TUGAS ENTOMOLOGI KESEHATAN “Ordo Diptera (Aedes sp.)”
Disusun oleh : Suhartati (L J) 25000118183014 Entomologi Semester V
Dosen Pengampu : Nissa Kusariana, SKM, M.Si
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO 2018
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyamuk termasuk dalam subfamili Culicinae, family Culicidae (Nematocera: Diptera) merupakan vektor atau penular utama dari penyakit arbovirus atau arthropod-borne viruses. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk meskipun sebagian besar dari spesies - spesies nyamuk ini tidak berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus) dan penyakit - penyakit lainnya. Jenis - jenis nyamuk yang menjadi vektor utama, biasanya adalah Aedes sp., Culex sp., Anopheles sp., dan Mansonia sp. (Sembel, 2009). Aedes adalah genus nyamuk awalnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Hal ini dianggap sangat invasif di alam dan dapat membawa berbagai patogen yang dapat ditularkan ke manusia. Spesies Aedes aegypti L. dan Aedes albopictus (Skuse) adalah vektor utama yang menjadi perhatian di seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan vektor utama yang mentransmisikan virus yang menyebabkan demam berdarah. Ia juga dikenal untuk mengirimkan infeksi filaria Wuchereria bancrofti dan dari Cacing jantung dan parasit Plasmodium gallinaceum burung (R. C. Russell, 2005). Aedes sp merupakan vektor pembawa penyakit DBD, chikungunya, demam kuning, filariasis, radang otak atau encephalitis. Penyebaran penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) di Indonesia kian mengancam. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
(Badan
Litbangkes) Kementerian
Kesehatan
(Kemenkes) menunjukan jumlah korban jiwa yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 903 orang dari 99.499 kasus DBD. Ini meningkat dari tahun 2013 yang hanya 871 orang dari 112.511 kasus DBD, dan 2012 hanya 816 orang dari 90.245 kasus (Badan Litbangkes Kemenkes, 2015). Tiga penyakit menjadi fokus perhatian di Indonesia, yaitu DBD, malaria, dan filariasis. Berdasarkan data Kemenkes, penderita DBD (2013) 45,85 orang per 100.000 penduduk dengan tingkat kematian 0,77 persen. Kasus malaria (2013) 1,38 orang per 1.000 penduduk. Dan ada 302 kabupaten/kota endemis filariasis dari 497 kabupaten/kota.
Awal tahun 2015 yang mengalami KLB DBD adalah jawa timur sebanyak 1.817 kasus demam berdarah dengue (DBD) telah dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur kepada Kementerian Kesehatan RI. ada peningkatan kasus DBD sebesar 46% bila dibandingkan bulan yang sama di tahun 2014, yaitu 980 kasus. Seluruhnya terdapat 15 Kabupaten/Kota yang menyandang status kejadian luar biasa (KLB) dikarenakan jumlah kasus DBD di wilayah tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun 2014 (Depkes, 2015). Oleh sebab itu makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Aedes sp. B. Tujuan 1.
Untuk mengetahui taksonomi Aedes sp.
2.
Untuk mengetahui morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
3.
Untuk mengetahui siklus hidup Aedes sp
4.
Untuk mengetahui kebiasaan hidup/bionomik nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
5.
Untuk mengetahui penyebaran nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
6.
Untuk mengetahui peranan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vector.
7.
Untuk mengetahui cara pengendalian nyamuk Aedes sp.
BAB II ISI A.
Taksonomi Aedes sp Nyamuk Aedes sp tersebar di seluruh dunia dan diperkirakan mencapai 950 spesies. Nyamuk ini dapat menyebabkan gangguan gigitan yang serius terhadap manusia dan binatang, baik di daerah tropik dan daerah beriklim lebih dingin. 1.
Taksonomi Aedes Aegypti Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Subphylum : Uniramia Kelas Ordo
: Insekta : Diptera
Subordo
: Nematosera
Familia
: Culicidae
Sub Family : Culicinae Tribus
: Culicini
Genus
: Aedes
Spesies
: Aedes Aegypti
(Djakaria S, 2004) 2.
Taksonomi Aedes albopictus Aedes albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Aedes aegypti (Stegomya). Klasifikasi Aedes albopictus adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Ordo Familia Genus Spesies
: Animalia : Insecta : Diptera : Culicidae : Aedes : Aedes albopictus
B.
Morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus 1. Telur Telur Aedes sp. tidak mempunyai pelampung dan diletakkan satu persatu di atas permukaan air, berwarna gelap, berbentuk oval biasanya telur diletakkan diatas permukaan air satu- persatu dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya. Ukuran panjangnya 0,7 mm, dibungkus dalam kulit yang berlapis tiga dan mempunyai saluran berupa corong untuk masuknya spermatozoa (Sembel, 2009). Telur Aedes aegypti dalam keadaan kering dapat tahan bertahun – tahun lamanya. Telur berbentuk elips dan mempunyai permukaan yang polygonal. Telurnya tidak akan menetas sebelum tanah digenangi air dan telur akan menetas dalam waktu satu sampai tiga hari pada suhu 30°C tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu 16°C (Neva FA and Brown HW, 1994). Telur nyamuk Aedes albopictus berwarna hitam, yang akan menjadi lebih hitam warnanya ketika menjelang menetas, bentuk lonjong dengan satu ujungnya lebih tumpul dan ukurannya ± 0,5mm (Boesri, Hasan. 2011). Telur Aedes albopictus waktu bertelur sesudah menghisap darah dipengaruhi oleh temperatur. Waktu terpendek antara menghisap darah dan bertelur untuk pertama kali ialah 7 hari pada suhu 210 C dan 3 hari pada suhu 280 C. Telur yang masak (umur4-7 hari) akan menetas segera sesudah kontak dengan air (Sembel , 2009).
Gambar 1. Telur Aedes sp
2. Larva Larva Aedes aegypti dapat bertahan hidup dan tumbuh normal pada air got yang didiamkan dan menjadi jernih, sedangkan pada air sumur dan PAM ketahanan hidupnya sangat rendah dan tidak dapat
tumbuh
normal.
Air
limbah
sabun
mandi
memungkinkan untuk hidup larva Ae aegypti (Sayono, 2011).
Gambar 2. Larva Aedes aegypti
Gambar 3. Larva Aedes albopictus
tidak
Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari. Ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu: a. Instar I
: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
b. Instar II : 2,5-3,8 mm c. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II d. Instar IV : berukuran paling besar 5 mm. Larva instar IV akan berubah menjadi pupa yang berbentuk bulat gemuk menyerupai koma. Untuk menjadi nyamuk dewasa diperlukan waktu 2-3 hari. Suhu untuk perkembangan pupa yang optimal sekitar 270C-300C, tidak memerlukan makanan tetapi memerlukan udara. Pada stadium pupa ini akan dibentuk alat-alat tubuh nyamuk seperti sayap, kaki, alat kelamin, dan bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008). Ciri-ciri dari larva Aedes aegypti adalah adanya corong udara pada segmen terakhir. Pada corong udara tersebut memiliki gigi pectin serta sepasang rambut dan jumbai. Pada segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut berbentuk kipas (palmate hairs). Pada setiap abdomen segmen kedelapan ada comb scale sebanyak 8-21 atau berjejer 1-3 (Soegijanto, 2006). Ciri-ciri
dari
larva
Aedes
albopictus
adalah
kepala
berbentuk bulat silindris, antenna pendek dan halus dengan rambut-rambut berbentuk sikat di bagian depan kepala, pada ruas abdomen 8 terdapat gigi sisir yang khas dan tanpa duri pada bagian lateral thorax berukuran ± 5mm (Boesri, Hasan. 2011). 3. Pupa Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila terganggu. Pupa akan berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Dalam waktu dua atau tiga hari perkembangan pupa sudah sempurna, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa muda segera keluar dan terbang ( Sembel, 2009).
Pupa Aedes albopictus bentuk seperti koma dengan cephalothorax yang tebal, abdomen dapat digerakkan vertikal setengah lingkaran, warna mulai terbentuk agak pucat berubah menjadi kecoklatan kemudian menjadi hitam ketika menjelang menjadi dewasa, dan kepala mempunyai corong untuk bernapas yang berbentuk seperti terompet panjang dan ramping (Boesri, 2011).
Gambar 4. pupa Aedes (sumber : Dept. Medical Entomology ICPMR, 2002)
Gambar 5. Nyamuk keluar dari pupa Sumber : (Mani Saranya, 201
4. Nyamuk Dewasa Aedes aegypti juga disebut sebagai Tiger mosquito atau Black White Mosquito karena tubuhnya mempunyai ciri khas berupa adanya garis-garis dan bercak bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Dua garis melengkung berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral serta dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam sedangkan pada Aedes albopictus hanya membentuk sebuah garis lurus. Susunan vena sayap sempit dan hampir seluruhnya hitam, kecuali bagian pangkal sayap. Seluruh segmen abdomen berwarna belang hitam putih, membentuk pola tertentu, dan pada betina ujung abdomen membentuk titik (meruncing) (Harwood RF and James MT, 1979). Aedes aegypti berbadan sedikit lebih kecil, tubuhnya sampai ke kaki berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Nyamuk ini tidak menyukai tempat yang kotor, biasa bertelur pada genangan air yang tenang dan bersih seperti pot bunga, tempayan, bak mandi dan lain-lain yang kurang diterangi matahari dan tidak dibersihkan secara teratur. Bagi nyamuk Aedes aegypti, darah manusia berfungsi untuk mematangkan telur agar dapat dibuahi pada saat perkawinan (Rozanah, 2004). Mulut nyamuk termasuk tipe menusuk dan mengisap (Rasping-Sucking), mempunyai enam stilet yaitu gabungan antara mandibula, maxilla yang bergerak naik turun menusuk jaringan sampai menemukan pembuluh darah kapiler dan mengeluarkan ludah yang berfungsi sebagai cairan racun dan antikoagulan (Sembel DT, 2009).
Gambar 6. Aedes aegypti
Gambar 7. Aedes albopictus Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari nyamuk betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua
ciri
ini
dapat
(Gandahusada, dkk, 2000).
diamati
dengan
mata
telanjang
Tabel 1. Perbedaan Aedes aegypti dan Aedes albopictus Aedes aegypti
No. 1.
2.
3.
Aedes albopictus
Menyukai tinggal di dalam
Menyukai tinggal di luar rumah
rumah (indoor).
(outdoor).
(menggigit manusia).
Bersifat antropofilik dan zoofilik (menggigit manusia dan binatang).
Jara k
Jar ak terbang nyamuk
Bersifat
antropofilik
terbang nyamuk
dewasa betina 30-50 meter. 4.
Mempunyai
punggung
berbentuk garis seperti lyre dengan dua garis lengkung
dewasa
betina 400-600 meter. Hanya mempunyai satu garis lurus pada punggungnya.
dan dua garis lurus putih. 5.
6.
Terdapat dua tambahan strip Mesepimeron membentuk terpisa putih h pada bagian tambalan putih berbentuk V. mesepimeron . Anterior pada
bagia n
Tid femur ak terdapat sstrip putih memanjang pada bagian kaki tengah terdapat strip femur kak putih memanjang. i. Sumber : Diah Rahayu (2013)
C.
Siklus Hidup Aedes sp Aedes aegypti mengalami metamorfosis lengkap/metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu dengan bentuk siklus hidup berupa Telur, Larva (beberapa instar), Pupa dan Dewasa (James MT and Harwood RF, 1969) Nyamuk Aedes aegypti, meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telurnya bebentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas satu sampai dua hari menjadi larva (Ginanjar, 2008). Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Ginanjar, 2008).
Gambar 11. Siklus hidup nyamuk Aedes sp Sumber : http://www.cdc.gov/Dengue/entomologyEcology/m_lifecycle.html
Telur Aedes aegypti tahan terhadap kondisi kekeringan, bahkan bisa bertahan hingga satu bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cendrung lebih rakus dalam menghisap darah (Ginanjar, 2008) . D. Kebiasaan Hidup/Bionomik Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus 1. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti a. Ketahanan hidup Cuaca memegang peranan penting dalam daur hidup nyamuk
sebagai
vector
demam
berdarah.
Faktor
yang
berpengaruh adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Berkaitan dengan Climate change, semua factor menjadi tidak dominan karena ketidak pastian cuaca memberikan kombinasi yang beragam (Tjatur, 2013). Perkembangan telur nyamuk tampak telah mengalami embrionisasi lengkap dalam waktu 72 jam dalam temperature udara 25-300C dan dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25- 27 0C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali Bila suhu kurang dari 10 0C atau lebih dari 400C.Kalimantan merupakan daerah tropis, suhu udara 25% merupakan suhu optimum untuk perkembangbiakan jentik (Ridha, 2013). b. Kebiasaan mengigit Aktivitas mengigit mencapai puncak pada saat perubahan intensitas cahaya tetapi bisa mengigit sepanjang hari dan tertinggi sebelum matahari terbenam. Jarak terbang pendek yaitu 50-100 meter kecuali terbawa angin (Soegijanto, 2006). Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam
satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). c. Perilaku istirahat Nyamuk akan istirahat pada tempat-tempat yang gelap dan sejuk
apabila
sudah
menghisap
darah,
sampai
proses
penyerapan darah untuk perkembangan telur selesai. Nyamuk akan mencari tempat berair untuk meletakan telurnya, kemudian bertelur dan kemudian nyamuk akan mulai mencari darah lagi untuk siklus bertelur berikutnya (Soegijanto, 2006). d. Kebiasaan berkembangbiak (Breeding Habit) Aedes
aegypti
berkembangbiak
di
dalam
tempat
penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga, dan barang bekas yang dapat menampung air hujan di daerah urban dan suburban (Soegijanto, 2006).
Gambar 12. Tempat perindukan Aedes aegypti Sumber : http://entnemdept.ufl.edu/
2.
Bionomik Nyamuk Aedes albopictus a. Ketahanan nyamuk
Iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen penyakit baik virus, bakteri atau parasit, dan vektor bersifat
sensitif
terhadap
suhu,
kelembaban,
dan
kondisi
lingkungan ambien lainnya. WHO (2003) menyatakan bahwa penyakit yang ditularkan melalui nyamuk antara lain DBD berhubungan dengan kondisi cuaca yang hangat. Curah hujan ideal adalah air hujanyang tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10 sampai 12 hari akan berubah menjadi nyamuk. Bila manusia digigit oleh nyamuk yang mengandung virus dengue maka dalam 4 sampai 7 hari kemudian akan menimbulkan gejala DBD (Ariati, 2014). Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun sampai di bawah suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35°C juga terjadi perubahan yang berupa lambatnya prosesproses fisiologis. Rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25°C sampai 27°C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang 10°C atau lebih dari 40°C. Kelembaban akan berpengaruh terhadap umur nyamuk. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek dan tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Kelembaban rata-rata pada daerah kajian berkisar antara 83%-88% sementara kelembaban optimum bagi kehidupan nyamuk adalah 70% sampai 90% (Ariati, 2014).
b. Kebiasaan mengigit
Nyamuk Aedes albopictus menggigit di pagi, sore dan malam hari dan puncaknya pada sore hari. Nyamuk Aedes albopictus tidak hanya menggigit manusia, namun bisa menggigit sapi, kucing anjing, tikus, ayam, ular, kadal dan katak (Devi, 2013). c. Perilaku istirahat Nyamuk Aedes albopictus biasanya beristirahat di tempat yang teduh, ban bekas, semak-semak, kotak baterai, kontainer limbah, dan gerabah (Devi, 2013). Perilaku nyamuk dewasa Aedes albopictus boleh dikatakan sama dengan perilaku Aedes aegypti meskipun nyamuk ini lebih suka beristirahat di dalam rumah (Inge Sutanto, 2008). d. Kebiasaan Berkembangbiak (Breeding Habit) Aedes albopictus dalam musim penghujan relatif tersedia lebih banyak tempat yang cocok bagi habitat Aedes albopictus. Itulah sebabnya jumlah populasi Aedes albopictus merupakan nyamuk yang selalu menggigit dan menghisap darah manusia sepanjang hari mulai pagi-sore (Sembel, 2009). Aedes albopictus bersifat aktif sama dengan Aedes aegypti, yaitu di pagi dan sore hari. Aedes albopictus bertelur di air yang tergenang, misalnya pada kaleng-kaleng bekas yang menampung air hujan di halaman rumah. Pada musim penghujan, nyamuk ini banyak terdapat di kebun atau halaman rumah karena terdapat banyak tempat yang terisi air (Soegijanto, 2006). Walaupun
kadang-kadang
larva
Aedes
albopictus
ditemukan hidup bersama dalam satu tempat perindukan dengan larva Aedes aegypti, namun larva nyamuk ini lebih menyukai tempat-tempat perindukan alamiah (plant containers) seperti kelopak daun, tonggak bamboo dan tempurung kelapa yang mengandung air hujan (Inge Sutanto, 2008). F. Peranan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus Sebagai Vector
1. Aedes aegypti Secara historis, nyamuk Aedes aegypti telah menjadi salah satu vector nyamuk yang paling penting dari berbagai penyakit pada manusia. Data kasus yang dilaporkan DBD menunjukkan lonjakan yang jelas pada akhir tahun 2009, segera setelah terjadinya gempa Padang tahun 2009, di akibatkan oleh meningkatnya jumlah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, dimana virus dangue yang ada saat ini telah mengalami perkembangan genotipe (Fanany, 2012). 2. Aedes albopictus Peranan Ae. albopictus dalam penularan penyakit sebai vector sekunder maupun sebagai vector utama dilapangan maupun pada percobaan laboratorium terhadap Demam Berdarah Dengue telah terbukti dan menjadi masalah di beberapa Negara terhadap penyakit penyakit virus yang menyerang syaraf seperti Japanese encephalistis
dan
western
atau
eastern
encephalistis
serta
chikungunya dan telah dibuktikan secara laboratorium, demikian juga pada penyakit penyakit hewan yang disebabkanoleh agen dirofilaria imitis, plasmodium lophurae, P. gallinaceum dan P.fallax. peranannya dialam terhadap penyakit virus dan parasite sejenis pada manusia dan hewan perlu dipikirkan kemungkinannya(Boesri Hasan, 2011) Pada beberapa penyelidikan di laboratorium dapat terlihat bahwa Aedes albopictus mampu menjadi penular atau reservoir dari penyakit yang disebabkan oleh Dirofilaria immitis, Plasmodium lophurae,
Plasmodium
beberapa
virus
gallinaceum,
penyebab
penyakit
Plasmodium Western
fallax
encephalistis,
Chikungunya dan Japanese encephalistis (Horsfall, 1955).
G.
Cara Pengendalian Nyamuk Aedes sp
dan
Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit demam berdarah dengue hingga ke tingkat yang bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Kegiatan pemberantasan nyamuk Aedes dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1.
Pemberantasan nyamuk dewasa a. Pengasapan (Fogging) Pengasapan
atau
fogging
dengan
menggunakan
jenis
insektisida misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic (Supartha, 2008). Contohnya, malathion dan fenthoin, dosis yang dipakai adalah 1 liter malathion 95% EC + 3 liter solar. Pengasapan dilakukan pada pagi antara jam 07.00-10.00 dan sore antara jam 15.00-17.00 secara serempak (Depkes RI, 2004). Penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infentif) dan nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan kedua bertujuan agar nyamuk baru yang infektif akan terbasmi sebelum sempat menularkan kepada orang lain. Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat tetap ditekan serendah – rendahnya (Chahaya, 2005). b. Repelen Repelen yaitu bahan kimia atau non-kimia yang berkhasiat mengganggu kemampuan insekta untuk mengenal bahan atraktan dari hewan atau manusia. Dengan kata lain, bahan itu berkhasiat mencegah nyamuk hinggap dan menggigit. Bahan tersebut memblokir fungsi sensori pada nyamuk. Jika digunakan dengan benar,
repelen
nyamuk
bermanfaat
untuk
memberikan
perlindungan pada individu pemakainya dari gigitan nyamuk selama jangka waktu tertentu (Kardinan, 2007). Nyamuk dalam mengincar mangsanya lebih mengandalkan daya cium dan panas tubuh calon korbannya. Daya penciuman itulah yang menjadi target dalam menghalau nyamuk (Diah, 2008).
Salah satu cara yang lebih ramah lingkungan adalah memanfaatkan tanaman anti nyamuk (insektisida hidup pengusir nyamuk). Tanaman hidup pengusir nyamuk adalah jenis tanaman yang dalam kondisi hidup mampu menghalau nyamuk. Cara penempatan tanaman ini bisa diletakkan di sudut-sudut ruangan dalam rumah, sebagai media untuk mengusir nyamuk. Jumlah tanaman dalam ruangan tergantung luas ruangan. Sementara, untuk penempatan diluar rumah/pekarangan sebaiknya diletakkan dekat pintu, jendela atau lubang udara lainnya, sehingga aroma tanaman terbawa angin masuk ke dalam ruangan. Contoh tanaman anti nyamuk yang gampang ditemui antara lain: Tembelekan (Lantana camera L), Bunga Tahi Ayam atau Tahi Kotok (Tagetes patula), Karanyam (Geranium spp), Sereh Wangi (Andropogonnardus/Cymbopogon nardus), Selasih (Ocimum spp), Suren (Toona sureni, Merr), Zodia (Evodia suaveolens, Scheff), Geranium
(Geranium
homeanum,
Turez)
dan
Lavender
(Lavandula latifolia,Chaix) (Diah, 2008). c. Teknik Serangga Mandul (TSM) Radiasi dapat dimanfaatkan untuk pengendalian vektor yaitu untuk membunuh secara langsung dengan teknik desinfestasi radiasi dan membunuh secara tidak langsung yang lebih dikenal dengan Teknik Serangga Mandul (TSM), yaitu suatu teknik pengendalian vektor yang potensial, ramah lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompatibel dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana, yaitu membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autocidal technique). Teknik Jantan Mandul atau TJM merupakan teknik pemberantasan serangga dengan jalan memandulkan serangga jantan. Radiasi untuk pemandulan ini dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron, namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah sinar gamma (Nurhayati, 2005).
2. Pemberantasan jentik a. Fisik Cara ini dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi tempat-tempat perindukkan. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang pada dasarnya ialah pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. PSN ini dapat dilakukan dengan (Chahaya, 2011) : 1) Menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk selama 7-10 hari. 2) Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan tempat air lain. 3) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali. 4) Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang-barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi sarang nyamuk. 5) Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan tanah. 6) Membersihkan air yang tergenang diatap rumah. 7) Memelihara ikan. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya untuk memberantas jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. Mengingat Aedes aegypti tersebar luas, maka
pemberantasannya
perlu
peran
aktif
masyarakat
khususnya memberantas jentik Aedes aegypti di rumah dan lingkungannya masing-masing. Cara ini adalah suatu cara yang paling efektif dilaksanakan karena (Chahaya, 2011) : 1) Tidak memerlukan biaya yang besar. 2) Bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih. 3) Menjadikan lingkungan bersih.
4) Budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong royong. 5) Dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain yang diakibatkan oleh lingkungan yang kotor akan berkurang. b. Kimia Dikenal sebagai larvasidasi atau larvasiding yakni cara memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida). Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah temephos yang berupa butiran – butiran (sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu selama 3 bulan (Depkes RI, 2004). Nama
merek
dagang
temefos
adalah
abate. Abate
merupakan senyawa fosfat organik yang mengandung gugus phosphorothioate. Bersifat stabil pada pH 8, sehingga tidak mudah larut dalam air dan tidak mudah terhidrolisa. Abate murni berbentuk kristal putih dengan titik lebur 30 0 – 30,50 C. Mudah terdegradasi bila terkena sinar matahari, sehingga kemampuan membunuh larva nyamuk tergantung dari degradasi tersebut. Gugus phosphorothioate (P=S) dalam tubuh binatang diubah menjadi
fosfat
(P=O)
yang
lebih
potensial
sebagai
anticholinesterase. Kerja anticholinesterase adalah menghambat enzim cholinesterase baik pada vertebrata maupun invertebrata sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf karena tertimbunnya acetylcholin pada ujung syaraf tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan kematian (Fahmi, 2006). Larva Aedes aegypti mampu mengubah P=S menjadi P=O ester labih cepat dibandingkan lalat rumah, begitu pula penetrasi abate ke dalam larva berlangsung sangat cepat dimana lebih dari 99% abate dalam medium diabsorpsi dalam waktu satu jam setelah perlakuan. Setelah diabsorpsi, abate diubah menjadi
produk-produk metabolisme, sebagian dari produk metabolik tersebut diekskresikan ke dalam air (Fahmi, 2006). Namun, cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk secara permanen karena masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu pula diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya (Chahaya, 2011). c. Biologi Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan makhluk hidup, baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Organisme tersebut dapat berperan sebagai patogen, parasit atau pemangsa. Beberapa jenis ikan pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk seperti ikan kepala timah (Panchax panchax), ikan gabus (Gambusia affinis) dan ikan gupi lokal seperti ikan P.reticulata (Gandahusada, 1998). Menurut penelitian Widyastuti (2011) model pengendalian vektor DBD Aedes aegypti dapat menggunakan predator M.aspericornis lebih efisien daripada menggunakan predator ikan cupang. Selain cara diatas, ada pengendalian legislatif untuk mencegah tersebarnya serangga berbahaya dari satu daerah ke daerah lain atau dari luar negeri ke Indonesia, diadakan peraturan dengan sanksi pelanggaran oleh pemerintah. Pengendalian karantina di pelabuhan laut dan pelabuhan udara. Demikian pula penyemprotan insektisida di kapal yang berlabuh atau kapal terbang yang mendarat di pelabuhan udara. Keteledoran oleh karena tidak melaksanakan peraturan-peraturan karantina yang menyebabkan perkembangbiakan vektor nyamuk dan lalat, dapat dihukum menurut undang-undang (Gandahusada, 1998).
BAB III PENUTUP 1. Nyamuk Aedes sp termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Artropoda, Kelas Insekta, Ordo Diptera, Genus Aedes. 2. Morfologi nyamuk Aedes sp yaitu mempunyai warna dasar hitam, dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Panjang badan sekitar 3-4 mm. 3. Aedes sp mengalami metamorfosis sempura dari telur-larva-pupanyamuk dewasa yang memerlukan waktu hingga 9 hari. 4. Kebiasaan hidup atau bionomik nyamuk Aedes sp meliputi Kebiasaan menggigit, kebiasaan istirahat dan kebiasaan berkembang biak. Kebiasaan menggigit Aedes aegypti yaitu terutama pada pagi dan sore hari. Sedangkan Aedes albopictus puncaknya pada sore hari. Kebiasaan istirahat Aedes aegypti yaitu pada tempat-tempat yang gelap dan sejuk apabila sudah menghisap darah, sampai proses penyerapan darah untuk perkembangan telur selesai. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus beristirahat di tempat yang teduh. Aedes aegypti berkembang biak di tempat-tempat penampungan air bersih. Sedangkan Aedes albopictus lebih menyukai natural plant. 5. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis sedangkan Aedes albopictus menyebar di seluruh Amerika, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. 6. Aedes
aegypti
merupakan
vektor
penyakit
DB,
DBD,
DSS,
Chikungunya, Demam Kuning, Filariasis dan Encephalitis. Aedes albopictus sebagai vektor potensial penyakit DBD. 7. Pengendalian nyamuk Aedes dapat dilakukan dengan cara: pada nyamuk dewasa dengan pengasapan, repelen, dan TSM (Teknik Serangga Mandul), pada jentik nyamuk dengan cara fisik seperti PSN (Pemberantsan sarang nyamuk), cara kimia dengan larvasida, cara biologi seperti menggunakan makhluk hidup, baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Organisme tersebut dapat berperan sebagai patogen, parasit atau pemangsa.
DAFTAR PUSTAKA Ariati Jusniar, Athena Anwar. Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat. Bul. Penelit. Kesehatan, Vol. 42, No. 4, Desember 2014: 249-256. Badan Litbangkes Kemenkes, 2015. Dalam Tiap Tahun Korban Jiwa Akibat DBD Meningkat. Senin, 16 Februari 2015 08:20 (http://digilib.unimus.ac.id) Bahang, Z.B. 1978. Life history of Aedes (S) aegypty and Aedes (S) albopictus under laboratory condition. Inst. For Med. Research. Kuala Lumpur. Boesri Hasan. Biologi dan Peranan Aedes albopictus(Skuse) 1894 sebagai PenularPenyakit. Aspirator. Vol.3 no. 2 tahun 2011: 117-125 Chahaya, I., 2011. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah Di Indonesia. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3715/1/fkm indra %20c5.pdf. Diakses tanggal 4 Februari 2012 Christopers, S.R. 1960. Aedes aegypti (L) The Yellow Fever Mosquito. Cambridge Univ. Press. London. Depkes RI. 2004. Perilaku Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sangat Penting Diketahui dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. Jakarta: Buletin Jendela. Depkes RI, 2008, Modul Pelatihan bagi Pelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan pendekatan Komunikasi Perubahan Perilaku, Jakarta. Depkes RI, 2015 dalam http://www.depkes.go.id/article/view/15013000002/kemenkes- terimalaporan-peningkatan-kasus-dbd-di-jawatimur.html#sthash.qTkQwUDl.dpuf. KEMENKES TERIMA LAPORAN PENINGKATAN KASUS DBD DI JAWA TIMUR . Jakarta 27 januari 2015
Diah Rahayu Fitri, Adil Ustiawan. Identifikasi aedes aegypti dan aedes albopictus. Artikel. 30 Januari 2013, Reviewed: 25 April 2013, Published: 31 Mei 2013 Djakaria, S. 2004. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi Kedokteran Edisi ke-3.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Fahmi, M. 2006. Perbandingan Efektifitas Abate Dengan Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle) Dalam Menghambat Pertumbuhan Larva Aedes aegypti. Skripsi.
Fakultas
Kedokteran
Universitas
http://eprints.undip.ac.id/21271/1/Fahmi.pdf .
Diakses
Diponegoro tanggal
20
Maret 2015. Gandahusada S dkk, 2003. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Gandahusada, S. Herry D.I, Wita Pribadi, 1998, Parasitologi Kedokteran, Edisi III,FKUI,Jakarta Ginanjar Genis. 2007. Apa yang Dokter Anda Tidak Katakan Tentang Demam Berdarah. Edisi 1. Bandung : Bintang Pustaka. Hal. 21-22, 25 Agustus 2008. HARWOOD,RF and JAMES,MT. and. 1969. Herm’s Medical Entomology. 6th Ed.The Macmillan Company USA Ho, B.C. dkk. 1973. Field and laboratory observation on Landing bitting periodicities of Aedes albopictus (Skuse). SEA J. Trop. Med. Pub. Hlth. 4. pp. 238 – 244. Horsfall, W.R. 1955. Mosquitoes Their bionomic and relation to disease. The Ronald Press Co. New York Jumali. 1979. Epidemic Degue Haemorhagic Fever in rural Indonesia III Entom/ological studies. Am. J. Trop. Med. Hyg. 28 Kardinan, Agus. 2007. Tanaman Pengusir Dan Pembasmi Nyamuk. Agromedia Pustaka. Jakarta. Neva, F.A. Brown, H.W.1994. Basic Clinical Parasitology. 6th Ed. Prentice Hall International Edition. Nurhayati, S. 2005. Prospek Pemanfaatan Pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue,Buletin Alara, 7(1dan2)Agustus dan Desember,pp.17-23.2005
R. C Russell Murray R. D, Davison R. M. Clinical presentation of PCOS following development of an insulinoma: case report. Hum Reprod 2000;15:86-8. Ridha rasyid M, Nita Rahayu, Nur Afrida Rosvita, Dian Eka Setyaningtyas1 The relation of environmental condition and container to the existance of the Aedes aegypti larvae in dengue haemorrhagic fever endemic areas in Banjarbaru. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang. Vol. 4, No. 3, Juni 2013. Hal : 133 – 137 Rozanah,2004.http://garistepi.wordpress.com/2009/06/09/sistematikanyamuk-Aedesaegypti/Saranya. M, Mohanraj .R S, Dhanakkodi. B, Euro.J. Exp.Bio.,2013b 3: 203213. Sayono, S Qoniatun, Mifbakhuddin. Pertumbuhan Larva Aedes aegypti pada Air Tercemar. Vol 7 No 1 Tahun 2011 Sembel, D., 2009. Entomologi Kedokteran. Penerbit C.V. Andi Offset, Yogyakarta. Sen, S.K. 1926. Experiments on the transmission of interpest by means of insectsDep. Agric. India. Ent. Ser. 9; 59. Soegijanto, Soegeng, 2006. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia. Cetakan I. Airlangga, Surabaya. Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 247-256 Tjatur S Wahjoe.Demam Berdarah dalam Perspektif Urban : Analisa Statistik untuk Awareness Strategy. Prosiding Conference on Smart-Green Technology in Electrical and Information Systems Bali, 14-15 November 2013 Widyastuti,Umi. 2011. Pemetaan Program Pengendalian Vektor dan Reservoir Penyakit di Jawa dan Bali. Penelitian Kebijakan. http://www.b2p2vrp.litbang.depkes.go.id/artikel/Penelitian%20Kebij akan.pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2015