MANAJEMEN ANESTESI REGIONAL PADA PENGELOLAHAN NYERI AKUT PEDIATRI
I.
Pendahuluan Kemajuan terbesar dalam tatalaksana nyeri pediatri adalah pemahaman bahwa nyeri
yang tidak teratasi adalah sebab yang signifikan untuk morbiditas bahkan mortalitas setelah trauma oleh operasi. Penilaian nyeri yang akurat pada kelompok umur yang berbeda dan pengobatan efektif terhadap nyeri postoperatif.1 Kesalahpahaman dalam penanganan nyeri pasca bedah pada pasien pediatrik juga sering tidak adekuat. Telah diketahui bahwa neonatus dan bayi prematur memiliki sistem saraf yang belum matang, sehingga tidak merasakan dan tidak mengingat nyeri, dan karena itu tidak membutuhkan analgesia yang sama dengan orang dewasa. Karena itu, diyakini bahwa analgesik poten sebaiknya tidak digunakan untuk anakanak karena risiko efek samping dan ketergantungan, dan karena pemeriksaan effikasi dapat sulit dilakukan.2 Praktek anestesi regional telah berkembang sebelum abad ke 20-an dari studi anestesi spinal pada bayi dan anak-anak sebagai bagian dari praktek multispesialis yang rumit, melibatkan infus anestesi lokal berkelanjutan dengan analgesia yang dikontrol oleh pasien berdasar pada farmakokinetik yang tepat sesuai umur. Melakukan anestesi regional pada anak-anak cukup sulit karena adanya variasi pada umur tersebut yaitu struktur anatomi dan letak organ. Sebagai tambahan persoalan lain seperti peningkatan toksisitas anestesi lokal dan kekurangan peralatan merupakan tantangan bagi para praktisi dalam melakukan anestesi regional pada anak-anak.3 Ada 5 hal keamanan yang diperhatikan dalam pelaksanaan anestesi regional pada anak: 1. Perlunya anestesi blok regional pada anak.
2. Neurotoksisitas pada umur yang berbeda. 3. Resiko infeksi. 4. Kemampuan anestesi regional menutupi sindrom kompartemen. 5. Ketepatan penggunaan anestesi lokal dan resiko toksisitas anestesi lokal. Meningkatnya penggunaan anestesi lokal dan regional merupakan bukti dari banyaknya jumlah hasil penelitian, tinjauan artikel, dan buku-buku yang telah bermunculan pada akhir-akhir ini, beberapa secara spesifik merujuk pada penggunaannya pada bayi dan anak-anak. Meskipun minat yang lebih besar pada anestesi regional dan blok saraf perifer pada anak-anak sejak 1980, penggunaannya masih belum dilaksanakan dimana-mana, umumnya karena stanndar dari anestesi umum, yang lebih mudah untuk dilakukan, telah meningkat dan di tangan beberapa ahli anestesi, lebih terppercaya, beberapa mengatakan lebih cepat, dan karena untuk kerusakan neurologis dapat memberikan konsekuensi yang serius. Di beberapa rumah sakit, tidak terdapat ‘ruang anestesi atau blok’ yang cocok untuk melakukan blok. Pengenalan ultrasound merubah praktik anestesi regional. Hal ini membutuhkan pelatihan khusus dengan alatnya dan memahami gambarannya. 3
II.
SEJARAH ANESTESI REGIONAL PEDIATRI
Sejarah anestesi lokal dan regional dimulai dengan penemuan anestesi lokal yakni kokain pada tahun 1884. Segera setelah itu blokade saraf pun dilakukan untuk anestesi bedah. Bier mengenalkan anestesi spinal pada tahun 1898, dua diantara enam pasien pertamanya ialah anak-anak. Anestesi spinal pun mulai digunakan secara luas dengan perkembangan anestesi lokal yang lebih baik, stovaine dan procaine pada tahun 1904-1905. Caudal dan epidural pun kemudian digunakan pada anak-anak. Pada tahun-tahun awal blokade ini dilakukan oleh dokter bedah namun dokter-dokter lain mulai memasukkan anestesi sebagai sebuah spesialis, praktikan tersebut pun mengambil alih perannya. Laporan khusus tentang penggunaannya pada anak-anak telah meningkat sebagai anestesi pediatrik pun berkembang. Spinal dan teknik lokal lainnya memiliki waktu-waktu penggunaan yang banyak dan tidak sdikit digunakan secara universal. Penurunan popularitas terlihat ada kaitannya dengan anestesi umum. Perkembangan dari lidokain (1943) dan bupivacaine kerja cepat (long acting) (1963) dan meningkatnya kekhawatiran tentang analgesik pasca operasi pada tahun 19701980, berperan penting pada peningkatan penggunaan blokade tersebut.4
Gambar 1. Tokoh yang berkontribusi dalam anestesi regional pada pediatri
III. PERTIMBANGAN ANESTESI REGIONAL PEDIATRI III.1 ANATOMI Adanya perbedaan anatomi yang signifikan dibandingkan dengan orang dewasa, yang harus menjadi pertimbangan saat menggunakan anestesi regional pada anak-anak. Sebagai contoh, pada neonatus dan bayi, conus medullaris terletak lebih rendah pada column spinal (kira-kira pada vertebra lumbal 3) dibandingkan dengan orang dewasa di mana kira-kira terletak di vertebra lumbal 1. Ketidaksamaan ini merupakan hasil dari tingkat pertumbuhan yang berbeda antara spinal cord dan colum tulang vertebra pada bayi. Namun, pada usia 1 tahun conus medullaris mencapai tingkat yang sama di lumbal 1 seperti pada orang dewasa. 5,6
Sakrum anak-anak juga lebih sempit dan datar dibandingkan pada orang dewasa. Saat lahir, sakrum, yang dibentuk oleh lima vertebra sakral, tidak sepenuhnya ossified dan terus tumbuh sampai kira-kira 8 tahun. Fusi yang tidak lengkap dari lengkungan vertebral sakralis membentuk hiatus sakral. Caudal dalam ruang epidural dapat diakses dengan mudah pada bayi dan anak-anak melalui hiatus sakral. Karena pengembangan yang terus menerus dari atap kanal sakral, maka terdapat banyak variasi pada hiatus sakral. Pada anak-anak, hiatus sakralis terletak lebih cephalad dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu, hati-hati bila menempatkan caudal blok pada bayi, karena dura mungkin berakhir lebih caudal sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya penusukan pada dural.6 Mielinasi tidak sempurna hingga usia 12 tahun. Mielinasi yang tidak sempurna memicu penetrasi anestetik lokal lebih kuat ke serat saraf. Pengurangan dosis milligram dari larutan dilusi anestetik lokal dapat menyediakan blok total pada anak-anak. Juga, perlekatan fascial yang longgar di sekitar nervus membantu penyebaran anestetik lokal. Karena itu, blok regional pada anak-anak dapat menyebar lebih jauh daripada maksud penyedia. Sebagai tambahan, karena anestetik lokal menyebar lebih mudah pada anak-anak, durasi dari blok ini
mungkin lebih pendek dibanding orang dewasa. Secara umum, seiring peningkatan usia pasien, durasi dan onset latensi anestetik lokal meningkat dengan baik.5 Tabel 1. Hubungan caudal dari spinal cord dan ruang subaraknoid dengan vertebra
Umur
Berakhirnnya spinal cord
Berakhirnya subarachnoid
L3 L1
space S3 – S4 S1 – S2
Neonatus dan bayi Anak dan dewasa
Gambar 2. Perbedaan conus medularis pada anak dan dewasa Pada neonatus garis intercristal (Tuffier’s line) membagi di L5-S1 (bedakan pada interspace orang dewasa, L4 atau L 3-4).6,8 Pada usia berapa pun sebuah garis imajiner yang ditarik antara dua crista iliaca superior (garis intercristal) selalu berada di bawah tingkat terendah dari spinal cord. Pemberian blok pada tingkat ini mengurangi kejadian kerusakan pada spinal cord.6 Sebagai aturan umum ruang epidural akan ditemukan di 1 mm / kg berat badan, namun dalam hal ini terdapat banyak variasi pada setiap individu. (anestesi epidural pediatri ). Dalam hal ini juga telah dikemukakan bahwa jaringan lemak epidural pada anakanak kurang padat dibandingkan orang dewasa. Dengan kurangnnya lemak di ruang epidural hal ini membuat ruang epidural menjadi lebih longgar sehingga tidak hanya dapat memfasilitasi penyebaran anestesi lokal, tetapi juga memudahkan majunya kateter epidural dari ruang caudal epidural ke tingkat lumbal dan torakal. 5,6 Tabel 2. Perbedaan Anatomi antara Pasien Anak-anak dan Dewasa Usia
Ujung Spinal
Korda Ujung Kantung Dural
Garis Intercristal
Volume CSF
Intercranial vs Spinal CSF (%)
Neonatus L3
S4
L5-S1
NA
NA
1 year
L1
S2
L4-L5
4mL/kg
50
Dewasa
L1
S2
L3-L4
2mL/kg
25
CSF: cairan cerebrospinal NA: tidak dapat dipastikan III.2 FARMAKOLOGI DAN TOKSISITAS ANESTESI LOKAL PADA PEDIATRI Anestesik lokal berikatan spesifik dengan alfa-1 glycoprotein (AAG) yang ditemukan di plasma. Neonatus memiliki level AAG sangat rendah, 20% hingga 40% dari nilai normal dewasa. Level normal tidak tercapai hingga usia 1 tahun. Level rendah dari AAG memicu level serum yang lebih tinggi dari anestetik lokal bebas, dan obat “bebas” ini bertanggung jawab untuk toksisitas. Bayi juga memiliki klirens yang menurun dan waktu paruh eliminasi yang lebih panjang untuk anestetik lokal dibandingkan dengan dewasa. Seluruh faktor ini berkontribusi dengan peningkatan resiko umum dari toksisitas anestetik lokal yang ditimbulkan dari jumlah yang beredar obat bebas yang bersirkulasi di plasma pasien pediatrik selama anestesia regional.12 Ada hubungan antara umur dengan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik anestesi lokal. Ada 2 kelas anestesi lokal yaitu amida dan ester. Amida mengalami degradasi enzimatik di hepar. Anestesi lokal amida harus digunakan hati-hati pada anak, terutama pada neonatus dan bayi, karena kurangnya kemampuan mereka untuk mendistribusi dan memetabolisme obat secara efektif. Anestesi golongan ester dimetabolisme oleh kolinesterase plasma dan kurang mangalami perubahan selama matabolisme.12 Anestesi lokal golongan amida termasuk lidokain, etidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain, levobupivakain dan ropivakain. Meskipun semua obat telah digunakan untuk anestesi regional pada orang dewasa, etidokain, mepivakain, dan prilokain jarang digunakan
pada anak. Pemilihan anestesi lokal tidak hanya tergantung pada mula kerja dan durasi aksi tetapi juga keamanan dari obat tersebut.12 Anestesi amida dalam plasma menempati protein primer. Bupivakain, levobupivakain dan ropivakain lebih dari 90% terikat dengan protein plasma alfa glikoprotein (afinitas tinggi terhadap anestesi lokal) dan albumin (volume tinggi dan afinitas relatif rendah terhadap anestesi lokal). Fraksi bebas atau tidak terikat dari anestesi lokal yang secara fisiologis bertanggung jawab terhadap efek yang ditimbulkan pada kardiovaskuler dan SSP. Bayi di bawah 6 bulan memiliki protein plasma yang menurun, yang menghasilkan jumlah besar fraksi bebas anestesi lokal dan konsekuensinya meletakkan grup umur tersebut sebagai grup dengan resiko terbesar terhadap toksisitas obat. 12 Pada bayi yang matur, protein plasma meningkat dan fraksi bebas obat di plasma berkurang. Kadar protein plasma menjadi matang sesuai dewasa pada umur 1 tahun. Yang menarik bahwa level alfa 1 glikoprotein meningkat sebagai respon terhadap stress pembedahan dan peningkatan alfa glikoprotein akhirnya mengurangi fraksi bebas obat anestesi lokal. Hal itu muncul bahkan ketika konsentrasi total plasma mendekati level toksik. Metabolisme dari anestesi lokal amida melalui sistem enzim sitokrom P450 di hati. Enzim tersebut mencapai aktifitas seperti dewasa pada umur 1 tahun kehidupan. Immaturitas dari enzim hati pada neonatus dan bayi berkontribusi terhadap berkurangnya klirens anestesi lokal amida terlihat dari periode waktunya.12 Anestesi golongan ester (misalnya chloroprocaine dan tetrakain) tergantung dari esterase plama untuk eliminasinya. Sama baik dengan penurunan level esterase plasma pada bayi dan anak. Bagaimanapun juga, belum diperlihatkan secara signifikan tetrakain semakin sering digunakan untuk anestesi spinal pada bayi prematur untuk operasi hernia. Chloroprocaine, meski tidak sering digunakan dalam anestesi lokal anak, namun telah
digunakan untuk anestesi kaudal. Ini telah dipikirkan sebagai zat yang memiliki tingkat keamanan lebih tinggi dibanding amida karena metabolismenya yang cepat.12 Tabel 3. Dosis maksimum yang direkomendasikan pada pediatrik
Pedoman dosis yang aman dan kecenderungan terkait usia pada farmakokinetik dan farmakodinamik anestesi lokal telah dipelajari dan telah berkembang ke praktik anestesi regional pada pediatrik.11,
12
Toksisitas neurologik dan jantung yang berhubungan dengan
berlebihnya konsentrasi darah anestesi lokal lebih sering terjadi pada bayi dibandingkan dengan orang dewasa karena rendahnya ikatan protein dan penurunan intrinsik clearance. Resusitasi harus dilakukan segera setelah LAST. Neurotoksisitas (kejang) dapat ditangani dengan menggunakan barbiturat, benzodiazepin, atau propofol.12 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penanganan terbaik untuk kardiotoksisitas akibat LAST adalah pemberian emulsi lipid, yang kini dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama.13 Beberapa laporan kasus menyebutkan bahwa injeksi bolus secara cepat dari emulsi lipid membalikkan efek toksik anestesi lokal pada pasien pediatrik.14 Batas dosis resusitasi lipid yang aman sangat penting untuk bayi dan anak karena komplikasi dari kelebihan lipid telah dilaporkan pada bayi yang menerima bantuan nutrisi via intravena. Dosis Intralipid 20% yang direkomendasikan untuk pasien pediatrik adalah 2-5 ml/kgBB. Dosis ini dapat diulang (sampai 10 ml/kgBB) jika fungsi jantung belum kembali (Tabel 4). 14 Walaupun mekanisme dari terapi emulsi lipid belum diketahui, ketika pemberian segera setelah didiagnosis LAST
(Local Anesthetic Systemic Toxicity), resusitasi lipid dapat menjadi ukuran penyelamat hidup pasien pediatrik. Tabel 4. Pedoman penatalaksanaan toksisitas anestesi lokal Dosis lipid untuk penatalaksanaan resusitasi toksisitas anestesi lokal
Injeksi 1 ml/Kgbb emulsi lipid 20% intravena lebih dari 1 menit Ulangi dosis setiap 3-5 menit maksimum 3 ml/ Kgbb (sampai dosis total 10 ml/Kgbb ) Maintain secara infus kontinyu 0,25 ml/ Kgbb ( sampai hemodinamik stabil )
III.3 ANESTESI LOKAL DAN ADJUVAN ANESTESI REGIONAL PEDIATRIK III.3.1 ANESTESI LOKAL Bupivakain Bupivakain adalah campuran dari jumlah yang sama R-bupivakain dan S-bupivakain. Bupivakain adalah satu-satunya anestesi lokal amida yang memiliki durasi yang panjang, maka dari itu obat anestesi lokal golongan amida ini yang tersering digunakan pada anak. Penelitian farmakokinetik dengan bupivakain dosis tunggal (2,5 mg/kg) disuntikkan ke ruang kaudal menunjukkan perbedaan antara bayi dan anak. Bayi memiliki volume distribusi lebih tinggi (3,9 L VS 2,7 L), peningkatan eliminasi waktu paruh (7,7 vs 4,6 jam) dan klirens yang berkurang (7,1 vs 10,0 mL/kg per menit) dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Meskipun efek samping dari bupivakain jarang, gejala dapat menjadi serius, mulai dari eksitasi SSP hingga kolaps kardiovaskuler karena efek kardiotoksisitas langsung obat. Sebuah kasus melaporkan kemungkinan toksisitas bupivakain sekunder pada ras tertentu pada pemakaian bupivakain infuse secara kontinyu seperti yang dilaporkan di awal 1990an. Pada laporan Mc.Closkey dan kawan-kawan, anak-anak mendapatkan infus kontinyu pada kaudal dengan bupivakain 0,25% dengan dosis antara 1,62 hingga 2,5 mg/ kg BB/jam. Satu neonatus mengalami bradikardi dan hipotensi dan 2 anak yang lebih dewasa terkena kejang. Konsentrasi bupivakain dalam serum waktu itu sekitar 5,6 hingga 20,3 mikrogram/ml. Pada
kasus yang dilaporkan oleh Agarwal dan teman-temannya, satu anak yang menderita kejang memiliki kateter intrapelura dengan infus bupivakain sekitar 0,5mg/kg/jam. Kejang muncul dengan kadar bupivakain dalam plasma sekitar 5,4 mikrogram/ml. Pada anak yang lain dalam laporan tersebut mendapatkan infus epidural bupivakain secara kontinyu 1,25 mg/kg/jam dan kejang muncul pada level bupivakain plasma 5,4 mcg/ml. Semua anak pad a laporan McCloskey dan Agarwal memiliki level bupivakain dalam plasma yang tidak melewati ambang toksisitas bupivakain (2-4 mcg/ml).17 Sebuah editorial yang ditulis oleh Berde tentang kesalahan umum mengatakan bahwa anak-anak lebih resisten terhadap toksisitas anestesi lokal dibandingkan orang dewasa. Meski penelitian terakhir yang melibatkan anak-anak mencatat bahwa tidak ada kejadian toksisitas pada pasien dengan konsentrasi bupivakain plasma dari 1 hingga 7 mcg/ ml, penggunaan benzodiazepin pada anak tersebut kemungkinan memiliki efek proteksi. Badgwell dan temanteman melaporkan adanya resistensi yang lebih besar terhadap toksisitas pada babi yang berusia 2 hari jika dibandingkan dengan babi yang lebih tua. Bagaimanapun juga, sulit melakukan aplikasi langsung penelitian pada neonatus karena neonatus memilki konsentrasi protein plasma dan clearance bupivakain yang lebih rendah. Berde merekomendasikan (1) bahwa dosis maksimal yang diijinkan pada anestesi lokal harus tidak melewati ambang batas (2) kecepatan infus harus dikurangi pada anak dengan resiko serangan kejang dan dosis maksimal yang diijinkan harus dikurangi sedikitnya 30% pada bayi di bawah 6 bulan.17 Levobupivakain Lebobupivakain adalah S (-) enantiomer dari bupivakain dan lebih sedikit toksisitasnya terhadap SSP dan jantung dibandingkan dengan bupivakain. Kardiotoksisitas yang rendah lebih diperlihatkan pada relawan dewasa sehat setelah penggunaan secara intravena lebobupivakain dan bupivakain. Meski studi yang sama pada anak-anak belum
selesai dilakukan, studi dengan hewan dan manusia mendukung adanya toksisitas yang lebih rendah dengan potensi yang sama antara levobupivakain dan bupivakain. Studi farmakokinetik levobupivakain pada anak-anak belum terselesaikan.17 Ropivakain Ropivakain menunjukkan sesuatu yang menjanjikan pada pasien pediatrik dengan onset yang sama dengan bupivakain dan durasi kerja yang sama pula atau mungkin lebih lama sedikit dibandingkan bupivakain. Ada kontroversi mengenai potensi dari ropivakain dibandingkan dengan bupivakain. Penelitian pada orang dewasa tidak berhubungan dengan penelitian pada pediatrik. Meskipun belum dikonfirmasi, ropivakain sekitar 0,2% menunjukkan efek analgesik yang sama dengan dosis 0,25% pada anak, mungkin disebabkan karena adanya aktivitas vasokonstrinsik sehingga membuktikan penggunaan
konsentrasi
yang rendah pada anak-anak. Ropivakain mempunyai resiko lebih rendah terhadap SSP dan toksik jantung daripada bupivakain. Faktanya penggunaan intravena ropivakain yang kurang hati-hati pada anak usia 7 tahun tidak menimbulkan gejala dan tanda neurotoksik dan kardiotoksik. Pada penelitian farmakokinetik ropivakain pada anak usia 1-8 tahun yang diberikan 1ml/kgBB 0,2% ropivakain untuk blok kaudal, konsentrasi bebas dalam plasma dibawah level toksik. Klerens dari obat sekitar 7,4 ml/kgBB/menit dan waktu paruh sekitar 3,2 jam. Hansen dan teman-teman mempelajari farmakokinetik ropivakain kaudal pada bayi dibawah umur 1 tahun. Pada penelitian ini membandingkan antara bayi dibawah umur 3 bulan dengan bayi umur 3 bulan – 1 tahun. Walaupun konsentrasi maksimum ropivakain secara signifikan lebih tinggi pada umur yang lebih muda (99 mcg/L versus 38 mcg/L), konsentrasi total dan zat bebas dalam plasma pada semua anak dengan umur < 1 tahun hanya sedikit rentangnya dengan konsentrasi yang dilaporkan pada orang dewasa atau anak yang lebih tua umurnya.17
Anestesi lokal yang baru dengan potensi dan durasi yang menguntungkan, dan penurunan toksisitas telah diperkenalkan dalam sepuluh tahun terakhir. Konsentrasi dan volume anestesi lokal merupakan faktor penting dalam menentukan kepekatan dan tingkat blokade.10 Kebanyakan pasien pediatrik yang menerima epidural analgesia sering hubungannya dengan anestesi umum, maka tujuan utama dari kateter epidural adalah memberikan anestesi lokal yang cukup sehingga didapatkan analgesia yang efektif selama intraoperative dan pascaoperasi. Pengetahuan dari total dosis obat juga penting untuk menghindari toksisitas anestesi lokal, terutama pada pasien pediatrik.17 Pada umumnya, anestesi lokal dengan konsentrasi tinggi seperti bupivacaine 0,5 % atau ropivacaine 0,5 % jarang digunakan dalam populasi pediatrik terutama pada ruang epidural. Sebaliknya, anestesi lokal dengan volume yang lebih besar dan lebih encer sering digunakan untuk mencakupi beberapa dermatom. 2 Bupivacain dan ropivacain adalah dua jenis anestesi lokal yang paling sering digunakan untuk anestesi neuraxial pada anak-anak. 1,2,5
Kurangnya toksisitas pada jantung dan sistim saraf pusat, serta minimalnya blok motorik,
menyebabkan agen ini lebih menguntungkan, terutama pada bayi dan neonatus. 17 Lidokain jarang digunakan karena durasi kerja yang pendek dan blok motorik berlebihan. Pada blok caudal, berat badan biasanya berkorelasi lebih baik daripada usia pasien dalam memprediksi penyebaran anestesi lokal.6
III.3.2 ADJUVAN PADA ANESTESI REGIONAL Epinefrin Penggunaan epinefrin untuk teknik anestesi regional pada anak telah didiskusikan. merekomendasikan anestesi lokal dosis tunggal dengan dosis 5 mcg/ml atau dengan konsentrasi 1 : 200.000. Diduga kerugian penggunaan epinefrin adalah vasokonstriksi dan
kemungkinan iskemia korda spinalis karena gangguan aliran pada arteri. Dosis epinefrin 2,5 mcg/ml atau konsentrasi 1 : 400.000 dapat digunakan sebagai zat aditif untuk blok sentral.3 Epinefrin menyediakan tanda untuk injeksi intramuskuler dan mengurangi absorbsi sistemik dari anestesi lokal. Selain itu epinefrin memperpanjang durasi blok regional. Warner dkk , membandingkan anak usia 3 bulan – 17 tahun yang menerima blok kaudal singel-shot dengan 0,5 ml/kgBB bupivakain 0,25%. Satu grup menerima bupivakain murni dan lainnya menerima tambahan epinefrin 5 mcg/ml kedalam anestesi lokal. Epinefrin memperpanjang durasi analgesia dari blok kaudal dibanding dengan blok yang tidak ditambahkan epinefrin. Durasi analgesia berkurang dengan meningkatnya umur dengan efek terbesar pada anak dengan umur < 5 tahun. Anak dengan umur < 5 tahun memiliki durasi rata-rata analgesia 10 – 13 jam lebih lama jika epinefrin ditambahkan pada larutan. Pada anak umur 6 -10 tahun epinefrin meningkatkan durasi efek 2 – 3 jam, sementara pada anak > 11 tahun epinefrin meningkatkan waktu blok 1-2 jam. Bagaimanapun juga pada penelitian lain epinefrin tidak menunjukkan waktu blok kaudal yang memanjang dengan bupivakain.3 Ketamin Ketamin tanpa bahan pengawet telah dijelaskan untuk penggunaan kaudal pada anak, untuk memperpanjang blok bupivakain setelah bedah hernia. Nagoib dkk, membandingkan tiga grup pada anak-anak yang menerima bupivakain 0,25%; ketamin 0,5 mg/kgBB dan bupivakain 0,25% ditambah ketamin 0,5 mg/kgBB. Grup yang menerima ketamin 0,5 mg/kgBB memiliki analgesia yang kuat dan durasi aksi yang lebih lama daripada grup yang menerima bupivakain 0,25% saja. Grup ketamin memiliki analgesia yang sama serta durasi aksi terhadap grup yang menerima kombinasi ketamin dan bupivakain tidak ada perubahan perilaku postoperatif yang tercatat pada grup ketamin. Penemuan tersebut dikonfirmasi pada penelitian yang menggunakan ketamin 0,5 mg/kgBB sebagai zat aditif bupivakain 0,25% atau
ropivakain 0,2% pada ruang kaudal. Cook dkk, mempelajari anak berumur 1-10 tahun yang menerima anestesi kaudal menggunakan 0,25% bupivakain 1ml/kgBB dengan tambahan masing-masing ketamin 0,25 mg/kgBB, klonidin 2 mcg/kgBB atau epinefrin 5 mg/ml. Grup ketamin memiliki durasi analgesia 12,5 jam dibanding dengan 5,8 jam untuk grup klonidin, dan 3,2 jam untuk grup epinefrin. Ketika digunakan sendiri pada ruang kaudal, ketamin pada dosis 0,25 mg/kgBB memiliki durasi aksi lebih pendek dari bupivakain 2,5% dengan epinefrin 1 : 200.000, tetapi ketamin 1 mg/kgBB memberikan analgesia intraoperatif dan postoperatif yang sama dengan bupivakain.3 Hager dkk, melaporkan penggunaan ketamin untuk analgesia kaudal tanpa anestesi lokal, dan dibandingkan grup yang menerima 1 mg/kgBB dengan grup lain yang menerima zat tambahan klonidin 1 atau 2 mcg/kgBB kedalam ketamin. Grup ketamin memiliki durasi rata-rata analgesia postoperatif 13,3 jam. Ketika klonidin 1 mcg/kgBB dan 2 mcg/kgBB ditambahkan ke ketamin durasi rata-rata menjadi berturut-turut 22,7 jam dan 21,8 jam. Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan rutin adjuvant non opioid untuk pasien bedah elektif belum diperlihatkan dapat meningkatkan manfaat bagi pasien. Klonidin Klonidin sebuah agonis alpha 2 adrenergik pada 1-2 mcg/kgBB telah digunakan dengan sukses dan menghasilkan tambahan waktu analgesia 4-6 jam ketika dikombinasi dengan bupivakain. Ivani dkk, juga mendemonstrasikan efek yang menguntungkan dari klonidin ketika ditambahkan dalam bupivakain. Pada penelitian tersebut 0,1% ropivakain tambah klonidin 2mcg/kgBB memberikan kualitas analgesia yang kuat pada blok kaudal dibandingkan dengan 0,2% ropivakain tanpa klonidin. Mekanisme sebenarnya dari aksi analgesia pada klonidin belum diketahui, tetapi ini menjadi bukti bahwa aksi terjadi di daerah sentral dan perifer. Walaupun klonidin bisa menyebabkan sedasi, terutama pada dosis
yang lebih tinggi dan meski sedasi tidak dipercaya memiliki efek klinik yang signifikan pada penelitian tersebut, klonidin kaudal telah menimbulkan implikasi dalam laporan kasus penyebab apneu pada neonatus. De Negri dkk, membandingkan ketamin dengan klonidin untuk menentukan regimen mana yang lebih efektif memperpanjang efek anestesi kaudal ropivakain. Anak-anak umur 15 tahun menerima 0,2% ropivakain 2 mg/kgBB, ropivakain tambah klonidin 2 mcg/kgBB dan ropivakain tambah ketamin 0,5 mg/kgBB untuk anestesi kaudal. Analgesia postoperatif secara signifikan memanjang pada ropivakain pada grup ketamin (701 menit) dibandingkan grup ropivakain dengan klonidin (492 menit) dan grup ropivakain 291 menit. Secara klinik tidak ada efek samping yang signifikan pada grup tersebut. Penemuan tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Cook dkk yang membandingkan klonidin 2mcg/kgBB dengan ketamin 0,5 mg/kgBB sebagai aditif terhadap 0,25% bupivakain untuk anestesi kaudal.3 Tramadol Tramadol adalah suatu analgetik yang bekerja secara sentral pada reseptor opiod dan telah dibandingkan antara bupivakain murni dan kombinasi bupivakain tramadol untuk analgesia kaudal. Pada dosis 1 mg/kgBB tramadol yang ditambahkan ke bupivakain pasien memiliki skore nyeri lebih rendah dan durasi yang lebih panjang dari analgesia dibandingkan dengan bupivakain saja. Pada dosis tramadol 2 mg/kgBB ditambahkan bupivakain, beberapa anak mendapatkan efek sedasi. Bagaimanapun hal itu tidak dipertimbangkan sebagai suatu efek klinik yang signifikan. Tramadol kaudal 2 mg/kgBB menyediakan analgesia postoperatif yang sama dengan pemberian morfin kaudal 30 mcg/kgBB bagi anak-anak yang menjalani operasi herniorafi.3 Neostigmin
Penggunaan neostigmin di ruang epidural pada anak-anak, adalah konsep yang relatif baru. Aksinya mungkin melalui aksi langsung terhadap korda spinalis melalui inhibisi dari pemecahan asetilkolin pada ganglion dorsal atau melalui efek antinosiseptif perifer. Sebuah penelitian pada anak-anak yang membandingkan tiga grup untuk menentukan kefektifan dari neostigmin 2 mcg/kgBB sebagai analgesik kaudal untuk operasi hipospadia baik neostigmin saja atau dikombinasikan dengan bupivakain. Grup menerima masing-masing 1 ml/kgBB 0,25% bupivakain saja, bupivakain dengan neostigmin 2 mg/kgBB dan yang ketiga neostigmin saja 2 mg/kgBB. Kombinasi dari bupivakain dan neostigmin memberikan analgesia yang kuat dibandingkan kedua grup lainnya, dan durasi rata-rata adalah 22,8 jam dibandingkan 8,1 jam pada grup bupivakain saja, dan 5,2 jam pada grup neostigmin saja.3 Opioid Opioid sering digunakan pada blok kaudal baik dengan ataupun tanpa zat anestesi lokal. Ada dua klasifikasi opiod, yaitu: hidrofilik dan lipofilik. Secara umum opioid hidrofilik memiliki kemampuan menyebar di rostral, dimana opioid lipofilik seperti fentanil lebih terlokalisir pada area injeksi. Perbedaan tersebut meningkatkan jumlah insiden sedasi dan depresi respirasi yang muncul karena zat hidrofilik.3 Opioid mungkin digunakan untuk meningkatkan kualitas dan durasi suatu blok tetapi ada keuntungan dan kerugian pada aksis spinal opioid. Kerugian mayor pada penambahan opioid adalah resiko depresi respirasi. Pada anak-anak yang umurnya kurang dari 1 tahun, resiko depresi respiratorius dari morfin kaudal secara signifikan lebih tinggi daripada anak-anak yang usianya lebih dari 1 tahun. Pada penelitian ini dari 138 anak-anak yang menerima 70 mcg/kg morfin kaudal, insiden klinik depresi pernafasan adalah 8%. Sepuluh dari 11 anak-anak dengan depresi respiratorius yang umurnya kurang dari 1tahun
memilki berat badan kurang dari 9 kg. Tujuh dari 11 pasien yang itu juga menerima opioid intravena.3 Semua perjalanan dari depresi respiratorius terjadi dalam 12 jam dari injeksi morfin kaudal, aksis spinal opioid kontraindikasipasien bedah rawat jalan. Sebagai tambahan, pasien dibawah 1 tahun dan pasien yang menerima suplemen opioid intravena sebaiknya melakukan monitoring postoperatif secara hati-hati. Kerugian lainnya dari opioid neuroaksial adalah menambah insiden pruritus, mual dan muntah postoperatif. Meski fentanil 1 mcg/kgBB bisa memperpanjang blok kaudal, insiden pruritus dan muntah tetap bertambah. Pada suatu penelitian , investigasi telah dihentikan karena insiden muntah postoperatif pada anak-anak yang menerima buprenorphin kaudal tidak dapat diterima. Retensi urin adalah suatu efek sampaing morfin kaudal dan membutuh kateterisasi urinarius pada 30 % anak-anak dalam suatu penelitian yang menggunakan 70 mcg/kg morfin. Alasan lain untuk menghindari penggunaan opioid neuroaksial karena efek samping aditifnya. Pada diskusi sebelumnya tambahan seperti klonidin dan ketamin telah digunakan sebagai tambahan untuk blokade sentral dengan sukses dan menghasilkan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan opioid.3 Meski salah dalam menggunakan poioid sebagai komponen untuk blokade sentral, praktek tersebut terus berjalan karena ada keuntungan relatif yang ditawarkan regimen ini. Morfin tanpa bahan pengawet lebih dari sekedar melipatgandakan durasi anestesi kaudal single-shot. Pada penelitian terhadap anak untur 1 sampai 16 tahun, ada peningkatan sedikit retensi urin, pruritus dan mual pada grup yang menerima morfin kaudal, tetapi tidak ada bukti depresi respirasi bahkan waktu dosis 100 mcg/kg diberikan pada grup ini. Morfin kauda dengan dosis 30 mcg/kg telah direkomendasikan
pada anak karena keuntungannya
meningkatkan durasi analgesik dengan berkurangnya insiden efek samping, terutama depresi respiratorius. Pada anak yang menjalani prosedur bedah jantung terbuka, dosis 75 mcg/kg
morfin memberikan skore nyeri lebih rendah dan berkurangnya insiden perubahan atelaktasis pada radiologi dibandingkan dengan grup kontrol yang tidak menerima morfin kaudal. Level morfin dalam plasma yang diberikan melalui rute kaudal mencapai puncak 21 ± 4,8 ng/ml setelah 10 injeksi. Kadar tersebut lebih rendah daripada jika morfin diberikan secara sistemik.3 Lipofilik opioid tidak memberi resiko yang sama dengan hidrofilik opioid dalam hal depresi pernafasan. Kerugian dari regimen lipofilik yaitu durasi yang lebih pendek pada analgesis postoperatif dibandingkan jika diberi morfin, dan sebenarnya tidak ada keuntungan openambahan fentanil padaanestesi lokal untuk blok kaudal single-shot. Pada sebagian besar laporan, fentanil melalui kaudal dosis 1 mcg/kg tidak menunjukkan peningkatan durasi analgesia yang dihasilkan oleh 0,125% bupivakain, 0,25% bupivakain, dan 2% lidokain. Sebaliknya, Constant dan teman-teman (1998) mendemonstrasikan pemanjangan waktu analgesia pada suatu penelitian dimana fentanil 1 mcg/kg ditambahkan campuran bupivakain dan lidokain pada anak berumur 16 hingga 108 bulan. Durasi rata-rata dari analgesia pada grupfentanil sekitar 253 ± 105 menit dibandingkan 174 ± 29 menit pada grup kontrol tanpa fentanil.3 Fentanil dan morfin telah dibandingkan untuk efikasi dan efek samping pada anak berumur 1 sampai 16 tahun. Semua anak menerima 0,5% bupivakain epidural preinsisi dosis 0,75 mL/kg dan kemudian dibagi dalam dua grup. Grup morfin menerima bolus epidural morfin 75 mcg/kg dan kemudian dilakukan hal yang sama 24 jam kemudian. Grup fentanil menerima 2 mcg/kg sebelum insisi diikuti infus kontinyu 5 mcg/kg perhari. Grup yang menerima infus fentanil dibandingkan dengan grup yang menerima morfin dengan pruritus yang lebih sedikit (20% versus 53%) dan mual muntah yang lebih sedikit (0% versus 33%).3 III.4 DASAR DAN TEKNIK ANESTESI REGIONAL PEDIATRI
Meningkatnya penggunaan anestesi regional pada bayi, anak, dan orang dewasa memiliki dampak yang besar bagi manajemen nyeri pada anak. anestesi regional telah diterima secara umum sebagai salah satu komponen utuh pada penanganan nyeri pascaoperasi pada pasien anak.1 Beberapa teknik anestesi regional juga berperan penting pada penanganan sindrom nyeri kronik pada anak. anestesi regional dapat diterapkan secara aman dan efektif pada pasien anak, sehingga lama kelamaan teknik ini menjadi semakin sering digunakan.16,17 Teknik anestesi regional pada umumnya digunakan pada pasien pediatrik sebagian besar opini para ahli dan database telah menjabarkan kemampuan untuk melakukan anestesi regional pada anak secara aman dengan risiko kerusakan neurologik minimal. Penggunaan ultrasound sebagai pemandu dan peralatan penunjang ke dalam praktik anestesi regional telah meningkatkan perawatan perioperatif pada anak. Anestesi regional pada anak dan bayi sebagian besar dilakukan di bawah pengaruh sedasi kuat atau anestesi umum, berkebalikan dengan anestesi regional pada orang dewasa. Studi keamanan prospektif dan retrospektif menunjukkan kemungkinan pelaksanaan anestesi regional di bawah anestesi umum lebih aman.18 A. Blok Kaudal Indikasi : digunakan untuk pasien <8 tahun untuk menyediakan analgesia intraoperatif dan postoperatif untuk bedah abdomen dan extremitas bawah. Posisi
: tempatkan anak-anak dalam posisi dekubitus lateral dengan lutut ditarik keatas
terhadap dada. Penanda : Bilateral spina iliaca posterior superior (SIPS) dan hiatus sacral (HS). Ketiga titik ini membentuk segitiga sama sisi. Hiatus sacral dibatasi oleh kornu sacral. Kornu sacral dapat dipalpasi pada sisi lain dari garis tengah sejauh 1cm.
Teknik
: setelah persiapan sterilisasi alat, insersikan angiocatheter 20G atau 22G pada
sudut 700 ke kulit melewati hiatus sacral. Sensasi kedutan akan dirasakan sebagaimana jarum melewati dan menembus membran sacrococcygeal. Sekali membran sacrococcygeal ditusuk, miringkan jarum dengan sudut 200 hingga 400 dari kulit dan masukkan jarum dan kateter 2 hingga 4 mm. Lalu, pindahkan kateter dari jarum (kateter harus mudah dipindahkan). Jarum stimulasi juga dapat digunakan. Jika jarum stimulasi di dalam ruang caudal, aktivitas sfingter anal akan mudah dilihat dengan stimulasi 1 hingga 10 mA. Jika digunakan jarum stimulasi, jangan memasukkan jarum tersebut lebih dari 2 hingga 4 mm melalui membran sacrococcygeal untuk mencegah resiko pungsi epidural. Usia
Tabel 5. Dosis Obat Pediatrik untuk Blok Caudal dan Epidural Bupivacaine Ropivacaine Clonidine Fentanyl
Injeksi Tunggal <1 tahun
0.25%, 1mL/kg
0.2%, 1.2 mL/kg
1.0-1.5 ug/kg
2 ug/mL
>1 tahun
0.25%, 1mL/kg, max 0.2-0.5%, max 20 1.0-1.5 ug/kg 20 mL mL atau 3.5 mg/kg
2 ug/mL
Injeksi Kontinu <3 bulan
0.0625%-0.125%, 0.2 mg/kg/h
0.1%-0.2%, mg/kg/h
0.2 0.12-0.2 ug/kg/h
1-2 ug/mL
<1 tahun
0.125%, 0.3 mg/kg/h
0.1-0.2%, mg/kg/h
0.3 0.12-0.2 ug/kg/h
1-2 ug/mL
>1 tahun
0.125%, mg/kg/h
0.4 0.12-0.2 ug/kg/h
1-2 ug/mL
0.3-0.4 0.1%-0.2%, mg/kg/h
Gambar 3. Landmark kaudal dan gambaran pada USG Beberapa klinisi lebih suka memilih pemberian dosis berdasarkan pada volume per berat badan. Dosis 1,0 mL / kg dengan larutan encer seperti bupivacaine 0.125% untuk volume maksimum 30 mL dapat diandalkan untuk memberikan blok sensorik sampai T10 tanpa melebihi dosis maksimum yang direkomendasikan dalam beberapa literature. Dosis tinggi seperti 1,25 mL / kg, atau bahkan 1.5 ml / kg, dapat diberikan untuk memberikan yang blok lebih ke cephalad tanpa risiko toksik anestesi lokal.6 Berdasarkan formula modifiokasi Armitage : sacral - 0,5 ml/kg, T10 - 0,75 ml/kg, lower thoracic (sampai T6) – 1,0 ml/kg, mid thoracic – 1,25 ml/kg. Sedangkan formula Takasaki’s menyarankan Volume (ml) = 0,05 ml/kg/dermatom. Kedua formula ini biasa menggunakan bupivacain 0,25 % atau rovivacain 0,2 % dengan adrenalin 1:200.000. 9
Gambar 4. Distribusi dermatom dengan volume lokal anestesi yang berbeda untuk single-shot caudal block Beberapa sumber lain menyarankan dosis umum anestetik lokal yang digunakan untuk blok caudal adalah: 19,20,21 Dosis (mL/kg)
Level blok
Daerah operasi
0,5
Sacral / lumbal
Penis, ekstremitas bawah
1
Lumbal /thoracal
Lower abdominal
1,2
Upper thoracic
Upper abdominal
Bupivacain 0,125 – 0,25 % lebih umum digunakan. 1,
9
Bupivacain 0,25 %
menghasilkan analgesia intra operatif dan menurunkan kebutuhan gas anestesi.21 Untuk caudal, konsentrasi yang optimal dari bupivacaine adalah 0,125-0,175%. 2 Bupivacain 0,125 % menyebabkan blok motorik minimal post operatif tetapi tidak menghasilkan analgesia intraoperatif atau menurunkan kebutuhan obat anestesi. Bupivacain 0,175 % menghasilkan analgesia intraoperatifyang baik dan blok motorik minimal serta penurunan kebutuhan MAC dari anestetik volatile. 11 Kedua konsentrasi ini memberikan durasi yang sama pada analgesia pascaoperasi (4 hingga 8 jam).6 Maksimal dosis buvivacain yang aman digunakan adalah 3 mg/kg.
1, 2, 8
, Agrawal R,
2006 menyarankan dosis toksis bupivacain pada anak adalah 2,5 mg/kg dan pada neonatus 1,5 mg / kg.21 Ropivacain dan levobupivacain juga telah berhasil digunakan pada caudal analgesia dalam konsentrasi 0,125 – 0,25 % dengan dosis 1 ml / kg untuk operasi elektif minor. Dengan konsentrasi ini tidak atau menghasilkan sedikit blok motorik. 9
B. Epidural Lumbar Indikasi : digunakan untuk menyediakan anestesia atau analgesia kontinu untuk bedah abdomen atau ekstremitas bawah pada anak-anak semua umur. Posisi
: tempatkan anak-anak pada posisi dekubitus lateral dengan lutut ditarik ke dada.
Penanda. Garis intercristal (garis posterior antara aspek superior dari dua crista iliaca). Teknik : Setelah persiapan sterilisasi alat, insersikan jarum pendek, Tuohy 18G atau Crawford dengan kateter epidural 20G. Hilangnya tahanan dengan saline adalah teknik yang disukai. Kateter dapat secara berkala diarahkan dari lumbar ke level thoracic dengan bevel
Tuohy diarahkan ke atas. Jika kateter akan diarahkan ke level thoracic, jaraknya harus diukur sebelum insersi. Kedalaman ruang epidural dapat ditentukan sebagai berikut:3,12
Neonatus = 1 cm
Anak-anak 10kg-25kg = 1mm/kg
Anak-anak >25kg: 0.8 + (0.05 x wt(kg)) = kedalaman dalam cm
Dosis Obat : Pediatrik general memperkirakan dosis injeksi kaudal atau epidural: 0.25% ropivacaine atau bupivacaine, 1mL/kg bolus, max 20mL. Tabel 5 menampilkan informasi lebih spesifik.
Gambar 5. Epidural lumbal pada pediatrik
C. Blok Subarakhnoid Indikasi : prosedur abdominal bawah dan ekstremitas bawah yang kurang dari 90 menit. Blok subarakhnoid sangat efektif dan teknik yang bermanfaat dalam lingkungan dengan sumber terbatas. Anak-anak begitu luar biasa menunjukkan stabilitas hemodinamik dibawah anestesia spinal. Posisi : Dekubitus lateral atau duduk. Perhatian khusus harus diberikan untuk mencegah fleksi leher berlebihan pada bayi muda, yang menyebabkan obstruksi jalan napas.
Teknik : Setelah persiapan sterilisasi, jarum pendek (1.5-2in) jarum spinal 25- atau 22-G sebaiknya digunakan pada ruang L4-L5 atau L5-S1 pada bayi. Ruang L3-L4 dapat digunakan pada anak-anak dengan usia lebih dari 1 tahun.3,12 Dosis Obat : Lihat Tabel 6. Larutan hiperbarik atau isobarik sebaiknya digunakan. Komplikasi yang Mungkin : Nyeri kepala pasca pungsi epidural jarang pada anak-anak. Dosis untuk perbaikan darah: 0.3mL/kg darah. Poin Penting : Jangan mengangkat kaki anak-anak ke udara setelah blok atau peningkatan tekanan spinal terjadi. Walaupun dosis anestetik lokal tampak besar, ingat bahwa anak-anak memiliki volume cairan cerebrospinal relatif terhadap orang dewasa. Durasi blok meningkat seiring umur pasien. Tabel 6 Dosis Spinal Pediatrik Usia
Bupivacaine (mg/kg)
Tetracaine* (mg/kg)
Ropivacaine (mg/kg)
Bayi
0.5-1.0
0.5-1.0
0.5-1.0
1-7 tahunt
0.3-0.5
0.3-0.5
0.5
>7 tahunt
0.2-0.3
0.3
0.3-0.4
*Dengan tetrakain, gunakan epinefrin (epinefrin diaspirasi dari vial kemudian diinjeksikan penuh dari spoit sebelum menyusun anestetik lokal) untuk meningkatkan durasi hingga 120 menit. t Aditif: clonidine 1-2 ug/kg untuk anak-anak usia > 1 tahun.
Gambar 6. Landmark dan dermatome pada subarachnoid blok pada anak D. Blok Nervus Perifer Indikasi : analgesia perioperatif untuk ekstremitas atas, ekstremitas bawah, thoracic, atau bedah payudara. Dosis Obat : Dosis anestetik lokal untuk blok ini diukur berdasarkan berat badan daripada sekedar pengaturan volume. Dosis maksimum dari bupivacaine adalah 2.5 mg/kg. Dosis yang lebih tinggi untuk ropivacaine (10% lebih tinggi) dapat diterima.Anak-anak usia kurang dari 8 tahun sebaiknya menerima 0.25% bupivacaine atau 0.2% ropivacaine. Jika blok nervus perifer tidak diberikan setelah induksi anestesi umum, jangan menggunakan agen blok neuromuskular hingga setelah blok bekerja. Ketika melakukan blok nervus perifer kontinu, jangan melebihi dosis maksimum yang diterapkan untuk anestetik lokal caudal atau epidural. 3,12
Tabel 6 Dosis Obat untuk Pediatrik – Injeksi Blok Nervus Perifer Blok
Rentang Dosis (mL/kg)
Dosis (mL/kg)
Tengah Volume Maksimum (mL)
Paraskalenius
0.2-1.0
0.5
20
Infraclavicular 0.2-1.0
0.5
20
Axillary
0.2-0.5
0.3
20
Paravertebral
0.5-1.0
0.7
5
Femoral
0.2-0.6
0.4
17
Skiatik Proksimal
0.3-1.0
0.5
20
Popliteal
0.2-0.4
0.3
15
Pleksus lumbar
0.3-1.0
0.5
20
*Anak-anak < 8 tahun: 0.2% ropivacaine atau 0.25% bupivacaine. Anak > 8 tahun: 0.5% ropivacaine atau 0.5% bupivacaine. Jangan memberikan melebihi dosis maksimum yang direkomendasikan dari anestetik lokal.
1. Blok Ekstremitas Atas Blok ketiga ekstremitas yang sering dilakukan pada anak-anak: (1) blok paraskalenius, (2) blok infraclavicular, (3) blok aksilla. Blok supraclavicular tidak direkomendasikan pada anak-anak.3,12 a. Blok Paraskalenius Blok paraskalenius dikembangkan untuk menyediakan alternatif yang lebih aman pada anakanak dari blok supraklavikular. Posisi : tempatkan pasien dalam posisi supinasi dengan gulungan handuk di bawah bahu dan sisi lengan. Penanda : titik tengah klavikula, tepi posterior dari sternokleidomastoideus, dan prosessus transversus dari C6. Level C6 sama dengan kartilago krikoid. Gambarkan garis antara prosessus transversus C6 dan titik tengah klavikula. Teknik : situs pungsi jarum adalah di titik antara sepertiga distal dan dua pertiga proksimal dari garis ini. Insersikan jarum stimulasi tegak lurus terhadap kulit dan arahkan ke posterior hingga kedutan ekstremitas atas tampak. Jika tidak ada kedutan, arahkan kembali jarum ke lateral. Lalu, injeksikan dosis yang sesuai (berdasarkan usia dan berat badan anak-anak) dari anestesia lokal. Kedalaman pleksus = 1-2 cm. Peralatan : Jarum stimulasi 22G 5 cm.
Gambar 7. Landmark dan dermatome pada paraskalenus blok pada anak b. Blok Infraclavicular Posisi : Tempatkan pasien pada posisi supinasi dengan ekstremitas operatif pada sisi ini dan kepala dipalingkan ke sisi berlawanan. Penanda dan Teknik :
Dua pendekatan digunakan pada anak-anak untuk blok
infraclavicular: (1) pendekatan alur deltopectoral, dengan penanda dan teknik yang sama dengan dewasa, dan (2) pendekatan midclavicular, dimana titik tengah klavikula adalah penanda. Insersikan jarum pada sudut 450 ke kulit, menghadap ke axilla. Jarum 22G, 5 cm, digunakan untuk anak-anak dibawah 40 kg.
Gambar 8. Landmark , gambaran USG dan dermatome infraclavikula blok pada anak c. Blok Axilla Posisi. Sama dengan dewasa. Penanda. Sama dengan dewasa. Teknik. Sama dengan dewasa, tetapi menggunakan jarum 22-G, 5cm.
Gambar 9. Landmark dan dermatome blok axilla pada anak 2. Blok Ekstremitas Bawah Blok ekstremitas bawah termasuk femoral, pleksus lumbar, dan blok skiatik. a. Blok Femoral Posisi, penanda, dan respon motorik yang diinginkan dengan simulasi adalah sama dengan pada pasien dewasa. Gunakan jarum 22G, 5 cm atau 1.5-in (3.8-cm).
Gambar 10. Landmark dan dermatome blok femoral pada anak b. Blok Pleksus Lumbar Hanya praktisi yang berpengalaman dengan teknik ini sebaiknya menggunakan blok ini pada anak-anak. Posisi : Posisi dekubitus lateral dengan lutut ditarik ke dada. Penanda : Gambarkan garis antara prosessus spinosus L4 dan SIPS ipsilateral. Titik insersi jarum adalah pada titik di antara dua pertiga medial dan sepertiga lateral dari garis Teknik : Penusukan jarum stimulasi 5 atau 10 cm sejajar dengan alas hingga muncul kedutan kuadriceps. Jika jarum menyentuh prosessus L5, tarik jarum dan arahkan kembali ke atas. Kedalaman rata-rata ke pleksus: 2.5 cm (anak 5 kg) hingga 6.5 cm (anak 50 kg).
Gambar 11. Landmark dan dermatome blok pleksus lumbal c. Blok Skiatik Pendekatan multipel untuk blok nervus skiatik dapat digunakan untuk anak-anak. Pendekatan yang mana yang digunakan sebaiknya ditentukan oleh pengalaman praktisi dengan berbagai teknik yang sesuai.
Blok skiatik klasik atau posterior. Posisi, penanda, dan teknik adalah sama dengan pasien dewasa. Jarak rata-rata ke nervus: 2 cm (anak 5 kg) hingga 4.5 cm (anak 50 kg).
Blok Raj atau blok skiatik infragluteal. Posisi, penanda, dan teknik adalah sama dengan pasien dewasa.
Blok skiatik popliteal. Blok ini adalah yang paling banyak dilaporkan sebagaimana merupakan pendekatan teraman untuk nervus skiatik pada anak-anak.
Posisi : Pendekatan popliteal ke saraf skiatik dapat dilakukan dengan posisi pronasi, lateral (tungkai operatif), atau supinasi, dengan seorang asisten mengangkat tungkai. Untuk menilai pola stimulasi dari nervus tibial, tungkai pasien dan pergelangan kakinya harus bebas bergerak. Penanda : Lipatan popliteal, tendon biceps femoris, dan tendon otot semimembranosus dan otot semitendinosus. Teknik : Bagi dua segitiga yang dibentuk oleh penanda. Insersikan jarum pada titik 1 cm di bawah apeks segitiga dan 0.5 cm lateral terhadap garis yang terbagi dua. Panjang jarum adalah 5 cm untuk anak kecil dan 10 cm untuk anak besar. Arahkan jarum ke atas pada sudut 700 ke kulit hingga fleksi plantar diperoleh. Jarak dari lipatan popliteal ke bifurkasio nervus skiatik: 27 + (4 x usia dalam tahun) = jarak dalam mm.
Gambar 12. Landmark dan dermatome blok skiatik
Gambar 13. Landmark dan dermatome blok Raj skiatik pada anak
Gambar 14. Landmark dan dermatome blok poplitea pada anak d. Blok Paravertebral Thoracic Indikasi : Anestesia dan analgesia untuk prosedur payudara dan dinding dada. Posisi : Duduk atau dekubitus lateral.
Penanda : Prosessus spinosus. Titik insersi jarum adalah 1 hingga 2 cm lateral terhadap aspek superior dari prosessus spinosus. Teknik : Sama dengan pasien dewasa, tetapi menggunakan jarum Tuohy 22G. Titik insersi sebaiknya 0.5 hingga 1cm melewati prosessus transversus. Perkiraan kedalaman ke ruang paravertebral: 20 + (0.5 x wt(kg)) = kedalaman dalam mm.
Gambar 15. Landmark dan gambaran USG blok paravertebra pada anak E. Blok Nervus Penis Blok nervus penis meliputi teknik blok nervus subpubik, blok nervus dorsal (dorsal nerve block), dan blok ring subkutaneus dan dapat digunakan untuk prosedur pada distal penis seperti sirkumsisi dan repair hipospadia tanpa komplikasi. Penelitian menunjukkan bahwa bayi baru lahir memiliki respon stress yang lebih rendah ketika menjalani sirkumsisi dengan blok penis. Ring block dapat lebih efektif dibanding baik blok nervus maupun krim anestesi lokal . Selain itu, Ring block subkutan dapat menurunkan insidens komplikasi
dibanding blok nervus dorsal. Blok nervus subpubik menghambat nervus sebelum memasuki basis penis. Blok ini lebih sedikit mengganggu struktur vaskuler atau penis. Holder dkk, membandingkan Ring block subkutan pada anak laki-laki yang menjalani sirkumsisi dengan kelompok anak laki-laki yang dilakukan blok subpubik. Kelompok yang dianestesi dengan blok subpubik memiliki skor nyeri yang signifikan lebih rendah. Selain itu, tiga anak dengan Ring block subkutan mengalami distorsi jaringan akibat blok, sehingga mempengaruhi kondisi operasi.3 Ketika menggunakan blok penis pada anak yang menjalani repair hipospadia, Chhibber dan coworkers, membuktikan bahwa melakukan blok sebelum insisi dan mengulangi blok pada akhir operasi memberikan kontrol nyeri pasca operatif yang lebih baik dibanding melakukan blok hanya sekali.3 Anatomi Dua pertiga distal dari penis dipersarafi oleh nervus dorsal, yang merupakan cabang dari nervus pudendi (Gambar 13). Nervus pudendi berasal dari pleksus sakralis. Nervus dorsalis terletak dekat dengan pembuluh dorsal dan dikelilingi oleh fascia Buck’s. Teknik Ring block subkutan. Teknik ini merupakan suatu pendekatan sederhana dalam melakukan blok nervus dorsal penis. Skin wheal dengan anestesi lokal lidokain (tanpa epinefrin) diinjeksikan secara sirkumferensial disekeliling basis dari penis tanpa menembus fascia Buck’s (pada superfisial dari fascia Buck’s). Blok nervus dorsal penis. Blok nervus dorsal penis dapat dilakukan dengan menginjeksikan anestesi lokal langsung pada nervus yang berjalan pada tiap sisi dari penis setinggi simfisis pubis ( Gambar 16). Dengan menggunakan jarum 25G, fasia Buck’s ditembus dan lokal
anestesi (tanpa epinefrin) diinjeksikan pada posisi pukul 10:30 dan 1:30 pada basis penis. Karena dekatnya dengan pembuluh dorsal, harus dilakukan aspirasi sesering mungkin untuk mencegah injeksi pada intravaskuler. Blok nervus dorsal penis yang dipandu USG telah terbukti efektif dan dapat digunakan untuk memvisualisasi sebaran anestesi lokal disekitar nervus dorsal. Blok subpubik. Untuk melakukan blok subpubik, penis secara lembut ditekan kebawah dan jarum diinsersi secara perpendikular pada kulit sekitar 0.5 sampai 1 cm dari lateral ke garis tengah tubuh dan dari kaudal dari simfisis pubis. Ketika jarum telah ditusukkan, lalu dengan perlahan diarahkan secara medial dan kaudal hingga fascia Scarpa’s terlalui. Anestesi lokal disuntikkan ketika dirasakan sensasi “give” dan aspirasi darah negatif.3 Dosis Hal yang paling penting untuk diingat mengenai dosis blok penis adalah jangan pernah menggunakan epinefrin. Penis merupakan suatu end organ, dan penggunaan epinefrin dapat menyebabkan nekrosis. Pada semua teknik blok nervus penis, bupivakain 0.25%, levobupivakain 0.25%, atau ropivakain 0.2% dapat digunakan sebagai analgesia dengan durasi kerja 4 hingga 6 jam. Dosis blok ring subkutan harus diberikan hingga terdapat bukti injeksi anestesi lokal disekitar basis penis, namun dosisnya tidak boleh melebihi rekomendasi maksimal yang diizinkan (maximum allowable recommendation) untuk tiap injeksi (lihat Tabel 3). Pada blok nervus dorsal atau blok subpubik, sekitar 0.1 mL/kg anestesi lokal diinjeksikan pada tiap lokasi. Sfez dan rekannya membuktikan bahwa blok penis dengan 0.1 mL/kg pada tiap lokasi injeksi menggunakan 0.25% bupivakain atau campuran 1:1 bupivakain dengan lidokain 1%, konsentrasi anestesi lokal dalam serum masih dibawah dosis toksik.3
Komplikasi Epinefrin tidak boleh digunakan ketika melakukan blok penis, karena dapat menyebabkan vasokonstriksi dan iskemia yang signifikan. Seorang dewasa yang diberikan ropivakain 0.75% untuk blok nervus dorsal mengalami iskemi sementara pada glans, diduga akibat efek vasokonstriktif intrinsik dari konsentrasi ropivakain yang tinggi, sehingga hal ini harus selalu diingat ketika memilih anestesi lokal dan konsetrasinya. Pembentukan hematom dapat terjadi akibat tusukan pada pembuluh dorsal saat melakukan blok nervus dorsal. Hal ini dapat menyebabkan nekrosis ujung penis. Ketika dilakukan dengan benar, blok ring subkutan dapat mencegah komplikasi kecuali edema jaringan pada basis penis. Edema jaringan dapat mempengaruhi kondisi operasi jika blok dilakukan sebelum prosedur operasi.3
Gambar 16. Landmark blok penis pada anak
F. BLOK PADA WAJAH DAN KULIT KEPALA 1. Blok Nervus Infraorbita
Nervus infraorbita meliputi empat cabang, yang menginervasi bibir atas dan mukosa di sepanjang bibir atas, vermilion (merah bibir), bagian lateral inferior dari hidung, dan kelopak mata bawah. Blokade nervus infraorbita memberikan analgesia yang efektif pada repair bibir sumbing. Blook ini juga bermanfaat pada prosedur nasal seperti operasi sinus endoskopis, rekonstruksi septum nasi, dan rhinoplasti.3 Anatomi Nervus infraorbita merupakan nervus sensoris murni yang berjalan dari divisi maxillari kedua dari nervus trigeminus. Nervus infraorbita merupakan cabang terminal yang keluar dari tengkorak melalui foramen rotundum dan memasuki fossa pterygopalatina. Keluar dari foramen intraorbita lalu terbagai menjadi keempat cabangnya, nervus labialis superior, nasal interna, nasal eksterna, dan palpebralis inferior.3 Teknik Pendekatan intraoral pada blok nervus infraorbita dilakukan dengan menusukkan jarum 27G pada permukaan dalam dari bibir dan sefalad menuju foramen infraorbita yang paralel dengan premolar maxiler. Untuk melakukan blok ini, pertama-tama palpasi pada foramen infraorbita dan tekan bibir atas ke arah superior untuk menusukkan jarum beserta spoit . Tahan satu jari pada foramen infraorbita selama jarum ditusukkan untuk memberikan acuan penusukan hinnga lokasi yang dituju.3 Untuk melakukan blok nervus infraorbita secara transkutaneus, lokalisasi foramen infraorbita dan insersi jarum 27G menuju foramen melainkan pada arah lateral, tanpa memasuki foramen. Dosis
Volume total 0.5 sampai 1.5 mL bupivakain 0.25%, levobupivakain 0.25%, atau ropivakain 0.2%, dengan penambahan epinefrin 1:200.000 diinjeksikan setelah aspirasi darah negatif. Komplikasi Hematom, khususnya penggunaan pendekatan transkutaneus, tidak jarang terjadi. Untuk mencegahnya, penekanan harus diberikan pada lokasi injeksi selama 5 menit. Komplikasi lainnya jarang terjadi selama foramen itu sendiri tidak dimasuki sehingga kompresi nervus tidak terjadi.
Gambar 17. Landmark blok infraorbita pada anak
2. Blok Nervus Aurikularis Magnus Mastoid dan telinga luar diinervasi oleh nervus aurikularis magnus. Analgesia pada otoplasti dan timpanomastoidektomi dilakukan dengan blokade nervus ini dan dapat menyebabkan penurunan penggunaan opioid perioperatif pada prosedur tersebut.3
Anatomi
Nervus aurikularis magnus merupakan cabang nervus sensoris pada pleksus servikal superior (C3). Ia berakhir setinggi kartilago krikoidea mengikuti tepi posterior dari ventral kaput klavikula pada otot sternokleidomastoideus. Teknik Nervus aurikularis magnus diblok setinggi kartilago krikoid pada C6. Kaput klavikula dari otot sternokleidomastoideus diidentifikasi, dan anestesi lokal diinjeksikan secara superfisial sepanjang otot sekitar 5 sampai 6 cm di bawah telinga (Fambar 16-48). Komplikasi Komplikasi dari blok nervus aurikularis magnus dapat signifikan dan meliputi injeksi intravaskuler karena dekatnya jarak dengan arteri karotis dan vena jugular. Selain itu, penempatan jarum yang dalam dapat menyebabkan blok nervus frenikus, blok pleksus servikal, dan sindroma Horner’s.
Gambar 18. Landmark blok aurikularis magnus
3. Blok Nervus Supraorbita dan Supratrochlear
Anestesi pada nervus supraorbital dan supratrochlear dapat menekan nyeri pada prosedur kulit kepala anterior dan kening, termasuk eksisi lesi kulit, prosedur operasi bedah saraf dengan insisi kulit kepala dan kening, dan terapi laser pada hemangioma 3 Anatomi Nervus supraorbita dan supratrochlea merupakan cabang terminal dari bagian oftamika nervus trigeminus (V1). Nervus-nervus tersebut menyuplai kening dan kulit kepala anterior hingga sutura corona. Mereka ditemukan biasanya di atas area kelopak mata, dimana nervus supraorbita keluar dari foramen supraorbital dan nervus supratrochlear keluar dari mata di antara trochlea dan foramen supraorbita. Teknik Setelah identifikasi tonjolan supraorbita (supraorbital notch), jarum 27G diinsersi secara perpendikular menuju kulit pada tonjolan hingga menyentuh tulang, lalu dilepas dengan perlahan, dan anestesi lokal diinjeksi setelah aspirasi negatif. Nervus supratrochlea diblok dengan mengeluarkan jarum kembali ke kulit dan dengan perlahan mengarahkan ke medial. Komplikasi Edema dan ekimosis periorbital merupakan efek samping yang sering terjadi ketika melakukan blok di sekitar mata. Untuk mencegah efek samping ini, penekanan dapat diberikan pada area supraorbita selama 5 menit setelah dilakukan blok.
Gambar 19. Landmark supraorbita pada anak
KESIMPULAN
Praktek anestesi regional pada pediatrik merupakan langkah yang sangat besar beberapa tahun terakhir ini. Penggunaan ultrasonografi dan pemberian regimen dosis yang tepat telah membantu penyebaran penggunaan teknik anestesi regional pada bayi, anak-anak, dan remaja. Teknik ini dapat dilakukan secara aman dan memiliki pengaruh yang positif terhadap pasien pediatrik yang mengalami prosedur yang menyakitkan dan yang bertahan dari nyeri kronik Meningkatnya penggunaan anestesi regional pada bayi, anak, dan orang dewasa memiliki dampak yang besar bagi manajemen nyeri pada anak. anestesi regional telah diterima secara umum sebagai salah satu komponen utuh pada penanganan nyeri pascaoperasi pada pasien anak. Beberapa teknik anestesi regional juga berperan penting pada penanganan sindrom nyeri kronik pada anak. Anestesi regional dapat diterapkan secara aman dan efektif pada pasien anak, sehingga lama kelamaan teknik ini menjadi semakin sering digunakan.Penggunaan ultrasound sebagai pemandu dan peralatan penunjang ke dalam praktik anestesi regional telah meningkatkan perawatan perioperatif pada anak.
Daftar Pustaka
1. Susan TV, Rafafat SH. Acute pain management in children in journal of pain research. US National library of medicine. 2010. Vol 3. 105-123 2. Anita H, Sian J. Core topics in pain. Cambridge University press. Amerika.2005;5: 311-4 3. Peter J,MD, Franklyn MD, Etsuro MD. Smiths Anesthesia for Infant and Childern 8th. Elvisier.2011;16:486-7 4. T.C.K Brown. History of pediatric regional anesthesia. Review article (pediatric anesthesia). Royal childrens hospital. Australia. Blackwell publishing Ltd. 2012(vol 2) 3-9 5. Patel Devandra. Epidural analgesia for children in: Continuing education in anaesthesia, critical care & pain. British Journal of Anesthesia, Swinton Manchester, 2006 ; Vol 6, No 2. 6. Ban CHT, Michael F, Santhanam S. Text book of regional anesthesia and acute pain management in: Hadzic A, editor. Pediatric epidural and caudal analgesia and anesthesia in children. The New York School of Regional Anesthesia (NYSORA). New York (NY): McGraw-Hill ; 2009 7. Ezekiel RM, Handbook of anesthesiologi. Calofornia : Current Clinical Strategies Publishing, 2005 : p.128-130. 8. Uejima T, Suresh S. Spinal and epidural anesthesia. In : Wong CA, editor. Neuraxial anesthesia for pediatric surgery. New York (NY): McGraw-Hill Companies; 2007. p. 313-320. 9. Vassallo SA, Baboolal HA. Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital. Anesthesia for pediatric surgery. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p.535-537. 10. Barash,Bruce F, Stoelting. Clinical Anesthesia : Regional Anesthesia in pediatric. Lippincott.2006;44:1216-7 11. Shah RD, Suresh S, Application of regional anaesthesia in paediatrics. British Journal of Anesthesia. 2013;111:114-124 12. weinberg GL. Lipid rescue resuscitation from local anaesthetic cardiac toxicity. Toxicol Rev 2006; 25: 139-45 13. weinberg GL. Treatment of local anesthetic systemic toxicity ( LAST). Reg Anesth pain Med 2010;35: 188-93 14. Suresh S, Birmingham PK, Kozlowski RJ. Pediatric pain management. Anesthesiol Clin 2012;30: 101-17
15. Good practice in postoperative and procedural pain management,2nd edn. Paediatr Anaesth.2012;22:1-79 16. Ecoffey C. Local anesthetics in pediatric anesthesia: an update.Minerva Anestisol. 2005;71:357-60 17. Berde C, Greco C. Pediatric regional anesthesia: drawing inferences on safety from prospective registriesan and reports. Anesth - Analg. 2012;115:1259-62 18. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. Pediatric anesthesia. 4rd ed. New York (NY) : McGraw-Hill ; 2007. p. 937-938. 19. Broadman LM, Holt RA. Complications of regional anesthesia. In: Brenda TF, editor. The evidence based safety of pediatric regional anesthesia and complication. 2 ed. New York : Springer; 2007. p. 224-238. 20. Agrawal R. Anesthesia secrets. In: Duke J, editor. Pediatric anesthesia. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. p. 378-379. 21. Jacob R, Cherian TV, J Jellsingh. Understanding pediatric anaesthesia. In : Jacob R, editor. Practical pedriatic regional anaesthesia. 2rd ed. New Delhi : BI Publication Pvt; 2008. p. 105-109.