A. Pengertian Kontrak Syariah (Akad) Kontrak adalah perjanjian yang dibuatsecara tertulis. Kontrak merupakah suatu perjanjian/perikatan yang sengaja dibuat sevara tertulis sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan. Pengertian kontrak (akad) umumnya diartikan sebagai penawaran dan penerimaan yang berakhibat pada konsekuensi hukum tertentu. Kontrak berarti suatu kesepakatan yang bersandar pada penawaran dan penerimaan (ijab-qabul)antara pihak yang terlibat dalam kontrak dengan prinsip hukum dalam suatu urusan (objek).
B. Dasar Hukum Kontrak Syariah (Akad) Dasar hukum kontrak syariah adalah sebagai berikut: Al-Quran Hal ini terdapat dalam beberapa ayat yaitu: a. Q.S Al-Isra’ (17): 34: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. b. Q.S Al-Maidah (5): 1: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalakan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya”.
C. Rukun dan Syarat Kontrak Syariah Suatu akad baru terbentuk bila terpenuhi rukun (unsur) nya. Adapun unsure akad yaitu sebagai berikut: 1. Para pihak yang meembuat akad (‘aqidain). Adapun syarat subjek akad tersebut, yaitu: a. Seseorang yang mukallaf, yaitu orang yang telah memiliki kedudukan tertentu sehingga dia dibebani kewajiban-kewajiban tertentu b. Badan hukum 2. Pernyataan kehendak para pihak (shighat ‘aqd). Syarat shighat ‘aqd diantaranya, yaitu: a. Jala’ul ma’na (dinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan pasti maknanya), sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki). b. Tawafuq/tathabuq bainal ijab wal Kabul (persesuaian antara ijab dan Kabul) c. Jazmul iradataini (ijab dan Kabul mencerminkan kehendak masing-masing pihak secara pasti, mantap) tidak menunjukkan adanya unsur keraguan dan paksaan. d. Ittishad al-Kabul bil-hijab, dimana kedua pihak dapat hadir dalam suatu majlis. 3. Objek Akad (mahallul ‘aqd). Syarat objek akad, yaitu: a. Halal menurut syara’
b. Bermanfaat (bukan merusak atau digunakan untuk merusak) c. Dimiliki sendiri atau atas kuasa pemilik d. Dapat diserahterimakan (benda dalam kekuasaan) e. Dengan harga jelas 4. Tujuan Akad (maudhu’ al-‘aqd). Syarat-syarat dari tujuan akad, yaitu: a. Baru ada pada saat dilaksanakan akad b. Berlangsung adanya hingga berakhirnya akad c. Tujuan akad harus dibenarkan syara’
D. Asas-asas Kontrak Syariah (akad) Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, asas-asas akad (kontrak syariag), yaitu sebagai berikut: 1. Ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. 2. Amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji. 3. Ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. 4. Luzum/tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. 5. Saling menguntungkan; setiap akan dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak. 6. Taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. 7. Transparasi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. 8. Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. 9. Taisir/kemudahan; setiap akan dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. 10. Iktikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. 11. Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hiukum, tidak dilarang oleh hukum, dan tidak haram.
E. Ingkar Janji dalam Akad dan Sanksinya Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahannya:
1. 2. 3. 4.
Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya; Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetepi tidak sebagaimana dijanjikan; Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; atau Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pihak dalam akad melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perintah dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan, bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Sanksi bagi pelaku ingkar janji, yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Pembayaran ganti rugi; Pembatalan akad; Peralihan risiko; Denda, dan/atau Pembayaran biaya perkara.
Sanksi pembayaran ganti rugi dapat dijatuhkan, apabila: 1. Pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji; 2. Sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya; 3. Pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang dilakukannya tidak di bawah paksaan.
F. Akibat Akad (kontrak) Ada beberapa akibat yang ditimbulkan dari akad yang telah dibuat/dilaksanakan, yaitu: 1. Semua akad secara sah berlaku sebagai nash syariah bagi mereka yang mengadakan akad. 2. Suatu akad tidak hanya mengikat untuk hal yang dinyatakan secara tegas, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat akad yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan nash-nash syariah. 3. Suatu akad hanya berlaku antara pihak-pihak yang mengadakan akad. 4. Suatu akad dapat dibatalkan oleh pihak yang berpiutang, jika pihak yang berutang terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak yang berpiutang
G. Batalnya Kontrak (Akad) Dalam praktiknya, kontrak bisa terjadi pembatalan sebelum dilaksanakan. Ada beberapa sebab pembatalan penawaran (ijab), yaitu sebagai berikut: 1. Pembatalan oleh pembuat penawaran. Menurut para ulama, penawaran bisa dibatalkan sebelum terjadinya penerimaan (qabul) oleh pihak kedua. Kebolehan pembatalan ini katena pihak yang akan menerima belum terjadi. Pendapat ini didukung oleh Hanafi. 2. Kematian salah satu pihak atau hilangnya kemampuan. Kematian salah satu pihak menyebabkan hilangnya penawaran. 3. Penolakan penawaran yang dilakukan dengan ucapan atau tindakan. 4. Berakhirnya tempat perjanjian. Penawaran dapat dibatalkan dengan berakhirnya tempat perjanjian sebelum penerimaan (qabul) dari pihak lain (kedua). 5. Kerusakan objek yang akan ditransaksikan baik sebagian atau seluruhnya.
H. Berakhirnya Akad (Kontrak) dan Pembatalan Kontrak (Akad) Suatu akad dipandang berakhir apabila telah mencapai tujuan. Dalam akad jual beli, misalnya akad dipandang telah berakhir barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai dan pertanggungan (kafalah), akan dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar. Selain telah mencapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut: 1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’. 2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar-rukyat, cacat, syarat, dan mejelis. 3. Salah satu pihak dengan persetujuan yang lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan 4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihakpihak bersangkutan. 5. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang 6. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang.
I. Kontrak Perwakilan Kontrak yang dilakukan oleh orang lain atas nama pemberi kontrak adalah model perwakilan kontrak. Tindakan seperti ini merupakan hubungan jaminan antara dua orang yang memberi kepercayaan untuk mewakili tindakan sesuai dengan niat dan keinginan pemberi. Wakil (agen) yang menerima amanah hanya dapat melakukan sesuai dengan keinginan pemberi amanah.
Untuk mencapai legalitas dan tercapainya pelaksanaan perwakilan, wakil pelaksana kontrak perlu memberi persyaratan sebagai berikut: 1. Wakil yang ditunjuk dapat memenuhi pemberian tugas yang harus mampu melaksanakan hal-hal yang diamanatkan 2. Pemberi amanat (wakalah) adalah orang yang kompeten untuk memberikan kepercayaan. Karena itu, ia juga harus memiliki otoritas penuh terhadap apa yang akan diserahkan perwakilannya pada orang lain. 3. Tindakan atau barang yang menjadi kesepakatan perwakilan adalah sah menurut syara’. Karena itu, barang atau objek yang akan diwakilkan harus memenuhi persyaratan, antara lain: a. Kriteria dan segala ketentuan yang mengenai objek, bentuk, macam, jumlah dan kualitas barangnya jelas. b. Barang yang menjadi objek halal dan mungkin diperoleh c. Tindakan yang diwakilkan adalah sesuatu yang boleh dan bisa diwakilkan secara syara’, shalat, dan puasa adalah sesuatu yang tidak bisa diwakilkan. Berikut adalah objek yang bisa dilakukan dengan pewakilan: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Jual beli Persewaan Pinjam-meminjam Memberi hadiah Jaminan Bersumpah Berutang Investasi Penyelesaian perkara di pengadilan Kontrak perkawinan Perceraian Pelepasan hak Penerimaan dan pengakuan hak
1. 2. 3. 4. 5.
Berakhirnya tugas perwakilan
Kesepakatan bersama untuk mengakhirinya. Pemutusan sepihak, baik oleh penerima atau pemberi otoritas perwakilan Selesai pelaksanaan kontrak perwakilan Rusaknya objek yang menjadi kesepakatan kontrak untuk diwakilkan Meninggal atau hilangnya kemampuan secara hukum
J. Macam-macam Akad 1. Dilihat dari keabsahannya, maka akad terbagi menjadi tiga kategori,yaitu: a. Akad yang Sah Kriteria akad yang sah, yaitu: Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya Akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalat atau khilaf, dilakukan di bawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan atau penyamaran. b. Akad yang Fasad Akad yang Fasah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. c. Akad yang Batal Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. 2. Dilihat dari penamaannya, maka akad dibagi menjadi dua, yaitu: a. Akad Bernama (Al-‘Uqud Al-Musamma) Yaitu merupakan akad yang penamaannya telah disebutkan dan diterangkan ketentuannya oleh syara’. b. Akad Tidak Bernama (Al-‘Uqud Ghair Al-musamma) Yaitu merupakan akad yang belum dinamai syara’, tetapi muncul dalam perjalanan sejarah umat Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. 3. Dilihat dari zatnya, maka akad dibagi menjadi dua, yaitu: a. Akad Terhadap Benda yang Berwujud (‘Ainiyyah) Sesuatu akad dianggap sah apabila benda atau objek akad tersebut telah diserahterimakan. Apabila objek akad ini tidak atau belum diserahterimakan, maka akad ini dianggap keabsahannya belum sempurna. Akad yang termasuk ‘aqad’ainiyyah ini adalah hibah, ‘ariyah, wadi’ah, qiradh, dan rahn. b. Akad Terhadap Benda Tidak Berwujud (Ghair al-‘Aimiyyah) Cakupan akad ini adalah semua akad selain dari yang lima sebagaimanadisebutkan sebelumnya. 4. Dilihat dari kedudukannya, maka akad dibagi menjadi dua, yaitu: a. Akad pokok (al-‘aqd al-ashli) Yaitu akad yang berdiri sendiri yang keberadannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. b. Akad asesoir (al-‘aqd at-taba’i) Yaitu akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, melainkan tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. 5. Dilihat dari tujuannya, maka akad dibagi menjadi lima, yaitu:
6.
7.
8.
9.
a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli b. Untuk mengadakan usaha bersama, seperti syirkah dan mudharabah c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah d. Menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah e. Mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan Dilihat dari segi tempo dalam akad, maka akad dibagi menjadi dua, yaitu: a. Akad bertempo (al-‘aqd al-zamani) Akad yang didalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. b. Akad yang tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) Akad di mana unsur waktu iidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Dilihat dari segi terjadinya/keberlakuannya, maka akad dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Akad Konsensual (al-‘aqd al-radha’i) Yaitu perjanjian yang terjadi hanya karena adanya pertemuan kehendak atau kesepakatan para pihak. b. Akad Formalistik (al-‘aqd al-syakli) Yaitu akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh pembuat hukum, dimana apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah c. Akad riil (al-‘aqd al-‘aini) Yaitu akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan objek. Apabila tidak dilakukan penyerahan, akad dianggap belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum. Dilihat dari segi sifat mengikatnya, maka akad dibagi menjadi dua, yaitu: a. Akad yang mengikat secara pasti (akad lazim), artinya tidak boleh di-fasakh (dibatalkan secara sepihak) Akad jenis ini dapat dibedakan menjadi dua macam lagi, yaitu pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan janji tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak pertama b. Akad yang mengikat secara tidak pasti (akad tidak mengikat/ghairu lazim) yaitu akad yang dapat di-fasakh oleh dua pihak atau atau satu pihak Akad jenis ini dibedakan menjadi 2 macam, yaitu (1) akad yang memang sifatnya tidak mengikat (terbuka untuk difasakh. (2) akad yang tidak mengikat kerena di dalamnya terdapat khiyar bagi para pihak Dilihat dari bentuknya, maka akad dibagi menjadi dua, yaitu: a. Akad tidak tertulis, yaitu akad yang dibuat secara lisan saja dan biasanya terjadi pada akad yang sederhana b. Akad tertulis, yaitu akad yang dituangkan dalam bentuk tulisan/akta baik akta autentik maupun akta dibawah tangan.
10. Dilihat dari motif yang mendasarinya, maka akad dibagi menjadi dua, yaitu: a. Akad Tabarru’ Adalah jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non-profit (transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan b. Akad Mu’awadah atau akad tijarah Adalah akad yang bertujuan untuk mendapatkan imbalan berupa keuntungan tertentu. 11. Dilihat dari segi hukum taklifi, maka akad dibagi menjadi lima, yaitu: a. Akad wajib. Seperti akad nikah bagi orang yang sudah mampu menikah, memiliki bekal menikah, dan khawatir dirinya akan berbuat maksiat kalau segera tidak menikah b. Akad sunah. Seperti meminjamkan uang, memberi wakaf dan sejenisnya c. Akad mubah. Seperti akad jual beli, penyewaan dan sejenisnya d. Akad makruh. Seperti menjual anggur kepada orang yang masih diragukan, apakah ia akan membuatnya menjadi minuman atau tidak e. Akad haram. Yakni perdagangan riba, menual barang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya 12. Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarang oleh syara’,akad dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Aqad masyru’ Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli b. Aqad mamnu’ah (akad terlarang) Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual beli janin, akad donasi harta anak dibawah umur, akad nikah mut’ah dsb. 13. Dilihat dari segi waktunyaatau dari hubungan hukum dan shighatnya, akad dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Akad munjaz Akad yang mempunyai akibat hokum seketika setelah terjadinya ijab dan qabul b. Akad mudhaf ‘ilaal mustaqbal Akad yang disandarkan kepada waktu yang akan datang c. Akad mu’allaq Akad yang digantungkan atas adanya syarat tertentu 14. Dilihat dari segi dapat dilaksakan atau tidak dapat dilaksanakan, maka akad dibagi kepada dua, yaitu: a. Akad nafidz
Setiap akad yang keluar dari orang yang mempunyai legalitas dan kuasa untuk mengeluarkannya, baik kuasa langsung atau melalui perwakilan, seperti akad yang dibuat oleh orang yang berakal dan bijak terhadap dirinya dalam mengatur hartanya b. Akad mauquf Akad mauquf yaitu setiap akad yang keluar dari pihak yang memiliki kemampuan untuk berakad namun tidak memiliki wewenang untuk melakukannya 15. Dilihat dari segi keharusan membayar ganti atau tidak, maka akad dibagi kepada tiga, yaitu: a. Akad tanggungan (‘Aqd adh-dhaman) Akad tanggungan adalah tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya. Seperti jual beli b. Akad kepercayaan (‘Aqd al-amanah) Akad kepercayaan adalah tanggung jawab dipikul oleh yang empunya bukan oleh yang memegang barang c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dhamanah, dan dari segi lain merupakan amanah, yaitu ijarah, rahn, dan mudharabah 16. Dilihat dari cara melakukannya, akad dibagi kepada dua, yaitu: a. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan cara tertentu. Misalnya, pernikahan yang harus dilakukan di hadapan para saksi b. Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya jual beli yang tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu di hadapan para pejabat 17. Dilihat dari segi tukar menukar hak, maka akad dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Akad mu’awadhah, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah c. Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaannya tetapi menjadi mu’awadhah pada akhirnya seperti qardl, dan kafalah.