyeri dirasakan hingga ke pinggang.

Pemeriksaan menunjukkan pembengkakkan pada hemiskrotum dan kadang kala pada palpasi sulit untuk memisahkan antara epididimis dengan testis. Mungkin disertai dengan hidrokel sekunder akibat reaksi inflamasi pada epididimis. Reaksi inflamasi dan pembengkakan dapat menjalar ke funikulus spermatikus pada daerah inguinal. Gejala klinis epididimis akut sulit dibedakan dengan torsio testis yang sering terjadi pada usia 10 -20 tahun. Pada epididymitis akut jika dilaukan elevasi (pengangkatan) testis, nyeri akan berkurang; hal ini berbeda dengan torsio testis. Pemeriksaan urinalisis dan darah lengkap dapat membuktikan adanya proses inflamasi. Pemeriksaan dengan ultrasonografi Doppler dan stetoskop doppller dapat mendeteksi peningkatan aliran darah di daerah epididimis. d.

Terapi Pemilihan antibiotika tergantung pada kuman penyebab infeksi. Pada pasien yang berusia dibawah 35 tahun denga perkiraan kuman penyebabnya adalah Chlamidia trachomatis atau Neiseria gonorchoica , antibiotika yang dipilih adalah amoksisilin dengan disertai probenesid, atau ceftriakson yang diberikan secara intravena, selanjutnya diteruskan dengan pemberian doksisikln atau eritromisin per oral selama 10 hari. Tidak kalah pentingnya adalah pengobatan terhadap pasangannya. Sebagai terapi simtomatis untuk menghilangkan nyeri dianjurkan memakai celana ketat agar testis terangkat (terletak lebih tinggi), mengurangi aktivitas, atau pemberian anestesi local/topical. Untuk mengurangi pembengkakkan dapat dikompres dengan air es. Pemberian terapi di atas akan menghilangkan keluhan nyeri dalam beberapa hari, akan tetapi pembengkakkan baru sembuh setelah 4-6 minggu, dan indurasi pada epididymis akan bertahan sampai beberapa bulan.

9. Torsio Testis a.

Defenisi Torsio testis adalah terpelintirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya gangguan aliran darah pada testis. Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke dinding skortum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus spermatikus. Kelainan ini dikenal sebagai bellclapper. Keadaan ini akan memudahkan testis mengalami torsio introvaginal.

Gambar 9.1 Perbandingan Testis normal dan Torsio Testis. b.

Gambaran klinis dan diagnosis Pasien mengeluhkan nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifat nya mendadak dan diikuti pembengkakn pada testis, dikenal sebagai akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah sehingga jika tidak diawaspai sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Pada pemeriksaan fisik, testis membengkak letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral. Kadang-kadang pada torsio testis

yang baru saja terjadi dapat diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini biasanya tidak disertai dengan demam. Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami peradangan steril. Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testi dengan keadaan akut skrotum yang lain adalah dengan memakai: stetoskop Doppler, USG Doppler dan sintigrafi testis yang kesemuaya bertujuan menilai adanya aliran darah ke testis. Pada torsio testis tidak didapatkan adanya aliran darah ke testis sedangkan pada peradangan akut testis, terjadi peningkatan aliran darah ke testis. c. Diagnosis banding. 1) Epididimitis akut. Penyakit ini secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri skrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, keluarnya nanh dari uretra, ada riawayat coitus suspectus (dugaan melakukan senggama dengan bukan isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi uretra sebelumnya. Jika dilakukan elevasi (pengangkatan) testis, pada epididymitis akut terkadang nyeri akan berkurang sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada. Pada epididymitis akus biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urine didapatkan adanya leukosituria atau bakteriuria. 2) Hernia skrotalis inkarserata, yang biasanya didahului dengan anamnesis didapatkan benjolan yang dapat keluar dana masuk ke dalam skrotum. 3) Hidrokel terinfeksi, dengan anamnesis sebelumnya sudah ada benjolan di dalam skrotum. 4) Tumor testis. Benjolan tidak dirasakan nyeri kecuali terjadi perdarahan di dalam testis.

5) Edema skrotum yang dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya pembuntuan saluran limfe inguinal, kelainan jantung atau kelainan-kelainan yang tidak diketahui sebabnya. d. Terapi Detorsi Manual Adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan memutar testis kea rah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial maka dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral dahulu, kemudia jika tidak terjadi perubahan, dicoba detorsi kea rah medial. Hulangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah berhasil. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan Operasi Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian viabilitias testis yang mengalami torsio, mungkin masih viable (hidup), dilakukan orkidopeksi (fikasasi testis) pada tunika dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi menggunakan benang yang tidak diserap pada 3 tempat untuk mencegah terpelintir kembali. Pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang nekrosis dan dibiarkan di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibody antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari

10. Tumor Testis a. Defenisi Tumor testis merupakan keganasan terbanyak pada pria yang berusia diantara 15-35 tahun, dan merupakan 1-2% semua neoplasma pada pria.

Gambar 10.1 Tumor pada Testis. b. Etiologi Penyebab tumor testis belum diketahui dengan pasti tetapu terdapat beberapa faktor yang erat kaitannya dengan peningkatan kejadian tumor testis, antara lain (1) maldesensus testis, (2) trauma testis, (3) atrofi atau infeksi testis, dan (4) pengaruh hormone. c. Klasifikasi Sebagian besar (± 95%) tumor testis primer, berasal dari sel germinal sedangkan sisanya berasal dari non germinal. Tumor germinal terdiri aras seminoma dan non seminoma. Seminoma berbeda sifatsifatnya dengan seminoma, atara lain sifat keganasan, respon terhadap radioterapi dan prognosis tumor. Tumor yang bukan beraasal dari sel-sel germinal atau non germinal diantaranya adalah tumor sel Leydig, sel sertoli, dan gonadoblastoma. Selain berada di dalam testis, tumor sel germinal juga bisa berada di luar testis sebagai extragondal germ cell tumor antara lain dapat berada di

mediastinum, retroperitoneum, daerah sakrokoksigeus, dan glandula pineal. d. Gambaran klinis Pasien

biasanya mengeluh adanya pembesaran testis yang

seringkali tidak nyeri. Namun 30% mengeluh nyeri dan terasa berat pada kantung skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut pada skrotum. Tidak jarang pasien mengeluh karena merasa ada massa di perut di sebelah atas (10%) karena pembesaran kelenjar pada aorta, benjolan pada kelenjar leher, dan 5% pasien meneluh ada nya ginekomastia. Pada pemeriksaan fisis testis terdapat benjolan padat keras, tidak nyeri pada palpasi, dan tidak menunjukkan tanda transiluminasi. Diperhatikan adanya infitrasi tumor pada funikulus dan epididimis. Perlu dicari kemungkinan adanya massa di abdomen, benjolan kelenjar supraklavikuler, ataupun ginekomasti e. Pencitraan Pemeriksa USG yang berpengalaman dapat membedakan dengan jelas lesi intra atau ekstratestikuler dan massa padat atau kistik. Naun USG tidak dapat memperlihatkan tunika albuginea, sehingga tidak dapat dipakai untuk menentukan penderajatan tumor testis. Berbeda halnya dengan USG, MRI dapat mengenali tunika albuginea secara terperinci sehingga dapat dipakai untuk menentukan luas ekstensi tumor testis. Pemakaian CT-Scan berguna untuk menentukan ada tidaknya metastasis pada retroperitoneum, sayangnya pemeriksaan CT tidak mampu mendeteksi mikro-metastasis pasa kelenja limfe retroperitoneal. f. Penatalaksanaan Pada dugaan tumor testis tdak diperbolehkan melakukan biopsy testis, karena itu untuk penegakan diagnosis PA, bahan jaringan harus diambil dari orkidektomi. Orkidektomi dialkukan melalui pendekatan

inguinal setelah mengangkat testis dan funikulus spermatikus sampai annulus inguinalis internus. Biopsy atau pendekatan trans-skrotal tidak diperbolehkan karena ditakutkan akan membuka peluang sel-sel tumor mengadakan penyebaran. Dari hasil pemeriksaan patologi dapat dikategorikan antara seminoma dan seminoma. Jenis seminoma memberikan respon yang cukup baik terhadap radiasi sedangkan jenis non seminoma tidak sensitif. Oleh karena itu radiasi eksterna dipakai sebagai ajuvan terapi pada seminoma testis. Pada non seminoma yang belum melewat stadium III dilakukan pembersihan kelenjar retroperitoneal atau retroperitoneal lymphnode dissection (RPLND). Tindakan diseksi kelenjar pada pembesaran aorta yang sangat besar didahului dengan pemberian sitostatika terlebih dahulu dengan harapan akan terjadi downstagging dan ukuran tumor akan mengecil.

BAB III Kesimpulan Testis adalah organ genitalia pria yang pada orang normal jumlahnya ada dua dan masing-masing terletak didalam skrotum kanan dan kiri. Jika terdapat kelainan pada testis, maka akan sangat mungkin terjadia gangguan dalam reproduksi pria, yang akan menimbulkan ketidaknyamanan sepanjang hidupnya. Bila keadaan ini tidak ditangani akan menimbulkan gangguan-gangguan seperti infertilitas, disfungsi seksual, bahkan kematian jaringan testis yang mengakibatkan testis tersebut harus dibuang untuk selamanya. Maka dari itu perlu mengetahui gejala klinis serta pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnose penyakit pada testis, sehingga penatalaksaan dapat dilakukan secara cepat dan tepat.

Related Documents


More Documents from "Nik supraptha"