Pengolahan Secara Aerobik (1).docx

  • Uploaded by: Intan Nasukha
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pengolahan Secara Aerobik (1).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,774
  • Pages: 25
PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES AEROBIK

1. TUJUAN PERCOBAAN : 

Mahasiswa mengetahui proses aerobik dalam pengolahan air limbah



Mahasiswa mengetahui pengaruh rate aerasi, lama aerasi, F/M terhadap besarnya penurunan bahan pencemar (COD, BOD5, kekeruhan )



Mahasiswa mampu mengukur besarnya penurunan konsentrasi bahan pencemar (COD, BOD5, kekeruhan)

2. DASAR TEORI 2.1. Pengolahan Air Limbah Proses Aerobik Proses pengolahan air limbah secara biologis aerobik adalah proses pengolahan yang memanfaatkan aktifitas mikroba aerob, untuk menguraikan zat organik yang terdapat dalam air limbah menjadi zat anorganik yang stabil dan tidak memberikan dampak pencemaran terhadap lingkungan di sekitarnya. Proses penguraian zat organik dalam air limbah secara biologi sangat dipengaruhi oleh karakteristik air limbah yang akan diolah. Secara umum Eckenfelder (2000) menjelaskan bahwa tujuan pengolahan air limbah secara biologi adalah mengkoagulasi zat organik dalam air limbah baik yang tersuspensi, terkoloid, maupun terlarut. Adapun mekanisme penyisihan zat organik dalam air limbah adalah sebagai berikut : a) Penyisihan zat organik tersuspensi dalam air limbah adalah dengan pelekatan zat organik tersebut pada flok biologi. Proses ini dipengaruhi oleh gradien kecepatan yang dilakukan untuk mencampur air limbah dengan flok biologi. b) Penyisihan zat organik terkoloid dilakukan dengan adsorbsi kimia fisika pada flok biologi. c) Zat organik yang terlarut disisihkan oleh mikroorganisme dengan biosorpsi.

Pada proses penguraian (biodegradasi) zat organik oleh mikroorganisme dalam

proses

aerobik,

terdapat

dua

1

fenomena

dasar

yaitu

oksigen

dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk sintesis sel baru dan untuk mendapatkan energi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Zat organik + a O2 + N + P

a

Sel baru + CO2 + H2O + SMP

sel

Sel + b O2

b

CO2 + H2O + P + N + sel yang tak dapat didegradasi + SMP

Dimana : a’

: fraksi zat organik yang dioksidasi untuk menghasilkan energi

a

: fraksi zat organik yang dioksidasi untuk sintesis sel baru

b

: fraksi degradasi biomasa perhari

b’

: kebutuhan oksigen untuk oksidasi

SMP : zat yang tidak dapat didegradasi secara biologi dan terlarut dalam air (nonbiodegradable soluble residue, SMP)

Selanjutnya mikroorganisme yang terlibat dalam proses aerob sebenarnya sudah terdapat di alam dalam jumlah yang tidak terbatas dan selalu dapat diperoleh dengan sangat mudah. Mikroba yang berperan dalam proses biologis aerobik antara lain : Bakteri, Fungi , Protozoa dan Rotifera , Algae. Dalam sistem aerob, mikroba menggunakan bahan organik dengan bantuan oksigen dan kemudian mengubahnya menjadi sel. Dalam proses penguraian tersebut tersebut terdapat tiga macam mekanisme yang terjadi, yaitu : Katabolisme, Anabolisme dan Autolisis. Persamaan reaksi dari ketiga mekanisme adalah sebagai berikut; ( Kurniawan, Y., 1887 – 1997) 1. Katabolisme Katabolisme adalah suatu reaksi pemecahan dan pembongkaran senyawa kimia kompleks yang mengandung energi tinggi menjadi senyawa sederhana yang mengandung energi lebih rendah.

2

Tujuan dari katabolisme adalah untuk membebaskan energi yang terkandung di dalam senyawa asal. Reaksi katabolisme CxHyOzN

+ O2

bakteri

CO2 + H2O + NH3 + Energi

(bahan organik)

Dalam reaksi ini, bakteri (decomposer) yang ada dapat mendekomposisi bahan organik dalam limbah yang nantinya akan menghasilkan CO 2, H2O, NH3 dan energi. Agar reaksi kimia berlangsung dengan sempurna, maka dilakukan penyetaraan dengan penambahan O2 (reaksi utama di sebelah kanan tanda panah).

2. Anabolisme Anabolisme adalah peristiwa perubahan atau penyusunan senyawa sederhana menjadi senyawa kompleks yang memerlukan energi. Energi yang dihasilkan dari proses katabolisme nantinya akan digunakan untuk mensintesa molekul kompleks seperti protein, polisakarida sebagai bahan pembentuk sel pada reaksi ini.

Reaksi Anabolisme CxHyOzN

+

bakteri

Energi

C5H7NO2 (sel bakteri)

(bahan organik)

Dalam rekasi ini, bakteri (decomposer) yang ada dengan adanya bantuan energi dapat mendekomposisi bahan organik yang nantinya akan digunakan sebagaian untuk bahan pembentuk sel bakteri itu sendiri.

3. Autolisis Autolisis adalah proses pembakaran untuk mendapatkan energi dan nutrisi. Dengan adanya oksigen menyebabkan sebagian sel mengalami degradasi menjadi CO2 dan H2O.

Reaksi autolisis C5H7NO2

+

5O2

bakteri

3

5CO2 + 2H2O + NH3 + Energi

(bahan organik)

Dalam reaksi ini, adanya penambahan oksigen yang terus - menerus menyebabkan sel bakteri (decomposer) mengalami degradasi pada saat mendekomposisi bahan organik sehingga menjadi CO2, NH3, H2O dan energi. Dengan demikian proses aerob ini pada prinsipnya (Kurniawan, Y., 1887 – 1997) :  Ada oksigen  Ada

bakteri

yang

mampu

mengurai

bahan

organik

dan

mengkonsumsinya menjadi sel baru  Ada fase kematian bakteri apabila ketersediaan makanan habis.

Berdasarkan pada prinsipnya penguraian tersebut, maka sistem aerob memerlukan energi yang relatif besar untuk memasukkan oksigen. Penguraian bahan organik dalam system aerob pada prinsipnya memiliki mekanisme sebagai berikut (Kurniawan, Y., 1887 – 1997): Limbah Cair (Organik Kompleks) O2 Senyawa Organik Sederhana + CO2 + energi

O2

CO2 + H2O + energi

O2

Bahan Pembangun Sel

Sel Baru

Sisa Organik Stabil

Konsentrasi komponen biologis organik terlarut dalam air diukur dengan kebutuhan oksigen karbon biokimia atau BOD. Kebutuhan oksigen adalah hasil 4

dari konsumsi oksigen terlarut oleh mikroorganisme aerob saat mendekomposisi komponen organik. Dalam pengolahan limbah cair, oksigen ini disuplai pada mikroorganisme

tersebut

sehingga

akan

mengkonsumsi

substrat

( komponen organik ) untuk bahan bakar metabolismenya. Hasil dari metabolisme tersebut adalah komponen anorganik dan sel mikroba baru.

2.2 Metabolisme Mikroba Metabolisme adalah jumlah dari proses biokimia yang terjadi dalam pembongkaran komponen organik dan pembentukan protoplasma sel. Proses ini mengkonversi energi kimia menjadi pembentukan energi yang dapat digunakan untuk proses penopang kehidupan dari mikroba. Beberapa energi yang dilepas tersebut digunakan untuk meterial pembentukan sel baru. Mikroorganisme heterotrof aerob dan anaerob menggunakan proses fermentasi untuk mengurangi komponen organik kompleks menjadi bentuk sederhana.

Mikroorganisme

heterotrof

adalah

mikroorganisme

yang

menggunakan karbon organik untuk pembentukan biomassa baru. Organisme ini adalah konsumen dan dekomposer. Oleh karena itu, bergantung pada ketersediaan sumber dan komponen organik untuk sintetik sel dan energi kimia. Proses Fermentasi

volatile COHNS   heterotrophic microbes   organic compounds   fatty   CO2  H 2 O  CH 4  energy  residuals    acids 

Pada proses fermentasi berlangsung secara eksoterm dan pemecahan enzimatik dari komponen organik terlarut tidak bergantung dari jumlah dari oksigen terlarut. Proses fermentasi ini dapat terjadi dalam 2 langkah yaitu proses fermentasi asam dan proses fermentasi methan. Produk akhir dari fermentasi asam adalah asam lemak volatile ( VFA ) dan alkohol. Proses fermentasi asam  volatile  fatty   O aerobic microbes   CO2  H 2 O  energy  residuals 2    acids  5

Dalam proses respirasi, mikroorganisme aerobik dapat mengubah VFA ( dan kompenen biologis yang tersedia ) menjadi CO2, air dan energi. Pada proses fermentasi asam membutuhkan oksigen. Oksigen dalam hal ini berperan sebagai aseptor elektron untu degradasi katabolic dari VFA. Karena mikroba aerob dapat mengkonversi karbon biologis organik menjadi karbon anorganik, maka sistem aerob dapat menghasilkan laju tinggi dalam pengolahan limbah cair. 2.3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Proses Aerobik Untuk

menghasilkan

laju

oksidasi

tinggi

dari

polutan

organik,

mikroorganisme harus dilengkapi dengan lingkungan yang membuat mereka tumbuh dengan subur. Temperature, pH, DO dan faktor – faktor mempengaruhi

seleksi

alam,

kelangsungan

hidup,

lain

pertumbuhan

mikroorganisme dan laju oksidasi biokimianya. a. Temperatur Laju oksidasi biologis merupakan fungsi dari temperature. Berbagai spesies mikroba mempunyai temperature optimum untuk hidup dan mensintesis sel.  Mikroorganisme psikofilik tumbuh subur pada temperature -2 - 30°C. Temperatur optimum pada 12 - 18°C.  Mikroorganisme mesofilik tumbuh subur pada temperature 20 - 45°C. Temperatur optimum pada 25 - 4°C.  Mikroorganisme thermofilik tumbuh subur pada temperature 45 – 75°C. Temperatur optimum pada 55 - 65°C. b. Perbandingan Nutrisi Mikroorganisme (F/ M) Perbandingan ini meliputi massa komponen bioorganik (substrat) yang ditambahkan pada aerasi per hari dalam hubungannya dengan kandungan massa mikroorganisme dalam aerasi. Perbandingan ini mewakili massa dari BOD per hari per massa mikroba dalam unit pengolahan (Buchanan, 2004). Terdapat waktu keterlambatan pada perubahan mendadak dan penambahan bahan organik. Jika semua faktor lain konstan, populasi dapat dengan cepat meningkat sebagai respon dari penambahan bahan organik.

6

Nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme pada prinsipnya terdiri dari: N, S, P, K, Mg, Ca, Fe, Na, dan Cl. Ada beberapa nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya dalam jumlah kecil antara lain: Zn, Mn, Mo, Se, Co, Cu, dan Ni (Madigan, et al., 2000 dalam Eckenfelder, 2000). Meskipun setiap bakteri mempunyai faktor pertumbuhan yang berbeda-beda pada umumnya faktor tersebut terdiri dari asam amino, nitrogen (purin dan pirimidin), dan vitamin. c. pH pH influent memiliki dampak signifikan pada pengolahan limbah cair. Optimum pH untuk pertumbuhan mikroba diantara 6,5 – 7,5. Respon pada pH berpengaruh pada perubahan aktivitas enzim. d. Sumber Karbon dan Energi Untuk

melakukan

reproduksi

dan

fungsi-fungsi

lainnya

mikroorganisme harus mempunyai sumber energi, karbon untuk sintesis sel baru, zat-zat anorganik sebagai nutrisi seperti nitrogen, pospor, sulfur, potasium, kalsium, dan magnesium. Nutrisi organik (faktor pertumbuhan) juga dibutuhkan untuk sintesis sel baru (Tchobanoglous, et al, 2003).  Sumber Karbon Mikroorganisme memperoleh sumber karbon dari atom organik maupun dari karbon dioksida. Mikroorganisme yang menggunakan karbon organik untuk membentuk sel baru disebut heterotrophs, sedangkan yang memperoleh karbon dari karbon dioksida disebut bakteri autotrophs.  Sumber energi Energi dibutuhkan untuk sintesis sel, energi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dapat diperoleh dari sinar matahari maupun dari reaksi oksidasi kimia. Bakteri dapat mengoksidasi zat organik maupun anorganik sehingga menghasilkan energi. Organisme yang memperoleh sumber energi dari sinar matahari disebut phototroph. Organisme phototrophic dapat berupa hetrotroph (bakteri pereduksi sulfur) maupun autotrop (alga dan bakteri fotosintesis). Sedangkan bakteri yang mendapatkan sumber energi dari reaksi oksidasi kimia disebut bakteri Chemotrophs. Sama seperti phototrophs, mikroorganisme ini dapat dapat berupa mikroorganisme heterotrophic (protozoa, fungi dan 7

berbagai bakteri) atau mikroorganisme autotrophic (bakteri nitrifikasi). Mikroorganisme Chemoautotroph memperoleh sumber energi dari reaksi oksidasi maupun reduksi materi anorganik seperti amoniak, nitrit, besi, dan sulfida. Chemoautotroph biasanya memperolah sumber energi dari oksidasi zat organik. e. Kebutuhan Oksigen Pada pengolahan limbah secara aerobik, mikroba membutuhkan oksigen untuk mendegradasi bahan organik. Jika oksigen yang tersedia kurang,

maka

mikroba

juga

tidak dapat

bekerja

maksimal untuk

mendegradasi bahan organik yang terkandung dalam limbah. Maka dari itu harus diketahui seberapa banyak kebutuhan oksigen yang dibutuhkan mikroba untuk menguraikan bahan organik. Untuk mengetahui seberapa banyak kebutuhan oksigen, maka dapat dihitung dari nilai total kebutuhan oksigen mikroba. Seperti yang telah dirumuskan berikut : Kebutuhan oksigen untuk oksidasi substrat

)

Oksigen untuk = sintesa dan respirasi energi

Oksigen untuk + oksidasi biomass

Oksigen untuk respirasi + endogenous

Oksigen untuk + oksidasi inert

Kebutuhan O2 untk respirasi = (So – S) + a [laju produksi biomass] + b [laju produksi inert]

Dimana : a = konstanta yang mengkaitkan biomass COD, TOD atau BOD dengan massa ini b = konstanta yang mengkaitkan inert COD, TOD atau COD dengan massa ini

Secara matematik :

Removal substrat

O2 untuk sintesa dan respitasi energi

Biomass terbentuk

O2 untuk respirasi endogenous

O2 untuk oksidasi (COD,TOD,BOD) 8

O2 untuk oksidasi (COD, TOD, BOD) CO2 , H2O

Organik inert

O2 untuk oksidasi (COD, TOD, BOD)

Untuk a = b dan ToC < 10 hari

S S massa O2  1 a Y   0,9 . a . k d X  0 volume. waktu t

Dimana; X biasanya diukur sebagai MLSS atau MLVSS a = 1,44 mg COD/mg MLVSS Apabila umur sludge dimasukan, ganti nilai X dengan X / (1 + 0,1 kd tC )

Kebutuhan oksigen teoritis bila ditinjau dari reaksi biokimia C5H7NO2 + 5O2  5 CO2 + 2H2O + NH3 + energi 113

5x32 = 160

organisme cell ≈

1

1,42

Menunjukkan bahwa ultimate BOD (BODu) untuk satu mole cell membutuhkan 1,42 mole oksigen. Jadi

kebutuhan oksigen teoritis untuk menghilangkan bahan karboneous

organik dalam air limbah untuk proses activated sludge dinyatakan sebagai :

Massa O2/hari =

total massa BODu yang digunakan – 1,42 x

(massa

organisme terbuang, P )

Dimana; f = faktor konversi untuk mengubah BOD5 ke BODu

Apabila nitrifikasi juga terjadi, kebutuhan oksigen total adalah massa dari oksigen per hari yang dipakai oleh bahan karboneous dan untuk nitrifikasi menjadi : 9

kg O2 / hari 

Q S 0  S   1  Q N 0  N  1,42 Yobs    1000 g / kg  f  1000 g / kg

Dimana : No

: konsentrasi nitrogen kjehdahl total pada influent, mg/l

N

: konsentrasi nitrogen kjehdahl total pada effluent, mg/l

4,75 : faktor konversi oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi komplet

2.4. Aerasi Aerasi termasuk pengolahan secara fisika, karena lebih mengutamakan unsur mekanisasi dari pada unsur biologi. Prinsip kerjanya adalah membuat kontak antara air dan oksigen ( Syahputra, 2006 ). Efisiensi proses ini sangat ditentukan oleh sebaran gelembung udara dalam air. Tujuan proses aerasi adalah mengontakkan semaksimal mungkin permukaan cairan dengan udara guna menaikkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air buangan sehingga berguna bagi kehidupan mikroorganisme. Perpindahan sesuatu zat atau komponen dari satu medium ke medium yang lain berlangsung lebih efisien, maka yang terpenting adalah terjadinya turbulensi antara cairan dengan udara, sehingga tidak terjadi interface yang stagnan atau diam antara cairan dan udara yang dapat menyebabkan laju perpindahan terhenti. Prinsip kerja aerasi adalah penambahan oksigen ke dalam air, sehingga oksigen terlarut di dalam air akan semakin tinggi. Pada prakteknya terdapat dua macam cara untuk menambahkan oksigen ke dalam limbah cair, yaitu dengan memasukkan udara ke dalam limbah cair dan atau memaksa air ke atas untuk berkontak dengan oksigen ( Sugiharto, 1987 ). Menurut Buchanan ( 2004 ), influent pada pengolahan limbah secara aerasi harus mengalami pengolahan pendahuluan terlebih dahulu. Dalam pengolahan pendahuluan

terdapat

pemisahan padatan

non-degradable

dan

slowly-

degradable dengan influent. Pengolahan ini berfungsi untuk meminimalkan efek dari kejutan kimia populasi mikroba pada bak aerasi. Pemutih dan desinfektan juga harus dicairkan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam bak aerasi karena sangat berbahaya untuk perkembangan populasi mikroba. 10

Terdapat beberapa prinsip dasar alat aerasi yaitu : a. Aerator Air Terjun, umumnya terdiri dari : 

Aerator Spray Dimana, air dipaksa masuk melalui nozzle seperti pada air mancur.



Aerator Cascade Air disebarkan dengan cara mengalirkan pada lempengan tipis yang disusun seperti tangga atau sekat agar terjadi turbulensi untuk mencampur udara yang terabsorpsi dalam cairan dan agar cairan terangkat ke permukaan sehingga terjadi kontak dengan udara.



Aerator Multiple-Tray Cairan dialirkan ke bagian atas dari beberapa tahap tray yang berisi butiran medium seperti arang batu atau butiran keramik. Air teraerasi saat mengalir melalui medium yang ada pada tray dan cairan jatuh dari tray-tray.

b. Sistem Aerasi Difusi Udara Udara dimasukkan ke dalam cairan yang akan diaerasi dalam bentuk gelembung-gelembung yang naik melalui cairan tersebut. c. Aerator Mekanik Dihasilkan dengan cara memecah permukaan air limbah secara mekanik. Dengan timbulnya interface cairan-udara yang besar, maka terjadi perpindahan oksigen dari atmosfir ke dalam air.

Suplai oksigen pada limbah cair dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Diffused Air System dan Mechanical Aeration System. Pada Diffused Air System digunakan

peralatan

yang

berada

di

bawah

permukaan

air

untuk

menginjeksikan udara pada limbah cair. Sedangkan Mechanical Aeration System, suplai udara dilakukan dengan pengadukan secara mekanik ( Buchanan, 2004 ). Pada bak aerasi, penempatan aerator diletakkan pada bagian tengah dasar bak aerasi. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kecepatan kontaknya gelembung udara tersebut dengan limbah cair sehingga proses pemberian oksigen lebih cepat ( Sugiharto, 1987 ). Thoenes (1994), kolom aerator (bubble column) adalah perangka yang sederhana dan efektif untuk terjadinya kontak antara udara dan air. Kolom ini 11

biasanya terdiri dari tabung silinder vertikal dengan distributor udara (diffuser) pada bagian dasar, baik jenis pelat berpori atau sparger (satu atau beberapa cincin yang berlubang-lubang kecil). Jenis-jenis diffuser adalah sebagai berikut :  Open pipe  Perforated pipe  Nonciog  Saran wrapped tube  Porous ceramic tube

Gambar dari jenis diffuser di atas adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1. Jenis diffuser

2.5. Biological Oxygen Demand ( BOD ) Biological

Oxygen

Demand

(BOD)

merupakan

parameter

yang

menunjukkan banyaknya jumlah oksigen (mg/l ) yang dibutuhkan selama proses stabilisasi bahan – bahan organik oleh aktivitas bakteri aerob. Proses aerob akan mengakibatkan sel – sel mikroba mengkonsumsi protoplasmanya sendiri sedangkan jaringan sel-nya teroksidasi menjadi karbondioksida, air dan amoniak dan hanya sekitar 20 – 25% bahan organik yang tidak terurai secara biologis. Untuk mengetahui nilai BOD dilakukan analisis berdasarkan pada selisih antara oksigen terlarut sebelum dan sesudah 12

inkubasi selama 5 hari pada suhu 20 ºC (atau biasa ditulis dengan BOD 520 atau BOD5). Selisih ini merupakan nilai BOD yang menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk dekomposisi bahan organik. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengolah bahan-bahan buangan tersebut (Fardiaz, S., 1992). Semakin tinggi jumlah organik terurai maka semakin tinggi juga O2 yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik. Oleh karena itu nilai parameter BOD5 merupakan ukuran untuk menentukan kualitas air limbah. BOD5 yang bernilai tinggi berarti kandungan organk terurai dalam limbah cair juga tinggi. Menurut Srikandi Fardiaz (1992), organisme hidup yang bersifat aerobik membutuhkan

oksigen

untuk

beberapa

reaksi

biokimia,

yaitu

untuk

mengoksidasi bahan organik, sintesis sel dan oksidasi sel. Reaksi-reaksi tersebut berlangsung sebagai berikut :  Oksidasi bahan organik nzim CH 2 O n  n O2 e  n CO2  n CO2  panas



Sintesis sel

nzim CH 2 O   NH 3  O2 e  komponen sel  CO2 H 2 O  panas



Oksidasi sel

nzim komponen sel  O2 e  CO2  H 2 O  NH 3  panas

Analisis oksigen terlarut merupakan dasar utama dalam penentuan nilai BOD. Sampai saat ini metode penentuan oksigen terlarut yang dikenal luas adalah metode Winkler. Secara garis besar metode Winkler melibatkan reaksi contoh dengan garam Mangan (II) secara berlebih dan Natrium Iodida serta Natrium Hidroksida. Terbentuknya endapan Mn(OH)2 akan dioksidasikan oleh oksigen menjadi Mn(OH)3 yang berwarna coklat dan melalui pengasaman maka Mn(OH)3

akan

mengoksidasikan

iodide

menjadi

iodium.

Iodium

yang

dibebaskan tersebut selanjutnya dititrasi dengan larutan standar Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) yang normalitasnya menggunakan indikator larutan amilum (kanji).

Reaksinya adalah sebagai berikut : 13

MnCl2 + NaOH  Mn(OH)2 + 2 NaCl 2 Mn(OH)2 + O2  2 MnO2 + 2 H2O MnO2 + 2 KI + 2 H2O  Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH I2 + 2 Na2S2O3  Na2S4O6 + 2 NaI Terdapatnya ion – ion logam beracun dan zat kimia seperti fenol, khlor bebas, cyanidde, formalin di dalam air limbah akan dapat mempengaruhi hasil analisis BOD oleh karena zat – zat tersebut akan menghambat aktivitas mikroba sehingga mengakibatkan nilai BOD bukan yang sebenarnya. Penetapan BOD ini merupakan cara standar untuk menentukan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh air untuk melakukan penguraian secara biologis. Dalam hal ini jumlah oksigen yang diperlukan adalah oksigen yang dihabiskan dalam kondisi percobaan atau penetapan (inkubasi selama 5 hari pada temperatur 20 ºC) oleh mikroorganisme yang terkandung dalam contoh air. Prinsip Penetapan Penetapan BOD merupakan pelaksanaan proses penguraian bahan organik di laboratorium sebagaimana terjadi dalam lingkungan alamiah. Proses penguraian yang berlangsung dapat digambarkan sebagai berikut :

Bahan organik + mikroorganisme aerobik

CO2 + biomass +

energi

Penguraian bahan organik tersebut sejalan dengan pemakaian oksigen (O 2). Dalam penetapan BOD, yang dianalisa adalah kadar oksigen terlarutnya pada saat

t = 0 dan t = 5 hari (untuk BOD5) dan pada temperatur 20ºC.

Untuk memperoleh hasil yang lebih teliti, perlu dilakukan pengenceran contoh air yang akan diperiksa. Kondisi yang harus dipenuhi dalam penetapan BOD adalah :  Bebas bahan bercun sehingga tidak mengganggu pertumbuhan dan kehidupan mikroorganisme.  pH yang sesuai  Cukup dengan nutrien yang dibutuhkan mikroorganisme. 14

 Temperatur standar (20ºC).  Ada mikroorganisme dalam jumlah yang cukup

Adapun keterbatasan yang dimiliki oleh analisa BOD ini, antara lain:  Membutuhkan mikroba dalam jumlah yang tinggi.  Diperlukan pretreatment untuk sample terdapat bahan beracun.  Hanya mengukur bahan yang dapat terurai secara biologis.  Pengukuran tidak stokiometrik  Membutuhkan waktu lama.

Penentuan Dissolved Oxygen (DO) dapat menggunakan dua cara: 1) Metode Titratsi, 2). Pengukuran langsung dengan DO meter. Untuk cara titrasi, pembuatan pengenceran dari contoh yang sudah disiapkan dimaksudkan agar pengurangan kandungan oksigen terlarut sesuai dengan yang diharapkan. Kisaran pengurangan oksigen terlarut (depletion) sebelum dan sesudah inkubasi antara 20 – 80% dari rata – rata kandungan oksigen air pengencer sebelum dan setelah inkubasi. Tingkat pengenceran tergantung dari tingkat pencemaran yang terjadi terhadap contoh air. Tabel berikut ini menyajikan tentang tingkat pengenceran contoh untuk penentuan nilai BOD. Beberapa tingkat pengenceran contoh untuk penentuan nilai BOD :

Tabel 1. Tingkat Pengenceran Contoh untuk Penentuan Nilai BOD Menggunakan pemipetan Menggunakan % campuran

langsung ke dalam botol BOD 300 cm3

% campuran

BOD (mg/dm3)

0,01

20000 – 70000

Pemipetan (dm3) 0,2

BOD (mg/dm3) 300000 – 105000

0,02

10000 – 35000

0,05

12000 – 42000

0,05

4000 – 14000

0,10

6000 – 21000

0,10

2000 – 7000

0,20

3000 – 10500

0,20

1000 – 3500

0,50

1200 – 4200

15

0,50

400 – 1400

1,0

600 – 2100

1,0

200 – 700

2,0

300 – 1050

2,0

100 – 350

5,0

120 – 420

5,0

40 – 140

10,0

60 – 120

10,0

20 – 70

20,0

30 – 105

20,0

10 – 35

50,0

12 – 42

50,0

4 – 14

100,0

6 – 21

100,0

0-7

300,0

0–7

Maka dengan demikian dapat dibuat pengenceran sample menurut patokan table diatas sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Perhitungan  Untuk BOD jika tanpa menggunakan bibit

 ( A  A3 )   x F BOD 5 ( mg / L)  ( A1 )   2 2    Untuk BOD jika menggunakan bibit

  ( A  A3 )   ( B2  B3 )   BOD 5 (mg / L)    A1 2   B1  xF 2 2     Dimana A1

: DO contoh selama 0 hari

A2 + A3 : DO contoh setelah inkubasi 0 hari B1

: DO air pengencer (mengandung bibit)

B2 + B3 : DO air pengencer (mengandung bibit) setelah inkubasi 5 hari F

: Faktor pengenceran

2.6. Chemical Oxygen Demand ( COD ) Kebutuhan

oksigen

kimiawi

COD

(Chemical

Oxigen

Demand)

merupakan suatu pengukuran terhadap jumlah O2 ( dalam mg O2 ) yang setara dengan bahan kimia pengoksidasi (oksidan) semua senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair. Senyawa pengoksidasi yang sering digunakan adalah Kalium Dikromat

( K2Cr2O7 ). Semakin tinggi senyawa organik yang 16

terkandung dalam limbah cair maka semakin tinggi kebutuhan oksigen dan nilai COD-nya. Analisa COD mampu mengoksidasi hampir seluruh jenis organik terlarut yang terkandung dalam limbah cair. Oleh karena itu, nilai COD sering dianggap mewakili nilai organik total. Nilai organik total merupakan penjumlahan dari organik sulit terurai dan organik terurai. Organik Total

= (organik sulit terurai) + (organik terurai)

.....dalam

ekivalen mg O2 COD

= (organik sulit terurai) + BOD

Parameter COD sering digunakan untuk menggantikan fungsi BOD5, karena :  Waktu analisa yang jauh lebih singkat, yaitu kurang dari 3 jam  Pengukuran berulang (duplikasi) memberikan nilai – nilai yang lebih dekat  Perlatan yang lebih praktis

Reaksi : Organik + Cr2O72- + H- (katalis +

panas)

Perhitungan COD mg / L 

( A  B ) x C x 8000 x P (A –B) x C x 8000 volume contoh

Dimana; A = volume titrasi blanko B = volume titrasi contoh C = normalitas ferro ammonium sulfat P = pengenceran

2 1 17

Cr3+ + CO2 + H2O

Keterangan: 1 : compressor udara 2 : flowmeter udara

BAHAN DAN ALAT 3.1.

Penentuan BOD Peralatan

Bahan

 Beaker glass

 Air pengencer

 Botol BOD

 Aquadest

 Buret

 H2SO4

 Erlenmeyer

 Indikator kanji

 Gelas ukur

 MnSO4

 pH meter

 Na2S2O3

 Pipet tetes

 Pereaksi alkali – iodide

 Pipet ukur  Sarung tangan

3.2.

Penentuan COD Peralatan 

Bahan

Reflux apparatus, yang terdiri

 Aquadest

dari: Erlenmeyer 250 ml, Hot

 H2SO4 pekat yang berisi 22 g

plate, Kondensor reflux

Ag2SO4 untuk setiap 4 liter

2.

Buret

H2SO4

3.

Beaker glass

 Indikator ferroin

4.

Gelas ukur

 K2Cr2O7 0,250 N

5.

Pipet tetes

 Larutan

6.

Pipet ukur

standar

ammonium sulfat 0.01 N 18

ferro

7.

 Merkuri

Sarung tangan

sulfat

Kristal

(Hg2SO4)

4.

PROSEDUR KERJA

4.1. Prosedur Percobaan Pengolahan air Limbah Secara Aerob  Siapkan seperangkat peralatan percobaan yang terdiri dari : beaker glass ukuran 1 liter atau bak plastic ukuran 5 liter (sebagai reaktor aerobic), compressor beserta flowmeternya  Masukkan air limbah tertentu sebanyak 750 ml atau 2 liter sebagai sampel (sesuai saran pembimbing) kedalam reaktor aerobik  Ukur konsentrasi BOD5, COD, dan turbidity awal dari sampel dengan peralatan dan metode yang sesuai  Masukkan kultur/isolate bakteri tertentu (sesuai saran pembimbing) dalam jumlah mg tertentu (sesuai saran pembimbing, sebagai variabel percobaan) serta nutrisi.  Alirkan udara dari compressor pada rate alir tertentu (sebagai variabel percobaan) dengan melihat besarnya flow rate pada flow meter.  Amati proses yang terjadi dalam reaktor aerobic  Ambil sampel air limbah dari reaktor aerobic untuk setiap periode waktu tertentu (sebagai variabel percobaan)  Lakukan analisa konsentrasi BOD5, COD dan turbidity air limbah akhir dan lanjutkan dengan mencatat hasil analisa sebagai data percobaan  Hentikan percobaan dengan cara mematikan compressor  Mengakhiri percobaan dengan cara membersihkan peralatan dan mengembalikan peralatan pada tempat semula.

4.2. Prosedur Analisa Sampling 4.2.1. Prosedur Analisa BOD5 Pembuatan air pengencer Pemipetan 1 ml buffer phospat. 1 ml magnesium sulfat, 1 ml kalsium klorida pada labu ukur 1 liter dan diencerkan sampai tanda batas. Pengolahan awal 19

Untuk contoh yang bersifat asam atau basa dinetralkan terlebih dahulu sampai pH 7 dengan menggunakan H2SO4 atau NaOH 1N. Teknik pengenceran Pengenceran yang diperlukan tergantung dari kadar zat organik yang terkandung di dalam air tersebut, misalkan pada air buangan industri gula diencerkan 10-100 kali pengenceran. Penambahan reagen Sampel dilakukan penambahan 2 ml Mangan (II) Sulfat dan 2 ml pereaksi alkali iodida. Menutup botol samapi tidak ada gelembung dan dikocok sampai homogen. Setelah terbentuk endapan dilakukan penambahan 2 ml H 2SO4 sampai endapan larut. Inkubasi Untuk mendapatkan BOD5 maka dilakukan inkubasi pada botol BOD di ruangan yang bersuhu 20 ºC selama 5 hari.

Perhitungan mg / l BOD =

DO1  DO2 p

Keterangan : DO1 = DO sampel yang diencerkan sebelum inkubasi DO2 = DO sampel yang diencerkan setelah inkubasi p = decimal factor pengenceran (lihat tabel pengenceran)

4.2.2. Prosedur Analisa COD  Pengenceran sampel limbah 10x dan 100x sebanyak masing-masing pengenceran 20 ml.  Tambahkan 0,4 g HgSO4 ke dalam Erlenmeyer 300 ml.  Tambahkan 20 ml sample yang sudah diencerkan sedemikian sehingga mengandung kira – kira 50 g/l COD.  Tambahkan 10 ml larutan standar kalium dikromat dan tambahkan pula dengan hati–hati 30 ml asam sulfat pekat yang mengandung AgSO4 campur dengan baik dan hati – hati agar tidak terjadi pemanasan setempat, karena kalau tidak larutan dapat menyembur keluar Erlenmeyer dan dapat melemparkan pendingin. 20

 Reflux selama 2 jam.  Setelah itu, tambahkan 2 – 3 tetes indicator feroin dan titrasi kelebihan dikromat dengan menggunakan larutan standar ferroamonium sulfaft 0,1 N. Perubahan warna yang terjadi dari biru hijau menjadi merah coklat.  Lakukan tahap–tahap yang sama untuk blanko dan larutan KHP. Pada penetapan untuk blanko, sample diganti aquadest.  Perhitungan : mg / l COD =

(a  b) N x 8000 ml contoh

Keterangan : a = ml Fe(NH4)2(SO4) 2 untuk blanko b = ml Fe(NH4)2(SO4) 2 untuk sampel

21

5. SKEMA KERJA 5.1.

Diagram alir percobaan

Limbah cair dari lokasi XX

Aerasi

dianalisa

   

BOD COD kekeruhan Suhu

Kultur

Flow rate udara

 3 L/menit  5 L/menit  7 L/menit  ZA :

Nutrient

Waktu aerasi

Hasil proses

Analisa hasil

22

   

5 L/menit 5 gram 10 gram 15 gram

  

3 jam jam 55 L/menit 10 jam

   

BOD COD kekeruhan Suhu

5.2.

Prosedur Analisis COD

Sample limbah 20 ml

Tambahkan : Hg2SO4 0,4 g K2Cr2O7 0.1N 10 ml AgSO4 dalam H2SO4 30 ml Larutan direfluks selama 2 jam Larutan didinginkan Indikator Freoliin Larutan dititrasi dengan fero ammonium sulfat 0,25 N

Pengambilan data COD



Standarisasi larutan fero ammonium sulfat Larutan campuran ( Sampel limbah dan reagen ) Larutan didinginkan

Larutan dititrasi dengan fero ammonium sulfat 0,25 N

23 Pengambilan data



Penentuan blanko Larutan campuran ( Sampel limbah dan reagen ) Larutan didinginkan

Larutan dititrasi dengan fero ammonium sulfat 0,25 N

Pengambilan data

5.3 Analisa BOD  Penentuan BOD Sample limbah

Pengenceran

Botol I

Botol II

Dieramkan 5 hari Dititrasi Dititrasi Pengambilan data Pengambilan data

24

DAFTAR PUSTAKA

Agus Krisno B, Moch. Mikrobiologi Terapan. 2004. UMM Pres : Malang Arsawan, Made. Pemanfaatan Metode Aerasi dalam Pengolahan Limbah berminyak. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/04_arsawan_p.pdf . Buchanan, John. R. Aerobic Treatment of Wastewater and Aerobic Treatment Unit. www.armadale.wa.gov.au/_document/health/aerobic_treatment.pdf. 1 Dasar-dasar Teknologi Pengolahan Limbah Cair. http://www.dephut.go.id/ INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info-5-10604/isi-5.htm. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Limbah. Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta. http://www.04-arsawan-p.pdf Sulistijorini, 2003. Pengaruh Aerasi Dalam http://www.perpus.wima.ac.id/nani04.htm

Pengolahan

Limbah.

Syahputra, Benny. 2008. Teknologi Aerasi sangat dibutuhkan pada IPAL dan IPAM. http://bennysyah.edublogs.org/2006/12/18/proses-lumpur-aktifdengan-aeras i-oksigen-murni. Tchobaoglous, George. 2003. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse. Mc Graw-Hill : New York, America Widjaja, Tri. 2006. Proses Biologis Pada Air Limbah Industri.. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Wijayanti, Yureana. 2009. Pengaruh Debit Terhadap Dinamika Gelembung Udara Dalam Kolam Aerator. http://www.proses aerasi.pdf.

25

Related Documents


More Documents from "arex85"

Pengeluaran
May 2020 45
Cover2 Halaman
May 2020 17
Laporan Kasus Intan.pptx
December 2019 30