PENGKAJIAN KEPERAWATAN PADA ODHA
TUGAS KEPERAWATAN HIV AIDS
oleh : Kelompok 1 Anindianti Sukma
162310101133
Gilang Ramadhan
162310101140
Ramayana Lestari Dewi
162310101255
Dies Rut Setyoningsih
162310101260
Fatihul Matlub Ulum
162310101179
KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2019 i
PRAKATA Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas membuat makalah mengenai “Pengkajian Keperawatan Pada ODHA” untuk memenuhi Tugas Makalah Keperawatan HIV AIDS ini tepat pada waktunya. Dalam pembuatan makalah ini penulis menemukan beberapa kesulitan dan hambatan akan tetapi berkat semangat dan arahan serta bimbingan dari berbagai pihak kami mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik, oleh karena itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Tuhan
Yang
Maha
Esa,
Dosen
penanggungjawab
mata
kuliah
Keperawatan Jiwa Ns. Ahmad Rifai, MS. 2. Ayah dan Ibu yang selalu memberikan semangat serta dukungan pada
kami dalam menyelesesaikan makalah. 3. Teman-teman Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Jember, khususnya
kelas C angkatan 2016 tercinta. Pemakalah mengakui bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu Pemakalah sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, guna untuk kesempurnaan tugas makalah ini agar bermanfaat bagi kami dan pembaca pada umumnya.
Jember, 3 Maret 2019
i
DAFTAR ISI PRAKATA ........................................................................................................ I DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2 1.3 Tujuan ................................................................................................ 2 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 2 1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 2 1. 4 Manfaat .............................................................................................. 2 BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................... 3 2.1 Definisi ............................................................................................... 2.2 Cara Penularan HIV ............................................................................ 2.3 Patofisiologi ........................................................................................ 2.4 Manifestasi Klinis ............................................................................... 2.5 Pencegahan ......................................................................................... 2.6 Pengkajian........................................................................................... 2.6.1 Biologis ...................................................................................... 2.6.2 Psikologis................................................................................... 2.6.3 Sosial ......................................................................................... 2.6.4 Spiritual...................................................................................... 2.6.5 Kultural ...................................................................................... 2.7 Pengkajian Data Demografi ................................................................ 2.8 Pengkajian Khusus Pasien .................................................................. 2.9 Pengkajian Fisik.................................................................................. 2.10 Pemeriksaan Diagnostik ................................................................... BAB 3 PENUTUP............................................................................................. 3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 3.2 Saran ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS, sebagai pengganti istilah penderita yang mengarah pada pengertian bahwa orang tersebut secara positif didiagnosa terinfeksi HIV. HIV merupakan virus penyebab AIDS yang hanya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh itu sendiri sangat vital karena melindungi terhadap segala penyakit. Bila sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi dengan baik atau dirusak oleh virus HIV maka akan berakibat mudah terserang infeksi oportunistik. Secara terus menerus HIV memperlemah sistem kekebalan
tubuh dengan cara menyerang dan
menghancurkan kelompok sel-sel darah putih tertentu yaitu sel T- helper, sel yang membuat zat anti dalam tubuh (Rahakbau, 2016). Jadi, HIV merupakan virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia sehingga imun menjadi lemah dan mudah terserang berbagai penyakit yang dalam tahap lanjut disebut AIDS. Berdasarkan data dari UNAIDS, terdapat 36,9 juta masyarakat berbagai negara hidup bersama HIV dan AIDS pada 2017. Dari total penderita yang ada, 1,8 juta di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Selebihnya adalah orang dewasa, sejumlah 35,1 juta penderita. Masih bersumber dari data tersebut, penderita HIV/AIDS lebih banyak diderita oleh kaum wanita, yakni sebanyak 18,2 juta penderita. Sementara laki-laki sebanyak 16,9 juta penderita. Sayangnya, 25 persen di antaranya, sekitar 9,9 juta penderita, tidak mengetahui bahwa mereka terserang HIV atau bahkan mengidap AIDS. Dari data kementrian kesehatan tahun 2018, sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 sampai dengan bulan Desember 2017 HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 421 (81,9%) dari 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia jumlah kasus HIV-AIDS dari tahun 2005 sampai dengan 2017 mengalami kenaikan setiap tahunnya dengan total akumulai 280.623 penderita HIV sedangakan penderita AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2017 1
berjumlah 102.667 orang. Pengetahuan menganai HIV-AIDS sangat penting bagi perawat dalam melakukan
asuhan
keperawatan
profesional
pada
penderita
HIV-AIDS.
Berdasarkan situasi diatas, kami menuliskan makalah mengenai pengkajian, tanda dan gejala pada orang dengan HIV-AIDS. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pengkajian keperawatan pada HIV/AIDS?
1.3 TUJUAN 1.3.1 Tujuan Umum dari penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan pada HIV/AIDS. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi. 2. Untuk mengetahui pengkajian (Bio-psiko-sosial-spiritual-kultural), pengkajian data demografi, pengkajian khusus klien, pengkajian fisik (Head to toe), pemeriksaan diagnostik.
1.4 MANFAAT 1. Memahami tentang definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi 2. Memahami pengkajian pengkajian (Bio-psiko-sosial-spiritual-kultural), pengkajian data demografi, pengkajian khusus klien, pengkajian fisik (Head to toe), pemeriksaan diagnostik.
2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 DEFNISI Acquired Immune Defciency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit yang dapat disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang yang didiagnosa terinfeksi virus HIV/AIDS disebut dengan ODHA. Penderita HV/AIDS biasanya ditandai dengan munculnya gejala atau terkena penyakit tertentu diakibatkan karena turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV atau bisa ditandai dengan hasil tes darah yang menunjukkan jumlah dari sel CD4<200/mm3 (Kurniasih dkk, 2006). Virus HIV adalah virus yang tergolong virus RNA karena memiliki enzim reverse transcriptase. Sehingga memungkingkan virus ini mengubah informasi genetknya dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian terintegrasikan ke sel limfosit yang diserang. Kemudian HV dapat memanfaatkan mekanisme daeri sel limfosit terseut untuk menggandakan diri menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri sama dengan HIV.
2.2 CARA PENULARAN HIV Cara penularan HIV dapat melalui cairan genital yaitu cairan sperma dan cairan vagina orang yang didiagnosa positif terinfeksi HIV mempunyai jumlah virus yang sangat tinggi yang memungkinkan adanya penularan apalag jika disertai dengan infeksi menular seksual lainnya. Oleh karena itu semua hubungan seksual dapat berisiko menularkan HIV baik dari hubungan seksual melalui genital, oral maupun anal. Penularan yang lain yaitu bisa karena kontaminasi darah atau jaringan melalui kontaminasi darah seperti transfusi darah dan transplantasi organ dari orang yang ternfeksi virus HIV atau juga bisa dengan menggunakan peralatan medis yang tidak steril misalnya jarum suntik yang tidak steril dari orang yang terinfeksi HIV secara bersamaan. Penularan dari ibu ke janin yang terjadi selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi, sedangkan penularan ke bayi dapat melalui darah 3
atau cairan genital saat berlangsungnya persalinan serta melalui ASI pada masa laktasi (Kemenkes RI, 2014).
2.3 PATOFISIOLOGI HIV akan menyerang sel darah putih sel limfosit Th dimana sel darah puth ini berfungsi debagai sumber kekebalan tubuh untuk mencegah adanya penyakit infeksi. Virus memaksa masuk ke sel limfosit untuk menggandakan diri yang dapat mengakibatkan matinya sel limfosit. Sehingga dengan turunyya jumlah sel darah putih dalam tubuh manusa akan menyebabkan turunnya daya tahan tubuh hal ini yang mengakibatkan sesorang mudah terkena infeksi dari luar (virus, bakteri, jamur) dan dapat menyebabkan kematian pada penderita HIV/AIDS (Hidayat, 2008).
2.4 MANIFESTAS KLINIS Diagnosis infeksi HIV/AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS
penderita harus
mempunyai sekurang-kurangnya dua gejala mayor dan satu gejala minor (Syafri et al, 2017). 1. Gejala mayor infeksi HIV/AIDS meliputi: a) Berat badan menurun > 10% dalam 1 bulan b) Diare kronik berlangsung > 1 bulan c) Demam berkepanjangan > 1 bulan d) Penurunan kesadaran e) Demensia / HIV ensefalopati 2. Gejala minor infeksi HIV/AIDS meliputi: a) Batuk menetap > 1 bulan b) Dermatitis generalisata c) Dermatitis eksfoliativa generalisata adalah suatu kelainan kulit dengan gejala berupa eritema dan skuama generalisata yang melibatkan lebih dari 90% permukaan kulit penderita (Yahya, 2009). d) Herpes zoster multi segmental dan berulang 4
e) Herpes zoster merupakan penyakit kulit yang bercirikan timbulnya ruam kulit dengan distribusi dermatomal dan disertai rasa nyeri yang hebat (Saragih, 2014). f) Kandidiasis orofaringeal g) Kandidiasis orofaringeal adalah infeksi oportunistik mukosa yang dalam banyak kasus disebabkan oleh jamur Candida albicans, tetapi dapat pula disebabkan oleh spesies lain seperti Candida glabrata, Candida tropicalis, dan Candida krusei. (Ellepola dan Samaranayake, 2000). h) Herpes simpleks kronik progresif i) Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan (Handoko, 2010). j) Limfadenopati generalisata k) Limfadenopati generalisata merupakan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) pada dua atau lebih daerah yang berjauhan dan simetris dengan ukuran > 0,5 cm (Jacobs, 2010). l) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita m) Retinitis cytomegalovirus n) Merupakan anggota dari virus herpes, yang dikenal penyebab kebutaan dan kematian pada pasien dengan AIDS lanjut (Heiden et al, 2007).
2.5 PENCEGAHAN Penularan HIV secara seksual dapat dicegah dengan tdak behubungan seksual bebas, setia dengan pasangan, Penggunaan kondom pria atau kondom wanita secara konsisten dan benar. Tidak ada seks yang 100% aman. Seks yang lebih aman menyangkut upaya-upaya kewaspadaan untuk menurunkan potensi penularan dan terkena infeksi menular seksual termasuk HIV saat melakukan hubungan seks. Menggunakan kondom secara tepat dan konsisten selama melakukan hubungan seks dianggap sebagai seks yang lebih aman. 5
Kondom yang kualitasnya terjamin adalah satu-satunya produk yang saat ini tersedia untuk melindungi pemakai dari infeksi seksual karena HIV dan infeksi menular seksual lainnya. Ketika digunakan secara tepat, kondom terbukti menjadi alat yang efektif untuk mencegah infeksi HIV di kalangan perempuan dan laki-laki. Walaupun begitu tidak ada metode perlindungan yang 100% efektif dan penggunaan kondom tidak dapat menjamin secara mutlak perlindungan terhadap segala infeksi menular seksual (IMS). Agar perlindungan kondom efektif, kondom tersebut harus digunakan secara benar dan konsisten. Penggunaan yang kurang tepat dapat mengakibatkan lepasnya atau bocornya kondom, sehingga menjadi tidak efektif (Salawati).
2.6 PENGKAJIAN (BIO-PSIK-SOSIAL-SPIRITUAL-KULTURAL) 2.6.1 BIOLOGIS Respons Biologis (Imunitas) secara imunologis sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan. Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus 6
disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis (Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997). 2.6.2 PSIKOLOGIS Respons Psikologis (penerimaan diri) pengalaman suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka dan ketidak pastian menuju pada adaptasi terhadap penyakit. Tahapan reaksi psikologis pasien HIV (Grame Stewart, 1997) adalah seperti terlihat pada tabel berikut: Reaksi
Proses Psikologis
Hal-hal
yang
biasa
dijumpai
Shock (kaget, goncangan Merasa bersalah, marah,
Rasa takut, hilang akal,
batin)
frustasi,
tidak berdaya
rasa
sedih,
susahm acting out. Mengucilkan diri
Merasa cacat dan tidak Khawatir berguna, menutup diri
orang lain, murung
Membuka status secara
Ingin tahu reaksi orang Penolakan,
terbatas
lain, pengalihan stress, konfrontasi ingin dicintai 7
menginfeksi
stress,
Mencari
orang
lain
yang HIV positif
Berbagi rasa, pengenalan, Ketergantungan, campur kepercayaan, penguatan, tangan, dukungan social
tidak
percaya
pada pemegang rahasia dirinya.
Status khusus
Perubahan
keterasingan Ketergantungan,
menjadi manfaat khusus, dikotomi kita dan mereka perbedaan menjadi hal (semua yang
orang
dilihat
istimewa, sebagai terinfeksi HIV
dibutuhkan
oleh
yang dan direspon seperti itu),
lainnya.
over identification.
Perilaku mementingkan
Komitmen dan kesatuan Pemadaman, reaksi dan
orang lain
kelompok, memberi
kepuasan kompensasi dan
perasaan
yang
berbagi berlebihan sebagai
kelompok Penerimaan
Integrasi status positive Apatis, sulit berubah HIV
dengan
identitas
diri, keseimbangan antara kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan
kondisi
seseorang
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler Ross (1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu : 1. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya
atau
sudah
mengetahuinya 8
dan
mengancam
dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999). 2. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996). 3. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999). 4. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, 9
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999). e) Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator. 2.6.3 SOSIAL Dukungan sosial sangat diperlukan terutama pada pasien HIV yang kondisinya sudah sangat parah. Indivdu yang temasuk dalam memberikan dukungan sosial meliput pasangan suami istri,agama, anak, keluarga, teman, tim kesehatan, konsselor. Dukungan sosial bermandaat untuk kesehatan dan kesejahteraan, mediator yang penting untuk menyelesaikan masalah seseorang. Perasaan minder dan tidak berguna di masyarakat. Interaksi sosial yaitu perasaan terisolasi/ditolak. Pada interaksi sosial tanda dan gejala yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut : 1.
Tanda-tanda akan terjadi perubahan pada interaksi keluarga dan orang terdekat maupun kegiatan lain yang dimiliki individu.
2.
Gejala yang akan ditimbulkan karena sudah terdiagnosa yaitu kehilangan orang terdekat, bahkan keluarga, teman, sahabat. Rasa takut untuk 10
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan ditolak, kehilangan pekerjaan, diisolasi, teman, sahabat maupun pasangan yang meninggal karena AIDS. Menanyakan kemampuan bahgaimana untuk tetap hidup mandiri atau tidak mampu untuk membuat rencana. Respon sosial menurut Nursalam (2007) dibagi menjadi 3 hal meliputi : 1.
Stigma sosial akan dapat memperparah kndisi depresi dan pandangan negative tentang harga diri pasien
2.
Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV seperti menolak pekerjaan dan hidup serumah yang akan mempengaruh kondisi kesehatan.
Menggunakan
obat-obatan
narkotika
juga
dapat
mengakibatkan kurangnya dukungan sosial dan memperparah stres pasien. 3.
Waktu yang cukup lama respons penolakan, emosi, depresi, yang akan memperlambat upaya untuk pencegahan dan pengobatan. Sehingga pasien akan mengonsumsi obat-obatan untuk mengurangi stress yang dialaminya. Respon adaptif sosial bedasarkan konsep dari Pearlin dan Aneshense
(1998) ada 3 hal yaitu emosi, cemas dan interaksi sosial. 2.6.4 SPIRITUAL Respons adaptif spiritual menurut Nursalam (2011) adalah sebagai berikut : 1.
Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan. Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
2.
Pandai mengambil hikmah. Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua cobaan 11
yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit. 3.
Ketabahan hati. Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.
2.6.5 KULTURAL Pengkajian Kultural meliputi: 1. Faktor budaya yang berkaitan dengan fenomena yang muncul dimana banyak ibu rumah tangga yang yang kondisi kesehatannya baik tiba-tiba tertular virus HIV /AIDS yang ditularkan oleh suaminya yang sering melakukan hubungan seksual dengan orang lain selain dengan istrinya. 2. Perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap perilaku menyimpang suaminya. 3. Kurangnya pengetahuan oleh sebagian besar perempuan akan bahaya yang mengancamnya. Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV /AIDS adalah bimbingan sosial tentang pencegahan HIV /AIDS dan memberikan konseling serta pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Adanya pemberian pelayanan kesehatan merupakan langkah antisipatif agar kematian dapat dihindari dan harapan hidup dapat 12
ditingkatkan sehngga penderita HIV /AIDS dapat berperan sosial dengan baik dalam kehidupanya.
2.7 PENGKAJIAN DATA DEMOGRAFI Pengkajian data demografi meliputi : (Kemenkes, 2015) - Nama : Tuliskan nama lengkap pasien. Jika belum jelas ditambahi nama ayah pasien - Jenis Kelamin : Berikan tanda x untuk jenis kelamin yang sesuai - Tanggal lahir/Umur: Tuliskan tanggal lahir dan umur pasien pada saat masuk perawatan HIV - Pendidikan : Lingkari salah satu untuk tngkat pendidikan yang pernah atau sedang dijalani - Pekerjaan : beri tanda lingkaran untuk pekerjaan yang sesuai. Untuk pekerja harian dianggap tidak bekerja jika tidak tidak menerima penghasilan > 1 bulan. - Nama Ibu Kandung : Tuliskan nama ibu kandung pasien - Alamat : Tuliskan alamat pasien dan pendamping minum obat pasien. Sebaiknya PMO (Pendamping minum obat adalah keluarga dekat yang dihormati oleh ODHA)
13
2.8 PENGKAJIAN KHUSUS PASIEN Pengkajian khusus pasien meliputi : (Kemenkes, 2015) - Status pernikahan : Beri tanda x untuk status pernikahan yang sesuai - Nama : Tuliskan nama orang yang merupakan mitra seksualnya, anakanak dar ibu yang mengidap HIV atau mitra sharing needle - Hubungan : Tuliskan hubungan risiko penularan HIV. Misalnya anak, pasangan seks tetap, pasangan penasun tetap - Umur : Sebaiknya dicatat tanggal kelahiran nkarena umur bersifat dinamis - HIV +/- : Jika status HIVnya sudah diketahui +, belum diketahui – - ARV Y/T : Jika mitra pasien sudah diketahui status HIVdan hasilnya +, maka kolom ditulis Y jika belu menera ART. Jka status mitra pasien hasilnya – maka kolom ditulis T. jika status HIV belum diketahui maka klon ini dibiarkan kosong - No.Reg.Nas : Jika mitra pasien sudah diketahui status HIV dan hasilnya + dan sudah mendaptkan No.Reg.Nas maka tuliskan nomornya. Jika mitra 14
pasien hasilnya – maka kolom ini dikosongan. Jika status HIV belum diketahui maka kolom juga dibiarkan kosong.
2.9 PENGKAJIAN FISIK (HEAD TO TOE) 1. Keadaan Umum -
Bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan daya tahan tubuh klien.
-
Pemeriksaan
berat
badan
dilakukan
pada
setiap
kunjungan.
Kehilangan BB 10% atau lebih mungkin akibat dari sindrom wasting salah satu tanda AIDS . sehingga diperlukan bantuan tambahan gizi yang cukup jika apabila pasien telah kehilangan berat badan. -
Pemeriksaan tanda-tanda vital secara umum mengalami peningkatan suhu tubuh atau demam ketika ada peradangan pada tubuh.
2. Kepala Dikaji adanya vesikel atau tidak, tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan. 3. Mata Dikaji adanya vesikel atau tidak, tidak ada massa, dan penurunan penglihatan. 4. Telinga 15
Tidak ada edema, tidak ada nyeri tekan . 5. Hidung Tidak ada sekret, tidak ada lesi. 6. Mulut Di daerah sekitar mulut sangat umum dijumpai infeksi jamur dan luka pada orang yang terinfeksi HIV. Dokter akan melakukan pemerksaan mulut pada setap kunjungan dan pemerksaan gigi minmal 2 kali setahun. 7. Leher Trakea simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan vena jugularis, tidak ada nyeri tekan. 8. Dada Bentuk simetris, pernafasan reguler, tidak ada otot bantu nafas. 9. Abdomen Bentuk simetris, tidak ada benjoan, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar. Perkusi suara timpani. Jika abdomen menunjukkan limfa dan hati yang semakin membesar yang disebabkan oleh infeksi baru atau menunjukkan adanya kanker. 10. Genetalia Pada pria daerah yang perlu diperhatikan adalah gland penis, batang penis, uretra, dan daerah anus. Pada wanita daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayora dan minora, klitoris, introitus vaginalis, dan serviks. Jika timbul lesi maka harus dicatat jenis, bentuk, ukuran,/luas, warna, dan keadaan lesi. Perempuan yang terinfeksi HIV lebih memiliki kelainan sel di serviks daripada perempuan yang tidak terinfeksi HIV. Perubahan yang terjadi pada sel ini dapat diamati dengan tes Pap Smear 11. Ekstremitas Tidak ada luka dan spasme otot. 12. Kulit dan kuku Adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri, edema disekitar lesi, dapat pula timbul ulkus, pada infeksi sekunder. Juga dapat timbul 16
diaforesis. Pemeriksaan kulit secara teratur dapat memberikan petunjuk mengenai kondisi yang dapat diobati mulai dari tingkat keparahanya.
2.10PEMERIKSAAN DIAGNSTIK Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis pemeriksaan laboraturium HIV menurut Permenkes No. 87 tahun 2014 berupa: 1. Tes Serologi a) Tes Cepat (Rapid Test) Tes cepat dapat mendeteksi baik antibody terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih. b) Tes Enzyme Immunoassay (EIA) atau Tes ELISA Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Sampel darah diambil dari permukaan kulit dengan prosedur pengambilan darah pada umumnya yang kemudian samepl darah dimasukkan ke dalam tabung khusus dan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis. Sampel darah dimasukkan ke cawan petri yang berisi antigen HIV yang merupakan zat asing, seperti virus yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh merespon. Reaksi antigen-antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna sampel darah. Hasil tes HIV dengan ELISA biasanya memakan waktu satu sampai tiga hari bergantung pada tes, laboratorium, ataupun apakah tes dilakukan di rumah. Jika hasil tes positif maka tes selanjutnya dilakukan yaitu tes Western Blot. c) Tes Western Blot Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi kasus yang sulit. Dalam tes ini protein HIV dipisahkan oleh ukuran pada strip tes. Jika tes ini menunjukkan hasil positif, serangkaian pita (band) terdeteksi yang menandakan adanya pengikatan spesifik antibody seseorang 17
terhadap protein virus HIV tertentu. Tes ini hanya dilakukan untuk menindaklanjuti tes skrining yang awalnya positif. Jika tes HIV menunujukkan positif pada tes ELISA, klien mungkin terkena HIV. Namun terkadang tedapat false positive dengan layar ELISA yang berarti bahwa hasil tes menunjukkan bahwa klien sebenarnya tidak terinfeksi virus HIV. Tes Western Blot membutuhkan satu hari untuk dilakukan. 2. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR) Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis ibu hamil HIVpositif yang baru melahirkan serta bayi baru lahir dan direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan. Jika b ayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif, maka terapi antiretroviral (ART) harus segera dimulai, pada saat yang bersamaan dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan tes virologis yang kedua. Tes virologis terdiri atas: a) HIV DNA kualitatif (EID) Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk mendiagnosis bayi. b) HIV RNA kuantitatif Tes ini mendeteksi jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia. Metode tes HIC dengan PCR ini dilakukan dengan bantuan enzim untuk menggandakan virus HIV dalam darah. Kemudian reaksi kimia akan menandai virus. Penanda ini berbentuk pita (band) yang diukur dan digunakan untuk menghitung jumlah virus. Hasil pengujian RNA biasanya memakan waktu beberapa hari sampai seminggu.
18
BAB 3 PENUTUP
3.1 KESIMPULAN Pengkajian pada penderita HIV/AIDS dapat dilakukan dengan pengkajian respon biologis, psikologis (penerimaan diri), sosial, spiritual, kultural, serta pengkajian fisik. Untuk mengetahui infeksi dari HIV/AIDS dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik tes serologi yang diawali Tes Cepat (Rapid Test), Tes Enzyme Immunoassay (EIA) atau Tes ELISA, dan Tes Western Blot. Serta tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR) yang meliputi tes HIV DNA kualitatif (EID) dan HIV RNA kuantitatif. Tanda dan gejala pada penderita AIDS dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor dimana klien yang didiagnosis AIDS harus mempunyai minimal dua gejala mayor dan satu gejala minor. 3.2 SARAN Berdasarkan isi makalah mengenai pengkajian pada penderita HIV/AIDS pembaca diharapkan dapat mengenali tanda dan gejala infeksi HIV/AIDS dan dapat memahami berbagai macam pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi HIV/AIDS.
19
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Azz Amin. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Penerbit Salmeba Medika. http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Manlak_PPIA_2015.pdf (Diakses pada hari Selasa tanggal 05 Maret 2019 pukul 18.39 WIB) http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-lain/situasi-hivaids-2006.pdf (Diakses pada hari Selasa tanggal 05 Maret 2019 pukul 18.10 WIB) https://books.google.co.id/books?id=mmxAfqKkaNQC&pg=PA116&dq=Pa tofisiologi+HIV/AIDS&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwilwsHm9urgAhVO8 HMBHTm_Aj8Q6AEINjAC#v=onepage&q=Patofisiologi%20HIV%2FAI DS&f=false (Diakses pada hari Selasa tanggal 05 Maret 2019 pukul 19.00 WIB) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Petunjuk Pengisian Format Pencatatan dan Pelaporan Pasien HIV/AIDS. Bakti Husada Kementerian Kesehatan RI. 2014. Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV Dan Sifilis Dari Bibu Ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI . Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Laporan Perkembangan HIVAIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2017. Jakarta. Kurniasih, dkk. 2006. SITUASI HIV/AIDS DI INDONESIA TAHUN 1986-2006. Jakarta : Pusat Data Informasi Departemen Kesehatan R.I. Nursalam dan Ninuk Dian. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika. Salawat, Liza. Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome Prevention. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
20