BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kepentingan usaha pertambangan dan pelestarian lingkungan tak ubahnya bagaikan
sebuah paradoks. Di satu sisi pertambangan dibutuhkan demi pembangunan, tetapi di sisi lain lingkungan jadi rusak akibat aktivitas pertambangan yang tidak menerapkan teknologi bersamaan dengan pengelolaan lingkungan yang baik. Dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan salah satunya adalah pembbuangan tailing ke perairan atau daratan. Ketika tailing dari hasil pertambangan dibuang di badan air atau daratan limbah unsur pencemar kemungkinan tersebar di sekitar wilayah tersebut dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Bahaya pencemaran lingkungan oleh arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) mungkin terbentuk jika tailing yang mengandung unsur-unsur tersebut tidak ditangani secara tepat. Terutama di wilayah tropis dimana tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas biokimia akan menunjang percepatan mobilisasi unsur-unsur berpotensi racun. Salah satu akibat yang merugikan dari arsen bagi kehidupan manusia adalah apabila air minum mengandung unsur tersebut melebihi nilai ambang batas; dengan gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel. Salah satu perusahaan tambang di Indonesia yang banyak memberikan kerusakan bagi lingkungan akibat limbah tailing-nya adalah PT. Freeport yang mengangkangi tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT. Freeport Indonesia akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja. Berdasarkan fakta di atas sudah sewajarnya kita membahas lebih lanjut mengenai apa Maksud dan Tujuan
Maksud dari disusunnya makalah ini adalah untuk manganalisis mengenai dampak dan upaya pengelolaan limbah dari aktivitas tambang yang dikaitkan dengan strategi pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk : Mengetahui jenis limbah yang dihasilkan oleh aktivitas tambang di P.T. Freeport Indonesia. Menganalisis dampak dari limbah yang dihasilkan oleh P.T. Freeport Indonesia. Menganalisis upaya yang bisa dilakukan untuk menghindari kerusakkan akibat limbah tambang P.T. Freeport Indonesia dikaitkan dengan strategi pengelolaan lingkungan hidup. Menyadari pentingnya strategi pengelolaan lingkungan hidup untuk menangani masalah pencemaran lingkukngan hidup.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Limbah Tambang Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
tambang. Selain tailing kegiatan tambang juga menghasilkan limbah lain seperti; limbah batuan keras (overburden), limbah minyak pelumas, limbah kemasan bahan kimia dan limbah domestik. Limbah-limbah itu baru satu bagian dari permasalahan pertambangan yang ada. Tailing, dalam dunia pertambangan selalu menjadi masalah serius. Limbah yang menyerupai lumpur, kental , pekat, asam dan mengandung logam-logam berat itu berbahaya bagi keselamatan makhluk hidup. Apalagi jumlah tailing yang dibuang oleh setiap perusahaan tambang mencapai ribuan ton perhari. Bahkan dibeberapa tempat penambangan seperti PT. Freeport Indonesia jumlah tailing yang dibuang mencapai ratusan ribu ton setiap hari. Dalam kegiatan pertambangan skala besar, pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik.Untuk mencapai wilayah konsentrasi mineral di dalam tanah, perusahaan tambang melakukan penggalian dimulai dengan mengupas tanah bagian atas yang disebut tanah pucuk (top soil). Top Soil kemudian disimpan di suatu tempat agar bisa digunakan lagi untuk penghijauan pasca penambangan. Setelah
pengupasan
tanah pucuk, penggalian batuan tak
bernilai
dilakukan agar mudah mencapai konsentrasi mineral. Karena tidak memiliki nilai, batu-batu itu dibuang sebagai limbah dan disebut limbah batuan keras (overburden). Tahapan selanjutnya adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawa ke processing plant dan diolah. Pada saat pemrosesan inilah tailing dihasilkan. Sebagai limbah sisa batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang. Tailing hasil penambangan emas biasanya mengandung mineral inert (tidak aktif). Mineral itu antara lain; kwarsa, klasit dan berbagai jenis aluminosilikat. Walau demikian tidak berarti tailing yang dibuang tidak berbahaya, sebab tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti; Arsen (As), Kadmium
(Cd), Timbal (pb), Merkuri (Hg) Sianida (Cn) dan lainnya. Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Pada awalnya logam itu tidak berbahaya jika terpendam dalam perut bumi. Tapi ketika ada kegiatan tambang, logam-logam itu ikut terangkat bersama batubatuan yang digali, termasuk batuan yang digerus dalam processing plant. Logam-logam itu berubah menjadi ancaman ketika terurai di alam bersama tailing yang dibuang. 2.1
Arsen (As) Unsur ini merupakan salah satu hasil sampingan dari proses pengolahan bijih logam
non-besi terutama emas, yang mempunyai sifat sangat beracun dengan dampak merusak lingkungan. Terdapat lebih dari 25 mineral mengandung As berupa arsenida atau sulfida dengan mineral-mineral yang dikenal seperti: arsenopirit (FeAsS), lollingit (FeAs2), smaltit (CoAs2), nikolit (NiAs), tennantit (Cu8As3S7), enargit (Cu3AsS4), proustit (Ag3AsS), realgar (As4S4), dan orpimen (As2S3). As digunakan untuk campuran logam lain (Pb) dalam pembuatan shot (partikel bundar berukuran pasir) dan insektisida berbentuk arsenat–Ca dan Pb. Arsen putih (As2O3) biasanya digunakan untuk membasmi rumput liar; sementara senyawa arsenik tertentu dimanfaatkan dalam peleburan gelas, pengawet kayu dan kulit, bahan pencelup, pigmen, obat-obatan, petasan/kembang api, dan bahan kimia. Penambangan cebakan logam mengandung As dan pembuangan tailing dengan keterlibatan atmosfir akan mempercepat mobilisasi unsur tersebut dan selanjutnya memasuki sistem air permukaan atau merembes ke dalam akifer-akifer air tanah setempat. Akibat merugikan dari arsen bagi kesehatan manusia adalah apabila terkandung >100 ppb dalam air minum; dengan gejala keracunan kronis berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel, kelainan kulit atau melanoma serta kanker usus. Ini terjadi di negara-negara yang memproduksi emas dan logam dasar di antaranya Afrika selatan, Zimbabwe, India, Thailand, Cina, Filipina, dan Meksiko. 2.2
Merkuri (Hg) Semua cebakan merkuri terbentuk dari larutan hidrotermal di dalam segala jenis batuan
yang diakibatkan oleh kegiatan vulkanisma Tersier. Hg juga dapat terbentuk sebagai unsur jejak (trace element) pada kebanyakan cebakan mineral lainnya. Mineral-mineral yang
mengandung merkuri (Hg) adalah sinabar, metasinabarit, kalomel, terlinguait, eglestonit, montroidit, dan merkuri murni. Pada usaha pertambangan logam mulia dengan metoda pengolahan amalgamasi, merkuri atau quicksilver (berbentuk cair) digunakan dalam jumlah besar sebagai bahan pelarut/penangkap emas dan perak (Jensen et al., 1981). Proses pengolahan ini menjadi sorotan karena menghasilkan tailing dengan kandungan Hg signifikan. Merkuri (Hg) yang terbentuk sebagai fraksi halus, unsur jejak, dan ion seharusnya diwaspadai apabila terakumulasi dalam jumlah signifikan karena dapat berdampak merugikan bagi lingkungan hidup. Unsur ini telah dikenal sebagai bahan bersifat racun mematikan apabila: 1. Terdapat dengan kandungan melebihi ambang batas dalam biji-bijian, binatang pemakan biji-bijian tersebut dan tubuh ikan yang berada dalam air tercemar merkuri. Kasus penimbunan senyawa merkuri oleh ikan karena binatang ini mengkonsumsi organisma planktonik mengandung ion-ion merkuri dalam air tercemar tersebut. Ikan atau jenis makanan apapun dengan kandungan > 0,5 ppm Hg harus dilarang dipasarkan dan termasuk air dengan kandungan < 1 mg Hg/dm3. 2. Berupa senyawa metil-merkuri yang dihasilkan oleh proses metilasi dalam air sungai dan danau berpH rendah, yang berlangsung berkesinambungan atau sewaktu-waktu. Senyawa ini terbentuk karena melarutnya Hg2+ dari sedimen melalui pertukaran ion pada lingkungan air berkonsentrasi tinggi ion hidrogen dan kemudian meningkatnya sintesis metil-merkuri oleh mikro-organisma. Konsentrasi senyawa tersebut dalam organisma aquatik beraneka ragam karena tergantung kegiatan metabolisma dan rata-rata rentang hidup dari spesies organisma bersangkutan; sementara pada tubuh ikan mencapai 60–90% karena daya serapnya yang tinggi. Keracunan oleh merkuri nonorganik terutama mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal dan hati. Disamping itu akan mengganggu sistem enzim dan mekanisma sintetik apabila berupa ikatan dengan kelompok sulfur di dalam protein dan enzim. Merkuri (Hg) organik dari jenis metil-merkuri dapat memasuki placenta dan merusak janin pada wanita hamil, mengganggu saluran darah ke otak serta menyebabkan kerusakan otak. 2.3
Timbal (Pb) Unsur Pb umumnya ditemukan berasosiasi dengan Zn - Cu dalam tubuh bijih. Logam
ini penting dalam industri modern yang digunakan untuk pembuatan pipa air karena sifat ketahanannya terhadap korosi dalam segala kondisi dan rentang waktu lama. Pigmen Pb juga digunakan untuk pembuatan cat, baterai, dan campuran bahan bakar bensin tetraethyl (Jensen
et al., 1981). Pemanfaatan pada bahan bakar bensin telah mengalami penurunan karena menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Bijih logam timbal (Pb) dapat terbentuk dalam cebakan-cebakan seperti stratabound sulfida massif, replacement, urat, sedimentasi, dan metasomatisma kontak dengan mineralmineral utama terdiri atas: galena (PbS), cerusit (PbCO3), anglesit (PbSO4), wulfenit (PbMoO4), dan piromorfit [Pb5(PO4, AsO4)3Cl]. Larutan pembawa Pb diantaranya: air connate, air meteorik artesian, dan larutan hidrotermal yang naik ke permukaan; dengan sebagian besar Pb berasal dari larutan hidrotermal yang membentuk cebakan bijih pada suhu rendah, berupa pengisian rongga batuan induk. Pb dalam batuan berada pada struktur silikat yang menggantikan unsur kalsium/Ca, dan baru dapat diserap oleh tumbuhan ketika Pb dalam mineral utama terpisah oleh proses pelapukan. Pb di dalam tanah mempunyai kecenderungan terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, dan kemudian terakumulasi sebagai hasil pelapukan di dalam lapisan humus. Diperkirakan 95% Pb dalam sedimen (nonorganik dan organik) dibawa oleh air sungai menuju samudera. Pb relatif dapat melarut dalam air dengan pH < 5 dimana air yang bersentuhan dengan timah hitam dalam suatu periode waktu dapat mengandung > 1 µg Pb/dm3; sedangkan batas kandungan dalam air minum adalah 50 µg Pb/dm3. Luasnya penyebaran unsur Pb di alam sebagian besar disebabkan oleh limbah kendaraan bermotor. Unsur ini mengalami peningkatan ketika melibatkan atmosfir dan kemudian mencemari tanah serta tanaman. Di daerah padat penduduk (urban), anakanak menyerap lebih banyak Pb daripada orang dewasa; terutama pada mereka yang kekurangan gizi dan mempunyai perilaku mengkomsumsi makanan tidak bersih atau berdebu, yang dapat mengandung beberapa ribu ppm (1.000 – 3.000 µg Pb/kg). Di London Barat, banyak anakanak teridentifikasi menderita keracunan akut oleh Pb (O’Neill, 1994). Mengacu kepada kejadian diatas, maka dispersi unsur Pb dapat juga terjadi akibat pembuangan tailing dari usaha pertambangan logam. Hal ini harus diwaspadai karena dapat mencemari lingkungan dengan akibat timbulnya berbagai penyakit berbahaya atau bahkan kematian. Dampak lebih jauh dari keracunan Pb adalah dapat menyebabkan hipertensi dan salah satu faktor penyebab penyakit hati. Ketika unsur ini mengikat kuat sejumlah molekul asam amino, haemoglobin, enzim, RNA, dan DNA; maka akan mengganggu saluran metabolik dalam tubuh. Keracunan Pb dapat juga mengakibatkan gangguan sintesis darah, hipertensi, hiperaktivitas, dan kerusakan otak. 2.4
Kadmium (Cd)
Kadmium merupakan hasil sampingan dari pengolahan bijih logam seng (Zn), yang digunakan sebagai pengganti seng. Unsur ini bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, memiliki titik lebur rendah serta dapat dimanfaatkan untuk pencampur logam lain seperti nikel, perak, tembaga, dan besi. Senyawa kadmium juga digunakan bahan kimia, bahanMineral-mineral bijih yang mengandung kadmium diantaranya adalah sulfida green ockite (= xanthochroite), karbonat otavite, dan oksida kadmium. Mineral-mineral tersebut terbentuk berasosiasi dengan bijih sfalerit dan oksidanya, atau diperoleh dari debu sisa pengolahan dan lumpur elektrolitik. Kadmium mempunyai titik didih rendah dan mudah terkonsentrasi ketika memasuki atmosfir. Air dapat juga tercemar apabila dimasuki oleh sedimen dan limbah pertambangan mengandung Cd, sementara ketika bercampur dengan asap akan membentuk pencemaran terhadap udara. Di Jepang telah terjadi keracunan oleh Cd, yang menyebabkan penyakit lumbago yang berlanjut ke arah kerusakan tulang dengan akibat melunak dan retaknya tulang (O’Neill, 1994). Organ tubuh yang menjadi sasaran keracunan Cd adalah ginjal dan hati, apabila kandungan mencapai 200 µg Cd/gram (berat basah) dalam cortex ginjal yang akan mengakibatkan kegagalan ginjal dan berakhir pada kematian. Korban terutama terjadi pada wanita pasca menopause yang kekurangan gizi, kekurangan vitamin D dan kalsium. Penimbunan Cd dalam tubuh mengalami peningkatan sesuai usia yaitu paruh-umur dalam tubuh pada kisaran 20 – 30 tahun.
BAB III ANALISIS 3.1
Analisis Limbah P.T. Freeport Indonesia Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan sangatlah
besar. Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih. Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai dengan standar teknis legal untuk bendungan, namun masih menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat. Selain itu Freeport mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing. Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai. Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport
bahkan
menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai
sarana
transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia. Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, yang melanggar standar baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang tidak kalah parah adalah membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah bahan berbahaya beracun. Buangan Air Asam Batuan sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, membahayakan air tanah, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan.
Kandungan logam berat tembaga (Cu) yang melampaui ambang batas yang diperkenankan. Kandungan tembaga terlarut dalam efluent air limbah Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara S. Ajkwa 2 kali lipat dari ambang yang diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan. Sistem pembuangan limbah Freeport mengancam mata rantai makanan yang terindikasi kewat kandungan logam berat yaitu selenium (Se), timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn), dan tembaga (Cu) pada sejumlah spesies kunci yaitu: burung raja udang, maleo, dan kausari serta sejumlah mamalia yang kadangkala dikonsumsi penduduk setempat. Sistem pembuangan limbah Freeport menghancurkan habitat muara sungai Ajkwa secara signifikan. Hal ini diindikasikan oleh peningkatan kekeruhan muara dan tersumbatnya aliran ke muara. Dalam jangka panjang wilayah muara seluas 21 sampai 63 Km persegi akan rusak. 3.2
Dampak Pencemaran Limbah P.T. Freeport Indonesia Limbah tailing Freeport yang mengandung logam berat ini pun sudah menghilangkan
35% total populasi ikan, kepiting, dan kerang yang hidup di Muara. Sementara itu 30-90% dari total spesies yang ada di Muara terancam terkontaminasi racun dan punah. Sedimentasi yang terjadi di Muara mengancam wilayah Taman Nasional Lorentz terutama di daerah pesisir. Ancaman pokok selain limbah adalah kontaminasi logam berat pada tumbuhan bakau dan spesies-spesies yanga da di pesisir Taman Nasional Lorentz. Kawasan ADA (Ajkwa Deposition Area) seluas 230 km persegi yang telah mengalami kematian tumbuhan akibat tailing takkan pernah bisa kembali ke komposisi spesies semula meski pembuangan tailing berhenti. Diperlukan intervensi teknologi irigasi yang rumit dan asupan pupuk, kompos atau tanah subur yang lar biasa banyaknya untuk bisa membuat kawasan ini bisa ditanami kembali.
3.3
Upaya Penanganan Limbah berdasarkan Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sesuai dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas lingkungan adalah cara untuk menentukan kualitas lingkungan yang lebih baik, maka ada 5 cara yang dapat dilakukan : 1. Tata letak lokasi ruang 2. Teknologi, menerapkan teknologi bersih 3. Sistem Pengelolaan limbah 4. Pengelolaan Media Lingkungan 5. Perubahan Baku Mutu Berikut ini akan dibahas kelimanya.... 3.3.1 Tata Letak Lokasi Pertama, tata letak lokasi ruang. Dilihat dari lokasi penambangan utama P.T. Freeport Indonesia Blok A Grassberg yang berada di ketinggian 4200 m di permukaan laut. Lokasi penambangan P.T. Freeport Indonesia adalah berupa gunung cadas yang kaya akan mineral tambang. Tetapi, dilihat dari ketinggiannya yang berada 4200 meter di atas permukaan laut, lokasi penambangan ini tentu saja merupakan kawasan yang ditopang oleh ekosistem di bawahnya. Jadi, apabila kawasan ini terganggu maka akan merusak keseimbangan ekosistem yang berada di bawahnya. Jadi seharusnya, apabila akan dilakukan penambangan di lokasi penambangan P.T. Freeport Indonesia yang sekarang maka harus dilakukan studi mengenai dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam. Jelas, hal ini tidak dilakukan oleh P.T. Freeport maupun oleh Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini sebagai pemilik wilayah. 3.3.2 Penerapan Teknologi Bersih Kedua, penerapan teknologi bersih dalam penambangan. Tentu sangat sulit menerapkan teknologi bersih dalam kasus P.T. Freeport. Karena untuk menghasilkan 1 gram emas di Grassberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja. Sejak tahun 1995, jumlah batuan limbah yang telah dibuang sebanyak 420 juta ton. Di akhir masa tambang, jumlah total limbah batuan adalah 4 milyar ton. Di akhir masa tambang ketinggian tumpukan limbah batuan adalah 500 meter. Diperkirakan, tambang Grasberg harus membuang 2,8 milyar ton batuan penutup hingga penambangan berakhir tahun 2041.
Melakukan efisiensi konversi bahan dalam kegiatan pertambangan merupakan hal yang hamper mustahil dilakukan karena pada dasarnya, kegiatan pertambangan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Dalam kasus P.T. Freeport, yang dapat dilakukan hanyalah meyimpan lapisan tanah atas (top soil) hasil pengupasan yang dilakukan untuk mendapatkan mineral tambang (ore) di bawahnya untuk menutup kembali dan penghijauan lokasi pertambangan yang sudah tidak produktif lagi nantinya. 3.3.3 Sistem Pengelolaan Limbah Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan P.T. Freeport Indonesia saat ini adalah limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura. Tempat penyimpanan limbah batuan dilakukan di Danau Wanagon. Danau Wanagon bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin (kubangan air besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di Grasberg tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden) yang menutupi mineralnya (ore). Penggunaan Danau Wanagon menjadi tempat penimbunan limbah batuan telah merupakan pencemaran air dan merubah fungsi danau yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitarnya, seperti dari Desa Banti/Waa. P.T. Freeport dan pemerintah Indonesia telah melanggar peraturan yang terkait dengan pembuangan limbah tersebut ke Danau Wanagon, diantaranya adalah : 1. UU no. 4 tahun 1982 yang telah dirubah menjadi UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. PP no. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. 3. PP no. 18 tahun 1994 jo PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah B3. Dari penjelasan di atas jelas dikatakan bahwa limbah batuan Grasberg merupakan limbah B3 karena mengandung logam berat. Dalam pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan bidup tanpa pengolahan terlebih dahulu" dan pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa "Tempat
penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud paa ayat 1 wajib memenuhi syarat : a). lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana, dan di luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang. B). rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya pengendalian pencemaran lingkungan". 4. Kemudian berdasarkan PP 18 tahun 1994 jo PP 85 tahun 1999 jelas pembuangan limbah batuan yang merupakan limbah B3 secara langsung ke Danau Wanagon merupakan pelanggaran hukum. Selain itu, penggunaan Sungai Ajkwa sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura adalah permasalahan lainnya. Freeport
tidak lagi menyebutkan Ajkwa
sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport
bahkan
menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai
sarana
transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia. 3.3.4 Pengelolaan Media Lingkungan Pengelolaan media lingkungan agar media lingkungan mempunyai daya dukung lebih tinggi tidak dilakukan oleh P.T. Freeport. Penggunaan Sungai Ajkwa sebagai ADA (Ajkwa Deposition Area) untuk mengalirkan limbah tailing sebelum dialirkan ke Laut Arafura dan menumpuk limbah batuan (overburden) di Danau Wanagon adalah contohnya. Tanpa melakukan modifikasi media lingkungan dan bahkan tanpa pengolahan sedikitpun, P.T. Freeport membuang begitu saja limbah-limbah tersebut. Sekarang, sangat sulit dan hampir tidak mungkin untuk mengembalikan Sungai Ajkwa dan Danau Wanagon ke fungsi ekologis seperti sediakala. Proses Sedimentasi yang terjadi di sepanjang DAS Ajkwa dan tumpukan limbah batuan yang berada di Danau Wanagon suddah terlalu parah. Bahkan, di Danau Wanagon saat ini yang tersisa hanyalah batuan dan pasir. Tidak tersisa sedikitpun pemandangan yang menunjukkan kalau tadinya Wanagon adalah suatu tempat yang mempunyai fungsi ekologis sebagai danau. 3.3.5 Perubahan Baku Mutu Melakukan perubahan baku mutu yang dilakukan apabila daya dukung lingkungan yang ada tidak dapat mencerna bahan-bahan luar atau limbah yang masuk ke dalam lingkungan
tersebut. Cara ini sudah tidak mungkin dilakukan pada kasus P.T. Freeport yang sudah sedimikian rupa. Kandungan tembaga (Cu) serta TSS (Total Suspended Solids) yang ada sudah jauh melebihi batas yang diperbolehkan. Di bawah ini terdapat tabel yang menggambarkan parameter pencemar di Sungai Ajkwa. • Sungai Ajkwa Bagian Bawah (Lower Ajkwa River) mengandung 28 hingga 42 mikrogram per liter (µg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air tawar si Indonesia yaitu 20 µg/L, dan jauh melampaui acuan untuk air tawar yang diterapkan pemerintah Australia, yaitu 5,5 µg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum Muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22 – 25 µg/L dan bisa mencapai 60 µg/L. • Untuk kondisi air laut di Muara Ajkwa Bagian Bawah, standar ASEAN dan Indonesia untuk tembaga larut adalah 8 µg/L, dan acuan pemerintah Australia adalah 1,3 µg/L. Pencemaran Freeport-Rio Tinto di daerah ini juga melebihi batas legal: kandungan tembaga larut mencapai rata-rata 16 µg/L dengan rentang tertinggi 36 µg/L. Batas legal total padatan tersuspensi (total suspended solids, TSS) dalam air tawar adalah 50 mg/L. Sedangkan tailing yang mencemari sungai-sungai di dataran tinggi memiliki tingkat TSS mencapai ratusan ribu mg/L. Tigapuluh kilometer masuk ke dataran rendah Daerah Pengendapan Ajkwa, tingkat TSS di Sungai Ajkwa bagian Bawah mencapai seratus kali lipat dari batas legal. Lebih jauh ke hilir dari ADA, di Muara Ajkwa bagian bawah, TSS mencapai 1.300 mg/L, 25 kali lipat melampaui batas. Mutu air di perairan hutan bakau di Muara Ajkwa juga 10 kali lipat melampaui batas legal untuk TSS di lingkungan air laut (80 mg/L), dengan TSS rata-rata 900 mg/L.
Demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa datang, sekali lagi Walhi meminta pemerintah untuk melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat, daripada mengandalkan laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua informasi lingkungan pada masyarakat sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997). Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban kerusakan lingkngan sejauh ini. Membentuk Panel Independen untuk memetakan sejumlah skenario bagi masa depan Freeport, termasuk tanggal penutupan, pengolahan (processing) dan pengelolaan limbah. Kemudian pemerintah harus menyewa konsultan independen untuk mengkaji setiap skenario dari segi sosial dan teknis secara rinci dan independen. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan mengenai masa depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan lainnya.