Pengolahan Rumput Laut Budi.docx

  • Uploaded by: Budi Mulyawan
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pengolahan Rumput Laut Budi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,737
  • Pages: 21
Tugas

TEKNOLOGI PENGOLAHAN RUMPUT LAUT

Oleh:

BUDI MULYAWAN (1627042021) PTP B (02)

PENDIDIKAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2019

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumput laut merupakan sumber utama penghasil agar-agar, alginat dan karaginan yang banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, dan industri lainnya seperti industri kertas, tekstil, fotografi, pasta, dan pengalengan ikan. Tahun 2009 produksi rumput laut sebesar 2,7 juta ton, pada tahun 2010 meningkat menjadi 3,1 juta ton, selanjutnya pada tahun 2011 naik menjadi 4,3 juta ton. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa rumput laut merupakan salah satu produk unggulan dalam kebijakan pemerintah yang akan menjadikan indonesia sebagai penghasil produk perikanan laut terbesar di dunia pada tahun 2015 (Pandelaki, 2012). Jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii.K. alvarezii merupakan salah satu komoditas prioritas karenamemiliki beberapa keunggulan, yaitu teknologi budidaya mudah dilakukan, modalyang diperlukan dalam budidaya rumput laut relatif kecil, usia panen singkat sehinggamerupakan komoditas yang cepat untuk mengatasi kemiskinan serta kegiatan budidaya rumput laut hingga proses pengolahan pasca panen merupakan kegiatan yang padat karya(Mulyaningrumet al., 2012). Salah satu kendala dalam pengembangan budidaya rumput laut adalahketerbatasan benih yang kontinyu dan berkualitas. Ketersediaan benih yang kontinyu dan berkualitas mutlak diperlukan untuk mendukung programminapolitan produksi perikanan sebesar 8 juta ton pada 2009 akan dipacuhingga 353%pada 2014 (Mulyaningrumet al., 2012). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan SEAMEO BIOTROP Bogor telah melakukan kerjasama untuk peningkatan kualitas bibit rumput laut Eucheuma cottoniiatau yang sering juga disebut Kappaphycus alvareziimelalui teknik kultur jaringan pada tahun 2011. Rumput lautini merupakan hasil kultur jaringan yang pertama di Indonesia. Bibit Rumput laut hasil kultur jaringan sampai di Provinsi Lampung pada tahun 2012 dalam skala laboratorium. Pengembangan rumput laut terus dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung untuk menyediakan bibit bagi pembudidaya. Upaya pengembangan bibit rumput laut berhasil dilakukan dan telah didistribusikan ke beberapa wilayah Teluk Lampung, salah satunya kecamatan Ketapang Lampung Selatan (Runtuboy, 2014).

Rumput laut yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan ini mempunyai kelebihan dan keunggulan mampu dibudidayakan di perairan yang keruh, mampu tetap hidup pada salinitas rendah dan satu lagi tahan terhadap curah hujan tinggi. Dengan keunggulan yang dimiliki rumput laut kultur jaringanini, kendala yang selama ini dihadapi dalam berbudidaya rumput laut seperti kendala lokasi, salinitas, dan curah hujan, dapat diatasi sehingga mampu mendorong peningkatan produksi rumput laut nasional khususnya jenis K. alvarezii. Selain itu, 3 pertumbuhan rumput laut hasil kultut jaringan ini juga lebih cepat dibandingkan dengan rumput laut alami. Pada rumput laut alami, peningkatan bobot rumput laut 12 kali lipat dari bobot bibit yang diukur pada usia 20 hari, sedangkan pada bibit rumput laut kultur jaringan bobotnya meningkat 15 kali lipat (Soebjakto, 2013).

B. Tujuan 1. Mengetahui proses pengolahan rumput laut 2. Mengetahui spesies rumput laut 3. Mengetahui manfaat rumput laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Secara umum, budidaya rumput laut Indonesia masih dilakukan dengan cara tradisional, bersifat sederhana, dan belum banyak mendapat input teknologi dari luar (Anonim, 2007; Sudjiharno et al., 2001). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut, adalah: (1) pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan bagi jenis rumput laut yang akan dibudidayakan. Hal ini perlu karena ada perlakukan yang berbeda untuk tiap jenis rumput laut, (2) pemilihan atau seleksi bibit, penyediaan bibit, dan cara pembibitan yang tepat, (3) metode budidaya yang tepat, (4) pemeliharaan selama musim tanam, dan (5) metode panen dan perlakuan pascapanen yang benar. Berdasarkan beberapa urairan diatas kita dapat mengetahui bahwa rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia dan sangat bagus untuk di kembangkan. Maka itu perlu dilakukan kajian tentang peran rumput laut agar dapat berkelanjutan. Menurut jenisnya rumput laut dapat di bedakan menjadi : A. Eucheuma cottonii Menurut Atmadja dkk (1996), rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga merah (Rhodophyta).Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Salah satu spesies dari divisi Rhodophyta, yaitu Eucheuma cottonii .Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii.Nama daerah cottonii umumnya lebih dikenal dan biasadipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional.  Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma Species : Eucheuma alvarezii

 Morfologi dan Karakteristik Eucheuma cottonii Dari segi morfologi, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk- bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus rumput laut ada bermacam- macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Thalli ini ada yang tersusun uniselluler(satu sel) atau multiselluler (banyak sel). Percabangan thallus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada suatu sisi thallus utama), pinnate (bercabang duadua pada sepanjang thallus utama secara berselang seling),ferticillate(cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak bercabang. Sifat substansi thalli juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gellatin (gellatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan (cartilagenous,berserabut (spongious) dan sebagainya. Struktur anatomithallus untuk tiap jenis rumput laut berbeda- beda, misalnya pada family yang sama antara Eucheuma spinosum dengan Eucheuma cottonii,potongan thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda . Perbedaaan- perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut baik dalam mengidentifikasi jenis, genus ataupun family. Pigmen yang terdapat dalam thallus rumput laut dapat digunakan dalam membedakan berbagai kelas. Pigmen ini dapat menentukan warna thallus sesuai dengan pigmen yang ada pada kelas Chlorophyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae, dan Cyanophyceae. Perbedaan warna thalli menimbulkan adanya ciri algae yang berbeda seperti Algae hijau, algae coklat, algae merah dan algae biru. Namun dalam kenyataannya kadang-kadang kita sulit menentukan salah satu kelas hanya berdasarkan pada warna thallus yang kita ketahui, karena algae merah kadangkadang berwarna hijau kekuning-kuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklata-coklatan. Menurut Aslan (1991), keadaan warna tidak selalu tetap, kadangkadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas

pencahayaan. Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilogeneus (menyerupai tulang rawan/muda) serta berwarna hijau terang, hijau olive dan cokelat kemerahan. Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), mempunyai duri yang lunak tumpul untuk melindungi gametangia. Percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teraatur, serta dapat bersifat dichotamus (percabangan dua-dua) dan trichotamus (percabangan tiga-tiga). Tumbuh melekat kesubtrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan cirri khusus mngarah kearah datangnya sinar matahari. Cabang cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk.  Habitat Eucheuma cottonii Menurut Wenno (2009), habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 2248 cm/detik. Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Menurut Kadi (2004), Eucheuma cottoni tersebar hampir di seluruh perairan di Indonesia. Rumput laut ini biasa hidup di habitat dengan daerah rataan terumbu karang, daerah dalam tubir , dengan substrat tempatnya hidup biasanya pada karang mati, pecahan karang, pasir dengan dasar berupa karang mati.  Manfaat Eucheuma cottonii Menurut Ghufran (2010), sejak berabat-abad yang lalu, rumput laut atau alga telah dimanfaatkan penduduk pesisir Indonesia sebagai bahan pangan dan obatobatan. Saat ini, pemanfaatan rumput laut telah mengalami kemajuan yang pesat. Selain digunakan untuk pengobatan langsung, olahan rumput laut kini juga dapat dijadikan agar-agar, algin, karaginan, dan furselaran yang merupakan bahan baku penting dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan lain-lain. Pada industri makan, olahan rumput laut digunakan untuk pembuatan roti, sup, es krim, serbat, keju, puding, selai, susu, dan lain-lain. Pada industri farmasi, olahan rumput laut digunakan sebagai obat peluntur, pembungkus kapsul obat biotik, vitamin, dan lain-lain. Pada industri makan, olahan rumput laut digunakan untuk pembuatan roti, sup, es krim, serbat, keju, puding, selai, susu, dan lain-lain. Pada industri farmasi, olahan rumput laut digunakan sebagai obat peluntur, pembungkus kapsul obat biotik, vitamin, dan lain-lain. Pada industri kosmetik, olahan rumput laut digunakan dalam produksi salep, krim, lotion, lipstik, dan sabun. Disamping itu lahan rumput laut juga digunakan oleh industri tekstil, industri kulit dan industri lainnya untuk pembuatan plat film, semir sepatu, kertas, serta bantalan

pengalengan ikan dan daging. Menurut Sadhori (1990), Eucheuma cottonii adalah merupakan rumput laut yang memiliki kemampuan untuk menyerap Pb dalam thallusnya. Hal ini dikarenakan pada Eucheuma cottonii terdapat karaginan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi memiliki fungsi hampir sama dengan alginat yaitu dapat mengikat ion logam berat. Menurut Winarno (1990), Eucheuma cottonii merupakan sumber penghasil karaginan untuk daerah tropis. Keraginan memiliki perana penting sebagi stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, pengemulsi, dan lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi, dan industri lainnya. Menurut Sheehan (1998), Pada bidang farmasi, Eucheuma dimanfaatkan dalam pembuatan obat-obatan, seperti adanya kandungan zat anti HIV dan anti herpes. Dapat diproses menjadi menjadi minyak nabati, yang selanjutnya diproses menjadi biodiesel. Setelah diambil minyaknya, sisa ekstraksinya yang berupa karbohidrat dapat difermentasikan menjadi alkohol, baik dalam bentuk methanol maupun ethanol. B. Eucheuma spinosom Rumput lautEucheuma spinosum merupakan termasuk kelompok penghasil karaginan (berupa garam sodium, kalsium dan potasium dari senyawa polisakarida sulfat asam karaginat) yang disebut karaginofit. Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1768 oleh Burman dengan nama Fucus denticulatus Burma, selanjutnya pada tahun 1847 J. Agardh memperkenalkannya dengan nama Eucheuma J. Agardh. Dalam beberapa pustaka ditemukan bahwa Eucheuma spinosum dan Eucheuma muricatum adalah nama untuk satu spesies gangang. Dalam dunia perdagangan Eucheuma spinosum lebih dikenal dari pada Eucheuma muricatum. Euchema spinosum banyak dibudidayakan diwilayah Bantaeng dan Takalar. Akan tetapi species ini masih belum banyak diteliti bagaimana cara ekstrasi untuk menghasilkan iota keraginan maupun komposisi kimia yang dikandung iota keraginan permanen maupun dodol bahkan banyak yang dijual kering tanpa melaui pengolahan.

 Klasifikasi Eucheuma spinosum Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabangcabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengn ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk.  Habitat Eucheuma spinosum Menurut Monuset al (2007), E. spinosum membutuhkan tempat hidup (habitat) yang mempunyai persyaratan lingkungan perairan laut tertentu, untuk mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Perairan laut yang baik adalah berada pada kisaran hidup dan tumbuh yang dikehendaki rumput laut, sehingga apabila pertumbuhannya tinggi maka kandungan karaginannya juga akan meningkat. Di alam, alga laut Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada karang mati di bawah garis surut terendah. Alga ini menerima jumlah cahaya matahari yang berbeda-beda untuk berfotosintesa sesuai dengan kedalamannya. Untuk mengetahui pengaruh kedalaman terhadap laju pertumbuhan E. spinosum, telah dilakukap. percobaan pendahuluan selama dua bulan di Goba Besar II Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Percobaan dilakukan pada tiga kedalaman: 30, 60, dan 90 cm dari permukaan dengan menggunakan rak terapung. Laju pertumbuhan diukur dengan menimbang berat basahnya setiap pekan. Hasil menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata E. Spinosum pada kedaJaman 30 cm adalah 2,5%/hari, sedangkan pada kedalaman 60 dan 90 cm hanya sekitar 2,0%/hari. Di samping mempengaruhi laju pertumbuhan, tampaknya kedalaman juga berpengaruh terhadap bentuk morfologis dan warna batang alga. Pengaruh sifat-sifat kimia, fisika, dan biologi terhadap pertumbuhan E. Spinosum Eucheuma spinosum tumbuh pada tempat-tempat yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, antara lain tumbuh pada perairan yang jernih, dasar perairannya berpasir atau berlumpur dan hidupnya menempel pada karang yang mati. Persyaratan hidup lainnya yaitu ada arus atau terkena gerakan air. Kadar garamnya antara 28-36 ppm. Dari beberapa persyaratan, yang terpenting adalah Eucheuma spinosum memerlukan sinar matahari untuk dapat melakukan fotosintesis  Manfaat Eucheuma spinosum Rumput laut (Eucheuma spinosum) adalah salah 1 komoditas ekspor yang potensial untuk dikembangkan. Disamping permintaan pasar yang tinggi, Indonesia mempunyai sumberdaya yang cukup besar baik yang alami maupun untuk budidaya. Rumput laut Eucheuma spinosum dapat diolah menjadi karaginan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Karaginan ialah senyawa hidrokoloid yang merupakan senyawa polisakarida rantai panjang dan diekstraksi dari rumput laut

jenis karaginofit. Karaginan banyak digunakan pada industri pangan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Karaginan memiliki peranan yang sangat penting sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi. C. Sargassum sp Menurut Guiry (2007), Sargassum sp . adalah rumput laut yang tergolong dalan Divisi Phaeophyta (gangang coklat),dan dapat tumbuh hingga mencapai panjang 12 meter. Berwarna coklat kuning kehijauan, dengan struktur tubuh terbagi atas holdfast yang bersfungsi sebagai struktur basal, sebuah stipe atau batang semu dan frond berbentuk seperti daun.Warna coklat pada Sargassum muncul akibat dominansi dari pigmen fucoxanthin, klorofil a dan c, beta-karoten dan xantofil lainnya. Karbohidrat yang disimpan sebagian besar tersedia dalambentuk laminaran (polisakarida glukosa; terbentuk dari proses fotosintesis),disertai dengan pati dalam jumlah tertentu tergantung spesiesnya. Dinding selnyaterbuat dari selulosa dan asam alginat. Menurut Anwar (2013), Sargassum sp di Indonesia yang telah teridentifikasi diantaranya adalah Sargassum duplicatum, S.polycystum, S.binder, S.crassifolium, S.echinocarpum, S.mollerii, S.gracillimum, S.sinereum, S.hystri, S.siliquosum, S.fenitan, S.filipendula, S.polyceratium, dan S.vulgare yang dapat dibedakan dari bentuk morfologi dengan kadar kandungan bahan utama yang berbeda seperti protein, vitamin C, tannin. Iodine, dan phaenol.  Klasifikasi Sargassum sp Menurut Anggadiredja et al. (2006), klasifikasi dari Sargassum adalah sebagi berikut ini : Divisio : Thallophyta Kelas : Phaeophyceae Bangsa : Fucales 10 Suku : Sargassaceae Marga : Sargassum Jenis :Sargassum polyfolium

Gambar 3. Sargassum  Morfologi dan Karakteristik Sargassum sp Menurut maharani dan Widyayanti (2010), Rumput laut jenis Sargassum umumnya merupakan tanaman perairan yang mempunyai warna coklat, berukuran relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi bagian sisi pertumbuhan. Umumnya rumput laut tumbuh secara liar dan masih belum dimanfaatkan secara baik. Rumput laut coklat memiliki pigmen yang memberikan warna coklat dan dapat menghasilkan algin atau alginat, laminarin, selulosa, fikoidin dan manitol yang komposisinya sangat tergantung pada jenis (spesies), masa perkembangan dan tempat tumbuhnya.  Habitat Sargassum sp Menurut DirJen Perikanan Budidaya DKP RI (2009) Sargassum sp. ada sekitar 400 spesies di dunia, sedangkan di Indonesia dikenal ada 12 jenis, yaitu: Sargassum duplicatum, S. hitrix, S. echinocarpum, S. gracilinum, S. obtuspfolium, S. binderi, S. polyceystum, S. microphylum, S. crassifolium, S. aquafolium, S. vulgare, dan S. polyceratium. Hormophysa di Indonesia dijumpai satu jenis yaitu Hormophysa tricuetra 11 dan Turbinaria spp. ada 4 jenis yaitu Turbinaria conoides, T. conoides, T. ornata, T. Murrayana dan T. deccurens. Sargassum spp. bersifat kosmopolitan, tersebar hampir diseluruh perairan Indonesia. Penyebaran Sargassum spp. di alam sangat luas terutama di daerah rataan terumbu karang di semua wilayah perairan pantai. Sargassum tumbuh dari daerah intertidal, subtidal sampai daerah tubir dengan ombak besar dan arus deras. Karakteristik daerah untuk pertumbuhan yaitu kedalamam 0,5 – 10 m, suhu perairan 27,25 – 29,30 oC dan salinitas 32 –33,5 ‰. Kebutuhan intensitas cahaya matahari marga Sargassum lebih tinggi dari pada marga alga merah. Menurut Boney (1965) pertumbuhan Sargassum membutuhkan intensitas cahaya matahari berkisar 6500

– 7500 lux. Sargassum tumbuh berumpun dengan untaian cabang-cabang. Panjang thalli utama mencapai 1 –3 m dan tiap-tiap percabangan terdapat gelembung udara berbentuk bulat yang disebut “Bladder,” berfungsi untuk menopang cabang-cabang thalli terapung ke arah permukaan air dalam mendapatkan intensitas cahaya matahari. Menurut Tetsuro Ajisaka (2006), Spesifikasi khusus dari Sargassum cristaefolium C. Agardh yaitu mempunyai thalli bulat pada batang utama dan agak gepeng pada percabangan, permukaan halus atau licin. Percabangan dichotomous dengan daun bulat lonjong, pinggir bergerigi, tebal dan duplikasi (double edged) Vesicle melekat pada batang daun, bulat telur atau elip, bentuk bladder bulat lonjong.  Manfaat Sargassum Menurut Kadi (2008), Alga Sargassum sp. atau alga cokelat merupakan salah satu genus Sargassumsp.yang termasuk dalam kelas Phaeophyceae.Sargassum sp. mengandung bahan alginat dan iodin yang bermanfaat bagi industri makanan, farmasi, kosmetik dan tekstil. Menurut Maharani dan Widyayanti (2010) beberapa manfaat Sargassumsp yaitu : 1. Sargassum sp merupakan salah satu sumber penghasil alginat yang digunakan sebagai bahan pembuat cangkang kapsul, emulsifier dan stabilizer (Izzati, 2007). 2. Sebagai bahan baku untuk industri antara lain industri makanan, minuman, farmasi maupun industri lainnya seperti cat tekstil, film, makanan ternak, keramik, kertas, dan fotografi. 12 3. Berguna untuk kosmetik, kandungan koloid alginatnya di gunakan sebagai bahan pembuat sabun, shampo dan cat rambut. (Izzati, 2007) 4. Dalam perikanan budidaya, keberadaan Sargassum sp membantu meningkatkan produksi udang windu, sehingga rumput laut jenis Sargassum sp ini di gunakan sebagai model budidaya ganda dengan udang windu. Adanya rumput laut jenis Sargassum sp di sekitar tambak udang windu dapat mengurangi jumlah bakteri patogen sehingga mampu menurunkan kemungkinan berkembangnya penyakit yang menyerang udang windu (Izzati, 2007). 5. S. Polycystum diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteriVibrio harveyi dan Micrococcus luteus (Riyanto et al., 2013).

BAB III METODE PENELITIAN

A. Bahan 1. Rumput laut ( eucheuma cottonii) 2. Air 3. KOH 4. CaCO³ B. Alat 1. Timbangan 2. Seaweed reactor 3. Steel chamber cuci 4. Rot blower + cold water piping 5. Boiler 6. Chopper 7. wadah

C. Cara Kerja

Proses pengolhan Alkali treated cottonii chips

Rumput Laut Kering

KOH GR/80 LT AIR

SORTASI

Bahan Pencemar

PERENDAMAN

Air perendaman

12-14 jam, ph 1`1-12

KOH GR/80 LT AIR

EKSTRAKSI

Koh gr/80 lt air

Koh gr/80 lt air ekstrea

Air Ekstraksi

t= 1 jam, ph 1112, T 60-65 ◦C \t

GR CACO/80 LT AIR

80 LT AIR

BLEACHING

Air bleaching

t= 1 jam, ph 1112

PEMBILASAN

PENGERINGAN

Air pembilasan

CHIPPING

PACKAGING

ATCC (alkali treated cottonii chips)

BAB IV PEMBAHASAN A. Proses pengolahan 1. Sortasi Proses sortasi dilakukan setelah bahan di ambil dari pengepul. Sortasi bertujuan untuk menghilahankan bahan-bahan pencermar yang terdapat di dalam rumput laut. Yang dapat di lihat secara langsung. 2. Perendaman Proses perendaman di lakukan selama 12-14 jam dengan memberikan KOH. Adapun tujuannya yaitu, untuk membersihkan sisasisa bahan pencemar yang terdapat dalam rumput laut dan menghilangkan bau amis pada rumput laut. 3. Ekstraksi Setelah proses pencucian I, rumput laut dipindahkan ke bak pemasakan atau perebusan menggunakan seaweed reaactor. Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan air panas atau larutan alkali KOH pada temperatur tinggi 60-65 ◦C dengan perbandingan jumlah air 80 lt rumput laut yaitu 30 kg. Selama proses pemasakan dilakukan pengadukan agar KOH yang ditambahkan tercampur merata dengan rumput laut, lama pemasakan tergantung jenis rumput lautnya, untuk rumput laut jenis cottoni ±1 jam karena struktur pada jenis rumput laut cottonii lebih keras, setelah dimasak rumput laut dalam keranjang besi diangkat keatas dengan menggunakan hoist kemudian dilakukan penyemprotan atau penyiraman. Rumput laut yang telah dimasak akan menjadi lunak sehingga akan memudahkan proses selanjutnya. Bahan penolong merupakan bahan yang digunakan dalam proses pengolahan rumput laut untuk memperlancar proses produksi. Bahanbahan penolong yang digunakan antara lain KOH, bahan tersebut diperoleh dengan melakukan pemesanan secara langsung oleh pihak

perusahaan di Jakarta. Dimana proses ini bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang lebih baik dan lebih tahan dalam penyimpanan. 4. Bleaching Bleaching dilakukan setelah proses pemasakan rumput laut selesai atau ekstraksi. Bleaching bertujuan untuk menghilangkan pigmen rumput laut agar rumput laut terlihat pucat. Dalam proses bleaching di berikan zat CaCO (kapur). Dimana jhika proses bleaching berhasil warna rumput laut akan menjadi putih atau bening. 5. Pembilasan Pembilasan dilakukan setelah proses bleaching berlangsung, pembilasan dilakukan sebanyak dua kali atau bisa lebih dengan tujuan agar hasil pada proses pencucian yang ke dua ini sesuai dengan yang diinginkan seperti sisa-sisa KOH atau CaCO pada proses pemasakan dan bleaching dapat hilang, dan membersihkan rumput laut dari kotoran yang diduga masih melekat pada proses pencucian awal. Pencucian dilakukan pada dua bak yang berlainan yang telah berisi air bersih yang berasal dari bak penampungan air, pencucian berlangsung ±20 menit tiap pencucian sehingga proses pencucian menghasilkan rumput laut sesuai dengan yang diinginkan. 6. Penjemuran (Drying) Jika kecerahan matahari 90-100% maka penjemuran rumput laut dapat dilakukan selama 1-2 hari, hal ini menunjukkan bahwa produk ini sangat tergantung dengan cuaca. Pengeringan dapat juga dengan menggunakan alat pengering (Tray Dryer) tapi hanya dilakukan sewaktu-waktu jika permintaan melimpah dan musim hujan. Penjemuran dilakukan sesering mungkin dengan membolak-balik rumput laut menggunakan alat berupa pendorong, yang dijalankan secara manual. Pengeringan dilakukan dengan menyebarkan rumput laut di atas lantai pengeringan dengan ketebalan ±5 cm, hal ini dilakukan agar rumput laut kering dengan merata. Penjemuran dilakukan di atas para-para bambu atau di atas plastik, terpal sehingga

tidak kontaminasi oleh tanah dan pasir, walaupun di industri ini penjemuran dilakukan di atas lantai pengering karena jumlah rumput laut yang begitu banyak sehingga akan lebih efisien dan efektif menggunakan lantai pengering. Untuk mengetahui tingkat kekeringan rumput laut yang dijemur PT. Bantimurung Indah melakukannya dengan cara manual dan penggunaan alat. Uji tingkat kekeringan dengan cara manual dilakukan dengan menggunakan tangan, jika rumput laut yang dikeringkan sudah mudah dipatahkan maka rumput laut sudah dianggap kering sedangkan pengujian tingkat kekeringan dengan menggunakan alat yaitu dengan pengukuran kadar air, (ka maksimal 13% melalui pengujian laboratorium). 7. Sortasi (Sortation) Rumput

laut

yang

sudah

kering

disortir

kembali

untuk

membersihkan dari kotoran-kotoran berupa tali, batu-batu kecil, kerikil, pasir dan kotoran lainnya. Penyortiran dilakukan secara manual dengan menempatkan rumput laut yang kering di atas nampan atau ayakan sortir sehingga pasir dan kotoran berukuran kecil tidak lolos saringan. Rumput laut dikatakan berkualitas baik bila total garam dan kotoran yang melekat tidak lebih dari 3-5%, sesuai dengan permintaan industri. 8. Penggilingan (Milling) Proses penggilingan yang dilakukan dalam mengolah produk semi refined carrageenan menggunakan dua mesin penggiling yaitu Mesh Machine

dan

Septu

Machine.

Mesh

Machine

mengelola

menghomogenkan produk ATC (Alkali Treat Cottoni)-Chips yang telah disortasi sedangkan Septu Machine mengelola ATC (Alkali Treat Cottoni)-Chips menjadi SRCpowder (Semi Refined Cottoni) dengan berbagai ukuran mesh. Umumnya ukuran tersebut adalah 40, 80, 100, 150 mesh. Pengelolaan rumput laut secara semi refined carrageenan dalam bentuk ATC (Alkali Treatment Cottoni), dan SRC (Semi

Refined Cottoni) dilakukan jika ada permintaan dari negara-negara produsen sesuai dengan ukuran yang dikehendaki

DAFTAR PUSTAKA Achmad Kadi. 20014. Potensi rumput laut dibeberapa perairan pantai indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta Anggadiretja, J.T. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakart--- 2011. Rumput Laut. Penebar Swaday. Jakarta Anggadiretja, J.T., Zatrika, A., Purwoto, H. Dan Istini, S. 2009. Rumput Laut. Jak-Arta. Penebar Swadaya Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta: Penerbit Konisius Atmadja, W.S.A., Kadi, S.., Dan Radiamanias. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Di Indonesia.Puslitbag Oseanografi-LIPI. Jakarta Doty, M.S. 1985. Eucheuma Farming For Carragenan-Sea Grant Advisory Report. New Jersey: Prentice- Hall Ghufran, Dan Kordi. 2011. Kuat Sukses Budidaya Rumput Laut Di Laut Dan Tambak. Jakarta: Lily Publisher Rachmad,

R.

1999.

Potensi

Algae

Coklat

Indonesia

Dan

Prospek

Pemanfaatannya. Prakipilus VII Forum Komunikasi I Ikatan Fikologi Indonesia (Ifi). Prosiding :3135 Sudrajat, A. 2008. Budidaya 23 Komopditas Laut Menguntungkan. Penebar Swadaya. Jakarta

LAMPIRAN

Related Documents

Jenis Rumput Laut Potensial
October 2019 46
Pemanfaatan Rumput Laut
October 2019 43
Rumput Laut Demi Karang
October 2019 41
Industri Rumput Laut
October 2019 43

More Documents from "Scuba Diver"