Penyakit Degeneratif Fera Osteoforosis.docx

  • Uploaded by: Yuni Ariani Yuni
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penyakit Degeneratif Fera Osteoforosis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,481
  • Pages: 24
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Penyakit tulang dan patah tulang merupakan salah satu dari sindrom geriatric,

dalam arti insidens dan akibatnya pada usia lanjut yang cukup significant. Dengan bertambahnya usia terdapat peningkatan hilang tulang secara linear. Hilang tulang ini lebih nyata pada wanita dibanding pria. Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5 – 1% per tahun dari berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria > 80 tahun. Hilang tulang ini lebih mengenai bagian trabekula dibanding bagian korteks, dan pada pemeriksaan histologik wanita dengan osteoporosis spinal pasca menopause tinggal mempunyai tulang trabekula < 14% (nilai normal pada lansia 14 – 24% ) (Peck, 1989). Sepanjang hidup tulang mengalami perusakan (dilaksanakan oleh sel osteoklas) dan pembentukan (dilakukan oleh sel osteoblas) yang berjalan bersama-sama, sehingga tulang dapat membentuk modelnya seseuai dengan pertumbuhan badan (proses remodelling). Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa proses remodelling ini akan sangat cepat pada usia remaja (growth spurt). Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pengrusakan oleh kedua jenis sel tersebut. Apabila hasil akhir perusakan (resorbsi/destruksi) lebih besar dari pembentukan (formasi) maka akan timbul osteoporosis.

2

Kondisi ini tentu saja sangat mencemaskan siapapun yang peduli, hal ini terjadi karena ketidaktahuan pasien terhadap osteoporosis dan akibatnya. Beberapa hambatan dalam penanggulangan dan pencegahan osteoporosis antara lain karena kurang pengetahuan, kurangnya fasilitas pengobatan, faktor nutrisi yang disediakan, serta hambatan-hambatan keuangan. Sehingga diperluan kerja sama yang baik antara lembaga-lembaga kesehatan, dokter dan pasien. Pengertian yang salah tentang perawatan osteoporosis sering terjadi karena kurangnya pengetahuan. Peran dari petugas kesehatan dalam hal ini adalah dokter dan perawat sangatlah mutlak untuk dilaksanakan. Karena dengan perannya akan membantu dalam mengatasi peningkatan angka prevalensi dari osteoporosis. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan berperan dalam upaya pendidikan dengan memberikan penyuluhan tentang pengertian osteoporosis, penyebab dan gejala osteoporosis serta pengelolaan osteoporosis. Berperan juga dalam meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan serta peningkatan pengetahuan, sikap dan praktik pasien serta keluarganya dalam melaksanakan pengobatan osteoporosis. Peran yang terakhir adalah peningkatan kerja sama dan system rujukan antar berbagai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan, hal ini akan memberi nilai posistif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

1.2 Tujuan Penulisan  Mengetahui apa itu penyakit degeneratif.  Mengetahui apa saja jenis – jenis penyakit degeneratif.

3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Penyakit Degeneratif A.

Pengertian Penyakit Degeneratif Penyakit degenerative adalah penyakit yang timbul akibat kemunduran fungsi sel Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh yaitu dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Sedikitnya ada 50 yang termasuk penyakit degenerative diantaranya adalah diabetes melitus, stroke, jantung koroner, kardiovaskular, obesitas, dislipidemia, hipertensi, penyakit jantung, asam urat dan sebagainya. Penyakit degenerative terjadi karena adanya proses penuaan, biasanya terjadi saat usia bertambah tua.

B.

Jenis – jenis Penyakit Degeneratif 

Hipertensi



Hiperlipidemia



Hipercholesterolemia



Stroke



Jantung Koroner



Kerusakan Syaraf Otak ( pikun )



Artritis Rematoid



Deabetes Mellitus Tipe 2 ( lipotoxic pankreas, insulin resistence )

4



Penuaan Kulit



Parkinson



Osteoforosis

(Depkes.go.id, 2005).

C.

Pencegahan Penyakit Degeneratif Faktor-faktor resiko utama penyebab penyakit degeneratif adalah pola makan

yang tidak sehat, kurangnya aktifitas fisik, serta konsumsi rokok. Pada pola makan yang tidak sehat misalnya mengkonsumsi makanan berlemak jenuh seperti junk food serta makanan berkolestrol lainnya. Modernisasi pekerjaan yang serba elektronik mendorong banyaknya jenis pekerjaan yang tidak banyak mengeluarkan tenaga sehingga berkurang aktifitas fisik. Peningkatan pemasaran dan penjualan produk tembakau yang marak pada negara-negara dengan pendapatan rendah hingga sedang sangat berperan dalam menjadikan konsumsi rokok sebagai faktor risiko penyakit degeneratif. Karena itu, ada tiga cara upaya-upaya pencegahan penyakit degeneratif, yakni melakukan pola makan yang baik, olah raga yang teratur, dan tidak mengkonsumsi rokok. Pendekatan lain yang banyak diambil pemerintah di berbagai negara karena menguntungkan bagi pemerintah dalam penanggulangan Penyakit Degeratif adalah penerapan pajak tembakau, penggunaan garam pada makanan olahan, dan mengembangkan pola makanan sekolah

5

Cara orang-orang Jepang mencegah Penyakit Degeneratif adalah banyak mengkonsumsi ikan. Penduduk Jepang setiap hari mengonsumsi ikan dan rumput laut. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu protein ikan setingkat dengan mutu protein daging, sedikit di bawah mutu protein telur dan di atas mutu protein serelia dan kacang-kacangan. Ikan adalah sumber protein dan memiliki kandungan asam lemak omega-3 yang mempunyai peran dalam pencegahan penyakit generatif, seperti jantung koroner, diabetes, tekanan darah tinggi, stroke, kanker. Mengkonsumsi ikan sejak usia muda juga dapat menunjang perkembangan kesehatan dan kecerdasan otak. Sebagian masyarakat di Indonesia rajin mengkonsumsi kedelai bubuk sebagai therapy nutrisi untuk Penyakit Degeneratif, seperti hipertensi, strooke, diabetes dan kegemukan. Bubuk kedelai ditengarai mengandung banyak vitamin dan mineral serta unsur-unsur lainnya yang terkandung didalamnya. Kedelai bubuk banyak digunakan orang untuk meningkatkan vitalitas kebugaran dan imunitas daya tahan tubuh, serta mencegah gangguan pencernaan.

2.2 Konsep Penyakit Osteoforosis A.

DEFINISI Osteoporosis adalah suatu keadaan pengurangan jaringan tulang per unit volume, sehingga tidak mampu melindungi atau mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal. Secara histopatologis osteoporosis ditandai oleh

6

berkurangnya ketebalan korteks disertai dengan berkurangnya jumlah maupun ukuran trabekula tulang.(Doengoes, Marilynn E:2000). Osteoporosis adalah kondisi terjadinya penurunan ensitas/matriks/massa tulang, peningkatan porositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi disertai

dengan

kerusakan

arsitektur

mikro

jaringan

tulang

yang

mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah patah.( R. Boedhi Darmojo:2000) osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineralmineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat.( Brunner & Suddarth:2002) Penurunan Massa tulang ini sebagai akibat dari berkurangnya pembentukan, meningkatnya perusakan (destruksi) atau kombinasi dari keduanya (Corwn elizabeth. 2001.). Menurut pembagiannya dapat dibedakan atas : (Brunner & Suddarth:2002) : 1) Osteoporosis Primer yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit yang lain, yang dibedakan lagi atas : a. Osteoporosis tipe I (pasca menopause), yang kehilangan tulang terutama dibagian trabekula b. Osteoporosis tipe II (senilis), terutama kehilangan Massa tulang daerah korteks

7

c. Osteoporosis

idiopatik

yang

terjadi

pada

usia

muda

denganpenyebab yang tidak diketahui 2) Osteoporosis sekunder

yang terjadi pada atau akibat penyakit lain,

antara lain hiperparatiroid, gagal ginjal kronis, arthritis rematoid dan lain-lain. B. ETIOLOGI 1) Determinan Massa Tulang Massa tulang maksimal pada usia dewasa ditentukan oleh berbagai factor antara lain : o Faktor genetic Perbedaan genetic mempunyai pengaruh terhadap kepadatan tulang o Faktor mekanik Beban mekanik berpengaruh terhadap massa tulang, bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya massa tulang. Ada hubungan langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan respon terhadap kerja mekanik. Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar. o Faktor makanan dan hormon Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetic yang bersangkutan

8

2. determinan pengurangan massa tulang Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada usia lanjut yang dapat mengakibatkan fraktur osteoporosis pada dasarnya sama seperti pada factor-faktor yang mempengaruhi massa tulang. a. Faktor genetic Factor genetic berpengaruh terhadap resiko terjadinya fraktur. Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat resiko fraktur dari seseorang denfan tulang yang besar. b. Factor mekanis Pada umumnya aktifitas fisik akan menurun dengan bertambahnya usia dan karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanik, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya usia. c. Faktor lain 1. Kalsium Kalsium merupakan nutrisi yang penting, dengan masukan kalsium

yang

rendah

dan

absorbsinya

tidak

baik

akan

mengakibatkan keseimbangan kalsium yang negatif begitu sebaliknya. 2. Protein Parotein yang berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan keseimbangan kalsium yang negative

9

3. Estrogen Berkurangnya/hilangnya

estrogen

dari

dalam

tubuh

akan

mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium, karena menurunnya efisiensi absorbsi kalsium dari makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium diginjal. 4. Rokok dan kopi Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh rokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja. 5. Alkohol Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium yang rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang pasti belum diketahui. C. PEMBAGIAN OSTEOPOROSIS Chehab Rukmi Hylmi (1994) membagi osteoporosis sebagai berikut : 

Osteoporosis Primer



Osteoporosis Sekunder



Osteoporosis Idiopatic

10

D. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS Sel tulang terdiri atas osteoblas, osteossit dan osteoclas yang dalam aktifitasnya mengatur homeostasis kalsium yang tidak

berdiri sendiri

melainkan saling berinteraksi. Homeostasis kalsium pada

tingkat seluler

didahului penyerapan tulang oleh osteoclas yang memerlukan waktu 40 hari disusul fase istirahat dan kemudian disusul fase pembentukan tulang kembali oleh osteoblas yang memerlukan waktu 120 hari (Kamis, 1994). Dalam penyerapannya osteoclas melepas transforming Growth Factor yang merangsang aktivitas awal osteoblas dalam keadaan normal kwantitas dan kwalitas penyerapan tulang oleh osteoclas sama dengan kwantitas dan kwalitas pembentukan tulang baru oleh osteoclas. Pada Osteoporasis penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan baru (Djoko Roeshadi, 2001). E. Gejala dan Tanda Osteoporosis Pada awalnya penyakit ini tidak menimbulkan gangguan apapun. Namun dalam kondisi yang sudah parah gambaran klinik osteoporosis adalah sebagai berikut (Djoko R, 2001)  Nyeri  Tinggi badan berkurang /memendek Dalam

mendiagnosis

osteoporosis

tidak

hanya

berdasarkan

pemeriksaan klinik serta radiologis saja. Dengan pemeriksaan penunjang yaitu

11

BMD

(Bone

Mineral

Density)

dan

DEXA

(Dual

Energy X-Ray

Absorpsiometry) diagnosis osteoporosis menjadi lebih pasti. F. FAKTOR RESIKO OSTEOPOROSIS Dikenal beberapa faktor resiko untuk terjadinya osoteoporosis. Faktor resiko ini dibagi menjadi dua (R. Prayitno Prabowo, 2001). i. Faktor resiko yang tidak bisa dirubah 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Ras 4. Riwayat Keluarga /keturunan 5. Bentuk tubuh ii. Faktor resiko yang dapat dirubah 1. Merokok 2. Alcohol 3. Defisiensi vitamin d 4. Kafein 5. Gaya hidup 6. Gangguan makan (anoreksia vervusa) 7. Defisiensi esterogen pada menoupouse alami atau menoupouse karena operasi 8. Penggunaan obat-obatan tertentu seperti : Diuretik

12

Glukoortikoid Anti konvulsan Hormon tiroid berlebihan 2.3 Konsep Penyakit Rematik A. Pengertian  Penyakit rematik yang sering disebut arthritis (radang sendi) adalah penyakit yang mengenai otot-otot skelet, tulang, ligamentum, tendon dan persendian pada laki-laki maupun wanita dengan segala usia (Smeltzer, 2002).  Artritis rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Pada umumnya selain gejala artikuler, AR dapat pula menunjukan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah, atau gangguan organ nonartikuler lannya (Sjaifoellah, 2004).  Artritis rheumatoid adalah gangguan autoimun sistemik, ditandai dengan adanya arthritis erosive pada sendi synovial yang simetris dan kronis yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat serta kecacatan (Davey, 2005).  Rematik adalah penyakit inflamasi sistemik kronik (peradangan menahun) yang tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membrane synovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi ( Rizasyah Daud, 1999).

13

 Rematik (arthritis rheumatoid) adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai system organ yang dipengaruhi oleh imunitas (kekebalan0 dan tidak diketahui penyebabnya dimana terjadi destruksi sendi (kerusakan sendi) progresif ( Price & Wilson, 2006). B. Epidemiologi Prevalensi diseluruh dunia sebesar 1% dan kebanyakan terjadi di awal usia 40-an, walaupun dapat juga timbul pada manula. Penyakit ini 2-3 kali lebih sering pada wanita, namun perbandingan antar jenis kelamin bervariasi sesuai dengan usia (pada usia 30 tahun, perbandingan wanita : pria adalah 10 : 1, pada usia 65 tahun 1 : 1) C. Etiologi  Faktor genetik Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4 : 1 untuk menderita penyakit ini.  Faktor lingkungan termasuk infeksi oleh bakteri atau virus Umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.  Faktor hormone estrogen Sering dijumpai remisi pada wanita hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor ketidakseimbangan hormonal estrogen.

14

 Faktor stress Pada saat stress keluar heat shock protein (HSP) yang merupakan sekelompok protein berukuran sedang (60-90kDa) yang dibentuk oleh seluruh spesiaes pada saat stress.  Penuaan (usia 30-60 tahun) Seiring dengan bertambahnya usia, struktur anatomis dan fungsi organ mulai mengalami kemunduran. Pada lansia, cairan synovial pada sendi mulai berkurang sehingga pada saat pergerakan terjadi gesekan pada tulang yang menyebabkan nyeri.  Inflamasi Inflamasi meliputi serangkaian tahapan yang saling berkaitan. Antibodi immunoglobulin membentuk komplek imun dengan antigen. Fagositosis komplek imun akan dimulai dan menghasilkan reaksi inflamasi (pembengkakan, nyeri serta edema pada sendi).  Degenerasi Degenerasi kartilago artikuler disebabkan oleh gangguan keseimbangan fisiologis antara stress mekanis dan kemampuan jaringan sendi untuk bertahan terhadap stress tersebut. Kartilago artikuler maupun tulang dapat normal, tetapi beban (gaya yang dihasilkan oleh berat tubuh) yang berlebihan pada sendi menyebabkan jaringan tersebut gagal, atau beban pada sendi secara fisiologis masuh layak, tetapi kartilago artikuler atau tulangnya tidak normal.

15

Kartilago artikuler memainkan dua peranan mekanis yang penting dalam fisiologi sendi. Pertama kartilago artikuler memberikan permukaan penahan beban yang licin secara nyata, dan bersama cairan synovial, membuat gesekan (friksi) yang sangat rendah dalam gerakan. Kedua, kartilago artikuler akan meneruskan beban atau tekanan pada tulang sehingga mengurangi stress mekanis.  Stress mekanis Kartilago artikuler sangat resisten terhadap proses pengausan dalam kondisi gerakan yang berkali-kali. Ketika seorang berjalan, 3-4 kali berat tubuh akan ditarnsmisikan melalui sendi lutut. Ketika sendi mengalami stress mekanis yang berulang, elastisitas kapsula sendi, kartilago artikuler dan ligamentum akan berkurang.  Lempeng artikuler (tulang subkondrial) Akan menipis dan kemampuannya untuk menyerap kejutan menurun. Terjadi penyimpangan rongga sendi dan gangguan stabilitas. Pada sat lempeng artiluker lenyap, osteofit akan terbentuk di bagian tepi permukaan sendi dan kapsula serta membrane synovial menebal. Kartilago sendi mengalami degenerasi serta atrofi (mengeriput), tulang mengeras dan mengalami hipertrofi (menebal) pada permukaan sendinya. Dan ligamentum akan mengalami kalsifikasi. Sebagai akaibatnya terbentuk efusi sendi yang steril dan sinovitis sekunder.

16

 Perubahan pelumasan Disamping perubahan

pada

kartilago

artikuler

dan

tulang

subkondrial, pelumasan juga merupakan faktor degenerasi. Bersama dengan beban sendi (gaya yang dipikul lewat sendi), pelumasan bergantung pada lapisan tipis cairan intersisial yang terpecah dari kartilago ketika terjadi kompresi antar permukaan sendi yang berlawanan.  Immobilitas Degenerasi kartilago akibat immobilitas sendi dapat terjadi akibat gangguan kerja pemompaan lubrikasi yang terjadi pada gerakan sendi. D. Patofisiologi Sendi merupakan bagian tubuh yang paling sering terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit rematik. Inflamasi akan terlihat pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit rematik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang terjadi merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan synovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun. Pada penyakit rematik degenerative dapat terjadi proses inflamasi yang sekunder. Sinovitis ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu proses reaktif. Sinovitis dapat berhubungan dengan pelepasan

17

proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler yang mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat. RA merupakan manifestasi dari respon system imun terhadap antigen asing pada individu2 dengan predisposisi genetic. Suatu antigen penyebab RA yang berada pada membrane synovial, akan memicu proses inflamasi. Proses inflamasi mengaktifkan terbentiknya makrofag. Makrofag akan meningkatkan aktivitas fagositosisnya terhadap antigen dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibody. Setelah berikatan dengan antigen, antibody yang dihasilkan akan membentuk komplek imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan komplek imun ini akan mengaktivasi system komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permiabilitas vaskuler, juga dapat menarik lebih banyak polimorfonukler (PMN) dan monosit kea rah lokasi tersebut. Fagositosi komplek imun oleh sel radang akan disertai pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrin, prostaglandin yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.

18

Pengendapan

komplek

imun

akan

menyebabkan

terjadinya

degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamine dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat yang akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan akhirnya terbentuk pannus. Masuknya sel radang ke dalam membrane synovial akibat pengendapan komplek imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam pathogenesis RA. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblast yang berproliferasi, mikrovaskuler dan berbagai jenis sel radang. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerakan sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot. E. Manifestasi Klinis Kriteria dari American Rheumatism Association (ARA) yang direvisi tahun 1987, adalah: 1.

Kaku pada pagi hari (morning stiffness) Pasien merasa kaku pada persendian dan disekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal

2. Artritis pada 3 daerah

19

3. Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau persendian (soft tissue welling) atau lebih efusi, bukan pembesaran tulang (hyperostosis). Terjadi pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersaman dalam observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendian yang memenuhi criteria, yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang, pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki, dan metatarsofalang kiri dan kanan. 4. Artritis pada persendian tangan Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera diatas 5. Artritis simetris Maksudnya keterlibatan sendi yang sama (tidak mutlak bersifat simetris) pada kedua sisi secara serentak 6. Nodul rheumatoid Yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikular dalam observasi dokter 7. Faktor rheumatoid serum positif Terdapat titer abnormal faktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5 % kelompok control 8. Terdapat perubahan gambaran radiologis yang khas Gambaran khas RA pada radiografi tangan dan pergelangan tangan 9. Diagnosis arthritis rheumatoid ditegakkan sekurang-kurangnya terpenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 - 4 terdapat minimal selama 6 minggu.

20

Dalam buku KMB vol 3 hal 1801 Smeltzer :  Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi pada sendi yang terkena  Palpasi sendi akan terasa jaringan lunak seperti spon/busa  Pola khas dimulai dari sendi2 kecil pada tangan, pergelangan tangan dan kaki. Dengan semakin berlanjutnya penyakit, sendi lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, vertebra servikalis dan sendi temporomandibuler.  Gejala bilateral dn simetris  Awitan biasanya pagi hari  Deformitas tangan dan kaki karena immobilitas dalam waktu lama yang menyebabkan kontraktur  Demam, penurunan BB, mudah lelah, anemia, pembesan kelenjer limfe, dan fenomena Raynaud (vasospasme yang ditimbulkan oleh cuaca dingin dan stress sehingga jari-jari menjadi pucat dan sianosis. F. Komplikasi Kelainan system pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). G. Pemeriksaan Penunjang  Tes faktor reuma biasnya positif pada > 75 % pasien AR  Protein C-reaktif biasnya positif  LED meningkat

21

 Leukosit normal atau meningkat sedikit  Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi kronik  Trombosit meningkat  Kadar albumin serum menurun dan globulin naik  Pada pemeriksaan rontgen semua sendi dapat terkena, namun yang paling sering adalah sendi metatarsofalang dn biasnya simetris. H. Penatalaksanaan a. Penatalaksaan Medis  OAINS berupa aspirin (dibawah 65 tahun dosis 3-4 x 1 gr/hari), Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak dsb.  DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) jika respon OAINS tidak baik. Seperti klorokuin, sulfasalazin, D-penisilamin, garam emas, obat imunosupresif, kortikosteroid.  Pembedahan (jika berbagai cara pengobatan tidak berhasil)  Rehabilitasi (untuk meningkatkan kualitas hidup pasien)  Mengistirahatkan sendi yang terlibat  Modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri melalui arus listrik  Pemakaian alat bidai, tongkat, kursi roda, dll  Alat ortotik protetik  Occupational therapy  Mengurangi rasa nyeri

22

 Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi  Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot  Mencegah terjadinya deformitas  Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri  Memperthankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain  Memberikan

pendidikan

kesehatan

pada

pasien

mengenai

penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan I. Prognosis Perjalanan penyakit arthritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung kepada ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 5075% pasien akan mengalami remisi dalam 2 tahun. Penyebab kematian adalah infeksi, penyakit jantung, gagal pernafasan, gagal ginjal dan penyakit saluran pencernaan.

23

BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan Penyakit degeneratif adalah penyakit yang mengiringi proses penuaan

penyakit ini terjadi seiring bertambahnya usia. Penyakit degeneratif merupakan istilah yang secara medis digunakan untuk menerangkan adanya suatu proses kemunduran fungsi sel saraf tanpa sebab yang diketahui, yaitu dari keadaan normal sebelumnya ke keadaan yang lebih buruk. 3.2

Saran Dalam kenyataannya sekarang ini, penyakit degeneratif yang biasa dialami

oleh orang lanjut usia ternyata sudah dialami pada usia relatif muda. Tentunya hal ini berkaitan dengan pengaturan pola makan yang tidak benar. Untuk itu perlu kita upayakan pemberian pola makan yang benar sejak bayi balita dan seterusnya dalam pola yang seimbang.

24

DAFTAR PUSTAKA Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC, Jakarta. Corwn elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Davey, Patrick. (2005). At A Glance Medicine. Jakarta: EGC Doenges, Marilynn, E. dkk. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, 2000. EGC, Jakarta. Sjaifoellah, Noer, dkk. (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Price, Sylvia A, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta R. Boedhi Darmojo. 2002. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Smeltzer, Suzanne C, Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddath. Jakarta : EGC. Smeltzer & Barre. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC Mansjoer. Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculaapius FKUI.

Related Documents


More Documents from ""

Lk Asfiksia.docx
November 2019 30
Sap Herlina Tb Paru.docx
November 2019 35
Lambang Stifar.docx
May 2020 17