Davishare Blog Tentang Pendidikan
.
Home
Feed
Privacy
Contact
Disclaimer
Beranda » Artikel » Hakikat Manusia, Pengertian, Sifat, Wujud dan Dimensi
Hakikat Manusia, Pengertian, Sifat, Wujud dan Dimensi
Sebagai bahan acuan pembuatan makalah anda dapat melihat disini Contoh Susunan Makalah Yang Baik Sesuai Standar Pendidikan. Hakikat manusia - dalam artikel ini akan dijelaskan secara rinci tentang hakikat manusia termasuk pengertiannya, sifat hakikat manusia dalam filsafat, wujud sifat hakikat manusia dalam kemampuan menyadari diri. Artikel ini dapat menjadi rujukan untuk pembuatan bahan makalah. Pengertian sifat hakikat manusia Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi
biologisnya.Beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah. Sifat Hakikat Manusia Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normative. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normative karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Wujud Sifat Hakikat Manusia @ Kemampuan menyadari diri Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik berupa pribadi maupun nonpribadi/benda.Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan ke dalam.Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selanjutnya aku memanipulasi ke dalam lingkunganu memenuhi kebutuhan aku. Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan arah ke dalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia mereka) sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang lain. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri dengan akunya sendiri. @ Kemampuan bereksistensi Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menorobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. kemampuan menorobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku
makhluk infra human, dimana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya. Oleh karena itu kemampuan bereksistensi inilah perlu dibina melalui pendidikan. @ Pemilikan kata hati (conscience of man) Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah pengertian yang ikut serta atau pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya.Jadi pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia.Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandangan tertentu (misalnya sudut kepentingan diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik/benar dan buruk/salah harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Drijarkara menyebutnya dengan baik yang integral.Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan mampu membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia disebut tajam kata hatinya.Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan’. Usaha untuk mengubah kata hati (gewetan ferming). @ Moral Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.Disini tampak bahwa masih ad jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan.Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikamanusiaan atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan. @ Kemampuan bertanggung jawab Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk
penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial. Bentuk tuntutannya berupa sanksisanksi sosial seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara dan lain-lain. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa dan terkutuk. Disini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan.Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
@ Rasa kebebasan (kemerdekaan) Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu ‘rasa bebas’ dan ‘sesuai dengan tuntutan kodrat manusia’ yang berarti ada ikatan.Kemerdekaan dalam arti yang sebenanrya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabibuta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab hanya kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu segera disusul dengan sanksisanksinya. Di sini terlihat bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Implikasi pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan ke dalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya. @ Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak; Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dan manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesutu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Sedangkan kewajiban dipandang sebagi sesuatu beban. Ternyata bukan beban melainkan keniscayan artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia,maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya maka ia berarti mengingkari kemanusiannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial). Karena itu seseorang yang semakin menyatu dengan kewajiban, nilai, maka martabat kemanusiaannya semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain, melaksanakan kewajiban itu adalah suatu keluhuran.
Wajib bukanlah ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Karena wajib adalah keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerimanya. Tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat dipenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan.Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin. @ Kemampuan menghayati kebahagiaan Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut kebahagiaan ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa bahagia.Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dari sejumlah kesenangan. Proses integrasi dari kesemuanya yang menyenangkan maupun yang pahit menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut bahagia.Kebahagiaan itu lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya irasional. Padahal kebahagiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian, karena aspekaspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan.Dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan. Dimensi-dimensi Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan dan Dinamikanya Telah diuraikan sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat tersebut akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau ditilik dari sisi lain. Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas, yaitu: @ Dimensi Keindividualan Lysen mengartikan individu sebagai orang seorang, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. (Lysen, individu dan masyarakat). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi.
Demikian kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di Negeri Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas. Bahkan dua anak kembar yang berasal satu telur pun, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan bandingannya). Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda. @ Dimensi Kesosialan Setiap bayi lahir dikaruniai potensi sosialitas (MJ. Langeveld 54) pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya daidalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima, dipandang sebagai kunci sukses pergaulan. Adanya dorongan untuk meerima dan memberi itu sudah menggejalah mulai masa bayi. Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Imannual Khan seorang filosofi tersohor bangsa Jerman menyatakan bahwa manusia hanya menjadi manusia jika berada diantara manusia. Seseorang dapat mengembangkan kegemerannya, sikapnya, cita-citanya didalam interaksi dengan sesamanya, seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain itu untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat tidak disukainya.Hanya dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak manusia tidak akan menjadi manusia bila tidak berada diantara manusia. @ Dimensi Kesusilaan Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika didalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidak senangangan orang lain.Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan,
keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat asal dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga macam, yaitu nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok), dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan). @ Dimensi Keberagamaan Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya. Diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut, dilakukan bermacammacam upacara menyediakan sesajen-sesajen dan lain-lain. Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau aktualisasi. Dari kondisi ‘potensi’ menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Setiap manusia lahir dikaruniai naluri yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan, se ks, mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri maka tidak bedanya dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah kea rah status manusiawi. Demikian pembahasan tentang hakikat manusia, semoga bermanfaat
Jangan sampai ketinggalan postingan-postingan terbaik dari Davishare. Berlangganan melalui email sekarang juga: http://www.davishare.com/2015/01/hakikat-manusia-pengertian-sifat-wujud.html
terjadi dalam diri peserta didik selama dalam proses belajar (Muhaimin, 2002). 1. Teori Belajar Behavioristik Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Tokoh pelopor dari teori behavioristik adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie dan Skinner. Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behaviorisme adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pengkondisian kontiguitas (contigous conditioning), pembiasaan perilaku respons (operant conditioning). 1. Koneksionisme Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike (1874-1949). Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Oleh karena itu, pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat pada mulanya banyak di dominasi oleh pengaruh Thondike. Teori belajar Thondike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mulai mempelajari pembelajaran dengan serangkaian eksperimen yang dilakukannya terhadap hewan. Hewan-hewan yang berada pada situasi yang bemasalah mencoba untuk mencapai tujuannya (misalnya: mendapatkan makanan, mencapai tempat yang dituju). Dari banyaknya respon yang mereka lakukan mereka memilih satu, menjalankannya dan menerima akibatnya. Makin sering mereka membuat respons terhadap suatu stimulus, makin kuat repons tersebut, menjadi terkoneksi dengan stimulus tersebut (Schunk, 2012). Koneksi-koneksi terbentuk secara mekanis melalui perulangan, persepsi dari pikiran sadar tidak diperlukan. Thorndike menyadari bahwa pembelajaran manusia lebih kompleks karena manusia terlibat dalam tipe-tipe pembelajaran lainnya yang memerlukan pengkoneksian ideide, analisis dan penalaran (Schunk, 2012). Secara garis besar, teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan dengan satu kesimpulan bahwa “belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara stimulus dan respons. Untuk dapat mencapai hubungan antara stimulus dan respons ini, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta
melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu (Roziqin, 2007). Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba berbagai cara beraksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu rekasi dengan stimulasinya. Ciri-ciri belajar dengan “trial and error” yaitu : 1. Ada motif pendorong aktivitas 2. Ada berbagai respon terhadap situasi 3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal/salah 4. Ada kemajuan rekasi-reaksi mencapai tujuan. Ide-ide dasar Thorndike mengenai pembelajaran diwujudkan dalam Hukum Latihan dan Akibat. Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu hukum kegunaan dan hukum ketidakgunaan. Hukum kegunaan (law of use) yaitu sebuah respon terhadap sebuah stimulus memperkuat koneksi keduanya. Hukum yang kedua yaitu hukum ketidakgunaan (law of disuse) yaitu ketika respon tidak diberikan pada sebuah stimulus, kekuatan koneksinya menjadi menurun (dilupakan). Makin panjang interval waktu sebelum sebuah respon diberikan, makin besar penurunan kekuatan koneksinya. Berkaitan dengan prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum. Pertama, law of readness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik (Sukmadinata, 2007). 2. Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning) Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006). Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi lampu. Pada saat diberi makanan dan lampu keluarkan respon anjing tersebut berupa keluamya air liur.Demikian juga jika dalam pemberikan makanan tersebut disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsangan yang bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat.
Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat tersebut, anjing memberikan respons berupa keluamya air liur. Selanjutnya, ketika perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa perangsang tak bersyarat anjing tersebut tetap memberikan respon dalam bentuk keluamya air liur. Oleh karena perangsang bersyarat (sebagai pengganti perangsang tak bersyarat : makanan) ini ternyata dapat menimbulakn respons, maka dapat berfungsi sebagai conditioned. Karena itu, teori Pavlov ini dikenal teori classical conditioning. Menurut Pavlov pengkondisian yang dilakukan pada anjing demikian ini, dapat juga berlaku pada manusia. Pengkondisian klasik menurut Pavlov merupakan sebuah prosedur multilangkah yang pada mulanya membutuhkan sebuah stimulus yang tidak terkondisikan (UCS=Unconditioned Stimulus) yang menghasilkan sebuah respon yang tak terkondisikan (UCR= Unconditioned Respons). Pada penelitiannya, Pavlov sering menggunakan metronom yang berdetak sebagai stimulus netral. Metronom menjadi sebuah stimulus yang terkondisikan (CS) yang menghasilkan respon yang terkondisikan (CR) serupa dengan UCR aslinya. Pemberian CS (dalam hal ini tampa UCS) yang dilakukan berulangkali tampa ada penguatan membuat CR menurun intensitasnya dan kemudian hilang; sebuah fenomena yang dikenal dengan kepunahan (Schunk, 2012). Pemulihan spontan (SR) terjadi setelah selang waktu dimana CS tidak diberikan dan CR dianggap menghilang. Jika kemudian CS diberikan dan Crnya kembali lagi, bisa kita katakan bahwa CR tersebut secara spontan dipulihkan dari kepunahan. Kenyataan bahwa pasangan CS-CR dapat diperbaiki tampa banyak kesulitan menunjukan bahwa kepunahan bukan merupakan pembatalan pembelajaran atas asosiasi-asosiasi tersebut (Radish dkk dalam Schunk, 2012). Pavlov yakin bahwa stimulus apa pun yang dirasakan dapat dikondisikan untuk respons apapun dapat dibuat. Namun dalam penelitian berikutnya menunjukan bahwa generalisasi untuk pengkondisian itu terbatas. Pengkondisian tergantung pada kesesuaian stimulus dan respons dengan reaksi-reaksi yang spesifik untuk tiap-tiap species (Hollis dalam Schunk, 2012). 3. Teori Pengkondisian Kontiguitas (Contigous Conditioning) Tokoh lain yang mengemukakan sebuah perspektif behavioral untuk pembelajaran adalah Edwin R Guthrie. Guthrie memperluas penemuan Watson tentang belajar. Guthrie menyatakan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan pada asosiasi-asosiasi dimana prilaku-prilaku pokok dalam pembelajaran adalah tindakan dan gerakan. Prinsip dasar Guthrie menyajikan gagasan kontiguitas stimulasi dan respons. Kombinasi dari stimulus-stimulus yang telah mencapai suatu gerakan, jika berulang akan cenderung diikuti oleh gerakan tersebut. Dengan kata lain, pola-pola stimulus yang aktif pada saat sebuah respons terjadi akan cenderung menghasilkan respons tersebut jika dimunculkan berulangulang (Schunk, 2012). Teori Guthrie menyebutkan bahwa pembelajaran terjadi melalui pemasangan stimulus dan repons serta kekuatan asosiatif. Meskipun Guthrie tidak menyatakan bahwa orang mempelajari prilaku kompleks dengan melakukannya satu kali saja, namun satu atau lebih gerakan menjadi terasosiasikan. Perulangan dari sebuah situasi akan menambah gerakan,
mengkombinasikan gerakan-gerakan menjadi tindakan dan membentuk tindakan dalam kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Lebih lanjut, menurut Guthrie, belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respon. Guthrie yakin bahwa respons-respons tidak perlu di beri imbalan untuk dapat dipelajari. Mekanisme pokoknya adalah kontiguitas atau pemasangan yang tepat pada waktunya antara stimulus dan respons. Gutrie berpendapat, bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid belajar ataukah tidak. Gutrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah tingkah laku jelek dapat diubah menjadi baik. Teori Gutrie berdasarkan atas model penggantian stimulus saut ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung di ulang manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut dengan asosiasi. Menurut Gutrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus (dapat intemal dan dapat ekstemal) dan respon. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respon. Asosiasi tersebut, dapat benar dan dapat juga salah.Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu : 1. Metode respon bertentangan. Misalnya saja, jika anak jijik terhadap sesuatu, sebutlah misalkan saja boneka, maka permainan anak yang disukai tersebut diletakkan di dekat boneka. Dengan meletakkan permainan di dekat boneka, dan ternyata boneka tersebut sebenamya tidak menjijikkan, lambat laun anak tersebut tidak jijik lagi kepada boneka. Peletakan permainan yang paling disukai tersebut dapat dilakukan secara berulang-ulang. 2. Metode membosankan. Misalnya saja anak kecil suka mengisap rokok. Ia disuruh merokok terus sampai bosan ; dan setelah bosan, ia akan berhenti merokok dengan sendirinya. 3. Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain dan memungkinkan ia betah belajar. 4. Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) Teori Behavioral lain yang terkenal adalah teori pengkondisian operan yang dirumuskan oleh B.F Skinner pada awal 1930-an. Skinner mengemukakan ada 2 jenis pembelajaran, yakni pertama bahwa prilaku reponden dihasilkan oleh stimuli spesifik dan yang kedua bahwa tidak ada stimulus tertentu yang bisa dipastikan secara konsisten akan menghasilkan respons operan (Hill, 2012). Seperti halnya Thondike, Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni: Respondens (respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlov) dan Operants (respon yang terjadi karena situasi random). Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: dalam laboratorium, Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “Skinner box”, yang sudah dilengkapi
dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat memberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana-kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping. Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulu-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Paling tidak tidak, ada enam konsep operant conditioning ini yaitu :1). Penguatan positif dan negatif; 2). Shopping, ialah proses pembentukan tingkah laku yang makin mendekati tingkah laku yang diharapkan; 3). Pendekatan suksesif, ialah proses pembentukan tingkah laku yang menggunakan penguatan pada saat tepat hingga respon pun sesuai dengan yang diisyaratkan; 4). Extention, ialah proses penghentian kegiatan sebagai akibat dari ditiadakannya penguatan; 5). Chaining of respons, ialah respon dan stimulus yang berangkaian satu sama lain dan 6). Jadwal penguatan ialah variasi pemberian peguatan:rasio tetap dan bervariasi, interval tetap dan bervariasi. Perbedaan penting antara Pavlov’s classical conditioning dan Skinner’s operant conditioning ialah dalam classical conditioning, akibat-akibat suatu tingkah laku itu. Reinforcement tikdak diperlakukan karena stimulusnya menimbulkan respon yang diinginkan. Operant conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respons dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung. Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulus guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior. Guru berperan penting di dlaam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan. Menurut Skinner, dalam kegiatan pembelajaran guru perlu memberikan beberapa stimulus kepada siswa. Adapun jenis-jenis stimulus tersebut menurut Skinner yakni: 1. Positive reinforcement : Penyajian stimulus yang meningkatkan probabilitas suatu respon 2. Negative rinforcement : Pembatasan stimulus yang tidak menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respon 3. Hukuman : pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya : “Contradktion or reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan stimulus yang menyenangkan 4. Primary rinforcement : stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis 5. Modifikasi tingkah laku guru : Perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan minat dan kesenangan mereka.
Jadwal reinforcement menguraikan tentang kapan dan bagaimana suatu respon diperbuat? Ada empat cara penjadwalan reinforcement : 1. “Fixed-ratio schedule”; yang didasarkan pada penyajian bahan pelajaran, yang mana pemberi reinforcement baru memberikan penguatan respon setelah terjadi jumlah tertentu dari respon. 2. “Variable ratio schedule”; yang didasarkan penyajian bahan pelajaran dengan penguat setelah rata-rata respon 3. “Fixed interval schedule”; yang didasarkan atas satuan waktu tetapi diantara “reinforcement” 4. “Variable interval schedule”; pemberian renforcement menurut respon betul yang pertama setelah terjadi kesalahan-kesalahan respon. Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons. 1. Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil dari interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contoh, seorang anak mampu berhitung penjumlahan dan pengurangan, meskipun dia belajar dengan giat tetapi dia masih belum bisa mempraktekkan penjumlahannya, maka ia belum bisa dikatakan belajar karena ia belum menunjukkan perubahan tingkah laku sebagai hasil dari belajar. Dalam teori Behavioristik, yang terpenting itu adalah masukan atau input yang berupa stimulus serta output yang berupa respon. Apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidaklah penting karena tidak dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran sebab dengan pengukuran kita akan melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting bagi teori ini adalah penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat respon. Jika penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat, begitu juga penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon akan tetap dikuatkan. Misal jika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan, maka ia akan lebih giat belajarnya (positive reinforcement). Apabila tugas-tugas dikurangi justru akan meningkatkan aktifitas belajarnya (negative reinforcement). Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambah) atau dihilangkan (dikurang) untuk memungkinkan mendapat respon. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka. 1. Kelebihan serta Kekurangan Teori Behavioristik 2. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar. 3. Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan. 4. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada prilaku yang tampak. 5. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal. 6. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
7. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul. 8. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan. 9. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung. 10. Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap. 11. Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metose ini. 12. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif. 13. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa. 14. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan oleh gur 15. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa. 16. Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif. 17. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru(teacher cenceredlearning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. 18. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
1. Implikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi,
pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Gagasan-gagasan seperti yang telah dikemukakan oleh para pencetus aliran behaviorisme seperti Thorndike tentang perlunya bantuan guru untuk menciptakan prilaku siswa, perlunya keterampilan-keterampilan yang dilatihkan, dan disiplin mental menjadi dasar bagi pengembangan aliran behaviorisme di sekolah. Di samping itu, gagasan Guthrie tentang perlunya reinforcement dalam pembelajaran sampai saat ini diakui menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu gagasan Skinner tentang perlunya pengaturan pembelajaran oleh guru, respons aktif dari siswa, adanya feedback setelah adanya respons dari pembelajar dan kebebasan siswa dalam mempelajari materi sesuai dengan ritme pembelajar menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum di Indonesia. Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006). Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual. Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
DAFTAR PUSTAKA
Budinungsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Yulaelawati, Ella. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pakar Raya. Degeng, I.N.S. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud. Gredler, M.B. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Seri Pustaka Teknologi Pendidikan No.11. Jakarta: Rajawali Pers. Hamid, M. 2002. Pendekatan Psikologis dalam Proses Belajar Bahasa. Surabaya: Fak. Adab IAIN Sunan Ampel. Hill. W.F. 2012. Theories of Learning; Teori-Teori Pembelajaran. Bandung: Nusa Media. Koesma, R.E. Konsep Manusia menurut Psikologi Behavioristik; Kritik dan Kesejalanan dengan Konsep Islam” dalam Rendra K., (ed), 2000, Metodologi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Muhaimin, et,.al. 2002. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II. Bandung: Remaja Rosda Karya. Roziqin, M.Z 2007. Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi GuruMurid di Era Global. Malang: Averroes Press.
Teori Belajar Psikologi Humanistik Teori Belajar menurut Aliran Psikologi Humanistik
serta Implikasinya dalam Proses Belajar dan Pembelajaran
1. Pendahuluan
Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadap behaviorisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Soemanto (2006 : 135) menyatakan bahwa Pada akhir tahun 1940-an muncullah suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang, dan kemudian dikenal sebagai psikologi humanistik, eksestensial, perceptual, atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha untuk memahami perilaku seseorang dari sudut si pelaku (behaver), bukan pengamat (observer). Jarolimak dan Foster (dalam Soemanto (2006 : 136) menyatakan bahwa Dalam dunia pendidikan, aliran humanistik muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad 20 ini pun juga akan menuju pada arah ini. Danim dan Khairil (2010 :23) menyatakan bahwa Ketika perang pecah di tahun 1960-an, dunia merasa terdorong untuk lebih memahami sifat kemanusiaan. Pandangan humanistik menginisiasi sebuah mekanisme untuk memahami apa memang inividu lebih cenderung ingin melibatkan diri dalam konflik atau mewujudkan perdamaian. Kemudian muncul pemikiran bagaimana secara humanis dibangun mekanisme untuk mereduksi semangat memancing konflik ke menciptakan perdamaian. Berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa psikologi humanistik muncul sekitar tahun 1960-an. 1. Pengertian Humanistik
Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya. Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pembelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dalam pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatanpendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik.
Kartono dan Gulo (1987 : 207) menyatakan bahwa Psikologi humanistik adalah suatu pendekatan terhadap psikologi yang menekankan usaha melihat orang sebagai makhlukmakhluk yang utuh, dengan memusatkan diri pada kesadaran subjektif, meneliti masalahmasalah manusiawi yang penting, serta memperkaya kehidupan manusia. Saam (2010 : 60) menyatakan bahwa Teori Humanistik menyatakan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh bagaimana ia memandang diri dan dunia sekitarnya serta ditentukan dalam diri sendiri. Dalam perspektif humanistik, guru harus memperhatikan kebutuhan kasih sayang. Dalam pembelajaran, teori humanistik memandang siswa lebih manusiawi, pribadi, dan berpusat pada siswa. Dalyono (2007 : 43) bahwa Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Sadulloh (2006 : 173) menyatakan bahwa Psikologi humanistik menekankan kebebasan personal, pilihan, kepekaan, dan tanggung jawab personal. Sebagaimana yang dinyatakan secara tidak langsung oleh tema itu, psikologi humanistik juga memfokuskan pada prestasi, motivasi, perasaan, dan kebutuhan akan umat manusia. Tujuan pendidikan, menurut orientasi ini adalah aktualisasi diri individual. Lebih lanjut Sadulloh (2006 : 173) menyatakan bahwa Akhir dari perkembangan pribadi manusia adalah mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan lingkungannya. Belajar menurut pandangan humanistik merupakan fungsi dari keseluruhan pribadi manusia, yang melibatkan faktor intelektual dan emosional, motivasi belajar harus datang dari dalam diri anak itu sendiri. Proses belajar mengajar menekankan pentingnya hubungan interpersonal, menerima siswa sebagai seorang pribadi yang memiliki kemampuan, dan peran guru sebagai parsipan dalam proses belajar bersama. Sudarsono (1993 : 102) menyatakan bahwa Orang yang memiliki pandangan humanistik lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, masalah-masalah pokok-pokok utama dan martabat kemanusiaan. Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif di sini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal
lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik? Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi. Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang. Hirarki kebutuhan motivasi maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motovasi dalam level yang lebih rendah seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan. Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekoah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap. Jadi bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme. Secara singkatnya, penedekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. 1. Tokoh-tokoh Psikologi Humanistik 1. Abraham Maslow (1908 – 1970) 1. Teori Belajar Menurut Abraham Harold Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
suatu usaha yang positif untuk berkembang
kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self). Maslow (1968) berpendapat bahwa ada hirarki kebutuhan manusia. Kebutuhan untuk tingkat yang paling rendah yaitu tingkat untuk bisa survive atau mempertahankan hidup dan rasa aman, dan ini adalah kebutuhan yang paling penting. Tetapi jika manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan merasa aman, mereka akan distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka sendiri. Jika kebutuhan ini terpenuhi orang akan kembali mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, prestasi intelektual, penghargaan estetis dan akhirnya self-actualization. Maslow (1954) menyusun hirerarki kebutuhan. Di dalam hirarki ini, ia menggunakan suatu susunan piramida untuk menjelaskan dorongan atau kebutuhan dasar yang memotivasi individu.
Kebutuhan yang paling dasar, yakni kebutuhan fisiologis akan makanan, air, tidur, tempat tinggal, ekspresi seksual, dan bebas dari rasa nyeri, harus dipenuhi pertama kali.
Tingkat kedua adalah kebutuhan akan keselamatan, keamanan, dan bebas dari bahaya atau ancaman kerugian.
Tingkat ketiga ialah kebutuhan akan mencintai dan memiliki, yang mencakup membina keintiman, persahabatan, dan dukungan.
Tingkat keempat ialah kebutuhan harga diri, yang mencakup kebutuhan untuk dihormati dan diargai orang lain.
Tingkat yang paling tinggi ialah aktualisasi diri, kebutuhan akan kecantikan, kebenaran, dan keadilan.
Maslow mengajikan hipotesis bahwa kebutuhan dasar di tingkat paling bawah piramida akan mendominasi perilaku individu sampai kebutuhan tersebut dipenuhi, kemudian kebutuhan tingkat selanjutnya menjadi dominan. Maslow menggunakan istilah aktualisasi diri untuk menjelaskan individu yang telah mencapai semua kebutuhan hirarki dan mengembangkan potensinya secara keseluruhan dalam hidup. Teori Maslow menjelaskan bahwa perbedaan individu terletak pada motivasinya, yang tidak selalu stabil seanjang kehidupan. Lingkungan hidup yang traumatic atau kesehatan yang terganggu dapat menyebabkan individu mundur ke tingkat motivasi yang lebih rendah. 1. Implikasi Teori Maslow dalam Pembelajaran
Penekanan dalam belajar adalah pentingnya isi dari proses belajar bersifat eklektik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekolah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap. Jadi bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme. Secara singkatnya, pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik. 2. Arthur Combs (1912-1999) 1. Teori Belajar menurut Arthur Combs
Bersama dengan Donald Snygg (1904 – 1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang
tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka tidak mau dan terpaksa serta merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya Seorang guru sebagai fasilitator hendaknya dapat mencermati realitas siswa yang tidak menyukai materi yang diberikan. Guru diharapkan melihat kondisi bakat siswa yang ada pada dirinya. Karena bakat, potensi dimiliki masing-masing oleh siswa siswa. Menurut Combs sebagaimana dikutip oleh Rumini, dkk. (1993) perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Arthur Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti 2 lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat: 1. lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan 2. lingkungan besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya. Arthur W. Combs menjelaskan bagaimana persepsi ahli-ahli psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. Pernyataan ini adalah salah satu dari pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda dengan orang lain. Untuk mengerti orang lain, yang penting adalah melihat dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya. Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah “akibat yang tidak ingin dilakukan, tetapi dia tahu bahwa dia harus melakukan”( Sri Esti Wuryani Djiwandono 2002, hlm. 182-183). Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya. Seorang pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana peserta didik memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna
pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam proses pembelajaran bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil. 1. Implikasi Teori Arthur Combs dalam Pembelajaran
Peran Guru dalam Teori Arthur Combs
Combs memberi perhatian peran guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk) sebagai berikut: 1. sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas 2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum. 3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuantujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi. 4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka. 5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok. 6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok 7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain 8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa. 9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar. 10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri
Peran Siswa dalam Teori Arthur Combs
Dalam teori Combs pranan siswa lebih dominan, karena guru terfokus pada fasilitator yang coba memberikan arahan kepada siswa. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center)
yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah: 1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas 2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif. 3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri 4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri 5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan. 6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya. 7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya 8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan. 3. Carl Ransom Rogers (1902-1987) 1. Teori Belajar menurut Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers lahir di Oak Park, Illinois pada tanggal 8 Januari 1902 di sebuah keluarga Protestan yang fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah pertanian diusianya yang ke-12, membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar pertanian di Universitas Wisconsin. Setelah lulus pada tahun 1924, ia masuk ke Union Theology Seminary di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di sebuah gereja kecil. Meskipun belajar di seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher College yang bertetangga dengan seminarinya. Tahun 1927, Rogers bekerja di Institute for Child Guindance dan mengunakan psikoanalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori Freud. Pada masa ini, Rogers juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan John Dewey yang memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkannya justru membuatnya menemukang benang merah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan teorinya kelak. Tahun 1957, Rogers pindah ke Universitas Wisconsin untuk mengembangkan idenya tentang psikiatri. Setelah mendapat gelar doktor, Rogers menjadi profesor psikologi di Universitas Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan akademik membuat Rogers mengembangkan metode client-centered psychotherapy. Disini dia lebih senang menggunakan istilah klien terhadap orang yang berkonsultasi dibandingkan memakai istilah pasien. Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
Kognitif (kebermaknaan)
experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Kecewa karena tidak bisa menyatukan psikiatri dengan psikolog, Rogers pindah ke California tahun 1964 dan bergabung dengan Western Behavioral Science Institute. Ia lalu mengembangkan teorinya ke bidang pendidikan. Selain itu ia banyak memberikan workshop di Hongaria, Brazil, Afrika Selatan, dan bahkan ke eks Uni Soviet. Rogers wafat pada tanggal 4 Februari 1987. Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person centered), non-directive, klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered), teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to person). Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk teori Rogers. Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu. Asumsi dasar teori Rogers adalah: –
Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil. –
Kecenderungan aktualisasi
Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya. 1. Struktur Kepribadian
Sejak awal Rogers mengamati bagaimana kepribadian berubah dan berkembang, dan ada tiga konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya: Organisme, Medan fenomena, dan self.
Organisme
Pengertian organisme mencakup tiga hal:
mahkluk hidup
organisme adalah mahkluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya dan merupakan tempat semua pengalaman, potensi yang terdapat dalam kesadaran setiap saat, yakni persepsi seseorang mengenai kejadian yang terjadi dalam diri dan dunia eksternal
Realitas Subyektif
Organisme menganggap dunia seperti yang dialami dan diamatinya. Realita adalah persepsi yang sifatnya subyektif dan dapat membentuk tingkah laku.
Holisme
Organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan dalam satu bagian akan berpengaruh pada bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan, yaitu tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
Medan Fenomena
Medan fenomena adalah keseluruhan pengalaman, baik yang internal maupun eksternal, baik disadari maupun tidak disadari. Medan fenomena ini merupakan seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi subyektifnya.
Diri
Konsep diri mulai terbentuk mulai masa balita ketika potongan-potongan pengalaman membentuk kepribadiannya dan menjadi semakin mawas diri akan identitas dirinya begitu bayi mulai belajar apa yang terasa baik atau buruk, apa ia merasa nyaman atau tidak. Jika struktur diri itu sudah terbentuk, maka aktualisasi diri mulai terbentuk. Aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan sang diri sebagai mana yang dirasakan dalam kesadaran. Sehingga kecenderungan aktualisasi tersebut mengacu kepada pengalaman organik individual, sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, akan kesadaran dan ketidaksadaran, psikis dan kognitif. Ada 2 subsistem dalam diri, yaitu:
Konsep diri yaitu penggabungan seluruh aspek keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh individual (meski tidak selalu akurat). o
Diri ideal yaitu cita-cita seseorang akan diri.
Terjadinya kesenjangan antara akan menyebabkan ketidak-seimbangan dan kepribadian menjadi tidak sehat. Bebeapa hal yang mempengaruhi Self Menurut Carl Rogers ada, yaitu:
Kesadaran
Tanpa adanya kesadaran, maka konsep diri dan diri ideal tidak akan ada. Ada 3 tingkat kesadaran. –
Pengalaman yang dirasakan dibawah ambang sadar akan ditolak atau disangkal.
– Pengalaman yang dapat diaktualisasikan secara simbolis akan secara langsung diakui oleh struktur diri. – Pengalaman yang dirasakan dalam bentuk distorsi. Jika pengalaman yang dirasakan tidak sesuai dengan diri (self), maka dibentuk kembali dan didistorsikan sehingga dapat diasimilasikan oleh konsep diri.
–
Kebutuhan
Pemeliharaan
Pemeliharaan tubuh organismik dan pemuasannya akan makanan, air, udara, dan keamanan , sehingga tubuh cenderung ingin untuk statis dan menolak untuk berkembang. –
Peningkatan diri
Meskipun tubuh menolak untuk berkembang, namun diri juga mempunyai kemampuan untuk belajar dan berubah. –
Penghargaan positif (positive regard)
Begitu kesadaran muncul, kebutuhan untuk dicintai, disukai, atau diterima oleh orang lain. –
Penghargaan diri yang positif (positive self-regard)
Berkembangannya kebutuhan akan penghargaan diri (self-regard) sebagai hasil dari pengalaman dengan kepuasan atau frustasi. Diri akan menghindari frustasi dengan mencari kepuasan akan positive self-regard.
Stagnasi Psikis
Stagnasi psikis terjadi bila :
– ada ketidak seimbangan antara konsep diri dengan pengalaman yang dirasakan oleh diri organis. – Ketimpangan yang semakin besar antara konsep diri dengan pengalaman organis membuat seseorang menjadi mudah terkena serangan. Kurang akan kesadaran diri akan membuat seseorang berperilaku tidak logis, bukan hanya untuk orang lain namun juga untuk dirinya. – Jika kesadaran diri tersebut hilang, maka muncul kegelisahan tanpa sebab dan akan memuncak menjadi ancaman. 1. Dinamika Kepribadian 1. Penerimaan Positif (Positive Regard) → Orang merasa puas menerima regard positif, kemudian juga merasa puas dapat memberi regard positif kepada orang lain. 2. Konsistensi dan Salingsuai Self (Self Consistensy and Congruence) → organisme berfungsi untuk memelihara konsistensi (keajegkan = keadaan tanpa konflik ) dari persepsi diri, dan kongruen (salingsuai) antara persepsi self dengan pengalaman. 3. Aktualisasi Diri (Self Actualization) → Freud memandang organisme sebagai sistem energi, dan mengembangkan teori bagaimana energi psikik ditimbulkan, ditransfer dan disimpan. Rogers memandang organisme terus menerus bergerak maju. Tujuan tingkahlaku bukan untuk mereduksi tegangan enerji tetapi mencapai aktualisasi diri yaitu kecenderungan dasar organisme untuk aktualisasi: yakni kebutuhan pemeliharaan (maintenance) dan peningkatan diri (enhancement). 4. Perkembangan Kepribadian
Rogers meyakini adanya kekuatan yang tumbuh pada semua orang yang mendorong orang untuk semakin kompleks, ekspansi, sosial, otonom, dan secara keselutuhan semakin menuju aktualisasi diri atau menjadi Pribadi yang berfungsi utuh (Fully Functioning Person) Ada lima ciri kepribadian yang berfungsi
sepenuhnya:
Terbuka untuk mengalami (openess to experience)
Orang yang terbuka untuk mengalami mampu mendengar dirinya sendiri, merasakan mendalam, baik emosional maupun kognitif tanpa merasa terancam. Mendengar orang membual menimbulkan rasa muak tanpa harus diikuti perbuatan untuk melampiaskan rasa muak tersebut.
Hidup menjadi (Existential living).
Kecenderungan untuk hidup sepenuhnya dan seberisi mungkin pada seiap eksistensi. Disini orang menjadi fleksibel, adaptable, toleran, dan spontan.
Keyakinan Organismik (Organismic trusting)
Orang mengambil keputusan berdasarkan pengalaman organismiknya sendiri, mengerjakan apa yang dirasanya benar sebagai bukti kompetensi dan keyakinannya untuk mengarahkan tingkah laku. Orang mampu memakai perasaan yang terdalam sebagai sumber utama membuat keputusan.
Pengalaman kebebasan ( Experiental Freedom).
Pengalaman hidup bebas dengan cara yang diinginkan sendiri, tanpaperasan tertekan atau terhambat. Orang itu melihat banyak pilihan hidup dan merasa mampu mengerjakan apa yang ingin dikerjakannya.
Kreatifitas (Creativity)
Merupakan kemasakan psikologik yang optimal. Orang dengan good life kemungkinan besar memunculkan produk kreatif dan hidup kreatif. 1. Terapi yang Diberikan
Seperti disebutkan di atas, bahwa Rogers menolak psikoanalisis Freud dan behavioris dalam teorinya, sehingga terapi yang digunakannya juga berbeda. Rogers tidak mempermasalahkan bagaimana klien menjadi seperti ini, namun lebih menekankan bagaimana klien akan berubah. Terapis hanya menolong dan mengarahkan klien dan yang melakukan perubahan adalah klien itu sendiri. Itulah sebabnya teori Rogers disebut sebagai person-centered theory. 1. Implikasi Teori Humanistik Carl Roger dalam Pembelajaran
Teori Roger dalam bidang pendidikan adalah dibutuhkannya tiga sikap dalam fasilitator belajar yaitu (1) realitas di dalam fasilitator belajar, (2) penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan, dan (3) pengertian yang empati. –
Realitas di dalam fasilitator belajar
Merupakan sikap dasar yang penting. Seorang fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri, sehingga ia dapat masuk kedalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. –
Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan
Menghargai pendapat, perasaan, dan sebagainya membuat timbulnya penerimaan akan satu dengan lainnya. Dengan adanya penerimaan tersebut, maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan lainnya. –
Pengertian yang empati
Untuk mempertahankan iklim belajar atas dasar inisiatif diri, maka guru harus memiliki pengertian yang empati akan reaksi murid dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang sensitif bagi jalannya proses pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi. Pengertian akan materi pendidikan dipandang dari sudut murid dan bukan guru.
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
Merespon perasaan siswa
Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
Menghargai siswa
Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
Tersenyum pada siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku. 1. Kesimpulan
Teori belajar humanistik berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang perilakunya bukan sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah mambantu siswa untuk mengembangkan dirinya yaitu membantu masing- masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensipotensi yang ada pada diri mereka. Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Teori humanisme merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut.
Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Dari deskripsi yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan beberapa poin penting sebagai kesimpulan, yaitu: 1. Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya 2. Tokoh dalam teori ini adalah C. Roger dan Arthur Comb. 3. Aplikasi dalam teori ini, peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku serta guru hanya sebagai fasilitator. 4. Teori belajar humanistik merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
DAFTAR PUSTAKA
Dakir, Dasar-dasar Psikologi. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1993. Darsono, Max. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. 2001 Azies dan A. Chaedar Alwasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif; Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996. Hadis, Abdul. Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006. Mulyati, Psikologi Belajar. Yogyakarta: CV. Andi Offset. 2005. Purwo, Bambang Kaswanti. (ed.).PELLBA 2: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. 1989. Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998. Sudrajat, Ahkmad. Media Pembelajaran. Artikel. Diakses di http://ahkmadsudrajat. wordpress. com /bahan-ajar/media-pembelajaran/, tanggal 20 Mei 2013.
Sukmadinata, dan Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Suprobo, Novina. Teori Belajar Humanistik. Diakses di http://novinasuprobo. wordpress. com /2008/06/15/teori-belajar-humanistik/ tanggal 12 Mei 2013. Uno, Hamzah B. Orientasi Baru Dalam Psikologi Perkembangan. Jakarta: Bumi aksara, 2006
http://teoribagus.com/teori-belajar-psikologi-humanistik
3. Kontribusi Psikologi Pendidikan bagi Teori dan Praktek Pendidikan 1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum Pengembangan kurikulum merupakan salah satu usaha untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Pengembangan kurikulum dilaksanakan karena pengembangan kurikulum merupakan bagian yang sangat esensial dalam proses pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran itu tedapat empat bagian penting dalam kurikulum meliputi: tujuan, isi/materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi. Keempat bagian tersebut saling berkaitan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional.Pengembangan kurikulum tidak dilaksanakan hanya sesuai dengan kehendak seseorang atau suatu pihak, tetapi harus berpijak pada landasanlandasan (filosofis, psikologis, sosiologis, dan IPTEK) dan prinsip-prinsip (umum dan khusus) yang telah ada. Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks pembelajaran. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana input, proses dan output pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik. Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Manusia sebagai makhluk yang unik, memiliki karakteristik masing-masing, kemampuan yang berbeda, serta kebutuhan yang berbeda pula. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika ada sekelompok siswa yang tidak cocok dengan sistem pendidikan formal. Jika siswa tidak dapat mengikuti pendidikan formal di sekolah karena alasan tertentu, ia berhak untuk memilih pendidikan alternatif lain yang dapat memenuhi haknya sebagai warga negara untuk belajar, karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, dalam bentuk apapun. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya. Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya. Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum 2013, yang pada intinya diperlukan tidak hanya pengetahuan saja, tetapi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Sebenarnya ketiga domain ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi ternyata belum membawa dampak yang cukup signifikan, karena apa yang ada belum diimplementasikan
secara utuh. Kurikulum 2013 dirancang untuk mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik. Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa psikologi pendidikan sangat berkontribusi dalam pengembangan kurikulum. http://teoribagus.com/hakikat-konsep-dasar-psikologi-pendidikan
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Djamarah, Suaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Kartono, Kartini. 1981. Psikologi Wanita, Gadis Remaja, dan Wanita Dewasa. Bandung: Alumni. Lefrancois, Guy R. 1972. Psychology for Teaching, A Bear Always Faces the Front. Belmont, California : Wadsworth Publishing Company, Inc. Paulina Pannen, Dina Mustafa dan Mustika Sekarwinahyu, 2001.Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Proyek Pengembangan Universitas Terbuka, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia. Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar. 1996. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bina Aksara. Vredenbregt, J. 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.